Ta’rif Ulumul Hadis|Menurut Bahasa dan Istilah


1. Ta’rif Ulumul Hadis
عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرِفُ بِهَا اَحْوَالُ السَّنَدِ وَالمَتَنِ
“Ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal-ihwal sanad dan matan”

Pengertian Al-hadis As-Sunnah Al-Khabar dan Al-Atsar

1. Menurut bahasa
a. Al-Hadis berarti Al-Jadid (baru) dan Al-Khabar (berita)
b. As-Sunnah berarti As-Sirah (sejarah, kisah, cerita) dan Ath-Thariqotul Mu’tadah (jalan/ cara kebiasaan)
c. Al-Khabar berarti An-Nabau (berita besar)
d. Al-Asar berarti Baqiyyatu Syai’i (peninggalan/ bekas/ jejak sesuatu)

2. Menurut istilah Al-Hadis, As-Sunnah, Al-Khabar, dan Al-Atsar secara prinsipil ma’nanya sama, yaitu
مَاأَضِيْفَ إِلَى النَّبِىِّ e  مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ 
“Berita yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifatnya (fisik perangai, dan akhlak)”, baik sebelum maupun sesudah diutus menjadi rasul, dan terlepas apakah berita tersebut benar atau tidak.

            Memang ada pengertian lain yang menerangkan perbedaan antara istilah Al-hadis, al-khabar dan al-atsar. Namun, Dalam hal ini hanya dikutip pendapat mayoritas ulama yang mempersamakan makna semua istilah tersebut.
- Al Marfu, Al Mauquf, dan Al Maqtu’
  AlMarfu :
هُوَ مَا أَضِيْفَ إِلَى النَّبِىِّ  e  خَاصَّةً مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ مُتَّصِلاً كَانَ أَوْ مُنْقَطِعًا
“Adalah berita yang khusus disandarkan kepada Nabi , baik berupa ucapan, perbuatan, atau taqrir (persetujuannnya) Baik ia itu muttasil atau munqathi.”
- Al Mauquf :               مَا رُوِيَ عَنِ الصَّحَابَةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
                                                                                                                  
“Adalah berita  yang diriwayatkan dari sahabat baik berupa  ucapan, perbuatan, atau taqrir (persetujuannnya).”

Al Maqthu:                      مَا رُوِيَ عَنِ التَّابِعِيْنَ مِنْ أَقْوَالِهِمْ أَوْ أَفْعَالِهِ                                                                                                                              “Adalah berita  yang diriwayatkan dari tabi’in baik berupa  ucapan atau  perbuatan.”

Hadis Qudsi :
كُلُّ حَدِيْثٍ أَسْنَدَهُ رَسُوْلُ اللهِ e  أَسْنَدَهُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ . كَقَوْلِهِ e   قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Setiap hadis yang di adalamnya Rasulullah menyandarkan ucapan kepada Allah swt.”

2. Tadwinul Hadis

- Pengetahuan Orang Arab Tentang Tulis Menulis Sebelum Islam

            Bukti-bukti sejarah menunjukan bahwa orang-orang arab telah mengenal tulisan sebelum islam, pada waktu itu mereka menuliskan sejumlah peristiwa penting yang mereka alami pada batu. Dan tidak diragukan lagi bahwa daerah timur jazirah Arab dikenal dengan tulisan dan bacaannya, serta Mekah sebagai pusat perdagangan yang istimewa telah melahirkan para penulis dan pembaca yang ulung sebelum diutusnya Rasulullah, seperti Abu Sufyan bin Umayah, Bisyar bin Abdul malik, Abu Qais dan Amer bin Jurarah yang dikenal dengan sebutan katib. Disamping itu orang-orang Arab biasa memberikan gelar Al-Kamil bagi setiap orang yang mahir menulis, pandai memanah, dan jago renang. Walaupun mayoritas ahli syair pada waktu itu merasa lebih bangga dengan kemampuan hapalan dan kecerdasan mereka. Bahkan sebagian orang ada yang menyembunyikan pengetahuan tentang tulis menulis karena hawatir diketahui oleh orang lain.
            Berdasarkan keterangan-keterangan di atas maka kami menganggap riwayat yang menyebutkan bahwa pada masa itu di Mekah hanya ada 12 orang laki-laki yang mampu membaca dan menulis” perlu diteliti kembali kebenarannya. Meskipun demikian kami belum mendapatkan data-data yang akurat untuk memastikan berapa banyak jumlah orang yang mampu membaca dan menulis sebelum islam.
Adapun kata Ummi dalam Alquran yang ditujukan bagi orang-orang Arab pada umumnya tidak berarti bahwa semua orang Arab pada waktu itu tidak mampu membaca dan menulis, tetapi hal itu untuk menunjukan bahwa orang Arab yang mampu lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan orang Arab yang tidak mampu.

- Sebab-sebab sedikitnya Tulisan Pada Masa Rasulullah

            Merupakan sunnatullah bahwa wahyu yang diturunkan memerlukan adanya para pencatat sebagaimana halnya urusan-urusan kenegaraan. Seperti administrasi, perjanjian-perjanjian, dan lain sebagainya.

            Kalau melihat kenyataan sejarah pada masa Rasulullah hadis belum tercatat secara resmi seperti tercatatnya Al-Quran. Oleh karena itu perlu diteliti sebab-sebab tidak tercatatnya hadis secara resmi pada masa Rasulullah. Dan kita berupaya untuk mendapatkannya di antara ruang hadis dan atsar yang sahih dari sahabat dan tabiin.
 قَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ e قَالَ لاَتَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ القُرْآنِ فَلْيَمْسَحْهُ
“Abu Said berkata, : Sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Kalian jangan menulis apapun dari aku, dan barang siapa menulis sesuatu dari aku selain Al-Quran maka hapuslah.” (H.R. Muslim)
قَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ : اِسْتَأذنَّا النَّبِيَّ e فِي الكِتَابَةِ فَلَمْ يَأْذَنْ لَنَا
“Abu Said berkata, : Kami minta ijin kepada Nabi tentang tulis menulis, tetapi beliau tidak mengijinkan kami.”(Al-Muhaddisul Fasil, hal. 6)
رُوِيَ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ أَنَّهُ قَالَ : قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّا نَسْمَعُ مِنْكَ أَشْيَاءَ أَ فَنَكْتُبُهَا ؟ قَالَ أُكْتُبُوا وَلاَحَرَجَ
Diriwatkan dari Rafi bin Khadij, sesungguhnya ia berkata, “Kami bertanya, wahai Rasul sesungguhnya kami mendengar segala sesuatu dari engkau, bolehkah kami menulisnya? beliau menjawab, 'Tulislah oleh kalian dan hal itu tidak apa-apa.” (As-Sunnah Qobla Tadwin, hal. 304)

            Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ketika putuh makah bagi Rasulnya, maka Rasulullah berkhutbah kepada orang-orang, lalu berdiri seseorang dari penduduk Yaman yang disebut Abu Syah, ia mengatakan, “Wahai Rasul tuliskanlah untukku beliau bersabda, ‘Tuliskanlah untuknya.”(H.R. Ahmad)
           
