Hukum Perdata di Indonesia ber-bhinneka
yaitu beranel warna.
Pertama, ia berlainan untuk segala golongan warga negara:
a. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku "Huku Adat," yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum ter-tulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
b. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal Tionghoa dan Eropah berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada sedikit penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upa-cara yang mendahului pernikahan dan mengenai "pena-hanan" pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula "Burgerlijke Stand" tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek.
Akhirnya untuk golongan warga negara bukan asli yangj bukan berasal Tionghoa atau Eropah (yaitu : Arab, India dan lain-lain) berlaku sebahagian dari Burgerlijk Wetboek, yaitu pada po-( koknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaanl harta benda (vermogensrecht), jadi tidak yang mengenai hukum [ kepribadian dan kekeluargaan (personen en familierecht) maupunj yang mengenai hukum warisan. Mengenai bagian-bagian hukum i yang belakangan ini, berlaku hukum mereka sendiri dari negeri 1 asalnya.
Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia asli sendiripun ada ber-bhinneka lagi, yaitu berbeda-b«da dari daerah ke daerah.
Untuk mengerti keadaan Hukum Perdata di Indonesia seka-rang ini, perlulah kita sekedar mengetahui tentang riwayat politik Pemerintah Hindia-Belanda dahulu terhadap hukum di Indonesia.
Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 "Indische Stoats-regeling" (sebelum itu pasal 75 Regeringsreglement), yang dalam pokoknya sebagai berikut :
1. Hukum Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Pidana) harus diletak-kan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu dikodifisir.
2. Untuk golongan bangsa Eropah dianut (dicontoh) per-undang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi). •
3. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab dan sebagainya), jika ternyata "kebu-tuhan kemasyarakatan" mereka menghendakinya, dapat-lah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropah dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus di-indahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh ke-pentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ay at 2).
4. Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah, diperbolehkan "mehunduk-kan diri" ("onderwerpen") pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropah. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
5. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum