Mengkritisi Dalih Pembenaran Sekularisme | Antara Sekularisme dan Sekularisasi | Sejaran Sekularisme

Mengawali pembahasannya tentang sekularisme, Budhy Munawar-Rahman—sebagai penulis sekaligus editor dari bunga rampai pemikiran para tokoh Islam Progresif tersebut—mengutip pendapat beberapa pakar tentang sekularisme, di antaranya George Holyoake, seorang penulis Inggris yang pertama kali menggunakan istilah sekularisme pada tahun 1846. Menurut Holyoake, “Secularism is an ethical system founded on the principle of natural morality and independent of revealed religion or supranaturalism; sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supranaturalisme.
Definisi lain dari sekularisme ini, “Secularism is the view that the influence of religious organization should be reduced as much as possible, and that morality and education should be separated from religion; sekularisme adalah suatu pandangan bahwa pengaruh organisasi agama harus dikurangi sejauh mungkin, dan bahwa moral dan pendidikan harus dijauhkan dari agama.”
Asal kata secular itu sendiri, mengutip penjelasan Syed M. Naquib al-Attas, berasal dari bahasa latin saeculum yang berarti ruang dan waktu. Secular dalam pengertian ruang bermakna ‘dunia’ atau ‘duniawi’, sedang secular dalam pengertian waktu bermakna ‘sekarang’ atau ‘kini’. Jadi secular/saeculum bermakna ‘zaman kini’ atau ‘masa kini’, dan itu merujuk pada ‘peristiwa di dunia ini’, sehingga makna lengkapnya ‘peristiwa-peristiwa masa kini’. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa makna sekular itu adalah ‘kekinian’ dan ‘kedisinian’.

Antara Sekularisme dan Sekularisasi

Di kalangan para pakar ilmu sosial ada yang membedakan antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme adalah sebuah ideologi yang diterima oleh sebuah masyarakat atau negara, dan sifatnya tertutup, tidak mungkin mengalami perubahan dan pergeseran dalam rumusan konsepnya. Sementara sekularisasi adalah sebuah proses sejarah yang hendak menjauhkan kehidupan dari nilai-nilai agama, sifatnya ‘terbuka’ untuk mengalami perubahan dan pergeseran dalam rumusan konsepnya. Jika sekularisasi ini sudah menjadi ideologi maka istilahnya adalah secularizationism.
Di antara kedua istilah ini muncul perbedaan penilaian. Sekularisme dinilai negatif karena sifatnya yang tertutup dan tidak mungkin mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman, sementara sekularisasi sebaliknya. Sekularisme dinilai sebagai efek negatif dari sekularisasi. Nurcholish Madjid ketika di awal tahun 1970-an mempopulerkan istilah sekularisasi, ia bergeming bahwa ia tidak sedang mengamalkan sekularisme. Ia mencontohkan istilah “sosialisasi pengobatan” yang tidak berarti sebagai mengamalkan sosialisme yang sudah merupakan sebuah ideologi negara. Menurutnya, gagasan sekularisasi yang ia kemukakan adalah sebuah proses modernisasi semata.
Sebagai pembanding, menurut paham yang seperti Nurcholish ini, berbeda antara rasionalisme dan rasionalisasi; rasionalisme adalah paham yang menjadikan rasio sebagai satu-satunya standar kebenaran, sementara rasionalisasi adalah upaya untuk menjadikan sesuatu dipahami oleh rasio. Contoh lainnya, liberalisme dan liberasi/liberalisasi; kata yang pertama menunjuk pada sebuah ideologi yang sudah dirumuskan seperti yang diusung kalangan Islam Liberal, sementara kata kedua menunjuk pada makna pembebasan dari setiap yang mengekangnya.