            Dari keterangan-keterangan di atas kami berkesimpulan :
1. a. Persoalan larangan penulisan hadis terletak pada soal kekhawatiran tercampurnya antara Al-Quran dan hadis
 b. Setelah komunitas ummat islam semakin banyak dan mereka mampu membedakan aatara Al-Quran dan hadis maka penulisan diperbolehkan
2. Larangan menulis hadis ditujukan bagi orang-orang tertentu yang kuat hapalan atau ingatan, maka bagi yang takut atau hawatir lupa diperholehkan menulis

- Lembaran-lembaran Yang Tertulis Pada Masa Nabi

Pada masa Rasul saw. kita mengetahui adanya catatan hadis, baik yang berupa mushaf besar yang menyerupai musannaf al-hadis maupun berupa catatan yang terkumpul di tangan para sahabat, seperti :
1. Ash-Sahifah yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Ash. Dia sendiri mengatakan, “Aku hafal dari Nabi seribu misal,”. Abdullah sendiri merasa berbahagia dengan sahifah itu. Dia berkata,”tiada yang lebih menyenangkan aku di dalam hidup ini selain ash-sahifah ash-sadiqah dan al-wahtu (sebidang tanah di Taif yang diwaqafkan oleh ayahnya untuk diurus” -Sunan Ad-Darimi, I : 178,  Usdul Ghabah, III : 233)
2. Sahifah Ali bin Abu Thalib
Sahifah kecil yang mencakup akal, yaitu ukuran-ukuran diyat dan mencakup pula hukum-hukum pikakul asir (pembebasan) tawanan
3. Sahifah Sa’ad bin Ubadah
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Tirmidzi, dari Ibnu Sa’ad bin Ubadah: “Kami dapatkan dari kitab Sa’ad bin Ubadah, sesungguhnya Nabi saw. memutuskan dengan sumpah dan saksi.”
4. Yang ditulis oleh Nabi (melalui katib)
a. Kitab zakat dan diyat
Ditulis oleh Abu Bakar As-Sidiq.”Bahwa Rasul telah menulis kitabus sadaqah, tetapi beliau tidak mengeluarkannya sampai wafat.” (H.R. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi)
b. Surat beliau untuk Amr bin Hazm (‘amil beliau di yaman).
Di dalamnya mencakup usulul islam, metode dakwah, tata cara ibadah, dan mencakup pula bagian-bagian Jizyah, Zakat dan diyat. (H.R. Baihaqi)
c. Surat beliau kepad Wail bin Hujr, untuk kaumnya di Hadramaut, di dalamnya mencakup ushulul islam dan yang pokok dari muharramat.
d. Surat beliau kepada para raja dan pembesar-pembesar atau kepada perseorangan di kalangan Arab yang berisi seruan untuk masuk islam.
e. Surat-surat perjanjian dan persetujuan beliau, yang ditanda tangani beliau bersama kaum kuffar, seperti perjanjian hudaibiah, Tabuk dll.
5. Sahifah Abu Huraerah Untuk Hammam bin Munabbih.

            Hamman bin Munabbih bertemu dengan abu Hurairah dan banyak sekali menulis sadits Rasul darinya, kemudian ia himpun dalam satu musaf yang dinamai ash-salihah dan kadang-kadang dinamai pula ash-sahifah ahs-sadiqah milik Abdullah bin Amr.
            Sahifah ini memuat 138 hadis, dan Ibnu Hajar menerangkan bahwa Hammam mendengar dari Abu Hurairah kira-kira 140 hadis dengan satu sanad. (Tahdzibut-Tahdzib XI : 69)
            Semua keterangan di atas menunjukan telah terjadinya tadwinul hadis pada masa Rasululah sebagai gambaran bahwa tulis menulis dan kearsipan merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan dalam memelihara kemurnian sunah Rasul, dan sekaligus merupaka jawaban bahwa sebenarnya tadwinul hadis terjadi pada masa Rasul walaupun tidak secara besar-besaran.

3.  Perkembangan tadwinul hadis sejak masa  sahabat

- Masa khulafaur rasyidin

            Pada masa ini, khulafaur rasyidin secara sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan hadis. Namun periwayatan hadis pada masa  ini masih terbatas. Umar bin Al Khatab mulai berpikir bagaimana kalau hadis Rasul dikodipikasikan, namun beliau hawatir kaum musl,im terus menerus mengkaji hadis yang memang jumlahnya lebih banyak dari Al Quran. Pada suatu hari beliau berkhutbah yang isinya antara lain: “Barangsiapa yang memiliki dari tulisan itu walau hanya sedikit, maka hapuslah.”  (Jami’ bayanil Ilmi 1 : 65)
            Demikian pula ditemukan sejumlah riwayat yang menyatakan bahwa ulam-ulama besar sahabat memandang riskan terhadap penulisan hadis. Di antaranya Ali bin Abi Thalib menyatakan:
إِعْزَمْ عَلَى كُلِّ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ كِتَابٌ إِلاَّ رَجَعَ فَمَحَاهُ
“Aku putuskan agar setiap orang yang memiliki tulisan mengembalikan dan menghapusnya.” (Ibid.)

            Meskipun demikian, ternyata ada pula sahabat-sahabat lain yang menulis hadis pada masa Rasulullah. Di antaranya  Umar bin Al Khatab sendiri yang pernah menyatakan ketidak setujuannya akan penulisan hadis, ternyata menyatakan, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (Ibid., I : 72) Demikian pula Abu Bakar menyatakan kesetujuannya.
            Tampaknya yang menjadi penyebab berubahnya pandangan para sahabat yang tidak setuju akan penulisan hadis adalah setelah terbukti adanya beberapa perintah Nabi dan hilangnya sebab-sebab yang dikhawatirkan, terutama setelah Al Quran dikumpulkan dalam benrtuk mushaf yang kemudian dikirim ke segenap penjuru negeri.
            Keterangan-keterangan di atas cukup menjadi bukti bahwa tadwinul hadis benar-benar terjadi pada jaman sahabat, bahkan di antara para sahabat yang pernah melarang pun toleran dan menyatakan perlunya penulisan hadis-hadis, yang tentunya hal ini terjadi belum secara menyeluruh.

- Pada masa tabi’in

            Pada masa tabi’in belum terjadi tadwinul hadis secara besar-besaran, karena masih ditemukan keengganan beberapa tabi’in besar untuk kodifikasi hadis ini. Di antaranya Amir bin Asy-Sya’bi pernah menyatakan:
مَا كَتَبْتُ سَوْدَاءَ فِى بَيْضَاءَ وَلاَ سَمِعْتُ مِنْ رَجُلٍ حَدِيْثًا فَأَرَدْتُ أَنْ يُعِيْدُهُ عَلَيَّ
“Aku tidak menuliskan sihitam di atas yang putih dan aku tidak mendengar sebuah hadis pun dari seseorang, maka aku hanya ingin mengulangnya untukku.” (Ibid., I :67)

