1. Ta’rif
Ulumul Hadis
عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ
يُعْرِفُ بِهَا اَحْوَالُ السَّنَدِ وَالمَتَنِ
“Ilmu
tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal-ihwal sanad dan matan”
Pengertian
Al-hadis As-Sunnah Al-Khabar dan Al-Atsar
1. Menurut bahasa
a. Al-Hadis berarti Al-Jadid (baru)
dan Al-Khabar (berita)
b.
As-Sunnah berarti As-Sirah (sejarah, kisah, cerita) dan Ath-Thariqotul Mu’tadah
(jalan/ cara kebiasaan)
c.
Al-Khabar berarti An-Nabau (berita besar)
d. Al-Asar
berarti Baqiyyatu Syai’i (peninggalan/ bekas/ jejak sesuatu)
2. Menurut istilah Al-Hadis, As-Sunnah,
Al-Khabar, dan Al-Atsar secara prinsipil ma’nanya sama, yaitu
مَاأَضِيْفَ إِلَى النَّبِىِّ
e مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ
صِفَةٍ
“Berita yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan, maupun sifatnya (fisik perangai, dan akhlak)”, baik sebelum maupun
sesudah diutus menjadi rasul, dan terlepas apakah berita tersebut benar atau
tidak.
Memang
ada pengertian lain yang menerangkan perbedaan antara istilah Al-hadis,
al-khabar dan al-atsar. Namun, Dalam hal ini hanya dikutip pendapat mayoritas
ulama yang mempersamakan makna semua istilah tersebut.
- Al Marfu, Al
Mauquf, dan Al Maqtu’
AlMarfu :
هُوَ مَا أَضِيْفَ إِلَى
النَّبِىِّ e خَاصَّةً
مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ مُتَّصِلاً كَانَ أَوْ مُنْقَطِعًا
“Adalah
berita yang khusus disandarkan kepada Nabi , baik berupa ucapan, perbuatan,
atau taqrir (persetujuannnya) Baik ia itu muttasil atau munqathi.”
- Al Mauquf : مَا رُوِيَ عَنِ الصَّحَابَةِ
مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
“Adalah
berita yang diriwayatkan dari sahabat
baik berupa ucapan, perbuatan, atau
taqrir (persetujuannnya).”
Al Maqthu: مَا
رُوِيَ عَنِ التَّابِعِيْنَ مِنْ أَقْوَالِهِمْ أَوْ أَفْعَالِهِ “Adalah
berita yang diriwayatkan dari tabi’in
baik berupa ucapan atau perbuatan.”
Hadis Qudsi :
كُلُّ حَدِيْثٍ أَسْنَدَهُ
رَسُوْلُ اللهِ e أَسْنَدَهُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ .
كَقَوْلِهِ e قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap
hadis yang di adalamnya Rasulullah menyandarkan ucapan kepada Allah swt.”
2. Tadwinul
Hadis
-
Pengetahuan Orang Arab Tentang Tulis Menulis Sebelum Islam
Bukti-bukti sejarah
menunjukan bahwa orang-orang arab telah mengenal tulisan sebelum islam, pada
waktu itu mereka menuliskan sejumlah peristiwa penting yang mereka alami pada
batu. Dan tidak diragukan lagi bahwa daerah timur jazirah Arab dikenal dengan tulisan
dan bacaannya, serta Mekah sebagai pusat perdagangan yang istimewa telah
melahirkan para penulis dan pembaca yang ulung sebelum diutusnya Rasulullah,
seperti Abu Sufyan bin Umayah, Bisyar bin Abdul malik, Abu Qais dan Amer bin
Jurarah yang dikenal dengan sebutan katib. Disamping itu orang-orang Arab biasa
memberikan gelar Al-Kamil bagi setiap orang yang mahir menulis, pandai memanah,
dan jago renang. Walaupun mayoritas ahli syair pada waktu itu merasa lebih
bangga dengan kemampuan hapalan dan kecerdasan mereka. Bahkan sebagian orang
ada yang menyembunyikan pengetahuan tentang tulis menulis karena hawatir
diketahui oleh orang lain.
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas maka kami menganggap riwayat yang menyebutkan
bahwa pada masa itu di Mekah hanya ada 12 orang laki-laki yang mampu membaca
dan menulis” perlu diteliti kembali kebenarannya. Meskipun demikian kami belum
mendapatkan data-data yang akurat untuk memastikan berapa banyak jumlah orang
yang mampu membaca dan menulis sebelum islam.
Adapun kata Ummi dalam Alquran yang ditujukan bagi orang-orang Arab
pada umumnya tidak berarti bahwa semua orang Arab pada waktu itu tidak mampu
membaca dan menulis, tetapi hal itu untuk menunjukan bahwa orang Arab yang
mampu lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan orang Arab yang tidak
mampu.
- Sebab-sebab sedikitnya Tulisan Pada Masa Rasulullah
Merupakan sunnatullah
bahwa wahyu yang diturunkan memerlukan adanya para pencatat sebagaimana halnya
urusan-urusan kenegaraan. Seperti administrasi, perjanjian-perjanjian, dan lain
sebagainya.
Kalau melihat
kenyataan sejarah pada masa Rasulullah hadis belum tercatat secara resmi
seperti tercatatnya Al-Quran. Oleh karena itu perlu diteliti sebab-sebab tidak
tercatatnya hadis secara resmi pada masa Rasulullah. Dan kita berupaya untuk
mendapatkannya di antara ruang hadis dan atsar yang sahih dari sahabat dan
tabiin.
قَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ: أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ e قَالَ لاَتَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى
غَيْرَ القُرْآنِ فَلْيَمْسَحْهُ
“Abu Said berkata, : Sesungguhnya Rasulullah
bersabda, “Kalian jangan menulis apapun dari aku, dan barang siapa menulis
sesuatu dari aku selain Al-Quran maka hapuslah.” (H.R. Muslim)
قَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ : اِسْتَأذنَّا النَّبِيَّ e فِي الكِتَابَةِ فَلَمْ يَأْذَنْ لَنَا
“Abu Said berkata, : Kami minta ijin kepada Nabi
tentang tulis menulis, tetapi beliau tidak mengijinkan kami.”(Al-Muhaddisul
Fasil, hal. 6)
رُوِيَ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ أَنَّهُ قَالَ : قُلْنَا يَا رَسُوْلَ
اللهِ ، إِنَّا نَسْمَعُ مِنْكَ أَشْيَاءَ أَ فَنَكْتُبُهَا ؟ قَالَ أُكْتُبُوا
وَلاَحَرَجَ
“Diriwatkan dari Rafi bin Khadij, sesungguhnya
ia berkata, “Kami bertanya, wahai Rasul sesungguhnya kami mendengar segala
sesuatu dari engkau, bolehkah kami menulisnya? beliau menjawab, 'Tulislah oleh
kalian dan hal itu tidak apa-apa.” (As-Sunnah Qobla Tadwin, hal. 304)
Diriwayatkan dari Abu
Hurairah bahwa ketika putuh makah bagi Rasulnya, maka Rasulullah berkhutbah
kepada orang-orang, lalu berdiri seseorang dari penduduk Yaman yang disebut Abu
Syah, ia mengatakan, “Wahai Rasul tuliskanlah untukku beliau bersabda, ‘Tuliskanlah
untuknya.”(H.R. Ahmad)
Dari
keterangan-keterangan di atas kami berkesimpulan :
1. a. Persoalan larangan
penulisan hadis terletak pada soal kekhawatiran tercampurnya antara Al-Quran
dan hadis
b. Setelah komunitas ummat islam semakin
banyak dan mereka mampu membedakan aatara Al-Quran dan hadis maka penulisan
diperbolehkan
2. Larangan menulis hadis
ditujukan bagi orang-orang tertentu yang kuat hapalan atau ingatan, maka bagi
yang takut atau hawatir lupa diperholehkan menulis
- Lembaran-lembaran Yang Tertulis Pada Masa Nabi
Pada masa Rasul saw. kita mengetahui adanya catatan hadis, baik yang
berupa mushaf besar yang menyerupai musannaf al-hadis maupun berupa catatan
yang terkumpul di tangan para sahabat, seperti :
1. Ash-Sahifah yang ditulis
oleh Abdullah bin Amr bin Ash. Dia sendiri mengatakan, “Aku hafal dari Nabi
seribu misal,”. Abdullah sendiri merasa berbahagia dengan sahifah itu. Dia
berkata,”tiada yang lebih menyenangkan aku di dalam hidup ini selain ash-sahifah
ash-sadiqah dan al-wahtu (sebidang tanah di Taif yang diwaqafkan oleh ayahnya
untuk diurus” -Sunan Ad-Darimi, I : 178,
Usdul Ghabah, III : 233)
2. Sahifah Ali bin Abu Thalib
Sahifah kecil yang mencakup akal, yaitu
ukuran-ukuran diyat dan mencakup pula hukum-hukum pikakul asir (pembebasan)
tawanan
3. Sahifah Sa’ad bin Ubadah
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat
Tirmidzi, dari Ibnu Sa’ad bin Ubadah: “Kami dapatkan dari kitab Sa’ad bin
Ubadah, sesungguhnya Nabi saw. memutuskan dengan sumpah dan saksi.”