Akan tetapi pendapat Nurcholish itu dibantah oleh koleganya sendiri, M. Dawam Rahardjo. Sebagaimana dituliskannya dalam pengantar buku Argumen Islam untuk Sekularisme, Dawam menyatakan bahwa pendapat Nurcholish tersebut hanya merupakan sebuah euphemisme (penghalusan bahasa) semata, walaupun Nurcholish mempunyai argumen ilmiah untuk membedakan sekularisasi dan sekularisme tersebut. Sebab dalam pandangan Dawam, sekularisasi itu bagian dari sekularisme juga. Dalam hal ini, maka Dawam pun memberikan penghargaan yang besar kepada Abdurrahman Wahid dan Ulil-Abshar Abdalla yang telah terang-terangan berani mengemukakan gagasan sekularisme dengan istilah “sekularisme” itu sendiri.
Dalam pengamatan Budhy, istilah sekularisasi tidak jauh beda dengan sekularisme yang kedua-duanya bisa mewujud sebagai sebuah ideologi, dan juga bisa tidak mewujud sebagai ideologi. Kompleksitas pengertian di antara dua istilah tersebut membuat Budhy berkesimpulan bahwa istilah sekularisme dan sekularisasi seringkali bisa dipertukarkan atau bisa juga saling melengkapi. Artinya, sekularisme tidak akan terjadi tanpa sekularisasi. Sebaliknya, sekularisasi adalah suatu proses bertahap menuju sekularisme.
Dalam memperkuat proposisinya ini, Budhy kemudian mengutip penjelasan Harvey Cox dalam bukunya yang terkenal, The Secular City. Menurut Cox, sekularisasi melibatkan tiga proses, yaitu: (1) pembebasan alam dari ilusi (disenchantment of nature), (2) desakralisasi politik (desacralization of politics), dan (3) pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values). Yang pertama maksudnya pembebasan alam dari pengaruh ilahi yang mencakup kepercayaan animistis, dewa-dewa, dan sifat magis dari alam. Yang kedua, peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik. Dan yang ketiga, berarti penghapusan kesucian nilai-nilai, termasuk nilai agama, dari kehidupan. Semua nilai akan selalu terbuka untuk berubah, bersifat relatif/nisbi tergantung perkembangan zaman yang standarnya adalah ilmu pengetahuan, bukan agama. Itu artinya bahwa sekularisasi serumpun dengan sekularisme.

Sejarah Sekularisme

Kelompok Islam Progresif secara jujur mengakui bahwa sekularisme awalnya terjadi pada abad modern (khususnya abad ke-19) yang dialami kaum Kristen. Di Barat (Eropa) pada abad ke-19 terjadi secara intensif pemisahan antar hal-hal yang menyangkut agama dan non-agama, yang kemudian disebut sekularisme. Sedikit demi sedikit urusan keduniawian memperoleh kemerdekaan dari pengaruh Gereja (terutama Gereja Protestan), dengan puncaknya di mana Gereja tidak berhak campur tangan dalam politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Pengertian ini kemudian memicu polemik—untuk tidak mengatakan pertentangan—antara urusan agama dan non agama atau sekular.
Akan tetapi, menurut kelompok Islam Progresif, proses sekularisasi ini ternyata membawa sebuah anugerah kehidupan baru dengan tatanan legitimasi religius yang baru. Pemisahan secara konstitusional antara Gereja dan negara, baru sempurna di bawah Prancis, tepatnya Republik Ketiga pada tahun 1905. Gereja tidak lagi mendapat dukungan dari dana publik, dan walaupun bebas untuk dipergunakan, bangunan-bangunan Gereja menjadi milik pemerintah. Pelajaran-pelajaran religius di sekolah negeri dihapus pada tahun 1882, digantikan dengan pelajaran etika umum. Pada tahun 1904 semua intitusi religius dilarang untuk memberikan segala bentuk pelajaran. Dan saat itu negara otonom menjamin “kebebasan agama” sebagai bagian dari “kebaikan umum”.