            Keengganan mereka untuk mencatat hadis-hadis yang mereka riwayatkan tiada lain karena merasa hawatir jika hadis-hadis tersebut bercampur-baur dengan patwa-patwa tabi’in, sebab pada masa itu semakin banyak patwa tabi’in yang dicatat.
            Meskipun demikian, pada masa itu harakah penulisan hadis terus berlangsung sehingga betul-betul memasyarakat, terutama menjelang berakhirnya abad pertama Hijriyah pada masa kekhalipahan Umar bin Abdu Ajiz. Dan tidak diragukan lagi bahwa pada masa inilah hadis-hadis secara resmi mulai di kodipikasikan, dipelopori oleh Ibnu Syihab Az Zuhri (124 H‎.) dan Abu Bakar bin Hazm (177 H.) pada tahun 99 H. atas perintah Khalifah Umar Bin Abdul Ajiz.
Khalifah pun tidak merasa cukup dengan surat beliau kepada Ibnu Syihab dan Ibnu Hazm. Oleh karena itu beliau mengirimkan pula beberapa surat ke segenap penjuru negeri memperkuat permintaan beliau, sekaligus memberikan motifasi pada semua ahli ilmu untuk memperdalam sunnah Rasul dan menghidupkannya.
            Pada masa itu mulai terbentuk manhaj atau metodologi  untuk menyeleksi hadis atau khabar yang datang, terutama sekali yang berkenaan dengan Rasulullah dan para sahabatnya. Di tangan Az-Zuhri-lah lahirnya asas-asas manhaj tadwinul hadis yang beliau rangkum dalam kitabnya yang khusus.  Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Ajiz dan kawan-kawan dari kalangan tabi’in ternyata bukan pertanda selesainya urusan tadwinul hadis, karena di situ masih terdapat kekurangan yaitu masih terjadi percampuran antara qaul Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi’in.

- Masa at-tabi’ut tabi’in

            Memasuki abad kedua Hijriyah mulailah bermunculan kitab-kitab hadis yang ditadwin serta mushaf-mushaf dalam waktu yang tidak berjauhan. Pada kurun inilah mulai bermunculan istilah-istilah para penyusun yang menamai kitab susunan mereka dengan musanaf, Jami’ atau majmu’ dan masih ada istilah-istilah lain. Akan tetapi tidak terjadi kesepakatan siapa di antara mereka yang menyusun kitab secara musanaf   yag mubawab. Kita sebut saja di sini nama-nama para ulama yang diperselisihkan. Antara lain: Di Makah; Abudul Malik Bin Abdul Aziz Bin Juraij (151 H.)  Di Madinah; Malik Bin Anas dengan Al-Muwaththa’nya (179 H.) Atau Muhamad Bin Isaq (151 H.) Di Basarah : Muhamad bIn bdurahman Bin Abi Dzi’bin (158 H.) Dengan Muwaththa’nya yang dikatakan lebih besar ari Al-Muwaththa’nya Imam Malik Bin Anas. Atau Said Bin Abi Arubah(156 H) Di Kufah: Sufyan As-Sauri (153 H.) Di Syam: Imam Al-Auaz’i (157 H.) Di Yaman: Ma’mart Bin Rasyid (153 H.) Di Khurasan, Abdullah BinAl-Mubarak (181 H.) Di Washit: Khusyaim Bin Bashir (183H.) Di Ray: Jarir Bin Abdul Humaid (188 H.) Di Mesir; Abdullah Bin Wahab
            Dari nama-nama tersebut di atas, kitab-kitab mereka pun disebut dengan nama berlainan. Ada yang dengan sebutan Musanaf, Jami’, atau terkadang hanya di sebut mualaf. Adapun yang paling terkenal yang memuat hadis-hadis Rasulullah, fatwa-fatwa sahabat dan fatwa-fatwa tabiin adalah kitab Al-Muwatha’nya Imam Malik Bin Anas.
            Setelah itu muncul pula cara penulisan dengan sistim Musnad. Dan yang paling pertama menyusun dengan cara susunan seperti ini adalah Abu Daud Sulaiman At-Thayalisi (204 H.) Kemudian di ikuti oleh para imam semasanya, seperti: Al-Asad Bin Musa Al-Amawi (212 H.) Kemudoan cara seperti ini pun ditempuh oleh imam-imam setelah mereka. Antara lain: Ahmad Bin Hanbal (241 H) Isaq Bin Rahawaih(237 H) dan Usman Bin Abu Syaibah (239 H). Akan tetapi ternyata Musnad mereka masih tercampur antara yang sahih dan yang daif. Musnad yang diakui paling besar adalah Musnad Ahmad bin Hanbal, di sampng paling luas. Akan tetapi Musnad-musnad di atas telah terbebas dari tercampurnya dari hadis-hadis maudu.

- Masa mutakhir dari masa periwayatan
            Memasuki kurun ketiga, tampilah Muhamad Bin Ismail Al-Bukhari (261 H). Beliaulah yang pertama kali memisahkan hadis-hadis yang sahih saja. Kemudian cara beliau seperti ini diikuti oleh ulama semasanya yang sekaligus muris beliau, yaitu Imam Muslim Bin Hajaj (261H). Dan langkah Imam Al-Bukhari ini diikuti pula oleh imam-imam semasanya, yang pada dasarnya tidak mencapai kesahihan kumpulan hadis keduanya, bahkan masih banyak kekurangan. Diantaranya: Abu Daud Sulaiman Bin As-as As-Sijistani (275 H) dengan sunannya. Kemudian menyusul Abu Isa Muhamad Bin Isa At-Tirmidzi (627 H) dengan sahihnya, walaupun pada kenyataannya masih banyak didapat hadis-hadis yeng ternyata daif. Kemudian Ahmad Bin Syuaib An-Nasai(303 H) dengan sunannya. Setelah itu Ibnu Majah, Abdulah Bin Muhamad Bin Yazid (237 H). Masa inilah masa puncak tadwinul hadis yang sekaligus dikenal dengan sebutan tabwibul jam’i
            Masuk kurun keempat H., pada ini pun banyak kitab-kitab yang disusun walaupun tidak sebanyak kurun ketiga. Di antaranya masih bersandar kepada kitab-kitab sebelumnya. Yang cukup termashur pada masa ini antara lain Imam At-Thabrani (360 H.). Beliau menyusun tiga kitab besar; 1. Al-Mu’jamul Kabir, 2. Al-Mu’jamul Ausath, dan 3. Al-Mu’jamush Sagir. Kemudian menyusul Ad-Dara Quthni (385 H.) dengan Sunan-nya. Setelah itu Ibnu Hibban (364 H.) dengan kitab Sahih-nya, walau pada kenyataannya Sahih Ibnu Hibban ini tidak semuanya sahih, bahkan masih di bawah Sahih-nya Imam At-Tirmidzi. Setelah itu Ibnu Khuzaimah (311 H.) dengan Sahih-nya pula. Dan tingkat sahihnya masih di bawah Ibnu Hibban. Terakhir Imam At-Tahawi (321 H.).
Pada kurun selanjutnya tidak terlalu banyak kitab hadis yang disusun, yang ada hanyalah susulan-susulan (istidrak), seperti yang dilakukan oleh Abu Abdullah Al-Hakim. Beliau meneliti ulang hadis-hadis Al-bukhari dan Muslim yang tidak dimasukkan ke dalam kedua kitab Sahih-nya.
4) Rihlah fi thalabil hadis
Rihlah (bepergian) dalam mencari hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Bagdadi, mengandung dua maksud/tujuan: Pertama, mendapatkan sanad ‘ali (sehingga jarak antara orang yang rihlah dengan Rasul lebih dekat), dan mendahului sima’ pada seorang syaikh daripada orang lain. Kedua, menemui para hafizh, berbicara langsung dengan mereka, dan mengambil ilmu dari mereka. Dan jika dua hal di atas ada di negerinya sendiri dan tidak ada dinegeri lain, maka rihlah tidak begitu berguna. Itu sebabnya para ulama lebih mengutamakan mencari hadis di negeri sendiri.