4. Yang ditulis oleh Nabi (melalui katib)
a. Kitab zakat dan diyat
Ditulis oleh Abu Bakar As-Sidiq.”Bahwa Rasul
telah menulis kitabus sadaqah, tetapi beliau tidak mengeluarkannya sampai
wafat.” (H.R. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi)
b. Surat beliau untuk Amr
bin Hazm (‘amil beliau di yaman).
Di dalamnya mencakup usulul islam, metode
dakwah, tata cara ibadah, dan mencakup pula bagian-bagian Jizyah, Zakat dan
diyat. (H.R. Baihaqi)
c. Surat beliau kepad Wail
bin Hujr, untuk kaumnya di Hadramaut, di dalamnya mencakup ushulul islam dan
yang pokok dari muharramat.
d. Surat beliau kepada para
raja dan pembesar-pembesar atau kepada perseorangan di kalangan Arab yang
berisi seruan untuk masuk islam.
e. Surat-surat perjanjian
dan persetujuan beliau, yang ditanda tangani beliau bersama kaum kuffar,
seperti perjanjian hudaibiah, Tabuk dll.
5. Sahifah Abu Huraerah Untuk Hammam bin Munabbih.
Hamman bin Munabbih
bertemu dengan abu Hurairah dan banyak sekali menulis sadits Rasul darinya,
kemudian ia himpun dalam satu musaf yang dinamai ash-salihah dan kadang-kadang
dinamai pula ash-sahifah ahs-sadiqah milik Abdullah bin Amr.
Sahifah ini memuat 138
hadis, dan Ibnu Hajar menerangkan bahwa Hammam mendengar dari Abu Hurairah
kira-kira 140 hadis dengan satu sanad. (Tahdzibut-Tahdzib XI : 69)
Semua keterangan di
atas menunjukan telah terjadinya tadwinul hadis pada masa Rasululah sebagai
gambaran bahwa tulis menulis dan kearsipan merupakan unsur yang tidak dapat
diabaikan dalam memelihara kemurnian sunah Rasul, dan sekaligus merupaka
jawaban bahwa sebenarnya tadwinul hadis terjadi pada masa Rasul walaupun tidak
secara besar-besaran.
3. Perkembangan tadwinul hadis
sejak masa sahabat
- Masa khulafaur rasyidin
Pada masa ini,
khulafaur rasyidin secara sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan hadis.
Namun periwayatan hadis pada masa ini
masih terbatas. Umar bin Al Khatab mulai berpikir bagaimana kalau hadis Rasul
dikodipikasikan, namun beliau hawatir kaum musl,im terus menerus mengkaji hadis
yang memang jumlahnya lebih banyak dari Al Quran. Pada suatu hari beliau
berkhutbah yang isinya antara lain: “Barangsiapa yang memiliki dari tulisan itu
walau hanya sedikit, maka hapuslah.”
(Jami’ bayanil Ilmi 1 : 65)
Demikian pula
ditemukan sejumlah riwayat yang menyatakan bahwa ulam-ulama besar sahabat
memandang riskan terhadap penulisan hadis. Di antaranya Ali bin Abi Thalib
menyatakan:
إِعْزَمْ عَلَى كُلِّ مَنْ
كَانَ عِنْدَهُ كِتَابٌ إِلاَّ رَجَعَ فَمَحَاهُ
“Aku
putuskan agar setiap orang yang memiliki tulisan mengembalikan dan
menghapusnya.” (Ibid.)
Meskipun demikian,
ternyata ada pula sahabat-sahabat lain yang menulis hadis pada masa Rasulullah.
Di antaranya Umar bin Al Khatab sendiri
yang pernah menyatakan ketidak setujuannya akan penulisan hadis, ternyata
menyatakan, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (Ibid., I : 72) Demikian pula Abu
Bakar menyatakan kesetujuannya.
Tampaknya yang menjadi
penyebab berubahnya pandangan para sahabat yang tidak setuju akan penulisan
hadis adalah setelah terbukti adanya beberapa perintah Nabi dan hilangnya
sebab-sebab yang dikhawatirkan, terutama setelah Al Quran dikumpulkan dalam
benrtuk mushaf yang kemudian dikirim ke segenap penjuru negeri.
Keterangan-keterangan
di atas cukup menjadi bukti bahwa tadwinul hadis benar-benar terjadi pada jaman
sahabat, bahkan di antara para sahabat yang pernah melarang pun toleran dan
menyatakan perlunya penulisan hadis-hadis, yang tentunya hal ini terjadi belum
secara menyeluruh.
- Pada masa tabi’in
Pada masa tabi’in
belum terjadi tadwinul hadis secara besar-besaran, karena masih ditemukan
keengganan beberapa tabi’in besar untuk kodifikasi hadis ini. Di antaranya Amir
bin Asy-Sya’bi pernah menyatakan:
مَا كَتَبْتُ سَوْدَاءَ فِى
بَيْضَاءَ وَلاَ سَمِعْتُ مِنْ رَجُلٍ حَدِيْثًا فَأَرَدْتُ أَنْ يُعِيْدُهُ
عَلَيَّ
“Aku tidak
menuliskan sihitam di atas yang putih dan aku tidak mendengar sebuah hadis pun
dari seseorang, maka aku hanya ingin mengulangnya untukku.” (Ibid., I :67)
Keengganan mereka
untuk mencatat hadis-hadis yang mereka riwayatkan tiada lain karena merasa
hawatir jika hadis-hadis tersebut bercampur-baur dengan patwa-patwa tabi’in,
sebab pada masa itu semakin banyak patwa tabi’in yang dicatat.