Proses pergeseran sekularisasi dari yang semula anti-agama menjadi mengakomodir agama dalam konsep “kebaikan umum” ini, menurut Robert N. Bellah, menjadi “civil religion” (agama sipil) yang diterima masyarakat Amerika. Bellah menjelaskan, walaupun masalah-masalah kepercayaan religius yang personal, peribadatan dan asosiasi dianggap sebagai masalah pribadi, pada saat yang sama terdapat unsur-unsur orientasi religius yang umum dan tertentu yang diberi oleh mayoritas besar orang Amerika. Pada saat itu maka agama dapat melangsungkan eksistensinya dalam ruang publik tanpa harus memandangnya sebagai seperangkat aturan-aturan atau nilai-nilai yang dapat menggiring pada pemahaman eksklusif dan dogmatis.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, sekularisme hanya menerima agama sebagai sekumpulan nilai-nilai moral dan menolak agama dalam bentuknya yang formal. Dalam kasus Islam, nilai-nilai moral Islam tetap dijunjung tinggi, tetapi segala bentuk formalisme Islam dalam wujud aqidah dan syari’ah pasti akan ditolak. Inilah yang diklaim oleh Islam Progresif sebagai “anugerah” sekularisme bagi kehidupan beragama masyarakat.

Sekularisme adalah Pancasila

Menurut Dawam Raharjo, sekularisme dalam praktiknya ada dua macam. Pertama, sekularisme yang empati terhadap semua agama dan kehidupan beragama dalam pengertian yang luas, termasuk terhadap aliran-aliran keagamaan yang dipandang menyimpang dari arus utama. Contohnya AS yang membebaskan semua agama dan aliran keagamaan, sehingga Gereja dan kehidupan beragama marak di wilayah civil society. Kedua, sekularisme yang antipati atau curiga terhadap agama-agama dan aliran keagamaan. Masuk ke dalam jenis ini negara yang berdasarkan Islam seperti Saudi Arabia yang antipati terhadap agama dan aliran keagamaan di luar madzhab yang diakui negara, juga Turki yang jelas-jelas berdasarkan sekularisme dan antipati terhadap semua agama yang ada.
Untuk kasus Indonesia, sudah semestinya, menurut Dawam, mempraktikkan sekularisme yang simpati terhadap semua agama. Dalam hal ini maka ia menolak keras setiap upaya yang menghendaki Islam dibawa ke dalam negara, karena akan menjadikan negara tidak toleran kepada aliran keagamaan yang dianggap menyimpang atau kepada madzhab yang berbeda dengan madzhab yang diakui negara. Untuk itu, menurutnya ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu: (1) Pemisahan otoritas agama dan otoritas negara. Sebab, penggabungan kedua otoritas itu akan melahirkan absolutism yang melanggar prinsip kebebasan, keadilan dan toleransi. (2) Negara perlu memisahkan wilayah privat dan wilayah publik dalam kehidupan beragama. Komponen kepercayaan (creed) dan peribadatan (cult) adalah wilayah pribadi yang dilindungi oleh prinsip kebebasan, sedangkan komponen perilaku/akhlaq (code of ethics) dan peradaban (civilization) adalah wilayah publik yang bisa diatur oleh negara secara demokratis berdasarkan penalaran moral dan penalaran publik.
Dawam mendesak semua pihak yang tidak setuju terhadap sekularisme untuk memahaminya dari sudut kebangsaan yang menghendaki di satu pihak kebebasan dan hak-hak sipil, dan di lain pihak persatuan dan kesatuan, walaupun dalam pluralitas. Sekularisme dibutuhkan untuk menjamin kebebasan beragama. Dalam hal ini sekularisme menginginkan agar negara tidak melakukan intervensi dan pengaturan kehidupan beragama. Karena itulah maka sekularisme ingin menempatkan agama di ruang publik yang bebas dari intervensi negara. Di wilayah ini, setiap agama dan aliran-aliran keagamaan bebas berkembang. Terhadap banyaknya gereja atau aliran keagamaan itu negara tidak boleh menghakimi suatu kepercayaan, sebab kepercayaan tidak bisa dikontrol. Negara hanya bisa menertibkan praktik-praktik keagamaan atau dakwah dengan kriteria konstitusi dan hukum yang berlaku.