- Pengaruh rihlah dalam menyatukan nash dan tasyri’
            Perjalanan para pencari hadis mampu memperkokoh hubungan di antara negara-negara Islam di dunia. Pengembaraan mereka terbukti telah mempererat ikatan Timur dan Barat, seperti banyaknya ulama yang tidak lagi menetap di satu daerah, bahkan negerinya sendiri. Mereka berpindah ke berbagai kota. Dalam kitab-kitab Tabaqat sering dijumpai penisbahan rawi kepada negeri asalnya dan menunjukkan kepada negeri tempatnya menetap, misalnya Nazzar bin Abdul Aziz orang Baghdad yang datang ke mesir (Tarikh Baghdad XIV:437).
            Di samping itu, pengaruh rihlah mereka bagi hadis sendiri sangatlah positip. Paling tidak dapat menyatukan nash dan tasyri’, sekalipun sumber asal riwayatnya berbeda-beda, karena pada mulanya hanya diriwayatkan oleh orang-orang dari satu daerah saja, kemudian berkembang dengan perbedaan ungkapan sesuai dengan perawinya di daerah masing-masing. Dan pada gilirannya riwayat yang berbeda-beda itu sedikit demi sedikit lebur dalam satu acuan. Sebagai contoh, hadis:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesungguhnya amal-amal itu beserta niat”.
            Abdurrahman bin Mahdi (198 H,) mengatakan, “Seseorang yang hendak mengarang sebuah kitab ilmu seyogyanya memulai dengan hadis ini.” Senada dengan itu ialah penegasan Imam Al-Bukhari, “Barang siapa hendak menyusun sebuah kitab, hendaknya ia memulai dengan hadis niat tersebut.”  Sebagaimana kita ketahui, Imam Al-Bukhari menjadikan hadis niat ini sebagai pembuka kitab Sahih-nya. Begitu pula dengan ulama-ulama lain yang memulai penyusunan kitab hadis dengan hadis niat tersebut.
            Kita akan menemukan hadis niat menjadi pembuka pada banyak kitab hadis. Sedangkan matannya hampir seluruhnya sama, sehingga timbul kesan bahwa hadis-hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat mutawatir, antara lain hadis tersebut telah diriwayatkan oleh banyak orang yang diterima dari banyak orang pula. Padahal sebenarnya hadis ini, sebagaimana dinyatakan oleh Ath-thabari, cuma diriwayatkan oleh Umar. Dari Umar hanya diterima oleh Alqamah. Dari Alqamah hanya diterima oleh Muhammad bin Ibrahim. Dari Muhammad hanya diterima oleh Yahya bin Sa’id. (Fathul Bari I:18). Jadi, hadis ini tidak mutawatir sanadnya, karena Umar hanya meriwayatkannya sendirian. Lebih jauh dari itu hadis tersebut hanya dikenal di Madinah, tetapi kemudian menyebar ke kota-kota lain dengan bentuknya yang terkenal. (Ulumul Hadis, hal. 59).
            Ini merupakan bukti kongkret bahwa perjalanan mencari hadis berpengaruh bagi penyatuan nash (teks) hadis dan memindahkannya dari daerah tempat asalnya ke berbagai daerah yang beragam. Hal itu terjadi karena adanya rihlah para rawi, mereka saling bertemu dan menceritakan hadis yang mereka terima kepada orang-orang yang mereka jumpai dalam perjalanan.
            Dampak rihlah tidak hanya sekedar dapat menyamakan nash-nash seperti yang terjadi pada hadis niat itu, tetapi lebih jauh lagi dapat menyatukan tasyri’ dan aqidah. Dari hadis ini, misalnya Imam Syafi’i menggali 70 masalah fiqih. Demikian pula para ulama lainnya menemukan banyak masalah fiqih dari hadis tersebut.

- Pengaruh Warna kedaerahan dalam perkembangan hadis
            Madinah ,“Negeri Sunnah”, yang sangat dihormati dan sangat bersejarah bagi Rasulullah saw. adalah tempat pertama suburnya kemunculan hadis. Di sana para sahabat saling mengutip hadis yang berkembang dari mulut ke mulut. Kemudian pada gilirannya, para tabi’in mengambilnya dari mereka dengan cara yang sama. Pada awal kemunculannya hadis bercirikan warna kedaerahan.
            Penduduk daerah-daerah lain yang tengah menunaikan ibadah haji di Baitullah selalu menyempatkan diri singgah di madinah untuk mendengar hadis langsung dari mulut penduduknya, seperti yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyyah: “Kami pernah mendengar riwayat dari para sahabat Rasul di Bashrah, tetapi kami masih kurang puas sebelum ke Madinah, dan mendengar sendiri dari lisan mereka.” Bahkan Ibnul Madini dengan terus terang mengatakan, “Aku menunaikan haji, tujuanku tiada lain hanyalah agar dapat mendengar hadis.” (Sunan At-Tirmidzi I:196).
            Apabila penduduk Madinah pada awal pertumbuhan hadis, menyendiri dalam periwayatan sebagian banyak Sunnah Nabi, maka demikian pula halnya dengan penduduk wilayah lain dalam waktu dekat mulai meriwayatkan sendiri kumpulan hadis yang mula-mula hanya terkenal di wilayah sendiri. Kemudian sesudah melalui waktu yang relatip, hadis-hadis menjadi tersiar di banyak negeri lewat lisan para perawi.
            Karena itu, dalam kitab-kitab hadis kita sering menemukan ungkapan “hadis ini diriwayatkan sendirian oleh penduduk Madinah”, “ini adalah hadis penduduk Syam”, dan lain sebagainya.

- At-Tasyaddud (sangat keras) dalam urusan sanad
            Apabila perjalanan mencari hadis itu berpengaruh bagi penyatuan tasyri’ dan i’tiqad, maka konsekwensinya menuntut adanya upaya memperketat atau bersikap selektif dalam urusan sanad. Setiap orang  yang namanya disebut dalam sanad harus benar-benar di kenal dan diketahui, karena “mengetahui rijal-rijal hadis adalah separuh ilmu” , demikian yang dinyatakan Ali Al-Madini.
            Oleh karena itu, para ulama menetap syaratkan bagi diterimanya riwayat dari seseorang yang menyatakan dirinya telah mencari hadis, bahwa hendaknya ia dapat menyebutkan di luar kepala seluruh nama rawi yang menjadi silsilah hadis tersebut. Tujuannya adalah untuk mengetahui bahwa orang tersebut memang benar-benar telah mendengar apa yang ia riwayatkan. Jika tidak demikian, ia dapat dianggap perawi tasahul (serampangan), dan hadisnya tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
Setelah sejumlah kitab hadis disusun, perjalanan mencari ilmu masih dirasakan perlu dilakukan. kitab-kitab tersebut memang dapat menjadi jalan pintas bagi mereka yang tidak ingin bersusah payah dan suka serampangan. tetapi, orang yang memuliakan ilmu dan ingin menemukan kebenaran tentu tidak akan merasa puas hanya dengan membaca kitab-kitab hadis yang ada. Keinginan itulah yang selalu menggoda orang-orang yang tidak hendak berpuas diri, yang tetap melakukan rihlah mencari hadis.

