Ibnu
Taimiyah, Dai dan Mujahid Besar
Demi
Allah, tidaklah benci kepada Ibnu Taimiyah melainkah orang yang bodoh atau
pengikut hawa nafsu. Qodhinya para qadhi Abdul Bar As-Subky
NAMA
DAN NASAB
Beliau
adalah imam, Qudwah, `Alim, Zahid dan Da`i ila Allah, baik dengan kata,
tindakan, kesabaran maupun jihadnya; Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela
dinullah daan penghidup sunah Rasul shalallahu`alaihi wa sallam yang telah
dimatikan oleh banyak orang, Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidhir
bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy Al-Harrany Ad-Dimasyqy.Lahir di Harran,
salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah
(Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu`ul Awal tahun 661H.
Beliau
berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya
masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh
perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang
dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta
benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.
Suatu
saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja
pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah
(mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta`ala. Akhirnya mereka bersama
kitab-kitabnya dapat selamat.
PERTUMBUHAN
DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU
Semenjak
kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di
Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur`an dan mencari berbagai cabang ilmu
pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta
kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.
Ketika
umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin
dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab.
Pada
unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali,
kemudian kitabu-Sittah dan Mu`jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu
kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab
(suatu kota
lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk
melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir.
Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan
hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan
tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun
dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut
berkata: Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab
belum pernah ada seorang bocah seperti dia.
Sejak
kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai
kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang
bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar,
menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya shallallahu`alaihi wa
sallam.
Lebih
dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak
pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: Jika dibenakku sedang
berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku,
maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku
menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar,
di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan
beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.
Begitulah
seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya
mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha` dan ilmu serta
dinnya telah mencapai tataran tertinggi.
PUJIAN
ULAMA Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib
AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu
Taimiyah, berkata: Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada
(Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu
Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany,
Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.
Al-Hafizh
Al-Mizzy mengatakan: Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah …..
dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan
sunnah Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam serta lebih ittiba` dibandingkan
beliau.
Al-Qadhi
Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: Setelah aku berkumpul dengannya,
kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan
saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan
aku pernah berkata kepadanya: Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manasia
seperti anda.
Penguasaan
Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah,
hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya,
hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-`Allamah Kamaluddin
bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: Apakah ia ditanya tentang
suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan
menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin
bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya. Para Fuqaha dari berbagai
kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran
bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah
diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Beliau tidak
pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain,
melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai
goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan, pembagian kata dan
penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.
Imam
Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: Dia adalah lambang
kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab
was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya,
beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan,
amar ma`ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat
menguasai hadits dan fiqh.
Pada
umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat
menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik
pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi
lain Adz-Dzahabi mengatakan: Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai
rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta`dil, Thabaqah-Thabaqah sanad,
pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits
yang menyendiri padanya .. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa
menyamai atau mendekati tingkatannya .. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: Setiap
hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.
Demikian
antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.
DA`I,
MUJAHID, PEMBASMI BID`AH DAN PEMUSNAH MUSUH Sejarah telah mencatat bahwa bukan
saja Ibnu Taimiyah sebagai da`i yang tabah, liat, wara`, zuhud dan ahli ibadah,
tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela
tiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedannya, seperti
halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.
Dengan
berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk
bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya.
Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada
salah seorang amir yang mempunyai diin yang baik dan benar, memberikan
kesaksiannya: …tiba-tiba (ditengah kancah pertempuran) terlihat dia bersama
saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan
peringatan keras supaya tidak lari… Akhirnya dengan izin Allah Ta`ala, pasukan
Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan
Hijaz.
Tetapi
karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak kepada
al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para penguasa, para
ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum
lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus
mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.
KEHIDUPAN
PENJARA Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta
antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai
penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir beliau
harus masuk ke penjara Qal`ah di Dimasyq. Dan beliau berkata: Sesungguhnya aku
menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.
Dalam
syairnya yang terkenal beliau juga berkata:
Apakah
yang diperbuat musuh padaku !!!!
Aku,
taman dan dikebunku ada dalam dadaku
Kemanapun
ku pergi, ia selalu bersamaku
dan
tiada pernah tinggalkan aku.
Aku,
terpenjaraku adalah khalwat
Kematianku
adalah mati syahid
Terusirku
dari negeriku adalah rekreasi.
Beliau
pernah berkata dalam penjara:
Orang
dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan
ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.
Ternyata
penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak
menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang aqidah, tafsir dan
kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid`ah.
Pengagum-pengagum
beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak
penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya oleh beliau agar mereka
iltizam kepada syari`at Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan
melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan
suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang
sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya
penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.
Tetapi
kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan munafiqin serta ahlul
bid`ah semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa
memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun
menjadikan beliau semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada
pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan
mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat
keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari
tangan Ibnu Taimiyah.
