BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam menentukan
atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh
kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an
yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Disamping itu
terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an terhadap hal-hal yang masih
bersifat umum. Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma’, Qiyas. Sebagai salah
satu acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum.
Untuk itu, perlu
adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti
Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami
pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Al-Qur’an dan ruang lingkupnya.
2.
Kedudukan Hadist, Ijma; dan Qiyas.
3.
Pengertian Nash dan Syari’ah.
4.
Teori dan konsep istimbath hukum
Islam.
5.
Pengertian ijtihad dan perbedaan
mazdhab.
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Al-Qur’an dan ruang lingkupnya.
2. Untuk memahami kedudukan Hadist, Ijma’ dan Qiyas dalam
menetapkan hukum Islam.
3. Untuk mengetahui pengertian Nash dan Syari’ah
4. Untuk mengetahui teori dan konsep istimbath hukum Islam.
5. Untuk memahami ijtihad dan perbedaan mazdhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN
RUANG LINGKUPNYA
- Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah
wahyu Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk Islam dan bernilai
ibadat yang membacanya.
- Ruang Lingkupnya Al-Qur’an
Pokok-pokok isi
Al-Qur’an ada 5:
1.
Tauhid, kepercayaan terhadap
Allah, malaikat-malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Rosul-rosul Nya, Hari Akhir dan
Qodho, Qadar yang baik dan buruk.
2.
Tuntutan ibadat sebagai perbuatan
yang jiwa tauhid.
3.
Janji dan Ancaman
4.
Hidup yang dihajati pergaulan
hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
5.
Inti sejarah orang-orang yang taat
dan orang-orang yang dholim pada Allah SWT.
- Dasar-dasar Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum
1.
Tidak memberatkan
“Allah tidak membenari seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Misalnya:
a) Boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
b) Boleh makan-makanan yang diharamkan jika dalam keadaan
terpaksa/memaksa.
c) Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu’
2.
Menyedikitkan beban
Dari prinsip tidak
memberatkan itu, maka terciptalah prinsip menyedikitkan beban agar menjadi
tidak berat. Karena itulah lahir hukum-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti:
mengqashar sholat.
3.
Berangsur-angsur dalam menetapkan
hukum
Hal ini dapat
diketahui, umpamanya; ketika mengharamkan khomr.
1)
Menginformasikan manfaat dan
mahdhorotnya.
2)
Mengharamkan pada waktu terbatas,
yaitu; sebelum sholat.
3)
Larangan secara tegas untuk
selama-lamanya.
B.
KEDUDUKAN HADIST, IJMA’ DAN
QIYAS
1.
Kedudukan Al-Hadist/Al-Sunnah
Nabi Muhammad
sebagai seorang rosul menjadi panutan bagi umatnya disamping sebagai ajaran
hukum. Baik yang diterima dari Allah yang berupa Al-Qur’an maupun yang
ditetapkan sendiri yang berupa al-Sunnah. Banyak sekali masalah yang sulit
ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan
utama, maka banyak orang mencarinya dalam as-Sunnah.
Selain
diindikasikan dalam Al-Qur’an, para ulama pun telah bersepakat untuk menetapkan
al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam.
Sunnah yang
dijalankan Nabi pada dasarnya adalah kehendak Allah juga. Dalam arti bahwa
Sunnah itu sebenarnya adalah risalah dari Allah yang manifestasikan dalam
ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi. Maka sudah sepantasnya, bahkan seharusnya
bilamana Sunnah Nabi dijadikan sumber dan landasan ajaran Islam.
2.
Kedudukan Ijma’
Kebanyakan ulama
menetapkan, bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber ajaran Islam dalam
menetapkan suatu hukum. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rosulnya dan Ulil Amri diantara
kamu.”
Maka dapat
disimpulkan bahwa, apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum
suatu masalah/peristiwa, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Ijma’ dapat
dijadikan alternatif dalam menetapkan hokum suatu peristiwa yang didalam
Al-Qur’an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
3.
Kedudukan Qiyas
Qiyas menduduki
tingkat keempat, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang
berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang
mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an. Mereka
mendasarkan hal tersebut pada firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang artinya; “Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang mempunyai
pandangan.”
C.
PENGERTIAN TENTANG NASH DAN
SYARI’AH
1. Pengertian Nash
Menurut bahasa,
Nash adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh
sebab itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan menurut
istilah antara lain dapat dikemukakan di sini menurut:
a.
Ad-Dabusi:
Artinya:
“Suatu lafazh yang maknanya lebih
jelas daripada zhahar bila ia dibandingkan dengan lafzh shahir.”
b.
Al-Bazdawi
“Lafazh yang lebih jelas maknanya
daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari
rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari
definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan
kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya,
melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian
tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu
adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang
menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia
mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada
kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasikh
pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai contoh
adalah ayat Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.
وَاَحَلَّ
اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَى.
Dilalah nash dari ayat
tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertiannya diambil dari
susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih memberi kejelasan
daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil
dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
2. Pengertian Syari’ah
Dilihat dari sudut kebahasaan
kata, syari’ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang dilalui air terjun.”
Syari’ah adalah semua yang
disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an ataupun melalui
Sunnah Rasul.
Syari’ah itu adalah
hukum-hukum yang disyari’atkan Allah bagi hamba-hamba Nya (manusia) yang dibawa
oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far’iyah
amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau yang
menyangkut petunjuk beri’tiqad yang disebut ashliyah i’tiqadiyah (pokok
keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian syari’ah menurut
Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari’at menurut bahasa ialah tempat yang
didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut istilah
ialah hukum-hukum dan tata aturan yang disyari’atkan Allah buat hamba-Nya agar
mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan syari’ah tertuju
pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yang telah disepakati (di ijma’)
oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya dan yang
belum jelasa dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah (masalah yang di ijtihad), juga
dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas. Dengan
perkataan lain syari’at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan
ditetapkan oleh Allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti
dan dilaksanakan oleh manusia didalam kehidupannya.