Meskipun demikian,
pada masa itu harakah penulisan hadis terus berlangsung sehingga betul-betul
memasyarakat, terutama menjelang berakhirnya abad pertama Hijriyah pada masa
kekhalipahan Umar bin Abdu Ajiz. Dan tidak diragukan lagi bahwa pada masa
inilah hadis-hadis secara resmi mulai di kodipikasikan, dipelopori oleh Ibnu
Syihab Az Zuhri (124 H.) dan Abu Bakar bin Hazm (177 H.) pada tahun 99 H. atas
perintah Khalifah Umar Bin Abdul Ajiz.
Khalifah pun tidak merasa cukup dengan surat beliau kepada Ibnu Syihab
dan Ibnu Hazm. Oleh karena itu beliau mengirimkan pula beberapa surat ke
segenap penjuru negeri memperkuat permintaan beliau, sekaligus memberikan
motifasi pada semua ahli ilmu untuk memperdalam sunnah Rasul dan
menghidupkannya.
Pada masa itu mulai
terbentuk manhaj atau metodologi untuk
menyeleksi hadis atau khabar yang datang, terutama sekali yang berkenaan dengan
Rasulullah dan para sahabatnya. Di tangan Az-Zuhri-lah lahirnya asas-asas manhaj
tadwinul hadis yang beliau rangkum dalam kitabnya yang khusus. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Umar bin
Abdul Ajiz dan kawan-kawan dari kalangan tabi’in ternyata bukan pertanda
selesainya urusan tadwinul hadis, karena di situ masih terdapat kekurangan yaitu
masih terjadi percampuran antara qaul Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa
tabi’in.
- Masa at-tabi’ut tabi’in
Memasuki abad kedua
Hijriyah mulailah bermunculan kitab-kitab hadis yang ditadwin serta
mushaf-mushaf dalam waktu yang tidak berjauhan. Pada kurun inilah mulai
bermunculan istilah-istilah para penyusun yang menamai kitab susunan mereka
dengan musanaf, Jami’ atau majmu’ dan masih ada istilah-istilah lain. Akan
tetapi tidak terjadi kesepakatan siapa di antara mereka yang menyusun kitab
secara musanaf yag mubawab. Kita sebut
saja di sini nama-nama para ulama yang diperselisihkan. Antara lain: Di Makah;
Abudul Malik Bin Abdul Aziz Bin Juraij (151 H.)
Di Madinah; Malik Bin Anas dengan Al-Muwaththa’nya (179 H.) Atau Muhamad
Bin Isaq (151 H.) Di Basarah : Muhamad bIn bdurahman Bin Abi Dzi’bin (158 H.)
Dengan Muwaththa’nya yang dikatakan lebih besar ari Al-Muwaththa’nya Imam Malik
Bin Anas. Atau Said Bin Abi Arubah(156 H) Di Kufah: Sufyan As-Sauri (153 H.) Di
Syam: Imam Al-Auaz’i (157 H.) Di Yaman: Ma’mart Bin Rasyid (153 H.) Di Khurasan,
Abdullah BinAl-Mubarak (181 H.) Di Washit: Khusyaim Bin Bashir (183H.) Di Ray:
Jarir Bin Abdul Humaid (188 H.) Di Mesir; Abdullah Bin Wahab
Dari nama-nama
tersebut di atas, kitab-kitab mereka pun disebut dengan nama berlainan. Ada
yang dengan sebutan Musanaf, Jami’, atau terkadang hanya di sebut mualaf.
Adapun yang paling terkenal yang memuat hadis-hadis Rasulullah, fatwa-fatwa
sahabat dan fatwa-fatwa tabiin adalah kitab Al-Muwatha’nya Imam Malik Bin Anas.
Setelah itu muncul
pula cara penulisan dengan sistim Musnad. Dan yang paling pertama menyusun
dengan cara susunan seperti ini adalah Abu Daud Sulaiman At-Thayalisi (204 H.)
Kemudian di ikuti oleh para imam semasanya, seperti: Al-Asad Bin Musa Al-Amawi
(212 H.) Kemudoan cara seperti ini pun ditempuh oleh imam-imam setelah mereka.
Antara lain: Ahmad Bin Hanbal (241 H) Isaq Bin Rahawaih(237 H) dan Usman Bin
Abu Syaibah (239 H). Akan tetapi ternyata Musnad mereka masih tercampur antara
yang sahih dan yang daif. Musnad yang diakui paling besar adalah Musnad Ahmad
bin Hanbal, di sampng paling luas. Akan tetapi Musnad-musnad di atas telah
terbebas dari tercampurnya dari hadis-hadis maudu.
- Masa mutakhir dari masa periwayatan
Memasuki kurun ketiga,
tampilah Muhamad Bin Ismail Al-Bukhari (261 H). Beliaulah yang pertama kali
memisahkan hadis-hadis yang sahih saja. Kemudian cara beliau seperti ini
diikuti oleh ulama semasanya yang sekaligus muris beliau, yaitu Imam Muslim Bin
Hajaj (261H). Dan langkah Imam Al-Bukhari ini diikuti pula oleh imam-imam
semasanya, yang pada dasarnya tidak mencapai kesahihan kumpulan hadis keduanya,
bahkan masih banyak kekurangan. Diantaranya: Abu Daud Sulaiman Bin As-as
As-Sijistani (275 H) dengan sunannya. Kemudian menyusul Abu Isa Muhamad Bin Isa
At-Tirmidzi (627 H) dengan sahihnya, walaupun pada kenyataannya masih banyak
didapat hadis-hadis yeng ternyata daif. Kemudian Ahmad Bin Syuaib An-Nasai(303
H) dengan sunannya. Setelah itu Ibnu Majah, Abdulah Bin Muhamad Bin Yazid (237
H). Masa inilah masa puncak tadwinul hadis yang sekaligus dikenal dengan
sebutan tabwibul jam’i
Masuk kurun keempat
H., pada ini pun banyak kitab-kitab yang disusun walaupun tidak sebanyak kurun
ketiga. Di antaranya masih bersandar kepada kitab-kitab sebelumnya. Yang cukup
termashur pada masa ini antara lain Imam At-Thabrani (360 H.). Beliau menyusun
tiga kitab besar; 1. Al-Mu’jamul Kabir, 2. Al-Mu’jamul Ausath, dan 3.
Al-Mu’jamush Sagir. Kemudian menyusul Ad-Dara Quthni (385 H.) dengan Sunan-nya.
Setelah itu Ibnu Hibban (364 H.) dengan kitab Sahih-nya, walau pada
kenyataannya Sahih Ibnu Hibban ini tidak semuanya sahih, bahkan masih di bawah
Sahih-nya Imam At-Tirmidzi. Setelah itu Ibnu Khuzaimah (311 H.) dengan
Sahih-nya pula. Dan tingkat sahihnya masih di bawah Ibnu Hibban. Terakhir Imam
At-Tahawi (321 H.).
Pada kurun selanjutnya tidak terlalu banyak kitab hadis yang disusun,
yang ada hanyalah susulan-susulan (istidrak), seperti yang dilakukan oleh Abu
Abdullah Al-Hakim. Beliau meneliti ulang hadis-hadis Al-bukhari dan Muslim yang
tidak dimasukkan ke dalam kedua kitab Sahih-nya.
4) Rihlah fi thalabil hadis
Rihlah (bepergian) dalam mencari hadis, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Al-Khatib Al-Bagdadi, mengandung dua maksud/tujuan: Pertama, mendapatkan
sanad ‘ali (sehingga jarak antara orang yang rihlah dengan Rasul lebih dekat),
dan mendahului sima’ pada seorang syaikh daripada orang lain. Kedua, menemui
para hafizh, berbicara langsung dengan mereka, dan mengambil ilmu dari mereka.