- Kedudukan orang yang tasahul dalam urusan hadis.
            Abu Bakar Ahmad, yang lebih dikenal dengan sebutan Al Khatib Al Bagdadi (1460 H.) telah memperingatkan orang yang tasahul (ceroboh) dalam urusan hadis. Dalam muqadimah kitabnya Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah Al Khatib berkata, “Ada segolongan orang pada jaman kita yang mengerahkan kegenap kemampuannya untuk menulis hadis. Mereka dengan giat mengumpulkan hadis tidak dengan cara-cara yang lazim dilakukan oleh para ulama terdahulu dan tidak pula mempertimbangkan keadaan rawi dan riwayat menurut cara pandang ulama salap. Mereka tidak membedakan cara yang buruk dengan cara yang baik, tidak bersandar pada hukum-hukum yang terdapat pada hadis, mereka sudah merasa puas mendapatkan hadis meski hanya namanya saja, yang penting bagi mereka bahwa mereka telah menulisnya dalam lembaran-lembaran catatan hadis. Mereka orang-orang yang bodoh membawa kitab-kitab besar dengan sikap pamer. Sayangnya mereka telah menanggung kesulitan serta kepayahan dalam pengembaraan dalam pencarian hadis ke negeri-negeri yang jauh. Mereka hadapi segala rintangan, bahkan rela mengorbankan jiwa dan hartanya. Penampilan mereka menjadi menyedihkan yaitu dengan rambut kusut, muka pucat, dan kelaparan. Mereka kehabisan waktu-waktunya pergi ke negeri-negeri jauh demi mencari sanad yang ‘ali. Mereka hanya menginginkan itu. Mereka menerima hadis dari orang-orang yang diragukan kejujurannya. Mereka meriwayatkan hadis dari orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kesahihan hadisnya. Mereka berhujjah dengan orang yang tidak dianggap baik bacaan sahifahnya (catatan) dan tidak memenuhi sedikitpun dari sarat-sarat periwayatan...”  (Al Kifayah, Hal. 3-4)
5. Lembaga-lembaga hadis dan gelar-gelar para muhadis.
- Lembaga hadis dan pengaruhnya pada rihlah.
            Pada abad keenam Hijriyah kehidupan ummat Islam kelihatan agak lesu karena melemahnya kegiatan pencarian hadis. Samapai pada abad tersebut dalam masyarakat Islam belum terdapat madrasah-madrasah husus mengajarkan hadis. Madrasah madrasah yang ada hanya mengajarkan fiqih secara mendalam berikut mazhab-mazhabnya, di samping pemikiran para mujtahid yang tersebar di mana-mana. Tujuannya hanya untuk membentuk kader-kader qadi atau hakim dan tenaga legeslatif.
            Pada abad keenam itu, untuk pertama kali berdiri madrasah hadis atas prakarsa Nuruddin Mahmud bin Abi Sa’id Zanki wafat 569 H., yang namanya kemudian diabadikan dengan mendirikan madrasah di Damasqus. Salah seorang guru di madrasah tersebut adalah Ibnu Asakir penyusun kitab Tarih Madinatu Damsyik (yang terdiri dari 80 jilid). (Ulumul Hdis, Hal. 73)
            Puluhan tahun berikutnya, di Kaira berdiri pula madrasah hadis atas prakarsa  penguasa Al-Kamil Nasyiruddin. Peresmiannya dilakukan pada tahun 622 H., Abu Al-Khatab bin Dahyah (w. 633 H.) adalah guru pertama di sana.
            Empat tahun setelah itu, di Damaskus berdiri lagi madrasah Al Asyrafiyah pada tahun 626 H. Pengajar pertamanya ialah Abu Amr bin Ash-Salah yang wafat 643  H. dan Imam An-Nawawi (w. 676 H.) turut mengajar pula di madrasah tersebut.
            Di Damaskus juga berdiri beberapa madrasah hadis lagi, namun pengelolaannya tanpak tidak terlalu serius, sehingga tidak heran jika usianya tidak bertahan lama. Hal ini diSebabkan oleh madrasah ini hanya dijadikan batu loncatan untuk meraih jabatan pemerintahan. Hal itu tidak memenuhi kebutuhan orang-orang yang haus akan hadis, sehingga mereka harus berkelana lagi ke berbagai negeri.
- Laqab-Laqab Para Muhadis.
            Para Ulama tidak hanya memberikan berbagai gelar kepada orang yang suka mengembara mencari hadis, tetapi juga kepada yang mempelajarimya baik itu dilakukan di negerinya sendiri maupun di negeri orang lain. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkatan dan ragam kesilitan di dalam menerima dan menyampaikan hadis:
1. Al Musnid
هُوَ مَنْ يَرْوِى الحَدِيْثَ بِسَنَدِهِ سَوَاءٌ  أَكَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ بِهِ أَمْ لَيْسَ إِلاَّ مُجَرَّدُ الرِّوَايَةِ
2. Al Muhaddis
هُوَ مَنْ يَشْتَغِلُ بِعْلِمِ الحَدِيْثِ رِوَايَةً أَوْ دِرَايَةً وَيُطْلِعُ عَلَى كَثِيْرٍ مِنَ الرِّوَايَاتِ وَأَحْوَالِ رُوَاتِهَا
3. Al Hafidz
هُوَ مَنْ حَافَظَ مِائَةَ أَلْفِ حَدِيْثٍ مُسْنَدَةٍ
4. Al Hujjah
هُوَ مَنْ أَحَاطَ بِثَلاَثِ مِائَةِ أَلْفِ حَدِيْثٍ مُسْنَدَةٍ
5. Al Hakim
هُوَ مَنْ أَحَاطَ بِالسُّنَّةِ وَلَمْ يُفْتِهِ إِلاَّ اليَسِيْرَ
6. Amirul mu’minin fil hadis
هُوَ مَنْ فَاقَ حِفْظًا وَإِتْقَانًا وَتَعَمُّقًا فِى عِلْمِ الحَدِيْثِ وَعِلَلِهِ
            Amirul mu’minin adalah merupakan tingkatan gelar yang tertinggi, di mana ia menjadi rujukan bagi gelar tingkatan di bawahnya. Tingkatan gelar ilmiyah ini ditinjau dari segi hapalan dan pemahaman bukan karena banyaknya catatan atau kitab, sehingga orang yang memiliki banyak catatan atau kitab, namun tidak hapal, maka tidak dipandang sebagai ahli ilmu hadis.
            Barangkali sifat hafidz yang terpenting, seperti yang didefinisikan oleh para ulama, dia memiliki pemahaman yang cukup luas mengenai para rawi dan guru-gurunya berikut martabat mereka.
            Para ahli hadis yakin bahwa penyandang predikat al-hafidz saat ini sudah sangat langka, bahkan hampir tidak ada. Sarat-saratnya yang begitu berat menyebabkan tidak sembarang orang mampu memenuhinya. Maka predikat al-hafidz ini memang harus menjadi milik para ahli hadis saja.
6. Periwatan hadis
- Periwayatan hadis bil lafdzi wal ma’na.
            Kebanyakan sahabat lebih mengutamakan riwayat dengan lafadz. Seorang sahabat pernah ditanya, “Mengapa kamu tidak menceritakan hadis seperti sipulan atau sipulan.” Ia menjawab, “Tentu saja, karena apa yang aku dengar tidak seperti apa yang mereka dengar, atau apa yang aku saksikan tidak seperti apa yang mereka saksikan. Kadang-kadang orang suka berlebih-lebihan, tetapi apa yang aku dapatkan sudah cukup. Aku tidak suka menambah maupun mengurangi hadis Rasulullah.” (Al Kifayah, Hal. 172)