Konsep dan pengamalan sekularisme untuk kasus Indonesia ini, menurut kelompok Islam Progresif, telah terumuskan dalam dasar negara yang diterima oleh semua pihak, yakni Pancasila. Dengan disetujuinya Pancasila sebagai dasar negara, maka Indonesia sebenarnya sudah menjadi “negara sekular”, dengan memberi tempat dan peranan substansial yang besar kepada agama, bukan hanya Islam tetapi semua agama. Pancasila dirumuskan berdasarkan masyarakat yang majemuk, yang meliputi perbedaan suku dan agama. Dari penerimaan Pancasila ini muncullah penerimaan sepenuhnya liberalisme, yaitu demokrasi dan hak-hak asasi manusia; dan pluralisme, yakni kesediaan untuk menerima pluralitas sebagai sesuatu yang positif untuk membangun Indonesia yang lebih adil, terbuka dan demokratis.
Pancasila bagi kelompok Islam Progresif adalah objektivikasi Islam versi Indonesia. Sama halnya dengan Piagam Madinah di zaman Nabi saw memerintah di Madinah, dan sudah sangat sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan untuk senantiasa mengatur urusan dunia pada ilmu dan konvensi di antara sesama manusia, tidak perlu selalu dirujukkan pada agama. Antum a’lamu bi syu`uni dunyakum; kamu lebih mengetahui urusan dunia kalian, demikian seperti disabdakan Rasul saw.
Inilah pengertian sekularisme yang dikehendaki oleh Islam Progresif. Pengertian ini mesti dipahami dengan benar, agar—seperti yang dinyatakan Dawam—tidak muncul gerakan radikalisme keagamaan seperti tercemin pada FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang menghendaki penggantian Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, yang notabene berbeda dari aspirasi umat Islam mainstream yang diwakili NU-Muhammadiyah. Fatwa MUI yang mengharamkan sekularisme, menurut mereka, sebetulnya telah menebar benih-benih radikalisme itu sendiri.
Maka dari itu, Islam Porgresif berani menyatakan bahwa fatwa MUI bukanlah hal yang sakral dan pasti benar. Fatwa MUI boleh diabaikan oleh semua pihak, khususnya umat Islam, karena jika diikuti fatwa itu akan menimbulkan fanatisme. Persoalan aqidah, menurut mereka, adalah hubungan manusia dan Allah yang tidak boleh menjadi klaim kebenaran (truth claim) sepihak satu kelompok seperti yang ditempuh MUI.

Kritik atas Dalih Sekularisme

Dalam pandangan Syed M. Naquib al-Attas, pembenaran terhadap sekularisme seperti yang telah ditempuh oleh kelompok Islam Progresif di atas berpangkal pada tidak dipahaminya worldview (pandangan hidup/dunia) Barat dan Islam. Dalih mereka dalam membenarkan sekularisme malah semakin memperjelas keterpedayaan mereka oleh worldview Barat sebagai akibat dari ketidakkritisan mereka terhadapnya, untuk tidak dikatakan secara vulgar telah “ter-Barat-kan”.