Namun
beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang.
Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya.
Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan
berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan
tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu Taimiyah
dan kita sekalian ke dalam surganya.
WAFATNYA
Beliau
wafatnya di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya
yang menonjol, Al-`Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah.
Beliau
berada di penjara ini selamaa dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami
sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu beribadah,
berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur`an. Dikisahkan, dalam tiah harinya ia
baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al-Qur`an delapan
puluh atau delapan puluh satu kali.
Perlu
dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima pemberian
apa pun dari penguasa.
Jenazah
beliau dishalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur. Semua
penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk
para Umara`, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu.
Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak
keluar untuk menghormati kepergian beliau.
Seorang
saksi mata pernah berkata: Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang pun yang
ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi
menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. Bahkan menurut ahli sejarah,
belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang
sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.
Beliau
wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di
samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Semoga Allah
merahmati Ibnu Taimiyah, tokoh Salaf, da`i, mujahidd, pembasmi bid`ah dan
pemusnah musuh. Wallahu a`lam.
Dinukil
dari buku: Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli,
cet II 1397 H/1977 M. Maktabah Dar-Al-Ma`rifah–Dimasyq. hal. Depan
Ibnu
Taimiyah
Bidang
: Pemikir Islam | Hits : 16
Ibnu
Taimiyah adalah ahli fiqh Mazhab Hambali. Pengaruh pemikirannya sangat besar
terhadap gerakan Wahabi, dan kelompok-kelompok agama yang ekstrem yang ada di
duni Islam saat ini.
Beliau
adalah contoh hidup untuk menjelaskan pengaruh negara dan masyarakat. Ketika
terjadi bencana yang ditimbulkan oleh Moghul, beliau sedang berada di Damaskus.
Beliau berbicara kepada manusia mengenai pentingnya perjuangan. Ucapan beliau
meninggalkan kesan dalam jiwa para pemimpin dan sultan. Setelah tentera Moghul
disingkirkan dari Damaskus, di bawah pimpinan Qazan, Ibnu Taimiyah dan para
pengikutnya mengunjungi kedai-kedai yang menjual arak dan memmecahkan semua
botol-botol arak. Beliau menyerang dengan pena dan lidahnya, semua kelompok
Islam, seperti Khawarij, Syi?ah, Murji?ah, Qadariyah, dan sebagainya.
Sudah
menjadi fitrah alam, tindakan kekerasan terhadap musuh-musuhnya mendapat reaksi
yang keras juga. Ada
yang menuduh beliau seorang yang berdosa. Ada
juga yang meminta sultan mengenakan hukuman kepada beliau. Beberapa tahun
lamanya beliau menghabiskan masa di dalam penjara di Damaskus dan Mesir. Beliau
menghabiskan masanya di salah sebuah penjara di Damaskus hingga meninggal
dunia.
Ibnu
Taimiyah meninggalkan karya penulisan yang sangat banyak kepada kita. Beliau
membetulkan para sufi dan juga para fuqaha?. Beliau ingin kepada satu pandangan
yang baru. Menurut beliau adalah tdak berdosa seseorang itu mengeluarkan
pendapat yang berbeza dengan pendapat para ulama. Beliau juga memerangi
orang-orang yang mengamalkan bid?ah dan syirik.
Beliau
menentang keras mereka yang menentangnya daan sangat ketat dalam melaksanakan
al-amr bil ma?ruf wa al-nahyu ?an munkar. Beliau memikul sendiri tanggungjawab
dan tgas mengawasi manusia, besar ataupun kecil, agar mereka selalu menjaga
adab sopan Islam dan perilaku mereka.
Menurut
beliau, umat Islam merupakan umat yang utama. Tiada umat yang lain yang telah
ditetapkan Allah malalui al-Quran dan Al-Hadith, bagi mewujudkan apa yang Allah
kehendaki di muka bumi ini. Semua anggota umat itu perlu bersatu untuk
melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan.
Bagi
memastikan tujuan itu tercapai, haruslah didirikan sebuah daulah atau kerajaan
yang memeimpin Negara Islam tersebut yang menegakkan keadilan dan memastikan
manusi melaksanakan kewajipan agama mereka, hidup bermasyarakat dengan baik,
serta menjaga agar penguasa tidak melakukan penipuan dan korupsi.
Sunday,
March 19, 2006 - IBNU TAIMIYYAH DALAM PANDANGAN PARA
IMAM AHLU SUNNAH
Ibnu
Taimiyyah yang lahir pada tahun 661 Hijrah dalam keluarga
Hambali
di kota Haran.
Ibnu Taimiyyah tumbuh di dalam lingkungan
keluarga
ini, dan belajar kepada ayahnya, yang telah memperuntukkan
kursi
untuknya di Damaskus setelah kepindahannya ke sana. Ibnu
Taimiyyah
juga belajar kepada orang lain dalam bidang ilmu hadis,
ilmu
rijal al-hadis, ilmu bahasa, tafsir, fikih dan ushul. Setelah
ayahnya
meninggal dunia, Ibnu Taimiyyah memimpin majlis pelajaran
yang
ditinggalkan ayahnya.