            Karena itulah para sahabat sangat berhati-hati untuk mengubah lafadz hadis Nabi atau mengngantikan suatu kalimat denga kalimat lain meskipun secara makna sama.
            Pada masa tabi’in dan generasi sesudahnya sebagian besar rawi hadis menyampaikan riwayat dengan lafadz persis yang diucapkan oleh Rasululllah, walaupun ada di antaranya yang berpendapat tidak apa-apa meriwayatkan hadis menurut maknanya saja.
- Penerimaan sahabat terhadap perubahan lafadz hadis.
            Para ulama melarang meriwayatkan hadis berdasarkan makna kecuali untuk sahabat. Abu Bakar bin Al-Arabi mengatakan, “Sesungguhnya perbedaan ini hanya ada pada masa sahabat saja. Adapun selain dari mereka tidak diperbolehkan mengganti lafad dengan makna, walaupun makna tersebut dianggap cukup (sesuai)... Karena setiap orang sampai zaman kita sekarang ini telah mengubah apa yang ia kutip dan menggati huruf dengan huruf lain semaunya sendiri, sehingga secara keseluruhan keluar dari hadis Rasul. Berbeda halnya dengan para sahabat, sesungguhnya memiliki dua hal sekaligus; Pertama,  kefasihan dalam berbicara, mengingat perangai mereka dalah Arab dan bahasanya adalah cermin tabi’at serta budi pekertinya. Kedua, karena mereka menyaksikan sendiri sabda dan perbuatan Nabi saw. Penyaaksian itulah yang secara keseluruhan dapat memantapkan faidah dan memenuhi semua sasaran. Orang yang memperoleh khabar tidak seperti orang yang melihat dengan mata kepala sendiri. Tidakkah anda melihat mereka dalam setiap hadis selalu mengatakan: “Rasulullah saw. menyuruh demikian” dan “Rasulullah melarang perbuatan begini.” tanpa menyebutkan lafadznya?  Itulah hadis yang sahih dan kutipan yang kuat, yang seharusnya dijelaskan.” (Ahkamul Quran I : 10)
- Sarat-sarat riwayat bil ma’na
       Ulama yang memperbolehkan riwayat hadis berdasarkan makna menentukan beberapa persaratan. Di antaranya;
1. Rawinya haruslah seorang yang ahli ilmu Nahwu, Saraf, dan ilmu bahasa.
2. Harus mengerti konitasi-konotasi lafad dan maksud-maksudnya
3. Harus memahami perbedaan lafadnya
4. Mampu menyampaikan hadis dengan tepat
            Al-Ashma’i berkata, “Saya hawatir orang yang tidak mengerti bahasa Arab termasuk dalam sabda Nabi, “Siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka.”  (Ikhtisar Ulumil Hadis : 162)
7.Metode Penerimaan hadis dan bentuk-bentuk penyampaiannya
            Adapun mengenai metode penerimaan dan bentuk-bentuk penyampaian Ah-hadis atau Al-Khabar terdapat beerapa istilah yang mu’tabar
a. As -Sima’ : Adalah seorang Syaikh membacakan hadis, baik dari hapalanmnya maupun dari catatannya, sedangkan yang hadir mendengarkan lafadznya.
Bentuk penyampaiannya:     سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنِى أَوْ حَدَّثَنَا أَوْ ثَنَا
b. Al-Qiraah (Ardhun) : Adalah murid membaca, baik dari hafalannya maupun catatannya. Sedangkan syaikh mendengarkan bacaan itu.
Bentuk penyampaiannya          أَخْبَرْنَا أَوْ حَدَّثْنَا قِرَائَةً عَلَيْهِ  
c. Al-Ijazah: Adalah izin untuk meriwayatkan, baik secara lisan maupun tulisan. Misalnya syaikh mengatakan, “Aku izinkan kamu untuk meriwayatkan Sahih Al Bukhari dariku.”
Bentuk penyampaiannya: أَجَازَلِي فُلاَنٌ أَوْ حَدَّثَنَا إِجَازَةً أَوْ أَخْبَرَنَا إِجَازَةً
 d. Al Munawalah : Al Munawalah ada dua macam:
d.1 Disertai dengan izin, yaitu syaikh menyerahkan kitab atau catatannya kepada murid seraya berkata, “Ini riwayatku dari sipulan, maka riwayatkanlah olehmu dariku.”
d.2.Tidak disertai izin, yaitu syaikh menyerahkan catatannya kepada murid dengan hanya mengatakan, “Ini adalah riwayat yang saya dengar.”
Bentuk penyampaiannya:      حَدَّثَنَا مُنَاوَلَةً أَوْ أَخْبَرَنَا مُنَاوَلَةً وَإِجَازَةً
e. Al-Kitabah : Adalah syeikh menulis riwayat yang ia dengar untuk orang yang hadir atau yang tidak hadir baik dengan tulisan sendiri atau tulisan orang lain atas perintahnya. Al Kitabah ada dua macam:
e.1.Disertai dengan izin. Misalnya syekh mengatakan, “Aku izinkan kamu meriwayatkan apa yang aku tulis untukmu.”
e.2 Tidak disertai izin, seperti syeikh menulis sebagian hadis untuk muridnya tanpa disertai izin untuk meriwayatkannya.
Bentuk penyampaiannya:          حَدَّثَنِى فُلاَنٌ أَوْ أَخْبَرَنِى كِتَابَةً
f. Al-I’lam: Adalah syeikh memberitahukan kepada murid bahwa hadis ini atau kitab ini adalah yang ia dengar
Bentuk penyampaiannya:                أَعْلَمَنِى شَيْخِى بِكَذَا
g. Al-Washiyyah: Adalah syeikh mewasiatkan sebelum wafatnya atau sebelum safarnya kepada seseorang dengan satu kitab yang ia riwayatkan.
 Bentuk peyampaiannya:                    حَدَّثَنِى فُلاَنٌ وَصِيَّةً
h. Al-Wijadah: Adalah murid menemukan beberapa buah hadis riwayat seorang syeikh yang ia kenal tetapi ia tidak mendengar hadis darinya atau mendapatkan izin untuk meriwayatkannya, kemudian ia menyusun sanad darinya.
Sigat penyampaiannya:  وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلاَنٍ أَوْ قَرَأْتُ بِخَطِّ فُلاَنٍ كَذَا
8. Cakupan ulumul hadis
- Ad-Dirayah dan Ar-Riwayah
Ilmu hadis Ar-Riwayah adalah:
هُوَ عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى أَقْوَالِ النَّبِيِّ e وَأَفْعَالِهِ وَتَقْرِيْرَاتِهِ وَصِفَاتِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرِ أَلْفَاظِهَا
“Ilmu yang mencakup atas ucapan-ucapan Nabi, perbuatan-perbuatannya, takrirnya, sifat-sifatnya, periwayatannya, pembenarannya, dan penuliasan lafadznya.” (Manhajun Naqd: 30)
Ilmu hadis Ad-Dirayah adalah:
هُوَ عِلْمٌ بِأُصُوْلٍ وَقَوَاعِدَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالمَتْنِ مِنْ حَيْثُ القَبُوْلُ وَالرَّدُّ
“Ilmu tentang dasar-dasar dan kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad dan matan dari segi deterima dan ditolaknya.” (At Taisir: 15)

