KEADAAN HUKUM PERDATA Dl INDONESIA

KEADAAN HUKUM PERDATA Dl INDONESIA

Hukum Perdata

Perkataan "Hukum Perdata" dalam arti yang luas meliputi semua hukum "privat materiil", yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan "per-data" juga lazim dipakai sebagai lawan dari "pidana".
Ada juga orang memakai perkataan "hukum sipil" untuk hukum privat materiil itu, tetapi karena perkataan "sipil" itu juga lazim dipakai sebagai lawan dari "militer," maka lebih baik kita memakai istilah "hukum perdata" untuk segenap peraturan hu­privat materiil.
Perkataan "Hukum Perdata", adakalanya dipakai dalam arti sempit, sebagai lawan "hukum dagang," seperti dalam pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara, yang menitahkan pembuku-(kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap Hukum Per-dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, ^f|*usunan serta kekuasaan pengadilan.
Hukum Perdata di Indonesia, ber-bhinneka yaitu beranel warna.
Pertama, ia berlainan untuk segala golongan warga negara:

a. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku "Huku Adat," yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku kalangan rakyat,  yang sebagian besar masih belum ter-tulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, menge­nai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
b. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal Tionghoa dan Eropah berlaku Kitab Undang-Undang Hu­kum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), de­ngan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada sedikit penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upa-cara yang mendahului pernikahan dan mengenai "pena-hanan" pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula "Burgerlijke Stand" tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam Bur­gerlijk Wetboek.
Akhirnya untuk golongan warga negara bukan asli yangj bukan berasal Tionghoa atau Eropah (yaitu : Arab, India dan lain-lain) berlaku sebahagian dari Burgerlijk Wetboek, yaitu pada po-( koknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaanl harta benda (vermogensrecht), jadi tidak yang mengenai hukum [ kepribadian dan kekeluargaan (personen en familierecht) maupunj yang mengenai hukum warisan. Mengenai bagian-bagian hukum i yang belakangan ini, berlaku hukum mereka sendiri dari negeri 1 asalnya.
Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia asli sendiripun ada ber-bhinneka lagi, yaitu berbeda-b«da dari daerah ke daerah.
Untuk mengerti keadaan Hukum Perdata di Indonesia seka-rang ini, perlulah kita sekedar mengetahui tentang riwayat politik Pemerintah Hindia-Belanda dahulu terhadap hukum di Indonesia.
Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 "Indische Stoats-regeling" (sebelum itu pasal 75 Regeringsreglement), yang dalam pokoknya sebagai berikut :

1. Hukum Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Pidana) harus diletak-kan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu dikodifisir.
2. Untuk golongan bangsa Eropah dianut (dicontoh) per-undang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi). •
3. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab dan sebagainya), jika ternyata "kebu-tuhan kemasyarakatan" mereka menghendakinya, dapat-lah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropah dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus di-indahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh ke-pentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ay at 2).
4. Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang me­reka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan ber­sama dengan bangsa Eropah, diperbolehkan "mehunduk-kan diri" ("onderwerpen") pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropah. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
5. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hokum
yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu "Hukum Adat" (ayat 6).
Berdasarkan pedoman-pedoman yang kita sebutkan di atas, di zaman Hindia-Belanda telah ada beberapa peraturan undang. undang Eropah yang telah "dinyatakan berlaku" untuk Bangso Indonesia asli, seperti pasal 1601 — 1603 lama dari B.W., yaitu perihal perjanjian kerja atau perburuhan (Staatsblad 1879 No, 256), pasal 1788 — 1791 B.W. perihal hutang-hutang dari perjudi-an (Staatsblad 1907 No. 306) dan beberapa pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu sebagian besar dari Hukura Laut (Staatsblad 1933 No. 49).
Selanjutnya, ada beberapa peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia, seperti : Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 No. 74), Ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia atau I.M.A. (Staatsblad 1938 No. 569 berhubung dengan No. 717) dan Ordonansi tentang Perkumpulan bangsa Indonesia (Staatsblad 1939 No. 570 ber­hubung dengan No. 717).
Akhirnya, ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, misalnya, Undang-Undang Hals Pengarang (Auteurswet tahun 1912), Peraturan Umum tentanj Koperasi (Staatsblad 1933 No. 108), Ordonansi Woeker (Staats blad 1938 No. 523), dan Ordonansi tentang Pengangkutan d Udara (Staatsblad 1938 No. 98).
Perihal kemungkinan untuk menundukkan diri pada Hukun Eropah telah diatur lebih lanjut di dalam Staatsblad 1917 No. 12
f
Peraturan ini mengenai empat macam penundukan, yaitu : a. Penundukan pada seluruh Hukum Perdata Eropah;
b. Penundukan pada sebagian Hukum Perdata Eropah, yatil dimaksudkan hanya pada hukum kekayaan harta bend sija (vermogensrecht), seperti yang telah dinyatakan bet laku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa;
c. Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
Penundukan secara "diam-diam", menurut pasal 29 yang berbunyi : "Jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal di dalam hu-kumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam menun­dukkan dirinya pada hukum Eropah".
Menurut riwayatnya, pasal 29 tersebut ini ditujukan kepada seorang bangsa Indonesia yang menandatangani surat aksep atau weseL
Riwayat perundang-undangan dalam lapangan Hukum Per­data untuk golongan Timur Asing, sebagai berikut:
Mula-mula dengan peraturan yang termuat di dalam Staats­blad 1855 No. 79 Hukum Perdata Eropah (B.W. dan W.v.K.) dengan kekecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan,- di­nyatakan berlaku untuk semua orang Timur Asing.
Kemudian, dalam tahun 1917, mulailah diadakan pembedaan antara golongan Tionghoa dan yang bukan Tionghoa, karena untuk golongan Tionghoa dianggapnya hukum Eropah yang sudah diperlakukan terhadap mereka itu dapat diperluas lagi.
Untuk golongan Tionghoa'itu lalu diadakan suatu peraturan tersendiri mengenai Hukum Perdata mereka, yaitu peraturan yang diletakkan dalam Staatsblad tahun 1917 No. 129 (berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 1 September 1925). Menurut peraturan ini sekarang berlaku bagi bangsa Tionghoa : iseluruh hukum privat Eropah terkecuali pasal-pasal yang mengenai 9urgerlijke Stand, upacara-upacara sebelum berlangsung per-nftahan (bagian 2 dan 3 dari Titel 4 Buku I B.W.) dan bagi oiang Tionghoa diadakan suatu Burgerlijke Stand tersendiri serta saatu peraturan tersendiri pula tentang pengangkatan anak (adop-«A yaitu dalam bagian II Staatsblad tahun 1917 No. 129 tersebut.
Bagi golongan Timur Asing lain-lainnya (Arab, India dan aebagainya) kemudian juga diadakan suatu peraturan tersendiri, Ordonansi yang termuat dalam Staatsblad tahun 1924

Pengunjung