Dia
memanfaatkan mimbar yang ada untuk berbicara mengenai sifat-sifat
Allah
SWT, dengan menyebutkan argumentasi-argumentasi yang memperkuat
keyakinan
orang-orang yang berpegang kepada paham tajsim. Ini tampak
jelas
sekali ketika dia menjawab pertanyaan2 yang dilontarkan oleh
penduduk
Hamah kepadanya tentang ayat2 sifat. Seperti firman2 Allah
SWT
yang berbunyi, "Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas
'`Arsy",
seperti firman Allah SWT yang berbunyi, "Kemudian Dia menuju
ke
langit", dan seperti sabda Rasulullah saw yang berbunyi,
"Sesungguhnya
hati anak Adam berada di antara dua jari Tuhan Yarig
Maha
Pemurah". Ibnu Taimiyyah menjawab pertanyaan2 mereka melalui
risalah
yang panjang, yang kemudian dinamakan dengan "keyakinan
Hamawiyyah".
Di
dalam risalahnya itu tersingkap keyakinannya tentang faham tajsim
(menjasmanian
Allah SWT) dan tasybih(menyerupakan Allah SWT dengan
Makhluk),
namun dengan tidak secara terang2, melainkan dengan
menggunakan
kata2 yang samar, yamg kalau sekiranya kata2 itu
dihilangkan
niscaya akan tampak jelas kenyataan yang sesungguhnya.
Risalahnya
ini telah menimbulkan kegegeran di kalangan para ulama.
Para
ulama mengecamnya, dan Ibnu Taimiyyah pun meminta perlindungan
kepada
penguasa Damaskus yang telah membantunya. Ibnu Katsir
menuturkan
peristiwa ini, "Telah terjadi malapetaka besar bagi Syeikh
Taqiyyuddin
Ibnu Taimiyyah di kota Damaskus. Sekelompok para fukaha
bangkit
menentangnya, dan hendak menghadirkannya ke majlis hakim
Jalaluddin
al-Hanafi, namun dia tidak hadir. Maka dia pun dipanggil
ke
pusat kota untuk ditanyai mengenai keyakinan yang pernah
ditanyakan
penduduk Hamah kepadanya, yang dinamakan dengan "keyakinan
Hamawiyyah".
Amir
Saifuddin Ja'an berpihak kepada Ibnu Taimiyyah, dan
dia
mengirim surat untuk meminta orang2 yang telah menentang Ibnu
Taimiyyah.
Melihat itu, sebagian besar dari mereka pun bersembunyi.
Sultan
Saifuddin Ja'an memukuli sekelompok orang yang memprotes
akidah
yang diajarkan oleh Ibnu Taimiyyah, sehingga sebagian yang
lainnya
pun menjadi diam." [Al-Bidayah wa an-Nihayah, jld 14, hal 4-
5].
Para
ulama bersikap diam terhadap keyakinan yang menyimpang,
dikarenakan
kekuatan penguasa mendukung keyakinan yang menyimpang
itu.
Dengan begitu, Ibnu Taimiiyah mendapat kesempatan untuk
berbicara
sesukanya.
Seorang
saksi mata, yang merupakan seorang pengembara terkenal yang
bernama
Ibnu Bathuthah, telah menukilkan kepada kita tentang
keyakinan
Ibnu Taimiyyah mengenai Allah SWT. Dia mengatakan bahwa
secara
kebetulan dia pernah menghadiri pelajaran Ibnu Taimiyyah
di
mesjid Umawi. Ibnu Bathuthah berkata, "Ketika itu saya sedang
berada
di kota Damskus. Maka pada hari Jumat saya pergi untuk
menghadiri
pelajarannya. Di sana, saya menemukan dia tengah berbicara
di
hadapan manusia di atas mimbar mesjid jami'. Salah satu dari
pembicaraannya
ialah, 'Sesungguhnya Allah SWT turun ke langit dunia
sebagaimana
turunnya saya ini', sambil dia memperagakan turun satu
tingkat
anak tangga dari atas mimbar.
Seorang
Fakih Maliki, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Zahra
memprotesnya
dan mengecam apa yang dikatakannya. Melihat itu, para
hadirin
berdiri menyerang Fakih Maliki tersebut. Mereka memukulinya
dengan
tangan dan sendal, sehingga sorbannya jatuh, dan kemudian
tampak
di atas kepalanya terdapat kain tipis dari sutera. Melihat
itu,
mereka pun mengecam pakaian yang dipakainya, dan kemudian
membawanya
ke rumah 'lzzuddin bin Muslim, seorang qadi Hanbali. Lalu
qadi
itu memerintahkan supaya Fakih Maliki itu dipenjara dan
dipukul."
