BIoGRAFI IMAM ASY-SYAFI’I
Pembelaannya terhadap As-Sunnah
Rasanya,
tidak ada seorang pun yang diberi kemudahan oleh Allah di dalam menuntut ilmu,
yang tidak mengetahui sosok satu ini. Sosok salah seorang ulama di antara empat
madzhab terkenal di muka bumi ini, bila tidak dikatakan, yang paling menonjol
dan memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan ulama madzhab lainnya.
Dialah, Imam Asy-Syafi’i yang
madzhabnya lahir setelah melewati fase pematangan dari dua madzhab sebelumnya
yang boleh dikatakan berbeda pandangan di dalam banyak hal.
Tulisan sederhana di dalam lembaran
terbatas ini, dimaksudkan agar kita dapat mengenal lebih dekat lagi terhadap
sosok yang ulama satu ini, terutama tentang pembelaan beliau terhadap sunnah
Rasulullah, sehingga mereka yang selalu menisbatkan dirinya kepada beliau dapat
mengeta-hui secara persis sosok beliau dan tidak hanya sekedar menyatakan
bermadz-hab ‘Syafi’i’ alias menisbatkan pendapat-nya kepada beliau, tetapi jauh
dari sikap beliau di dalam berpegang teguh kepada As-Sunnah dan memberantas
bid’ah.
Dengan begitu, kita telah memberikan
hak beliau sebagaimana layaknya dan tidak menzhalimi apalagi menisbatkan diri
kepadanya secara dusta.
Di sini juga perlu dipilah antara
istilah
1.
madzhab Asy-Syafi’i (dinisbat-kan kepada Imam Asy-Syafi’i, sang
Imam) dan
2.
madzhab Asy-Syafi’iyyah (dinisbatkan kepada pendapat para pengikut
Imam Asy-Syafi’i dan belum tentu pendapat sang Imam).
Biografi Singkat Imam Asy-Syafi’i
Beliau
bernama Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin
‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin ‘Abdul Muththalib bin ‘Abdi Manaf. Jadi,
dari sisi nasab, bertemu dengan nasab Rasulullah n. Karena itu pula, beliau
sering dijuluki dengan “Al-Imam Al-Muththalib Al-Hasyimiy Al-Qurasyi”.
Dilahirkan pada tahun 150 H di kota
Ghazzah (Gaza) di Palestina, yaitu tepat di tahun wafatnya salah seorang Imam
empat madzhab lainnya, Abu Hanifah.
Ayah beliau meninggal saat beliau
masih di ayunan, sehingga tumbuh di dalam kondisi yatim dan faqir. Sedangkan
ibunya, berasal dari suku Azd, salah satu suku di Yaman. Beliau wafat di Mesir
pada tahun 204 H.
Pembelaannya terhadap As-Sunnah
Imam
Asy-Syafi’i dijuluki oleh kalangan Ahlu Al-Hadits sebagai Nashir As-Sunnah
(pembela As-Sunnah). Ini tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap
sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan
karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.
Di masa hidup beliau, timbul bermacam-macam
aliran keagamaan yang mayoritas selalu menyerang As-Sunnah. Mereka dapat dibagi
menjadi tiga kelompok: Pertama, mengingkari As-Sunnah, secara keseluruhan. Ke
dua, tidak menerima As-Sunnah kecuali bila semakna dengan Al-Qur’an. Ke tiga,
menerima As-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias
menolak Hadits Ahad.
Beliau menyikapi ketiga kelompok
tersebut dengan tegas. Terhadap kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa
tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam,
seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat
dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari Al-Qur’an kecuali dari
makna secara etimologisnya saja. Demikian pula terhadap kelompok ke dua, bahwa
implikasinya sama saja dengan kelompok pertama.
Sedangkan terhadap kelompok ke tiga,
beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi yang valid (tepat) dan
detail terperinci. Di antara bantahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Di dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan
yang jumlahnya tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir
tersebut urgen sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah
tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk
menolak mereka dengan alasan tidak dapat memperca-yai dan mengakui berita yang
dibawa oleh mereka.