Pengertian syari’ah menurut
Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy. Salah satu makna
syari’ah adalah jalan yang lurus.
Sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat
al-Jaatsiyah: 18
ثُمَّ
جَعَلْنَكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَاوَلاَ تَتَّبِعْ
اَهْوَآءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)
“Kemudian Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)
para fuqaha memakai kata
syari’ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya
dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu melaksanakannya dengan
dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai akhlak dan
aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Menurut asy-Syatibi di dalam
kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari’ah itu adalah ketentuan hukum yang
membatasi perbuatan, perkataan dan i’tiqad, orang-orang mukallaf.”
Demikianlah makna syari’at,
akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari’ah untuk nama hukum
fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas dasar
pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu adalah aqidah dan syari’ah
sebagaimana dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari’ah Islam adalah syari’ah
penutup, syari’ah yang paling umum, paling lengkap, dan mencakup segala hukum,
baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan.[1]
D.
TEORI DAN KONSEP ISTIMBATH
HUKUM DALAM ISLAM
Bila para ulama hadist
dihadapkan kepada suatu masalah, pertama kali para ulama ahlul haidst mencari
penyelesaian masalah itu kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi/Rasul. Apabila para
ulama hadist mendapat hadist yang berbeda-beda, maka mereka mengambil hadist
sebagai sumber hukum, dari hadist yang diriwayatkan oleh para perawi hadist
yang lebih utama dan memenuhi persyaratan. Kalau para ulama tersebut tidak
menemukan hadistnya, selanjutnya mereka meninjau dan mempedomani pendapat para
sahabat Nabi. Andaikata tidak juga diperoleh pendapat para sahabat mengenai
masalah yang sedang dihadapi para ulama hadist tersebut, maka selanjutnya
barulah mereka melaksanakan ijtihad untuk menyelesaikan suatu masalah hukum
Islam, atau mereka belum/tidak menyampaikan fatwa kepada masyarakat. Masa
mereka enggan berfatwa ini tidak lama, hanya sampai kepada masa wafatnya Imam
Daud ibnu Ali. Para ulama Fuqaha sesudah itu selalu memperhatikan/melaksanakan
fatwa, baik yang telah terjadi, walaupun yang belum atau mungkin terjadi,
berarti mereka selalu melaksanakan ijtihad terhadap sesuatu masalah yang baru,
dan belum teratur dasar hukumnya, sehingga segala masalah dapat mereka tentukan
hukumnya berdasarkan hasil ijtihad para ulama hadist (aliran Madrasah Hadist).
E.
IJTIHAD DAN PERBEDAAN
MAZDHAB
- Ijtihad
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, ijtihad
berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang menurut
pengertian syara’ ijtihad adalah:
اَ
ْلإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ جُكْمٍ َِرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ
اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.
Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum
syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.[2]
Adapun pengertia ijtihad
ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama
(syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil
syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan
kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.[3]
Ijtihad mempunyai peranan
yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam
kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas
kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang).
Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia
menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat
bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami
umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam
setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan
keluasan dan keluwesan hukum Islam.
- Perbedaan Mazdhab
Menurut bahasa mazdhab
berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para Faqih Mazdhab
mempunyai dua pengertian yaitu:
1.
Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu
masalah.
2.
Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang
imam.
Dari kedua pengertian diatas
dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil ijtihad seorang imam
(Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang
kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan demikian,bahwa
pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang
ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”[4]
Orang yang melakukan ijtihad
disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syahi’i dan
Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat
Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam Mazdhab bagi
seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami
mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau
karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazdhab
saja.
Menganut suatu aliran mazdhab
saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup pintu
rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada
mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu mazdhab.
Andaikata sukar menghindari
kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat
orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazdhab.
A.
IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu
hukum.
1. Al Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok
ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada al-Kitab tersebut
atau kepada jiwa kandungannya.
2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi
sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).
3. Aqwalush
Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memperoleh
posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena menurutnya, mereka adalah
orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah generasinya.
4. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada
Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan sahabat tidak
beliau temukan.
5. Al-Istihsan
6. Urf
Pendirian beliau adalah
mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta
mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat
bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an,
Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas)
beliau melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila
tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali kepada Urf manusia.
B.
IMAM MALIKI BIN ANAS
Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
Rasul yang beliau pandang sah.
3. Ijmak
para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata
berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4. Qiyas
5. Istishlah
(Mashalihul Mursalah)
C.
IMAM SYAFI’I
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i.
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i
sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang
mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk
menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi
hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai
kepada Nabi SAW.
3. Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah
menyepakatinya
4. Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar
hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
5. Istidlal
(Istishhab)
D.
IMAM AHMAD BIN HAMBALI
Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan
berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:
1. Nash
Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak
lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan
pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
2. Fatwa
Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati suatu
pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka
beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu
merupakan Ijmak.
3. Pendapat
sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah,
maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Hadist
Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai,
jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang
sahabat.
5. Qiyas,
baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya
pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.
BAB
III
KESIMPULAN
Al-Qur’an
merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum
ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an
tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum
kedua, yang mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber
hukum yang lain adalah Ijmak dan Qiyas.
Ijmak
dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak
bertentangan dengan nash syari’at yang jelas.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Rifai, Moh. Fiqih, CV. Wicaksana, Semarang, 2003
·
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazdhab, Raja Grafindo
Persada, Jakarta,
2003
·
Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo
Persada, Jakarta,
1994.
·
Syafi’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia,
Bandung, 1999.