[Rihlah Ibnu Bathuthah, hal 95]
Perkataan
Ibnu Taimiiyah ini direkam oleh Ibnu Hajar al-'Asqalani di
dalam
kitabnya ad-Durar al-Kaminah, jilid 1, hal 154. Dari
perkataannya
ini tampak sekali kefanatikannya yang sangat terhadap
orang-orang
yang mengakui sifat2 Allah SWT ini, hingga sampai batas
dia
menyerupakan dirinya dengan Allah SWT. Sungguh ini merupakan
kekufuran
yang sesungguhnya.
Dia
menyembunyikan keyakinan2 ini dengan label keyakinan salaf. Dia
membuat
kebohongan atas salaf dan berlindung kepada mereka, dengan
tujuan
untuk menyembunyikan kejelekan2 keyakinannya.
Syahrestani
membantah pengakuan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa
mazhabnya
adalah mazhab salaf di dalam kitabnya al-Milal wa an-Nihal,
"Sekelompok
orang2 terkemudian bersikap berlebihan atas apa yang
telah
dikatakan oleh kalangan salaf. Mereka mengatakan, 'Ayat2 ini
mau
tidak mau harus diterapkan pada makna zhahirnya', sehingga
mereka
pun jatuh ke dalam paham tasybih semata. Yang demikian itu
jelas
bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh kalangan salaf.
Paham
tasybih hanya ada pada orang-orang Yahudi, namun tidak pada
seluruh
mereka," [Al-Milal wa an-Nihal, hal 84]
Ibnu
Taimiyyah telah menipu masyarakat umum dengan generalisasi yang
dia
lakukan. Sebagai contoh, dia mengatakan, "Adapun yang saya
katakan
dan tulis sekarang, meskipun saya belum pernah me-
nuliskannya
pada jawaban2 saya yang telah lalu, namun saya sudah
sering
mengatakan di majlis2, 'Sesungguhnya berkenaan dengan seluruh
ayat
sifat yang terdapat di dalam Al-Qur'an, tidak terdapat
perselisihan
di kalangan para sahabat di dalam pentakwilannya. Saya
telah
membaca berbagai tafsir yang ternukil dari para sahabat,
begitu
juga hadis2 yang mereka riwayatkan, dan saya juga telah
menelaah
banyak sekali kitab2 baik yang besar maupun yang kecil,
yang
jumlahnya lebih dari seratus kitab tafsir, namun saya belum
menemukan
seorang pun dari para sahabat, hingga saat ini, yang
mentakwil
ayat2 sifat atau hadis2 sifat dengan sesuatu yang
bertentangan
dengan pengertiannya yang sudah dikenal." [Tafsir Surah
an-Nur,
Ibnu Taimiyyah, hal 178 - 179]
Dengan
cara inilah masyarakat umum membenarkan perkataannya. Namun,
dengan
sedikit saja kita merujuk kepada kitab-kitab tafsir ma 'tsurah
niscaya
akan tampak bagi kita kebohongan Ibnu Taimiyyah. Apakah itu
di
dalam ketidak-merujukkannya kepada kitab-kitab tafsir, atau di
dalam
pengklaimannya akan tidak adanya takwil dari para sahabat
berkenaan
dengan ayat2 sifat. Saya kemukakan beberapa contoh berikut
ini:
Jika kita merujuk ke dalam kitab tafsir ath-Thabari, yang oleh
Ibnu
Taimiyyah digambarkan sebagai berikut, "Di dalamnya tidak
terdapat
bid'ah, dan tidak meriwayatkan dari orang-orang yang menjadi
tertuduh."
[Al-Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, hal 51]
Ketika
kita merujuk kepada ayat kursi, yang oleh Ibnu Taimiyyah
dianggap
termasuk salah satu ayat sifat yang terbesar, sebagaimana
yang
dia katakan di dalam kitab al-Fatawa al-Kabirah, jilid 6, hal
322,
Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu
Abbas,
berkenaan dengan penafsiran firman Allah SWT yang
berbunyi,
"Kursi Allah meliputi langit dan bumi. " Thabari
berkata,
"Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti
kursi.
Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu
Allah.
Orang yang berpendapat demikian bersandar kepada Ibnu Abbas
yang
mengatakan, 'Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.' Adapun riwayat lainnya
yang
juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, 'Kursi-Nya adalah
ilmu-Nya.
Bukankah kita melihat di dalam firman-Nya, 'Dan Allah
tidak
merasa berat memelihara keduanya. '"[Tafsir ath-Thabari, jld
3,
hal 7]
Perhatikanlah,
betapa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah tidak lain
kebohongan
yang nyata. Dia mengatakan, "Kalangan salaf tidak berbeda
pendapat
sedikit pun di dalam masalah sifat", padahal Thabari
mengatakan,
"Para ahli takwil berbeda pendapat". Ibnu Taimiyyah juga
mengatakan,
"Saya tidak menemukan hingga saat sekarang ini seorang
sahabat
yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat sifat", disertai dengan
pengakuannya
bahwa dia telah merujuk seratus kitab tafsir, padahal
Thabari
menyebutkan dua riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas.
