Sebuah kerancuan : Toleransi atau alibi?
“Saya
gak abis pikir, kenapa si ustadz masih demen aja ngelarang-larang
orang. Emang apa coba untungnya buat dia? ” Ketus seorang Ibu sembari
memiliih-milih belanjaannya.
“iya ya bu. Masalah ibadah kan masing-masing. Lakum dinukum waliyadin. Iya ga bu?” jawab si pedagang meladeni.
“Wah
ibu pinter juga. Itu kan udah jelas ada dalam qur’an. Kita itu harus
saling menghargai. Dasar aja ituustadz ga mau toleransi !” pungkas si
Ibu menyudahi percakapan.
Jawaban si pedagang amat menarik.Andai
saja ada santri yang juga jadi pembeli. Pasti si santri bakal iseng
bertanya,“Bu, itu ayat pertama artinya apa?” dan si Ibu segera menjawab
“tau dong ! katakanlah olehmu Muhammad, hai orang-orang kafir” Lalu
dengan lugas si santri bakal bertanya lagi “Kira-kira apa yang harus
dikatakan Muhammad pada orang-orang kafir itu?” Si Ibu mulai bingung,
“maksudnya? ” si santri bilang“jawabannya udah Ibu sampaikan tadi sama
Ibu-ibu yang tadi beli sayuran”. “lakum dinukum waliyadin?” Tanya si Ibu
penasaran. Si santri mengangguk.
Percakapan di atas menjadi
contoh yang menggambarkan pemahaman umum di masyarakat. Ayat terakhir
surat Al-Kafirun itu menjadi bahasa lain sebuah penolakan dan keengganan
seseorang menerima nasihat. Dan pada akhirnya kata “toleransi” menjadi
tameng dan legitimasi sebuah kebohongan. Padahal saling menasihati dalam
haq sangat berlaku bagi sesama muslim. (Qs.Al-Ashr)
Dalam konteks
lain, misalkan dalam pembuatan regulasi, toleransi bak garam yang haram
ditinggalkan. Sayangnya, kejujuran tidak dijadikan spirit dalam
memahami makna toleransi. Akibatnya lahirlah toleransi yang intoleran.
Lahirlah peraturan-peraturan rancu yang mengatasnamakan semangat
kebhinekaan. Slogan “melindungi hak minoritas”sebenarnya telah melukai
janji kemerdekaan “melindungi segenap bangsaIndonesia”. Tidak ada
“segenap”, yang ada hanyalah pendustaan besar-besaranatas nama “sebagian
kecil”. Ya, bangsa ini memang terlalu baik hingga mudah terkelabuhi
oleh “rengekan” minoritas.
Toleransi yang intoleran. Itulah yang
sebenarnya terjadi pada hari ini. Mereka menganggap aliran-aliran
sesat,agama minoritas sebagai “kaum terancam”. Sehingga hak-haknya harus
diakomodir.Nah disinilah terjadi toleransi yang intoleran. Mereka
mengakomodir sebagianuntuk melukai sebagian. Baginya melegitimasi aliran
sesat merupakan bagian daritoleransi. Namun bersamaan dengan itu,
mereka telah melukai umat islam denganmembiarkan kemunkaran merajalela.
Di
Bali, sebuah pusat perbelanjaan diprotes oleh umat Hindu. Alasannya
karena karyawan/i menggunakan busana muslim. Mereka berdalih penggunaan
busana muslim akan merusak budaya Bali. Namun ketika hari raya Nyepi
tiba, umat Hindu Bali memaksa semua orang, baik penganut Hindu maunpun
non-Hindu untuk mengikuti ritual mereka. Alasannya toleransi dan saling
menghargai.
Masih di tempat yang sama, belakangan ini santer
diberitakan pelarangan jilbab bagi muslimah di beberapa SMA Negeri di
Bali. Siswi yang tidak taat diancam dikeluarkan dari sekolah. Dan
pelarangan ini berdalih penyamarataan, karena Negara ini adalah Negara
Bhoneka, eh Bhineka.
Fenomena tersebut pun terjadi di beberapa
daerah mayoritas non-muslim. Di Papua misalkan, secara jelas tertera
peraturan yang mengakomodir sepenuhnya kepentingan Kristen dengan
mengesampingkan hak hak umat Islam. Dalam Perda khusus tentang
penyelenggaraan pembangunan keagamaan, tertera ketentuan yang
menyebutkan pemerintah daerah harus memprioritaskan pengangkatan tenaga
kependidikan Kristen dan katolik.
Memahami Contoh diatas:
Contoh di atas adalah sebagian
kecil diskriminasi yang tertuju pada umat Islam. Asumsi sementaranya
adalah ketika muslim menjadi mayoritas, kaum minoritas dapat hidup
nyaman. Bahkan karena“saking” toleransinya terkadang minoritas mendapat
posisi yang teramat nyaman atau dalam istilah lain disebut offside.
Tapi ketika muslim menjadi minoritas, mereka menjadi kaum yang
terintimidasi. Maka apa yang sering dikampanyekan selama ini; seperti
toleransi, bhineka tunggal ika, HAM hanyalah alibi untuk melancarkan
misi menghancurkan umat Islam.
Toleransi & HAM hanyalah bahasa diplomatis yang bila didefinisikan ke dalam bahasa sunda artinya Kumaha Aing (terserah saya).
Keduanya tidak memiliki tolak ukur yang jelas. Rancu. Mereka terjebak
dengan relativisme. Hak Asasi Manusia itu pada akhirnya dipahami sebagai
hak asasi “terserah saya”. Tidak peduli omongannya sampah, yang penting
keluar omongan “ini hak asasi saya !”. Semua yang mengatakan kalimat
yang sama konon akan diakomodir. Lalu bagaimana bila adadua orang
berbeda yang mengatakan hal yang sama? Bingung ! Itulah bukti bahwapara
penganut HAM dan pengagung toleransi saat ini tidak memiliki standar dan
tolak ukur yang jelas. Maka wajar bila saat ini “rengekan” Syi’ah lebih
didengar dari teriakan ahlu sunnah. Lumrah bila saat ini dramatisasi
lebay non-muslim lebih dilindungi misi gospelnya ketimbang dakwah umat
Islam.
Lalu apa sebenarnyatoleransi/tasamuh itu? Untuk
mengetahuinya, silakan kaji secara mendalam surat Al-Kafirun. Toleransi
yang dipahami dari surat Alkafirun tidak akan melahirkankeraguan bagi
umat Islam. Berbeda dengan toleransi skeptis yang melahirkan cabang
kerancuan. Dan bahayanya hal itu akan memicu pemahaman-pemahaman
kelirulainnya.
Dalam bagian akhir ini, saya akan mencoba memaparkan contoh tasyabuh yang terlahir dari rahim tasamuh yang salah kaprah.
Tahun
baru masehi. Inilah salahsatu momentum terbesar di dunia. Semua
merayakannya dengan suka cita. Termasukumat Islam di dalamnya. Entah apa
yang mendasari rasa suka cita tersebut. Mungkin karena bersenang-senang
di malam hari atau karena apa? Tidak jelas ! Yang jelas adalah mereka
sedang ikut-ikutan dan sedang tidak tahu atau pura-pura tidaktahu atau
memang tidak ingin tahu. Banyak yang mengira momentum tahun baru tidak
terkait dengan urusan ibadah apalagi tauhid. Wajar, karena selama
inipembahasannya dianggap memenggal kebahagiaan umat manusia di seluruh
dunia.
Perayaan tahun baru masehi merupakan budaya yang masih
terkait dengan ritual umat nashrani. Tahun masehi dihitung berdasarkan
tahun kelahiran Tuhan mereka yaitu Yesus. Maka bagi umat Islam
yangmengikutinya, sama dengan mengamini dan bersaksi atas kedustaan.
(bacaAl-Furqan:72)
Umat Islam seharusnya bersikap kritis dan
senantiasa bertanya akan sesuatu hal. Bila belum menghasilkan
kesimpulan,sebaiknya tidak ikut-ikutan. Tapi jika kekeuh ingin
ikut, maka jujurlah dengan mengatakan “saya ikut karena nafsu”.Jangan
jadikan toleransi sebagai alibi. Apalagi jika memaksakan dalil sebagai
landasan. Karena hal itu hanya akan menambah deretan kerancuan dan
kedustaan kita terhadap sebuah kebenaran.
*Cilacap-Jateng, 29 Desember2014