            Istilah lain yang lazim dipakai oleh para ulama ahli hadis bagi ilmu ini ialah Ulumul Hadis, Musthalah Hadis , dan Ushulul Hadis.

- Hal ihwal rawi dan marwi ( riwayat)

            Rawi adalah orang yang menyampaikan hadis sekaligus dengan sanadnya.
Mengenai keadaan para rawi, dalam arti mereka dapat deterima atau ditolak tergantung pada cacat dan adilnya, asal-usul dan latar belakang keluarganya, serta mengenai lahir dan wafatnya.
            Adapun marwi pada umumnya adalah sesuatu yang disandarkan kepda Nabi atau kepada yang lainnya yaitu sahabat dan tabi’in.
            Keadaan marwi harus memenuhi beberapa sarat riwayat antara lain: Apakah sanad-sanadnya muttashil (bersambung) atau ‘inqitha (terputus), mu’dhal  atau yang serupa dengannya.
- Makna penerimaan rawi dan marwi serta penolakkannya.
            Kalau berbicara tentang diterima atau tidaknya rawi yang meriwayatkan, bukan berarti yang diterima harus diamalkan dan yang ditolak tidak boleh diamalkan. Tapi yang kami maksudkan dengan diterima dan dotolaknya itu hanyalah dari segi penukilan (pengutipan)nya saja. Jadi kalau kita siap menerima seorang rawi, itu artinya kita menganggap benar apa yang diriwayatkannya dan siap untuk menggunakannya. Kalau kita menolaknya, itu artinya kita tidak menganggapnya dan membiarkan apa yang diriwayatkannya. Begitu pula kalau kita menerima marwi, itu artinya kita meyakini keabsahannya. Sebaliknya kalau kita menolaknya berarti kita meragukan keabsahannya.
- Ilmu Al-Jarh dan At-Ta’dil
            Ilmu ini membahas tentang hal ihwal para rawi, sekitar masalah yang membuat mereka tercela atau bersih, dengan menggunakan lafad-lafad tertentu. Ini adalah buah ilmu hadis dirayah dan merupakan bagian terbesarnya.
            Banyak yang menelaah ilmu ini, mulai dari para sahabat hingga ulama-ulama ahli hadis. Dari kalangan sahabat ialah: Ibnu Abas (96 H) dan Anas bin Malik (93 H). Dari para tabi’in seperti: As-Sya’bi (104 H) dan Ibnu Sirin (110 H). Dari tabi’in yang lebih muda ialah: Al-A’masy (148 H), Syu’bah (160 H) dan malik (179 H). Kemudian menyusul Ibnul Mubarak (181 H), Ibnu Uyainah (197 H) dan Abdurrahman bin Mahdi (198 H). Pengembangan ilmu ini mencapai puncaknya pada masa Yahya bin Main (233 H) dan Ahmad bin Hanbal (241 H).
- Ilmu Rijalul Hadis
            Ilmu ini mencakup tanggal kelahiran wari, kewafatannya, ayahnya, nama jelasnya/lengkapnya, kunyahnya, kuat lemahnya di dalam periwayatan hadis dan lais sebagainya tenttang hal ihwal dan keadaan para rawi. Maka dengan ilmu ini dapat diketahui layak dan tidak layaknya seseorang  menjadi perawi hadis.
            Orang pertama yang memeliki kedudukan yang paling tinggi dibidang ini adalah imam Al-Bukhari (256 H). Dalam bukunya At-Thabaqat, Ibnu Sa’ad (230 H) juga banyak menjelaskannya.
- Ilmu Mukhtalaful Hadis
            Ilmu yang membahas hadis-hadis yang bertentangan secara tekstual, namun ada kemungkinan hadis itu menjadi diterima dan bahkan sampai diamalkan setelah melalui proses penggabungan, penyaringan dan syarat-syarat lainyya yang sudah ditentukan.
            Para penulis ilmu ini antara lain: Imam As-Syafii (204 H), Ibnu qutaibah (274 H), dan Abu Yahya Zakariya bin Yahya As-Saji (307 H).
- Ilmu ‘Ilalul Hadis‏‏‏‏‏‏‏‏‏
            Ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keabsahan suatu hadis, seperti memutasilkan hadis yang munqothi, memarfu’kan hadis yang maukuf. Ilmu ini menentukan apakah suatu hadis termasuk dhaif, sekali pun lahirnya hadis tersebut seperti tidak berilat dan sahih. Dengan kata lain ilat hadis ini ditemukan kemudian setelah pernah disangka sahih atau paling tidak hasan. Ilah hadis tidak dapat diketahui kecuali oleh orang-orang yang mendalaminya dan memeliki ilmu dan ketelitian yang lebih
            Di antara penulis ilmu ini adalah: Ibnul Madini (234 H), Ibnu Abi Hatim (237 H), dan Ad-Daruqutni (375 H).
- Ilmu Gharibul Hadis
            Ilmu yang membahas dan menjelaskan lafad-lafad yang terdapat dalam hadis Rasul yang sukar diketahui dan tidak dipergunakan lagi oleh kebanyakan orang arab sendiri.                                                         Penulis kitab pertama tentang ilmu tersebut ialah: Abu Ubaidillah, Ma’mar bin Al-Mutsanna Al-Bisri (210 H)
- Ilmu Nasikh dan Mansukh hadis
            Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin dijam’u. Penulis kitab tentang nasikh dan mansukh hadis antara lain Ahmad bin Isaq Ad-Dinari (584 H) dan Ibnul Jauzi (597 H).
9. Maratib (tingkatan kitab-kitab hadis)
- Thabaqat Kitab hadis
            Thabaqat tingkat pertama: Sahih Al-Bukhari dan Muslim, serta Muwatha Malik bin Anas. Di sana diberikan klasifikasi hadis-hadis yang mutawatir, yang sahih, dan yang hasan.
            Thabaqat tingkar kedua: Sahih At-Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Musnad Ahmad, dan Al-Mujtaba (As-Sunanu Sagir An-Nasai)
Thabaqat tingkat ketiga: Musnad At-Tayalisi, Musanaf Ibnu Abi Syaibah, Musanaf Abdur Razak, Musnad Al-Humaidi, dan As-Sunannu Qubra Al-Baihaqi.
- Ta’rif Kitab-Kitab Riwayat dan Musnad
            Para ulama hadis telah menyusun kitab hadis dengan bentuk dan metodelogi yang beraneka ragam, di antaranya:
1. Kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab
a. Al-Jami’: kitab hadis yang disusun bedasarkan bab-bab yang didapati padanya hadis-hadis tentang seluruh topik agama, seperti aqidah, hukum, sirah, adab, tafsir, fitnah, tanda-tanda qiyamat, dan manaqib. Di antaranya: Al-Jami’ As-Sahih Karya Al-Bukhari dan Al-Jami’ As-Sahih Mulim