Berikut
ini contoh yang kedua, yang masih berasal dari kitab tafsir
Thabari.
Pada saat menafsirkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan
Allah
Mahatinggi dan Mahabesar", Thabari berkata, "Para pengkaji
berbeda
pendapat tentang makna firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan
Allah
Mahatinggi dan Mahabesar.'
Sebagian
mereka berpendapat, 'Artinya ialah, 'Dan Dia Mahatinggi
dari
padanan dan bandingan.' Mereka menolak bahwa maknanya
ialah
'Dia Mahatinggi dari segi tempat.' Mereka mengatakan, Tidaklah
boleh
Dia tidak ada di suatu tempat. Maknanya bukanlah Dia tinggi
dari
segi tempat. Karena yang demikian berarti menyifati Allah SWT
ada
di sebuah tempat dan tidak ada di tempat yang lain.'"[Tafsir ath-
Thabari,
jld 3, hal 9] Demikianlah pendapat kalangan salaf.
Sedangkan
Ibnu Taimiyyah telah memilih jalan yang lain bagi dirinya,
namun
kemudian dia tidak menemukan orang yang mendukung jalannya,
maka
dia pun menisbahkan jalannya kepada salaf. Padahal kita melihat
kalangan
salaf tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah SWT,
sementara
Ibnu Taimiyyah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-
hadis
Nabi untuk membuktikan keyakinan tempat bagi Allah SWT, di
dalam
risalah yang ditujukannya bagi penduduk kota Hamah.
Bahkan,
tatkala dia sampai kepada firman Allah SWT yang
berbunyi,
"Sesungguhnya Allah SWT bersemayam di atas '`Arsy", dia
mengatakan,
"Sesung-guhnya Dia berada di atas langit." Yang dia
maksud
adalah tempat. [Al-'Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, yang
merupakan
kumpulan surat-surat Ibnu Taimiyyah, hal 329 - 332].
Adapun
di dalam kitab tafsir Ibnu 'Athiyyah, yang oleh Ibnu Taimiyyah
dianggap
sebagai kitab tafsir yang paling dapat dipercaya, disebutkan
beberapa
riwayat Ibnu Abbas yang telah disebutkan oleh Thabari di
dalam
kitab tafsirnya. Kemudian, Ibnu 'Athiyyah memberi-kan komentar
tentang
beberapa riwayat yang disebutkan oleh Thabari, yang dijadikan
pegangan
oleh Ibnu Taimiyyah, "Ini adalah perkataan-perkataan bodoh
dari
kalangan orang-orang yang mempercayai tajsim. Wajib hukumnya
untuk
tidak menceritakannya." [Faidh al-Qadir, asy-Syaukani]
Berikut
ini adalah bukti lainnya berkenaan dengan penafsiran firman
Allah
SWT yang berbunyi, "Segala sesuatu pasti binasa kecuali
wajah-Nya"
(QS. al-Qashash: 88), dan juga firman Allah SWT yang
ber-bunyi,
"Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu, yang mempunyai kebesaran
dan
kemuliaan" (QS. ar-Rahman: 27), di mana dengan perantaraan kedua
ayat
ini Ibnu Taimiyyah menetapkan wajah Allah SWT dalam arti yang
sesungguhnya.
Thabari
berkata, "Mereka berselisih tentang makna firman-
Nya,
'kecuali wajah-Nya."' Sebagian dari mereka berpendapat bahwa
yang
dimaksud ialah, segala sesuatu pasti binasa kecuali Dia.
Sementara
sebaaian lain berkata bahwa maknanya ialah, kecuali yang
dikehendaki
wajah-Nya, dan mereka mengutip sebuah syair untuk
mendukung
takwil mereka, "Saya memohon ampun kepada Allah dari dosa
yang
saya tidak mampu menghitungnya Tuhan, yang kepada-Nya lah wajah
dan
amal dihadapkan." [Tafsir ath-Thabari, jld 2, hal 82].
Al-Baghawai
berkata, "Yang dimaksud dengan 'kecuali wajah-Nya' ialah
'kecuali
Dia'. Ada juga yang mengatakan, 'kecuali kekuasaan-Nya'."
Abul
'lyalah berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehandaki
wajah-Nya'.
[Tafsir al-Baghawi]
Di
dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata,
"Artinya
ialah 'kecuali yang dikehendaki wajah-Nya'."Dari Mujahid
yang
berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehendaki
wajahnya.'"
Dari Sufyan yang berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali
yang
dikehendaki wajah-Nya, dari amal perbuatan yang saleh'."