Dan jika dua hal di atas ada di negerinya sendiri dan tidak ada dinegeri lain,
maka rihlah tidak begitu berguna. Itu sebabnya para ulama lebih mengutamakan
mencari hadis di negeri sendiri.
- Pengaruh rihlah dalam menyatukan nash dan tasyri’
Perjalanan para
pencari hadis mampu memperkokoh hubungan di antara negara-negara Islam di
dunia. Pengembaraan mereka terbukti telah mempererat ikatan Timur dan Barat,
seperti banyaknya ulama yang tidak lagi menetap di satu daerah, bahkan
negerinya sendiri. Mereka berpindah ke berbagai kota. Dalam kitab-kitab Tabaqat
sering dijumpai penisbahan rawi kepada negeri asalnya dan menunjukkan kepada
negeri tempatnya menetap, misalnya Nazzar bin Abdul Aziz orang Baghdad yang
datang ke mesir (Tarikh Baghdad XIV:437).
Di samping itu,
pengaruh rihlah mereka bagi hadis sendiri sangatlah positip. Paling tidak dapat
menyatukan nash dan tasyri’, sekalipun sumber asal riwayatnya berbeda-beda,
karena pada mulanya hanya diriwayatkan oleh orang-orang dari satu daerah saja,
kemudian berkembang dengan perbedaan ungkapan sesuai dengan perawinya di daerah
masing-masing. Dan pada gilirannya riwayat yang berbeda-beda itu sedikit demi
sedikit lebur dalam satu acuan. Sebagai contoh, hadis:
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesungguhnya
amal-amal itu beserta niat”.
Abdurrahman bin Mahdi
(198 H,) mengatakan, “Seseorang yang hendak mengarang sebuah kitab ilmu
seyogyanya memulai dengan hadis ini.” Senada dengan itu ialah penegasan Imam
Al-Bukhari, “Barang siapa hendak menyusun sebuah kitab, hendaknya ia memulai
dengan hadis niat tersebut.” Sebagaimana
kita ketahui, Imam Al-Bukhari menjadikan hadis niat ini sebagai pembuka kitab
Sahih-nya. Begitu pula dengan ulama-ulama lain yang memulai penyusunan kitab
hadis dengan hadis niat tersebut.
Kita akan menemukan
hadis niat menjadi pembuka pada banyak kitab hadis. Sedangkan matannya hampir
seluruhnya sama, sehingga timbul kesan bahwa hadis-hadis tersebut telah
memenuhi syarat-syarat mutawatir, antara lain hadis tersebut telah diriwayatkan
oleh banyak orang yang diterima dari banyak orang pula. Padahal sebenarnya
hadis ini, sebagaimana dinyatakan oleh Ath-thabari, cuma diriwayatkan oleh
Umar. Dari Umar hanya diterima oleh Alqamah. Dari Alqamah hanya diterima oleh
Muhammad bin Ibrahim. Dari Muhammad hanya diterima oleh Yahya bin Sa’id.
(Fathul Bari I:18). Jadi, hadis ini tidak mutawatir sanadnya, karena Umar hanya
meriwayatkannya sendirian. Lebih jauh dari itu hadis tersebut hanya dikenal di
Madinah, tetapi kemudian menyebar ke kota-kota lain dengan bentuknya yang
terkenal. (Ulumul Hadis, hal. 59).
Ini merupakan bukti
kongkret bahwa perjalanan mencari hadis berpengaruh bagi penyatuan nash (teks)
hadis dan memindahkannya dari daerah tempat asalnya ke berbagai daerah yang
beragam. Hal itu terjadi karena adanya rihlah para rawi, mereka saling bertemu dan
menceritakan hadis yang mereka terima kepada orang-orang yang mereka jumpai
dalam perjalanan.
Dampak rihlah tidak
hanya sekedar dapat menyamakan nash-nash seperti yang terjadi pada hadis niat
itu, tetapi lebih jauh lagi dapat menyatukan tasyri’ dan aqidah. Dari hadis
ini, misalnya Imam Syafi’i menggali 70 masalah fiqih. Demikian pula para ulama
lainnya menemukan banyak masalah fiqih dari hadis tersebut.
- Pengaruh Warna kedaerahan dalam perkembangan hadis
Madinah ,“Negeri
Sunnah”, yang sangat dihormati dan sangat bersejarah bagi Rasulullah saw.
adalah tempat pertama suburnya kemunculan hadis. Di sana para sahabat saling
mengutip hadis yang berkembang dari mulut ke mulut. Kemudian pada gilirannya,
para tabi’in mengambilnya dari mereka dengan cara yang sama. Pada awal
kemunculannya hadis bercirikan warna kedaerahan.
Penduduk daerah-daerah
lain yang tengah menunaikan ibadah haji di Baitullah selalu menyempatkan diri
singgah di madinah untuk mendengar hadis langsung dari mulut penduduknya,
seperti yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyyah: “Kami pernah mendengar riwayat dari
para sahabat Rasul di Bashrah, tetapi kami masih kurang puas sebelum ke
Madinah, dan mendengar sendiri dari lisan mereka.” Bahkan Ibnul Madini dengan
terus terang mengatakan, “Aku menunaikan haji, tujuanku tiada lain hanyalah
agar dapat mendengar hadis.” (Sunan At-Tirmidzi I:196).
Apabila penduduk
Madinah pada awal pertumbuhan hadis, menyendiri dalam periwayatan sebagian
banyak Sunnah Nabi, maka demikian pula halnya dengan penduduk wilayah lain
dalam waktu dekat mulai meriwayatkan sendiri kumpulan hadis yang mula-mula
hanya terkenal di wilayah sendiri. Kemudian sesudah melalui waktu yang relatip,
hadis-hadis menjadi tersiar di banyak negeri lewat lisan para perawi.
Karena itu, dalam
kitab-kitab hadis kita sering menemukan ungkapan “hadis ini diriwayatkan
sendirian oleh penduduk Madinah”, “ini adalah hadis penduduk Syam”, dan lain
sebagainya.
- At-Tasyaddud (sangat keras) dalam urusan sanad
Apabila perjalanan
mencari hadis itu berpengaruh bagi penyatuan tasyri’ dan i’tiqad, maka konsekwensinya
menuntut adanya upaya memperketat atau bersikap selektif dalam urusan sanad.
Setiap orang yang namanya disebut dalam
sanad harus benar-benar di kenal dan diketahui, karena “mengetahui rijal-rijal
hadis adalah separuh ilmu” , demikian yang dinyatakan Ali Al-Madini.
Oleh karena itu, para
ulama menetap syaratkan bagi diterimanya riwayat dari seseorang yang menyatakan
dirinya telah mencari hadis, bahwa hendaknya ia dapat menyebutkan di luar
kepala seluruh nama rawi yang menjadi silsilah hadis tersebut. Tujuannya adalah
untuk mengetahui bahwa orang tersebut memang benar-benar telah mendengar apa
yang ia riwayatkan. Jika tidak demikian, ia dapat dianggap perawi tasahul
(serampangan), dan hadisnya tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
Setelah sejumlah kitab hadis disusun, perjalanan mencari ilmu masih
dirasakan perlu dilakukan. kitab-kitab tersebut memang dapat menjadi jalan
pintas bagi mereka yang tidak ingin bersusah payah dan suka serampangan.
tetapi, orang yang memuliakan ilmu dan ingin menemukan kebenaran tentu tidak
akan merasa puas hanya dengan membaca kitab-kitab hadis yang ada. Keinginan
itulah yang selalu menggoda orang-orang yang tidak hendak berpuas diri, yang
tetap melakukan rihlah mencari hadis.
- Kedudukan orang yang
tasahul dalam urusan hadis.
Abu
Bakar Ahmad, yang lebih dikenal dengan sebutan Al Khatib Al Bagdadi (1460 H.)
telah memperingatkan orang yang tasahul (ceroboh) dalam urusan hadis. Dalam
muqadimah kitabnya Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah Al Khatib berkata, “Ada
segolongan orang pada jaman kita yang mengerahkan kegenap kemampuannya untuk
menulis hadis. Mereka dengan giat mengumpulkan hadis tidak dengan cara-cara
yang lazim dilakukan oleh para ulama terdahulu dan tidak pula mempertimbangkan
keadaan rawi dan riwayat menurut cara pandang ulama salap. Mereka tidak
membedakan cara yang buruk dengan cara yang baik, tidak bersandar pada
hukum-hukum yang terdapat pada hadis, mereka sudah merasa puas mendapatkan
hadis meski hanya namanya saja, yang penting bagi mereka bahwa mereka telah
menulisnya dalam lembaran-lembaran catatan hadis. Mereka orang-orang yang bodoh
membawa kitab-kitab besar dengan sikap pamer. Sayangnya mereka telah menanggung
kesulitan serta kepayahan dalam pengembaraan dalam pencarian hadis ke
negeri-negeri yang jauh. Mereka hadapi segala rintangan, bahkan rela
mengorbankan jiwa dan hartanya. Penampilan mereka menjadi menyedihkan yaitu
dengan rambut kusut, muka pucat, dan kelaparan. Mereka kehabisan waktu-waktunya
pergi ke negeri-negeri jauh demi mencari sanad yang ‘ali. Mereka hanya
menginginkan itu. Mereka menerima hadis dari orang-orang yang diragukan
kejujurannya. Mereka meriwayatkan hadis dari orang yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan kesahihan hadisnya. Mereka berhujjah dengan orang yang
tidak dianggap baik bacaan sahifahnya (catatan) dan tidak memenuhi sedikitpun
dari sarat-sarat periwayatan...” (Al
Kifayah, Hal. 3-4)
5. Lembaga-lembaga hadis dan
gelar-gelar para muhadis.
- Lembaga hadis dan
pengaruhnya pada rihlah.
Pada
abad keenam Hijriyah kehidupan ummat Islam kelihatan agak lesu karena
melemahnya kegiatan pencarian hadis. Samapai pada abad tersebut dalam
masyarakat Islam belum terdapat madrasah-madrasah husus mengajarkan hadis.
Madrasah madrasah yang ada hanya mengajarkan fiqih secara mendalam berikut
mazhab-mazhabnya, di samping pemikiran para mujtahid yang tersebar di
mana-mana. Tujuannya hanya untuk membentuk kader-kader qadi atau hakim dan
tenaga legeslatif.
Pada
abad keenam itu, untuk pertama kali berdiri madrasah hadis atas prakarsa
Nuruddin Mahmud bin Abi Sa’id Zanki wafat 569 H., yang namanya kemudian
diabadikan dengan mendirikan madrasah di Damasqus. Salah seorang guru di
madrasah tersebut adalah Ibnu Asakir penyusun kitab Tarih Madinatu Damsyik
(yang terdiri dari 80 jilid). (Ulumul Hdis, Hal. 73)
Puluhan
tahun berikutnya, di Kaira berdiri pula madrasah hadis atas prakarsa penguasa Al-Kamil Nasyiruddin. Peresmiannya
dilakukan pada tahun 622 H., Abu Al-Khatab bin Dahyah (w. 633 H.) adalah guru
pertama di sana.
Empat
tahun setelah itu, di Damaskus berdiri lagi madrasah Al Asyrafiyah pada tahun
626 H. Pengajar pertamanya ialah Abu Amr bin Ash-Salah yang wafat 643 H. dan Imam An-Nawawi (w. 676 H.) turut
mengajar pula di madrasah tersebut.
Di
Damaskus juga berdiri beberapa madrasah hadis lagi, namun pengelolaannya tanpak
tidak terlalu serius, sehingga tidak heran jika usianya tidak bertahan lama.
Hal ini diSebabkan oleh madrasah ini hanya dijadikan batu loncatan untuk meraih
jabatan pemerintahan. Hal itu tidak memenuhi kebutuhan orang-orang yang haus
akan hadis, sehingga mereka harus berkelana lagi ke berbagai negeri.
- Laqab-Laqab Para Muhadis.
Para
Ulama tidak hanya memberikan berbagai gelar kepada orang yang suka mengembara
mencari hadis, tetapi juga kepada yang mempelajarimya baik itu dilakukan di
negerinya sendiri maupun di negeri orang lain. Dengan cara demikian dapat
diketahui tingkatan dan ragam kesilitan di dalam menerima dan menyampaikan
hadis:
1. Al Musnid
هُوَ مَنْ يَرْوِى الحَدِيْثَ بِسَنَدِهِ سَوَاءٌ أَكَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ بِهِ أَمْ لَيْسَ إِلاَّ
مُجَرَّدُ الرِّوَايَةِ
2. Al Muhaddis
هُوَ مَنْ يَشْتَغِلُ بِعْلِمِ الحَدِيْثِ رِوَايَةً
أَوْ دِرَايَةً وَيُطْلِعُ عَلَى كَثِيْرٍ مِنَ الرِّوَايَاتِ وَأَحْوَالِ
رُوَاتِهَا
3. Al Hafidz
هُوَ مَنْ حَافَظَ مِائَةَ أَلْفِ حَدِيْثٍ مُسْنَدَةٍ
4. Al Hujjah
هُوَ مَنْ أَحَاطَ بِثَلاَثِ مِائَةِ أَلْفِ حَدِيْثٍ
مُسْنَدَةٍ
5. Al Hakim
هُوَ مَنْ أَحَاطَ بِالسُّنَّةِ وَلَمْ يُفْتِهِ
إِلاَّ اليَسِيْرَ
6. Amirul mu’minin fil hadis
هُوَ مَنْ فَاقَ حِفْظًا وَإِتْقَانًا وَتَعَمُّقًا
فِى عِلْمِ الحَدِيْثِ وَعِلَلِهِ
Amirul
mu’minin adalah merupakan tingkatan gelar yang tertinggi, di mana ia menjadi
rujukan bagi gelar tingkatan di bawahnya. Tingkatan gelar ilmiyah ini ditinjau
dari segi hapalan dan pemahaman bukan karena banyaknya catatan atau kitab,
sehingga orang yang memiliki banyak catatan atau kitab, namun tidak hapal, maka
tidak dipandang sebagai ahli ilmu hadis.
Barangkali
sifat hafidz yang terpenting, seperti yang didefinisikan oleh para ulama, dia
memiliki pemahaman yang cukup luas mengenai para rawi dan guru-gurunya berikut
martabat mereka.
Para
ahli hadis yakin bahwa penyandang predikat al-hafidz saat ini sudah sangat
langka, bahkan hampir tidak ada. Sarat-saratnya yang begitu berat menyebabkan
tidak sembarang orang mampu memenuhinya. Maka predikat al-hafidz ini memang
harus menjadi milik para ahli hadis saja.
6. Periwatan hadis
- Periwayatan hadis bil
lafdzi wal ma’na.
Kebanyakan
sahabat lebih mengutamakan riwayat dengan lafadz. Seorang sahabat pernah
ditanya, “Mengapa kamu tidak menceritakan hadis seperti sipulan atau sipulan.”
Ia menjawab, “Tentu saja, karena apa yang aku dengar tidak seperti apa yang
mereka dengar, atau apa yang aku saksikan tidak seperti apa yang mereka
saksikan. Kadang-kadang orang suka berlebih-lebihan, tetapi apa yang aku
dapatkan sudah cukup. Aku tidak suka menambah maupun mengurangi hadis
Rasulullah.” (Al Kifayah, Hal. 172)
Karena
itulah para sahabat sangat berhati-hati untuk mengubah lafadz hadis Nabi atau
mengngantikan suatu kalimat denga kalimat lain meskipun secara makna sama.
Pada
masa tabi’in dan generasi sesudahnya sebagian besar rawi hadis menyampaikan
riwayat dengan lafadz persis yang diucapkan oleh Rasululllah, walaupun ada di
antaranya yang berpendapat tidak apa-apa meriwayatkan hadis menurut maknanya
saja.
- Penerimaan sahabat
terhadap perubahan lafadz hadis.
Para
ulama melarang meriwayatkan hadis berdasarkan makna kecuali untuk sahabat. Abu
Bakar bin Al-Arabi mengatakan, “Sesungguhnya perbedaan ini hanya ada pada masa
sahabat saja. Adapun selain dari mereka tidak diperbolehkan mengganti lafad
dengan makna, walaupun makna tersebut dianggap cukup (sesuai)... Karena setiap
orang sampai zaman kita sekarang ini telah mengubah apa yang ia kutip dan
menggati huruf dengan huruf lain semaunya sendiri, sehingga secara keseluruhan
keluar dari hadis Rasul. Berbeda halnya dengan para sahabat, sesungguhnya
memiliki dua hal sekaligus; Pertama,
kefasihan dalam berbicara, mengingat perangai mereka dalah Arab dan
bahasanya adalah cermin tabi’at serta budi pekertinya. Kedua, karena mereka
menyaksikan sendiri sabda dan perbuatan Nabi saw. Penyaaksian itulah yang
secara keseluruhan dapat memantapkan faidah dan memenuhi semua sasaran. Orang
yang memperoleh khabar tidak seperti orang yang melihat dengan mata kepala
sendiri. Tidakkah anda melihat mereka dalam setiap hadis selalu mengatakan:
“Rasulullah saw. menyuruh demikian” dan “Rasulullah melarang perbuatan begini.”
tanpa menyebutkan lafadznya? Itulah
hadis yang sahih dan kutipan yang kuat, yang seharusnya dijelaskan.” (Ahkamul
Quran I : 10)
- Sarat-sarat riwayat bil ma’na
Ulama yang memperbolehkan
riwayat hadis berdasarkan makna menentukan beberapa persaratan. Di antaranya;
1. Rawinya haruslah seorang yang ahli ilmu Nahwu, Saraf, dan ilmu
bahasa.
2. Harus mengerti konitasi-konotasi lafad dan maksud-maksudnya
3. Harus memahami perbedaan lafadnya
4. Mampu menyampaikan hadis dengan tepat
Al-Ashma’i
berkata, “Saya hawatir orang yang tidak mengerti bahasa Arab termasuk dalam
sabda Nabi, “Siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah untuk
menempati tempat duduknya di neraka.”
(Ikhtisar Ulumil Hadis : 162)
7.Metode Penerimaan hadis dan bentuk-bentuk penyampaiannya
Adapun mengenai metode
penerimaan dan bentuk-bentuk penyampaian Ah-hadis atau Al-Khabar terdapat
beerapa istilah yang mu’tabar
a. As -Sima’ : Adalah seorang Syaikh membacakan hadis, baik dari
hapalanmnya maupun dari catatannya, sedangkan yang hadir mendengarkan
lafadznya.
Bentuk penyampaiannya: سَمِعْتُ
أَوْ حَدَّثَنِى أَوْ حَدَّثَنَا أَوْ ثَنَا
b. Al-Qiraah (Ardhun) : Adalah murid membaca, baik dari hafalannya
maupun catatannya. Sedangkan syaikh mendengarkan bacaan itu.
Bentuk penyampaiannya أَخْبَرْنَا
أَوْ حَدَّثْنَا قِرَائَةً عَلَيْهِ
c. Al-Ijazah: Adalah izin untuk meriwayatkan, baik secara lisan maupun
tulisan. Misalnya syaikh mengatakan, “Aku izinkan kamu untuk meriwayatkan Sahih
Al Bukhari dariku.”
Bentuk penyampaiannya: أَجَازَلِي فُلاَنٌ أَوْ
حَدَّثَنَا إِجَازَةً أَوْ أَخْبَرَنَا إِجَازَةً
d. Al Munawalah : Al Munawalah
ada dua macam:
d.1 Disertai dengan izin, yaitu syaikh
menyerahkan kitab atau catatannya kepada murid seraya berkata, “Ini riwayatku
dari sipulan, maka riwayatkanlah olehmu dariku.”
d.2.Tidak disertai izin, yaitu syaikh
menyerahkan catatannya kepada murid dengan hanya mengatakan, “Ini adalah
riwayat yang saya dengar.”
Bentuk penyampaiannya: حَدَّثَنَا
مُنَاوَلَةً أَوْ أَخْبَرَنَا مُنَاوَلَةً وَإِجَازَةً
e. Al-Kitabah : Adalah syeikh menulis riwayat yang ia dengar untuk
orang yang hadir atau yang tidak hadir baik dengan tulisan sendiri atau tulisan
orang lain atas perintahnya. Al Kitabah ada dua macam:
e.1.Disertai dengan izin. Misalnya syekh
mengatakan, “Aku izinkan kamu meriwayatkan apa yang aku tulis untukmu.”
e.2 Tidak disertai izin, seperti syeikh
menulis sebagian hadis untuk muridnya tanpa disertai izin untuk
meriwayatkannya.
Bentuk penyampaiannya: حَدَّثَنِى
فُلاَنٌ أَوْ أَخْبَرَنِى كِتَابَةً
f. Al-I’lam: Adalah syeikh memberitahukan kepada murid bahwa hadis ini
atau kitab ini adalah yang ia dengar
Bentuk penyampaiannya:
أَعْلَمَنِى شَيْخِى بِكَذَا
g. Al-Washiyyah: Adalah syeikh mewasiatkan sebelum wafatnya atau
sebelum safarnya kepada seseorang dengan satu kitab yang ia riwayatkan.
Bentuk peyampaiannya: حَدَّثَنِى فُلاَنٌ
وَصِيَّةً
h. Al-Wijadah: Adalah murid menemukan beberapa buah hadis riwayat
seorang syeikh yang ia kenal tetapi ia tidak mendengar hadis darinya atau
mendapatkan izin untuk meriwayatkannya, kemudian ia menyusun sanad darinya.
Sigat penyampaiannya: وَجَدْتُ
بِخَطِّ فُلاَنٍ أَوْ قَرَأْتُ بِخَطِّ فُلاَنٍ كَذَا
8. Cakupan ulumul hadis
- Ad-Dirayah dan Ar-Riwayah
Ilmu hadis Ar-Riwayah adalah:
هُوَ عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى أَقْوَالِ النَّبِيِّ e وَأَفْعَالِهِ وَتَقْرِيْرَاتِهِ وَصِفَاتِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا
وَتَحْرِيْرِ أَلْفَاظِهَا
“Ilmu yang mencakup atas ucapan-ucapan Nabi, perbuatan-perbuatannya,
takrirnya, sifat-sifatnya, periwayatannya, pembenarannya, dan penuliasan
lafadznya.” (Manhajun Naqd: 30)
Ilmu hadis Ad-Dirayah adalah:
هُوَ عِلْمٌ بِأُصُوْلٍ وَقَوَاعِدَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ
وَالمَتْنِ مِنْ حَيْثُ القَبُوْلُ وَالرَّدُّ
“Ilmu
tentang dasar-dasar dan kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad dan
matan dari segi deterima dan ditolaknya.” (At Taisir: 15)
Istilah lain yang lazim dipakai oleh
para ulama ahli hadis bagi ilmu ini ialah Ulumul Hadis, Musthalah Hadis , dan
Ushulul Hadis.
- Hal ihwal
rawi dan marwi ( riwayat)
Rawi adalah orang yang
menyampaikan hadis sekaligus dengan sanadnya.
Mengenai keadaan para rawi, dalam arti mereka dapat deterima atau
ditolak tergantung pada cacat dan adilnya, asal-usul dan latar belakang
keluarganya, serta mengenai lahir dan wafatnya.
Adapun marwi pada
umumnya adalah sesuatu yang disandarkan kepda Nabi atau kepada yang lainnya
yaitu sahabat dan tabi’in.
Keadaan
marwi harus memenuhi beberapa sarat riwayat antara lain: Apakah sanad-sanadnya
muttashil (bersambung) atau ‘inqitha (terputus), mu’dhal atau yang serupa dengannya.
- Makna penerimaan rawi dan
marwi serta penolakkannya.
Kalau
berbicara tentang diterima atau tidaknya rawi yang meriwayatkan, bukan berarti
yang diterima harus diamalkan dan yang ditolak tidak boleh diamalkan. Tapi yang
kami maksudkan dengan diterima dan dotolaknya itu hanyalah dari segi penukilan
(pengutipan)nya saja. Jadi kalau kita siap menerima seorang rawi, itu artinya
kita menganggap benar apa yang diriwayatkannya dan siap untuk menggunakannya.
Kalau kita menolaknya, itu artinya kita tidak menganggapnya dan membiarkan apa
yang diriwayatkannya. Begitu pula kalau kita menerima marwi, itu artinya kita
meyakini keabsahannya. Sebaliknya kalau kita menolaknya berarti kita meragukan
keabsahannya.
- Ilmu Al-Jarh dan At-Ta’dil
Ilmu
ini membahas tentang hal ihwal para rawi, sekitar masalah yang membuat mereka
tercela atau bersih, dengan menggunakan lafad-lafad tertentu. Ini adalah buah
ilmu hadis dirayah dan merupakan bagian terbesarnya.
Banyak
yang menelaah ilmu ini, mulai dari para sahabat hingga ulama-ulama ahli hadis.
Dari kalangan sahabat ialah: Ibnu Abas (96 H) dan Anas bin Malik (93 H). Dari
para tabi’in seperti: As-Sya’bi (104 H) dan Ibnu Sirin (110 H). Dari tabi’in
yang lebih muda ialah: Al-A’masy (148 H), Syu’bah (160 H) dan malik (179 H).
Kemudian menyusul Ibnul Mubarak (181 H), Ibnu Uyainah (197 H) dan Abdurrahman bin
Mahdi (198 H). Pengembangan ilmu ini mencapai puncaknya pada masa Yahya bin
Main (233 H) dan Ahmad bin Hanbal (241 H).
- Ilmu Rijalul Hadis
Ilmu
ini mencakup tanggal kelahiran wari, kewafatannya, ayahnya, nama
jelasnya/lengkapnya, kunyahnya, kuat lemahnya di dalam periwayatan hadis dan
lais sebagainya tenttang hal ihwal dan keadaan para rawi. Maka dengan ilmu ini
dapat diketahui layak dan tidak layaknya seseorang menjadi perawi hadis.
Orang
pertama yang memeliki kedudukan yang paling tinggi dibidang ini adalah imam
Al-Bukhari (256 H). Dalam bukunya At-Thabaqat, Ibnu Sa’ad (230 H) juga banyak
menjelaskannya.
- Ilmu Mukhtalaful Hadis
Ilmu
yang membahas hadis-hadis yang bertentangan secara tekstual, namun ada
kemungkinan hadis itu menjadi diterima dan bahkan sampai diamalkan setelah
melalui proses penggabungan, penyaringan dan syarat-syarat lainyya yang sudah
ditentukan.
Para
penulis ilmu ini antara lain: Imam As-Syafii (204 H), Ibnu qutaibah (274 H),
dan Abu Yahya Zakariya bin Yahya As-Saji (307 H).
- Ilmu ‘Ilalul
Hadis
Ilmu
yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keabsahan
suatu hadis, seperti memutasilkan hadis yang munqothi, memarfu’kan hadis yang
maukuf. Ilmu ini menentukan apakah suatu hadis termasuk dhaif, sekali pun
lahirnya hadis tersebut seperti tidak berilat dan sahih. Dengan kata lain ilat
hadis ini ditemukan kemudian setelah pernah disangka sahih atau paling tidak
hasan. Ilah hadis tidak dapat diketahui kecuali oleh orang-orang yang
mendalaminya dan memeliki ilmu dan ketelitian yang lebih
Di
antara penulis ilmu ini adalah: Ibnul Madini (234 H), Ibnu Abi Hatim (237 H),
dan Ad-Daruqutni (375 H).
- Ilmu Gharibul Hadis
Ilmu
yang membahas dan menjelaskan lafad-lafad yang terdapat dalam hadis Rasul yang
sukar diketahui dan tidak dipergunakan lagi oleh kebanyakan orang arab
sendiri.
Penulis kitab pertama tentang ilmu tersebut ialah: Abu Ubaidillah,
Ma’mar bin Al-Mutsanna Al-Bisri (210 H)
- Ilmu Nasikh dan Mansukh
hadis
Ilmu
yang membahas tentang hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin dijam’u.
Penulis kitab tentang nasikh dan mansukh hadis antara lain Ahmad bin Isaq
Ad-Dinari (584 H) dan Ibnul Jauzi (597 H).
9. Maratib (tingkatan kitab-kitab hadis)
- Thabaqat Kitab hadis
Thabaqat
tingkat pertama: Sahih Al-Bukhari dan Muslim, serta Muwatha Malik bin Anas. Di
sana diberikan klasifikasi hadis-hadis yang mutawatir, yang sahih, dan yang
hasan.
Thabaqat
tingkar kedua: Sahih At-Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Musnad Ahmad, dan Al-Mujtaba
(As-Sunanu Sagir An-Nasai)
Thabaqat tingkat ketiga: Musnad At-Tayalisi,
Musanaf Ibnu Abi Syaibah, Musanaf Abdur Razak, Musnad Al-Humaidi, dan
As-Sunannu Qubra Al-Baihaqi.