b. As-Sunan: Kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fiqih dan menghimpun hadis-hadis hukum yang marfu’. Di antaranya: kitab sunan imam yang empat (At-Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasai, dan Ibnu Majah).
c. Al-Musanaf : Kitab hadis yang disusun berdasarkan bab, tetapi mencakup hadis mauquf dan hadis maqtu yang disandarkan kepada hadis marfu’. Di antaranya: Al-Musanaf Abdu Razak dan Musnanaf Ibnu Abi Syaibah
d. Al-Mustadrak
Kitab yang menghimpun hadis-hadis yang disusulkan oleh pengarangnya pada kitab lain berdasrkan syarat penyusun kitab lain itu. Di antaranya: Al-Mustadrak Al-Hakim.
e. Al-Mustakhraj: Kitab yang berisi hadis-hadis dari kitab lain yang diriwayatkan oleh penyusunnya dengan sanad yang berbeda, lalu bertemu atau bersatu di tengah sanad penyusun kitab asal. Di ntaranya: Al-Mustahkraj ala Sahihain susunan Abu Nuaim.
2. Kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat.
a. Al-Musnad: Kitab yang menghimpun hadis-hadis berdasarkan urutan sahabat. Ada yang disusun berdasarkan huruf hijaiyah, atau waktu keislamannya, atau keutamaannya. Di antaranya: Al-Musnad Imam Ahmad dan Al-Musnad Abu Ya’la Al-Musili.
b. Al-Atraf : Kitab yang diringkas oleh penyusunya dengan menyebutkan sebagian matan hadis saja kemudian disebutkan sanad-sanad setiap matan tersebut dalam maraji’ aslinya. DI antaranya: Tuhfatul Ashraf bima’rifatil Athraf, susunan Yusuf bin Abdurrahman Al-Mizi.
c. Al-Mu’jam : Kitab yang menghimpun hadis-hadis berdasarkan urutan syaikh dan biasanya disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah. Di Antaranya: Al-Mu’jamul Kabir, Al-Ausat, dan As-Sagir, susunan Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani. Al-Mu’jamul Ausath dan As-Sagir disusun berdasarkan nama guru-guru At-Thabrani sedangkan Al-Mu’jamul Kabir disusun berdasarkan nama sahabat.
d. Kitab-kitab Sahih
d.1. Sahih Al-Bukhari, susunan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari
d.2. Sahih Muslim, susunan Muslim bin Al-Hajaj
d.3. Sahih Ibnu Khuzaimah, susunan Abu bakar Muhammad bin Isaq bin Khuzaimah (311 H)
d.4. Sahih Ibnu Hiban, susunan Abu Hatim Muhammad bin Hiban bin Ahmad bin Hiban (354 H)
d.5. Sahih Ibnu Sakan, susunan Abu ali Said bin Usman bin Said Ibnu sakan (353 H)
d.6. Sahih Al-Ismaili, susunan Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim bin Ismail (371 H)
Penyebutan sahih tersebut bersifat umum saja, karena kitab-kitab sahih selain Al-Sahihain kualitasnya berada di bawah kedua kitab tersebut. Oleh karena itu hadis-hadisnya tidak mutlak dapat dipakai hujjah.
- Kitab-kitab As-Sunan dan kelebihan serta kekurangannya
a. Sunan Abu Daud, susunan Sulaiman bin Al-’Asy’ats As-Sijistani (275 H). Jumlah hadisnya sebanyak 4800 hadis dan dibagi menjadi 35 buah kitab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1871 bab.
b. Sunan At-Tirmidzi, susunan Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi (279 H). Sunan At-Tirmidzi merupakan salah satu sumber hadis hasan yang paling penting. Dalam Kitab tersebut terdapat empat bagian: Bagian yang dipastikan kesahihannya; Bagian yang sesuai dengan syarat Abu daud dan An-Nasai; Bagian yang jelas illatnya; Bagian keempat yang telah diamalkan oleh sebagian ulama.
c. Sunan An-Nasai, susunan Abu Abdurrahman Ahmad  bin Syu’aib An-nasai (303 H). Sunan An-Nasai yang pertama kali disusun adalah As-Sunanul Kubra yang berisi hadis sahih, hasan, dan ada pula yang dha’if. Atas permintaan Amir Ar-ramlah kitab tersebut diseleksi kembali dan hadis-hadis sahihnya dipisahkan, kemudian dihimpun dalam satu kitab tersendiri yang dinamai As-Sunanus Shughra atau Al-Mujtaba yang kemudian populer dengan sebutan sunan An-Nasai. Sunan inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab dalam kutubus sittah.
d. Sunan Ibnu Majah, susunan Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini (273 H)
Kelebihan dan kekurangannya
·      Di dalam Sunan Abu Daud dihimpun segala macam hadis yang menyangkut soal hukum dengan sistimatika yang baik dan indah. Di samping itu pada umumnya diterangkan penilaian terhadap para perawi dan hadis-hadisnya.  Sunan At-Tirmidzi memberikan tambahan pengetahuan tentang ilmu hadis. Sunan Ibnu Majah menampilkan fikih yang sistematis. Dan Sunan An-Nasai memberikan faidah fikih matan dan sanad hadis.
·      Pada kitab-kitab tersebut masih dicantumkannya hadis-hadis dhaif dan hadis-hadis yang tidak disepakati kesahihannya oleh para ulama. Menurut pandangan kami hal ini merupakan kelemahan dari kitab-kitab tersebut.
            Oleh karena itu, bagi para peneliti dan peminat hadis hendaknya tidak terlalu cepat mengambil hadis dari kitab-kitab tersebut, baik yang telah dijelaskan statusnya ataupun belum, kecuali setelah diteliti dan dikaji ulang secara mendalam sampai diketahui statusnya; Sahih, Hasan, atau Dhaif.
12. Klasifikasi rawi dengan cara mengetahui sifatnya
            Ditinjau dari segi diketahui dan tidaknya sifat-sifat rawi, maka rawi-rawi hadis terbagi kepada dua bagian. Pertama, yang diketahui sifatnya: mu’addal atau majruh. Kedua, yang tidak diketahui sifatnya: majhul.
- Majhul terbagi kepada dua macam:
1. Majhul ‘ain : هُوَ مَنْ ذُكِرَ اسْمُهُ وَلَكِنْ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ إِلاَّ رَاوٍ وَاحِدٌ
 “Yaitu seorang rawi disebut namanya, tetapi tidak ada yang meriwayatkan hadis darinya kecuali seorang (muridnya hanya seorang).
2. Majhul hal (al-mastur) : مَنْ رَوَى عَنْهُ اثْنَانِ فَأَكْثَرَ لَكِنْ لَمْ يَوَثَّقْ “Seseorang yang diriwayatkan hadisnya oleh dua orang rawi atau lebih tetapi tidak ada seorang pun yang menilainya tsiqat”


Oleh : A Muchtar

Pengunjung