Inilah
pendapat kalangan salaf yang sesungguhnya. Lantas, atas dasar
apa
Ibnu Taimiyyah mengatakan tentang keyakinannya, "Ini adalah
keyakinan
kalangan salaf "????.
Jangan
Anda katakan kepadanya kecuali firman Allah SWT yang berbunyi,
"Mengapa
Anda mencampur-adukkan yang hak dengan yang batil, dan
menyembunyikan
kebenaran, padahal Anda mengetahui?" (QS. Ali 'lmran:
71)
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan
berupa keterangan2 (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya
kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati
Allah
dan dilaknati (pula) oleh orang-orang yang melaknati. " (QS.
al-Baqarah:
159).
Oleh
karena itu, para ulama semasanya tidak tinggal diam atas
perkataan2nya.
Mereka memberi fatwa tentangnya dan memerintahkan
manusia
untuk menjauhinya. Hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah dipenjara,
dilarang
menulis di dalam penjara, dan kemudian meninggal dunia di
dalam
penjara di kota Damaskus, dikarenakan keyakinan2 sesatnya dan
pikiran2
ganjilnya. Banyak dari kalangan para ulama dan huffadz yang
telah
menulis kitab untuk membantah keyakinan-keyakinannya.
Adz-Dzahabi
telah menulis surat kepadanya, yang berisi kecaman
terhadapnya
atas keyakinan2 yang dibawanya. Surat adz-Dzahabi
tersebutcukup
panjang, dan kita cukup mengutip beberapa penggalan
sajadarinya.
'Allamah al-Amini telah menukil surat adz-Dzahabi ini
secara
lengkap di dalam kitab al-Ghadir, jilid 7, hal 528, yang dia
nukil
dari kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil, karya al-Kautsari,
halaman
190.
Salah
satu penggalan dari surat adz-Dzahabi tersebut ialah,
"Betapa
meruginya orang yang mengikutimu. Karena mereka dihadapkan
kepada
kekufuran. Terlebih lagi jika mereka orang yang sedikit
ilmunya
dan tipis agamanya, serta mengikuti hawa nafsunya. Mereka
mendatangkan
manfaat bagimu dan membelamu dengan tangan dan lidah
mereka.
Padahal, sesungguhnya mereka itu adalah musuhmu dengan
keadaan
dan hati mereka. Tidaklah mayoritas orang yang mengikutimu
melainkan
orang yang kurang akalnya, pendusta yang bodoh, orang
asing
yang kuat makarnya, atau orang jahat yang tidak memiliki
pemahaman.
Jika kamu tidak percaya apa yang aku katakan, silahkan
periksa
dan timbang mereka..."
Di
dalam kitab ad-Durar al-Kaminah, karya Ibnu Hajar al-'Asqalani,
jilid
1, halaman 141 disebutkan, "Dari sana sini orang menolaknya.
Tidaklah
kebohongan dan pikiran-pikiran ganjil yang diciptakan oleh
tangannya
yang berlumuran dosa itu berasal dari Al-Qur'an, sunah,
ijmak
dan qiyas. Dan di kota Damaskus diumumkan, 'Barangsiapa yang
berpegang
kepada akidah Ibnu Taimiyyah, darah dan hartanya halal.'"
Al-Hafidz
Abdul Kafi as-Subki telah berkata tentangnya. Dia juga
telah
menulis sebuah kitab yang membantah keyakinan-keyakinan Ibnu
Taimiyyah,
yang diberinya judul Syifa al-Asqamfi Ziyarah Khair al-
Anam
'alaihi ash-Shalah wa as-Salam.
Al-Hafidz
Abdul Kafi as-Subki telah berkata di dalam pengantar
kitabnya,
yang berjudul ad-Durrah al-Mudhi'ahfi ar-Radd 'ala Ibnu
Taimiyyah,
"Manakala Ibnu Taimiyyah membuat sesuatu yang baru
(bid'ah)
di dalam bidang dasar2 keyakinan (ushul al-'aqa'id), dan
merusak
pilar2 Islam, setelah sebelumnya dia bersembunyi dengan
slogan
mengikuti Al-Qur'an dan sunah, menampakkan diri sebagai
penyeru
kepada kebenaran, dan petunjuk kepada jalan surga, maka dia
telah
keluar dari mengikuti Al-Qur'an dan sunah kepada membuat
bid'ah,
menyimpang dari jamaah kaum Muslimin dengan meyalahi ijmak,
dan
mengatakan sesuatu yang menuntut timbulya keyakinan tajsim dan
tarkib
pada Zat Yang Mahasuci, dan keyakinan yang mengatakan bahwa
butuhnya
Allah SWT kepada bagian-Nya bukanlah sesuatu yang
mustahil."
[Al-Milal wa an-Nihal, jld 4, hal 42, Syahrestani]
Berpuluh-puluh
ulama telah mengecam dan memprotesnya. Namun kita
tidak
mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengemukakan dan meneliti
perkataan-perkataan
mereka satu persatu. Pada kesempatan ini kita
cukup
mengemukakan apa yang telah dikatakan oleh Syihabuddin Ibnu
Hajar
al-Haitsami.