Sekularisme, sebagaimana diakui oleh mereka, sebenarnya terjadi pada peradaban Barat yang beragama Kristen. Hal itu sangat dimungkinkan karena agama Kristen waktu itu sudah menjadi agama yang mencampuradukkan tradisi Yahudi dan Yunani-Romawi. Agama yang semula berdasar pada wahyu tersebut saat itu sudah bercampur dengan tradisi magis dan mitos. Konsep ajaran yang cenderung dicocok-cocokkan dengan tradisi Yunani dan Romawi telah menyebabkan ajaran tersebut terikat oleh ruang dan waktu; hanya cocok pada zaman itu saja, tetapi tidak untuk zaman selanjutnya, sehingga akhirnya selalu berubah-ubah di setiap zamannya. Kristen merupakan sebuah agama yang tidak berhasil melepaskan dirinya dari tradisi berhala dan patung, yang selalu menerapkan nilai-nilai “kesucian” secara berlebihan kepada setiap benda dan peristiwa, dan bersifat tertutup, tidak menerima konstribusi sains. Termasuk di dalamnya “menyucikan” secara berlebihan kekuasaan politik di tangan Gereja.
Maka dari itu tidak heran kalau kebangkitan sains di abad modern dengan sendirinya melahirkan sikap yang menolak agama Kristen. Penolakan yang berwujud sekularisme itu mengajarkan tiga prinsip sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu: (1) pembebasan alam dari ilusi (disenchantment of nature), (2) desakralisasi politik (desacralization of politics), dan (3) pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values). Hal yang sama jika diberlakukan pada Islam, tentu tidak bisa diterima. Alasannya, karena agama Islam tidak sama dengan agama Kristen yang telah rusak konsep agamanya dan dianggap bermasalah ketika terlalu intervensi ke dalam kehidupan duniawi. Selain itu ajaran Islam yang bersifat tetap dan tidak terpengaruh perkembangan zaman melahirkan konsep kebenaran yang mutlak tidak seperti halnya agama Kristen yang selalu dinilai relatif. Untuk kasus Kristen sangat dimungkinkan ia kalah ketika diserang oleh sekularisme dan malah ikut terjebak mendukungnya karena konsep agamanya tidak mampu melawan sekularisme, tetapi untuk Islam, ia terlanjur sudah matang dan dewasa dari sejak kelahirannya sehingga tidak mungkin kalah oleh sekularisme.
Agama Islam adalah agama wahyu. Sebuah agama yang dari sejak awal kelahirannya telah melakukan seruan universal dan tidak memerlukan proses perkembangan lebih lanjut untuk menjadi matang dan dewasa, karena ia sudah matang dan dewasa dari sejak lahirnya. Islam dari sejak awal sudah lengkap dan sempurna untuk memenuhi keperluan hidup manusia. Wahyu yang menjadi dasar agama Islam sudah disempurnakan di zaman Nabi Muhammad saw hidup, yang kemudian beliau tafsirkan dalam bentuk sunnah, dan kemudian dipraktikkan oleh para shahabat, sehingga bisa menjadi patokan bagi generasi selanjutnya. Semua prinsip kebenaran dan nilai sudah ada di masa itu, sehingga Islam dan masa kehidupan Nabi saw selalu sesuai, selalu cukup, selalu modern, selalu baru, dan selalu mendahului zaman, karena ia melampaui sejarah.
Sebagai pembuktiannya, kita uji keabsahannya dengan konsep sekularisme seperti telah dikemukakan di atas. Pertama, pembebasan alam dari ilusi (disenchantment of nature). Islam dari sejak awal telah menyatakan bahwa yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah swt, tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan secara otomatis tidak ada kaitannya dengan kekuatan ghaib, mistis, dan mitos lainnya selain Allah swt. Jadi kalau kemudian sekularisme menghendaki agar Islam mensekularkan nature (alam), maka itu sudah lebih dulu diamalkan Islam dengan larangan syirk. Walaupun demikian, Islam tetap melanggengkan satu nilai ilahiah yang Mahamutlak dan Mahabenar sebagai Pencipta semuanya, yakni Allah swt. Ini penting untuk ditanamkan agar setiap usaha penelitian dan eksplorasi alam tidak malah menjadi eksploitasi yang berlebihan dan lepas sama sekali dari norma dan nilai.