- Ta’rif Kitab-Kitab Riwayat
dan Musnad
Para
ulama hadis telah menyusun kitab hadis dengan bentuk dan metodelogi yang
beraneka ragam, di antaranya:
1. Kitab hadis yang disusun berdasarkan
bab-bab
a. Al-Jami’: kitab hadis yang disusun
bedasarkan bab-bab yang didapati padanya hadis-hadis tentang seluruh topik
agama, seperti aqidah, hukum, sirah, adab, tafsir, fitnah, tanda-tanda qiyamat,
dan manaqib. Di antaranya: Al-Jami’ As-Sahih Karya Al-Bukhari dan Al-Jami’
As-Sahih Mulim
b. As-Sunan: Kitab-kitab hadis yang
disusun berdasarkan bab-bab fiqih dan menghimpun hadis-hadis hukum yang marfu’.
Di antaranya: kitab sunan imam yang empat (At-Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasai, dan
Ibnu Majah).
c. Al-Musanaf : Kitab hadis yang
disusun berdasarkan bab, tetapi mencakup hadis mauquf dan hadis maqtu yang
disandarkan kepada hadis marfu’. Di antaranya: Al-Musanaf Abdu Razak dan
Musnanaf Ibnu Abi Syaibah
d. Al-Mustadrak
Kitab yang menghimpun hadis-hadis yang
disusulkan oleh pengarangnya pada kitab lain berdasrkan syarat penyusun kitab
lain itu. Di antaranya: Al-Mustadrak Al-Hakim.
e. Al-Mustakhraj: Kitab yang berisi
hadis-hadis dari kitab lain yang diriwayatkan oleh penyusunnya dengan sanad
yang berbeda, lalu bertemu atau bersatu di tengah sanad penyusun kitab asal. Di
ntaranya: Al-Mustahkraj ala Sahihain susunan Abu Nuaim.
2. Kitab hadis yang disusun berdasarkan
nama-nama sahabat.
a. Al-Musnad: Kitab yang menghimpun
hadis-hadis berdasarkan urutan sahabat. Ada yang disusun berdasarkan huruf
hijaiyah, atau waktu keislamannya, atau keutamaannya. Di antaranya: Al-Musnad
Imam Ahmad dan Al-Musnad Abu Ya’la Al-Musili.
b. Al-Atraf : Kitab yang diringkas
oleh penyusunya dengan menyebutkan sebagian matan hadis saja kemudian
disebutkan sanad-sanad setiap matan tersebut dalam maraji’ aslinya. DI
antaranya: Tuhfatul Ashraf bima’rifatil Athraf, susunan Yusuf bin Abdurrahman
Al-Mizi.
c. Al-Mu’jam : Kitab yang menghimpun
hadis-hadis berdasarkan urutan syaikh dan biasanya disusun berdasarkan urutan
huruf hijaiyah. Di Antaranya: Al-Mu’jamul Kabir, Al-Ausat, dan As-Sagir,
susunan Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani. Al-Mu’jamul Ausath dan As-Sagir disusun
berdasarkan nama guru-guru At-Thabrani sedangkan Al-Mu’jamul Kabir disusun
berdasarkan nama sahabat.
d. Kitab-kitab Sahih
d.1. Sahih Al-Bukhari, susunan
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari
d.2. Sahih Muslim, susunan Muslim bin
Al-Hajaj
d.3. Sahih Ibnu Khuzaimah,
susunan Abu bakar Muhammad bin Isaq bin Khuzaimah (311 H)
d.4. Sahih Ibnu Hiban,
susunan Abu Hatim Muhammad bin Hiban bin Ahmad bin Hiban (354 H)
d.5. Sahih Ibnu Sakan,
susunan Abu ali Said bin Usman bin Said Ibnu sakan (353 H)
d.6. Sahih Al-Ismaili,
susunan Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim bin Ismail (371 H)
Penyebutan sahih tersebut bersifat umum saja,
karena kitab-kitab sahih selain Al-Sahihain kualitasnya berada di bawah kedua
kitab tersebut. Oleh karena itu hadis-hadisnya tidak mutlak dapat dipakai
hujjah.
- Kitab-kitab As-Sunan dan
kelebihan serta kekurangannya
a. Sunan Abu Daud,
susunan Sulaiman bin Al-’Asy’ats As-Sijistani (275 H). Jumlah hadisnya sebanyak
4800 hadis dan dibagi menjadi 35 buah kitab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1871
bab.
b. Sunan At-Tirmidzi,
susunan Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi (279 H). Sunan At-Tirmidzi
merupakan salah satu sumber hadis hasan yang paling penting. Dalam Kitab
tersebut terdapat empat bagian: Bagian yang dipastikan kesahihannya; Bagian
yang sesuai dengan syarat Abu daud dan An-Nasai; Bagian yang jelas illatnya;
Bagian keempat yang telah diamalkan oleh sebagian ulama.
c. Sunan An-Nasai,
susunan Abu Abdurrahman Ahmad bin
Syu’aib An-nasai (303 H). Sunan An-Nasai yang pertama kali disusun adalah
As-Sunanul Kubra yang berisi hadis sahih, hasan, dan ada pula yang dha’if. Atas
permintaan Amir Ar-ramlah kitab tersebut diseleksi kembali dan hadis-hadis
sahihnya dipisahkan, kemudian dihimpun dalam satu kitab tersendiri yang dinamai
As-Sunanus Shughra atau Al-Mujtaba yang kemudian populer dengan sebutan sunan
An-Nasai. Sunan inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab dalam
kutubus sittah.
d. Sunan Ibnu Majah,
susunan Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini (273 H)
Kelebihan dan kekurangannya
·
Di dalam Sunan Abu Daud dihimpun segala macam
hadis yang menyangkut soal hukum dengan sistimatika yang baik dan indah. Di
samping itu pada umumnya diterangkan penilaian terhadap para perawi dan
hadis-hadisnya. Sunan At-Tirmidzi
memberikan tambahan pengetahuan tentang ilmu hadis. Sunan Ibnu Majah
menampilkan fikih yang sistematis. Dan Sunan An-Nasai memberikan faidah fikih
matan dan sanad hadis.
·
Pada kitab-kitab tersebut masih
dicantumkannya hadis-hadis dhaif dan hadis-hadis yang tidak disepakati kesahihannya
oleh para ulama. Menurut pandangan kami hal ini merupakan kelemahan dari
kitab-kitab tersebut.
Oleh
karena itu, bagi para peneliti dan peminat hadis hendaknya tidak terlalu cepat
mengambil hadis dari kitab-kitab tersebut, baik yang telah dijelaskan statusnya
ataupun belum, kecuali setelah diteliti dan dikaji ulang secara mendalam sampai
diketahui statusnya; Sahih, Hasan, atau Dhaif.
12. Klasifikasi rawi dengan
cara mengetahui sifatnya
Ditinjau
dari segi diketahui dan tidaknya sifat-sifat rawi, maka rawi-rawi hadis terbagi
kepada dua bagian. Pertama, yang diketahui sifatnya: mu’addal atau majruh.
Kedua, yang tidak diketahui sifatnya: majhul.
- Majhul terbagi kepada dua
macam:
1. Majhul ‘ain : هُوَ مَنْ
ذُكِرَ اسْمُهُ وَلَكِنْ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ إِلاَّ رَاوٍ وَاحِدٌ
“Yaitu seorang rawi disebut
namanya, tetapi tidak ada yang meriwayatkan hadis darinya kecuali seorang
(muridnya hanya seorang).
2. Majhul hal (al-mastur) : مَنْ رَوَى عَنْهُ اثْنَانِ
فَأَكْثَرَ لَكِنْ لَمْ يَوَثَّقْ “Seseorang
yang diriwayatkan hadisnya oleh dua orang rawi atau lebih tetapi tidak ada
seorang pun yang menilainya tsiqat”
Oleh : A Muchtar