Syihabuddin
Ibnu Hajar al-Haitsami berkata di dalam biografi Ibnu
Taimiyyah,
"Ibnu Tamiyyah adalah seorang hamba yang telah
dipermalukan
oleh Allah, telah disesatkan-Nya, telah dibutakan-Nya,
telah
dibisukan-Nya dan telah dihinakan-Nya. Oleh karena itu, para
imam
secara terang-terangan menjelaskan kejelekan-kejelakan
keadaannya,
dan mendustakan perkataan-perkataannya. Barangsiapa yang
ingin
mengetahui hal itu, dia harus menelaah Imam al-Mujtahid, yang
disepakati
keimamahan dan derajat kemujtahidannya, yaitu Abul Hasan
as-Subki,
dan juga putranya, Syeikh al-Imam al-'Izz bin Jamaah, yang
merupakan
ahli jamannya.
Ibnu
Taimiyyah tidak hanya mengecam generasi salaf ter-akhir dari
kalangan
sufi, melainkan juga mengecam orang seperti Umar bin
Khattab
ra dan Ali bin Abi Thalib ra. Alhasil, perkataan Ibnu
Taimiyyah
tidak dapat dijadikan ukuran, melainkan harus dicampak-kan
dengan
penuh kehinaan. Abul Hasan as-Subki berkata, 'lbnu Tamiyyah
adalah
pembuat bid'ah, sesat, menyesatkan, dan berlebih-lebihan.
Semoga
Allah memperlakukannya dengan keadilan-Nya, dan melindungi
kita
dari jalan, keyakinan dan perbuatan seperti jalan, keyakinan
dan
perbuatannya. Amin!" [Al-Milal wa an-Nihal, jld 4, hal 42]
Ibnu
taimiyyah juga berkeyakinan bahwa orang tua rasulullah saw
berada
di neraka, dan rasulullah saw dilarang untuk memintakan
ampunan
kepada mereka [Ikhthaza us Sirathul Mustaqim oleh Ibnu
Taimiyyah
hal. 401]. Padahal Al-Quran menyebutkan bahwa sulbi-sulbi
tempat
bersemayamnya nur [nur rasulullah saw] itu adalah sulbi-sulbi
orang-orang
suci. Ini berarti bahwa orangtua dan nenek moyang
Rasulullah
sampai ke Nabi Adam as. Istilah al-Quran, al-Sajidîn,
orang-orang
patuh. Allah berfir-man:Dan bertawakallah kepada Tuhan
Yang
Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau
bangun
dan perpindahanmu dari sulbi ke sulbi orang-orang patuh (QS.
26:217-219). Al Allamah Jalaluddin Suyuti dan Qadhi Ibn
`Arabi
menulis
: Barang siapa mengatakan kedua orang tua rasulullah saw
kafir
maka terlaknat dan tempatnya di neraka. ["Manifa fi abbaya
Shareefa"
oleh Allamah al Hafidh Jalaluddin Suyuti, "Risala Turzul
Imama"
oleh Qadhi Ibn Arabi]
Ibnu
Taimiyyah juga memfitnah rasulullah saw dengan mengatakan: "
Pendapat
yang mengatakan bahwa rasulullah saw terjaga dari dosa
besar
tapi tidak terjaga dari dosa kecil , adalah bukan hanya
pendapat
mayoritas ulama islam dan seluruh madzhab, melainkan
pendapat
semua kalangan ahli tafsir, ahli hadist, dan para
fuqaha.Tidak
ada riwayat dari para sahabat, tabi'in , para imam
salaf
yang tidak setuju dengan pendapat ini. [majmu' al fatawa oleh
Ibnu
Taimiyyah vol 4 hal. 319 - 320] Padahal Nabi Muhammad saw
adalah
manu-sia suci. Tidak pernah berbuat kesalahan, apalagi dosa.
Namun
demikian, ia tetap manusia biasa seperti manusia lainnya,
dalam
arti bahwa secara biologis tidak ada perbedaan antara Nabi saw
dengan
yang lain. Allah berfirman dalam QS. 33:33: Sesungguhnya yang
dikehendaki
Allah ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala
kotoran
dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. Nabi Muhammad selalu
dibimbing
Allah Swt. Ucapannya, perbuatannya, tutur katanya dan
sebagainya
semuanya di bawah pengarahan dan bimbingan Allah Swt.
Sesungguhnya
dia (Muhammad) tidak bertu-tur kata atas dasar hawa
nafsu,
melainkan se-muanya semata-mata adalah wahyu yang di-wahyukan
kepadanya
(QS. 53:3-4).
Nabi
Muhammad saw adalah panutan yang sempurna, uswatun hasanah.