Kedua, desakralisasi politik (desacralization of politics). Islam dari sejak awal sudah mengajarkan bahwa manusia tidak memiliki “kekuasaan Tuhan”, bahkan Nabi Muhammad saw sendiri pun tidak pernah diberikan wewenang untuk menetapkan halal dan haram. Akan tetapi bukan berarti harus sekular sama sekali, karena “kekuasaan Tuhan” itu kemudian ada dalam wujud al-Qur`an dan sunnah. Dalam konteks kekuasaan politik, semua jenis kekuasaan politik apapun tidak dipandang bernilai apa-apa jika tidak merujukkannya pada “kekuasaan Tuhan” tersebut. Ulil-amri tidak mutlak ditaati kalau ternyata ulil-amri tersebut menyimpang dari kehendak al-Qur`an dan Sunnah. Maka dari itu tidak akan pernah ditemukan sepanjang sejarah Islam kekuasaan politik yang bersifat teokrasi; dimana pemimpin agama berkuasa penuh atas politik. Semua kekuasaan pasti akan selalu dibatasi oleh sebuah “konstitusi” yang sudah disepakati oleh umat Islam, yakni al-Qur`an dan sunnah. Kalau kemudian sekularisme menghendaki agar agama menyerahkan kekuasaannya pada ” konstitusi” dan itu diarahkan pada Islam, maka jelas salah sasaran. Itu sangat tepat untuk Kristen, tapi tidak tepat untuk Islam. Letak persamaannya dengan poin pertama adalah, Islam melakukan desakralisasi politik, tapi tidak sepenuhnya, karena masih menetapkan adanya hal-hal yang sakral, yakni konstitusi itu sendiri (baca: al-Qur`an dan sunnah).
Ketiga, pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values). Kalau yang dimaksud agar kehidupan diatur berdasarkan standar ilmu pengetahuan dan jauh dari mitos, magis, dan keyakinan ghaib, maka itu jelas sudah ditempuh Islam sebelumnya dengan membatalkan tradisi berhala, takhayul, dan khurafat, dengan sekaligus menggalakkan pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi tidak sampai pada penghilangan sama sekali nilai-nilai itu dari kehidupan, karena walau bagaimanapun nilai-nilai harus memandu kehidupan dalam wujud norma dan susila. Apa yang dikehendaki oleh sekularisme agar nilai-nilai yang dijadikan pegangan adalah nilai-nilai universal yang disepakati oleh semua agama, maka pada faktanya nilai-nilai yang dimaksud sudah ada dalam Islam, bahkan lebih sempurna lagi karena ditopang dengan aqidah dan syari’ah yang teruji otentisitas dan validitasnya. Asumsi yang menyatakan bahwa jika satu agama dijadikan dasar kehidupan masyarakat maka itu akan menyebabkan kehidupan yang intoleran, hanya berlaku pada agama-agama buatan manusia seperti Kristen yang dikenal dengan sejarah inquisisi (hukuman sadis khas Gereja)-nya, dan tidak berlaku pada agama Islam, sebab Islam tidak memusuhi manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Islam, tegas al-Attas, memang mengajarkan apa yang disebut al-hayatud-dunya; kehidupan dunia. Kehidupan dunia ini harus diwaspadai karena akan melalaikan dari kehidupan akhirah. Dunya itu sendiri artinya dekat, sementara akhirah artinya jauh dan penghabisan. Dengan kata lain, al-Qur`an mengajarkan agar manusia tidak terbuai dengan hal-hal yang “dekat” sehingga melupakan hal-hal yang “jauh dan jelas tujuan akhir”-nya. Tetapi itu tidak berarti bahwa dunia itu dipandang hina atau harus tidak disakralkan sama sekali, sebab di berbagai ayat yang lain Allah swt menitahkan hamba-hamba-Nya untuk tetap berpartisipasi aktif dalam kehidupan dunia sebagai wujud peribadatan kepada-Nya. Satu hal saja yang diwanti-wanti oleh al-Qur`an, jangan sampai dunia melalaikan akhirat. Dalam kaitan sekularisme yang berfaham duniawi maka sudah semestinya setiap muslim tidak terbuai dengannya sehingga melupakan ajaran-ajaran pokok agamanya yang lebih berorientasi akhir. Apa yang ditempuh oleh kelompok Islam Progresif tersebut adalah salah satu bentuk keterbuaian oleh kehidupan dunia tersebut.
Maka dari itu, dalih bahwa sekularisme akan mampu simpati kepada agama layak dikritisi; apakah layak dinilai “simpatik” terhadap agama jika pada faktanya sekularisme membatasi kebebasan sebuah agama itu sendiri? Hal ini tidak berlaku hanya pada Islam saja, tapi juga pada agama-agama lainnya selain Islam, termasuk agama-agama dari Timur yang tidak sama juga dengan konsep agama di Barat. Sebagai orang-orang cendekia, kalangan Islam Progresif mungkin lupa bahwa bangsa Barat dari sejak awal telah mengklaim dirinya sebagai bangsa pelopor, dimana semua bangsa selainnya harus selalu mengikuti mereka termasuk dalam hal sekularisme. Dan sebagai pemeluk Islam, semestinya Islam Progresif sadar bahwa agamanya adalah satu-satunya agama yang mengatur kehidupan tidak hanya dalam aspek individual saja, tapi juga aspek sosial kemasyarakatan lainnya, sehingga tidak layak kalau kemudian mereka “membebek” begitu saja kepada Barat yang memaksakan sekularisme dengan membenarkan sekularisme. Memang benar ada persoalan dunia yang diserahkan kepada manusia, tetapi bukankah ada juga yang sepenuhnya harus bersandar pada ajaran Islam. Dalam hal ini tidak perlu tercekoki oleh kampanye Barat bahwa “paham agama” itu tidak toleran, karena Islam sudah cukup mengajarkan toleransi bahkan lebih matang dan lebih awal dari toleransi yang dikembangkan Barat.
Terkait sikap sekularisme yang tidak akan mungkin sepenuhnya simpatik kepada agama-agama, sebenarnya diakui sendiri oleh kelompok Islam Progresif. Sebagaimana dituliskan Budhy dalam bukunya tersebut, “Adalah ekstrem mamandang sekularisme sebagai paham antiagama. Namun demikian, keduanya tidak bisa dipisahkan dengan sebuah garis demarkasi. Ibaratnya, kalau kita membuat lingkaran, akan selalu ada arsir di tengah yang saling beririsan.” Ini berarti, bahwa Budhy sendiri sudah mengakui dengan jujur sekularisme tidak sepenuhnya bisa tidak antiagama, akan selalu ada saja pengejawantahannya yang antiagama.

Pancasila Bukan Sekularisme

Nabi Muhammad saw dan masyarakat Madinahnya adalah satu protitipe pertama masyarakat majemuk di dunia yang mampu mengembangkan prinsip-prinsip toleransi sebelum Barat mengenal toleransi. Tetapi tidak dengan dasar sekularisme yang “membatasi” kewenangan agama, melainkan dengan dasar din itu sendiri, sehingga mewujud menjadi ma-din-ah (peradaban berdasar agama). Artinya, demi mencapai masyarakat yang adil, makmur dan bermartabat, tidak harus dengan menghilangkan peran agama itu sendiri seperti yang diinginkan sekularisme, karena agama Islam tidak mungkin menerima konsep yang seperti itu dan tidak akan pernah sesuai dengannya.