Allah
berfirman: "Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terda-pat
teladan
yang baik buat kamu." (QS.33:21). Karena itu, maka "Apa pun
yang
di-bawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarang-nya
harus
kamu jauhi." (QS. 59:7)
Ibnu
Taimiyyah juga mengatakan bahwa Iblis dapat menipu manusia
dengan
berpenampilan menyerupai rasulullah saw, " para malaikat
tidak
dapat menolong manusia, tapi setan bisa dengan berwujud
seperti
manusia, kadang2 dia bisa berwujud seperti nabi Ibrahim ,
nabi
Isa, nabi Muhammad, nabi Khidir….." [al wasilah oleh Ibnu
Taimiyyah]
Ibnu
Taimiyyah juga melarang ummat menziaraihi makam rasulullah saw,
"barang
siapa yang berangkat dan berniat menziarahi makam rasulullah
saw
maka telah melakukan bid'ah". Seorang Tokoh ulama Al-Badr bin
Jama`ah,
Qadi al-Qudat di Mesir setelah umat Islam
menulis kepadanya
tentang
pendapat Ibn Taimiyyah mengenai ziarah kubur rasulullah saw,
Qadi
al-Qudat tersebut menjawab:
"
Ziarah Nabi adalah sunnah yang dituntut. Ulama bersepakat dalam hal
ini
dan sesiapa yang berpendapat bahawa ziarah itu adalah haram, maka
para
ulama wajib mengutuknya dan menegahnya daripada mengeluarkan
pendapat
tersebut. Sekiranya dia enggan, maka hendaklah dipenjarakan
dan
diperendah-rendahkan kedudukannya sehingga umat manusia tidak
mengikutinya
lagi."
Bukan
Qadi al-Syafi`iyyah di Mesir saja yang mengeluarkan fatwa ini,
bahkan
Qadi al-Malikiyyah dan al-Hanbaliyyah turut bersama mendakwa
kefasikan
Ibn Taimiyyah dan menghukumnya sebagai sesat dan
menyeleweng[lihat
Taqi Al din Al Hasani, Daf Al Syufhah].
Al-Dhahabi,
salah seorang ulama abad ke-8H/14M, tokoh sezaman dengan
Ibn
Taimiyyah telah menulis sebuah risalah kepadanya, untuk
mencegahnya
daripada mengeluarkan pendapat tersebut ... dan beliau
menyamakannya
dengan al-Hajjaj bin Yusuf al-Thaqafi dari segi
kesesatan
dan kejahatan.
Berikut
ini nama2 Qadhi yang memberikan fatwa untuk menentang Ibnu
Taimiyyah
:
Qadi
Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Jama'ah ash-Shafi'I
Qadi
Muhammad Ibn al-Hariri al-`Ansari al-Hanafi
Qadi
Muhammad Ibn Abi Bakr al-Maliki
Qadi
Ahmad Ibn `Umar al-Maqdisi al-Hanbali.
Selain
itu juga puluhan para ulama2 besar Ahlusunnah wal jamaah yang
menentang
sekaligus memperingatkan ummat akan bahaya kesesatan Ibnu
Taimiyyah,
diantaranya :
Taqiyy-ud-Din
as-Subki
Taj
ud-Din as-Subki
Faqih
Muhammad Ibn `Umar Ibn Makki
Hafiz
Salah-ud-Din al-`Ala'i
Qadi
and Mufassir Badr-ud-Din Ibn Jama'ah
Syaikh
Ahmad Ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi
Hafiz
Ibn Daqiq al-`Id
Qadi
Kamal-ud-Din az-Zamalkani
Qadi
Safi-ud-Din al-Hindi
Ibn
Hajar al-Haitami
Ibnu
Hajar al-'Asqalani
Faqih
and Muhaddith `Ali Ibn Muhammad al-Baji Asy-Syafi'I
Ahli
Sejarah al-Fakhr Ibn al-Mu`allim al-Qurashi
Hafiz
Dhahabi
Mufassir
Abu Hayyan al-`Andalusi
Hafiz
`Alaa al-Din Al-Bukhari
Najm
al-Din Sulaiman Ibn `Abd al-Qawi al-Tufi
Abd
al-Ghani an-Nubulusi
Faqih
dan seorang pengembara Ibn Batuthah
Syaikh
Muhammad Zahid al-Kauthari
Syaikh
Abu Hamid Ibn Marzuq
Syaikh
Thahir Muhammad Sulaiman al-Maliki
Syaikh
Sa'id Ramadhan al-Buti
Kita
cukupkan sampai di sini pembahasan tentang Ibnu Taimiyyah. Orang
ini
amat mahir di dalam mencampur-adukkan antara kebenaran dengan
kebatilan.
Oleh karena itu, sebagian kaum Muslimin berbaik sangka
kepadanya
dan menggelarinya dengan sebutan Syeikh Islam, sehingga
dengan
demikian namanya menjadi masyhur dan ajarannya menjadi
tersebar,
padahal itu semua tidak lain hanyalah kebatilan semata