Para founding fathers Indonesia yang sangat paham dengan teori-teori Barat tapi kemudian tidak ter-Barat-kan, telah dari sejak awal pendirian negara ini mengampanyekan Islam sebagaimana telah dipraktikkan di Madinah; Islam yang menjamin toleransi, Islam yang menjamin kemajemukan, tanpa harus mendekonstruksi Islamnya itu sendiri seperti yang berlaku dalam sekularisme. Kubu sekuler yang dipimpin Soekarno waktu itu malah sebaliknya, sangat giat mengampanyekan stigmatisasi negatif Islam jika harus dijadikan dasar negara. Maka lahirlah diskursus Islam dan negara, Islam dan sekularisme, dari sejak tahun 1940-an. Jika kemudian Islam Progresif hari ini kembali menghadirkan perdebatan Islam dan sekularisme tetapi dengan pola pikir yang meniru Soekarno Cs, maka itu bisa dipastikan karena keawaman mereka terhadap Islam, jika bukan karena “ter-Barat-kan” paradigma mereka.
Maka dari itu, sangat tidak bisa diterima kalau kemudian Pancasila yang merupakan bagian dari kesepakatan founding fathers yang muslim dengan kubu sekuler dinilai sebagai pengejawantahan dari sekularisme murni. Berbagai tesis dan disertasi sudah membuktikan bahwa Pancasila tidak sepenuhnya sekuler, meski tidak sepenuhnya Islam atau agamis. Ia berada pada posisi yang netral tergantung siapa penafsirnya. Meskipun demikian, sebagai sebuah dasar negara ia mempunyai sebuah tafsiran resmi. Tafsiran resmi tersebut berdasarkan aturan resmi penafsiran Pancasila hanya dikeluarkan oleh MPR atau Mahkamah Konstitusi. MPR selama ini tidak pernah menyatakan bahwa undang-undang yang mengatur peradilan Islam, zakat, haji, perbankan dan ekonomi syari’ah, sebagai sebuah penyimpangan dari Pancasila, yang kalau dimaknai sebagai sekularisme tentu bertentangan dengannya. Demikian juga, ketika kubu Islam Progresif bersikeras hendak menghapuskan UU tentang Penodaan Agama karena dipandang bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dijunjung tinggi sekularisme, Mahkamah Konstitusi malah menolaknya dengan tegas. Itu berarti bahwa Pancasila tidak bisa dipahami sebagai pengejawantahan sekularisme. Unsur-unsur agama, khususnya Islam, tetap melekat di dalamnya.
Justru dengan kampanye “Pancasila = sekularisme” inilah munculnya penolakan secara membabi buta dari kelompok-kelompok semisal HTI dan MMI atau JAT (Jama’ah Anshorut Tauhid pimpinan Abu Bakar Baasyir) terhadap dasar negara Indonesia ini. Umat Islam arus utama lainnya tidak pernah menolak Pancasila dan seperangkatnya karena memang tidak memahaminya sebagai sebuah bentuk sekularisme. Jadi sangat terbalik sekali logikanya jika sekularisme harus digalakkan agar tidak terjadi “radikalisme”. Padahal fakta sebenarnya adalah “radikalisme” marak disebabkan penggalakkan kampanye sekularisme. Sudah sepantasnya mereka berterima kasih kepada MUI yang memberikan kartu merah kepada mereka dengan memfatwakan haram sekularisme agar tidak terlalu leluasa menebar benih-benih radikalisme. Sebab sebaliknya, MUI menekan radikalisme tersebut dengan memfatwakan golput haram dan memfatwakan wajibnya berimamah-berimarah kepada NKRI.
Uraian yang panjang tentang Islam dan sekularisme ini hendak memastikan bahwa Islam adalah sebuah “jalan”, dan sekularisme pun sebuah “jalan”. Kedua “jalan” tersebut tidak cocok untuk disatukan karena pada faktanya sangat bertentangan. Akhirnya pilihan terserah kepada kita, memilih Islam atau memilih sekularisme? Tidak akan ada “Islam sekuler”, ataupun “sekularisme/sekularisasi Islam”. Dan al-Qur`an sudah mengingatkan bahwa Islam adalah haq, dan tidak ada lagi sesudah haq selain kesesatan;
wa madza ba’dal-haq illad-dlalal. 
Nasrudin Syarif. _www.pemikiran-islam.net.

Pengunjung