2.
Bahwa di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan
harta, darah dan nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang
menjadi landasannya adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang
tidak mencapai angka mutawatir alias Hadits Ahad, tetapi meskipun demi-kian,
Asy-Syari’ (Allah Subhanahu wa Ta'ala ) tetap mewajibkan hal itu.
3.
Nabi membolehkan orang yang mendengar darinya untuk menyampai-kan
apa yang mereka dengar tersebut, meskipun hanya oleh satu orang saja. Beliau
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang
(seorang hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga
menyampaikannya”. (H.R. Abu Daud)
4.
Para shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah n secara
individu-individu dan tidak menyarat-kan harus diriwayatkan oleh orang yang
banyak sekali.
Demikianlah
di antara bantahan beliau di dalam menegaskan perlunya menerima Hadits Ahad.
Sedangkan ucapan-ucapan beliau
tentang perlunya berpegang teguh kepada As-Sunnah, di antaranya adalah:tc
"Sedangkan ucapan-ucapan beliau tentang perlunya berpegang teguh kepada
As-Sunnah, di antaranya adalah:
“Seseorang sudah pasti kehilangan
satu sunnah dari Rasulullah dan akan jauh darinya, maka betapa pun perkataan
yang telah aku katakan atau suatu prinsip yang telah aku gariskan di dalamnya
yang berasal dari Rasulullah namun bertentangan dengan apa yang aku ucapkan;
maka ucapan (yang harus dipegang) adalah apa yang diucapkan oleh Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam , dan ia adalah peganganku (pendapatku juga)”.
“Kaum Muslimin bersepakat (secara
ijma’) bahwa barangsiapa yang sudah jelas baginya suatu sunnah (hadits) dari
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam ; maka tidak halal baginya untuk
meninggalkannya lantaran ucapan seseorang”. (Di dalam riwayat yang lain
terdapat, “…maka ikutilah ia (hadits tersebut) dan jangan menoleh lagi kepada
ucapan/pendapat seseorang”)
“Bila di dalam kitabku kalian
mendapatkan hal yang bertentangan dengan sunnah/hadits Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam ; maka berpeganglah dengan sunnah Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam dan tinggalkan apa yang telah aku ucapkan (pendapatku)
tersebut”
“Bila sesuatu (hadits) shahih, maka
ia adalah madzhab/pendapatku
“Kalian (diungkapkan di hadapan Imam
Ahmad bin Hanbal dan para shahabatnya-pen) lebih mengetahui perihal hadits dan
para periwayatnya daripada aku; bila ada hadits yang shahih, maka
beritahukanlah kepadaku apa pun ia, baik (berasal) dari seorang dari Kufah,
Bashrah atau Syam, hingga aku bisa menemuinya bila (hadits tersebut memang)
shahih”
“Setiap masalah yang di dalamnya
terdapat hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
menurut Ahli Hadits (tetapi) bertentangan dengan apa yang aku katakan (pendapatku);
maka aku rujuk darinya (mencabut pendapatku dari masalah tersebut), baik selagi
aku masih hidup ataupun setelah aku mati”
“Setiap apa yang aku ucapkan
(pendapatku); lantas ada hadits dari Nabi n yang shahih bertentangan dengan
ucapan/pendapatku tersebut, maka hadits Nabi lebih utama (untuk diikuti) dan
janganlah kalian bertaqlid kepadaku”
“Setiap hadits yang berasal dari Nabi
, maka ia adalah ucapan/pendapatku meskipun kalian tidak mendengarnya
(langsung) dariku”
Dengan beberapa nukilan ucapan Imam
Asy-Syafi’i diatas tentang perlunya berpegang kepada As-Sunnah, kiranya dapat
menyentuh hati kita yang paling dalam, sehingga dapat bersikap seperti sikap
beliau di dalam menerima hadits yang sudah jelas keshahihannya dan meninggalkan
taqlid buta.
Ucapan-ucapan tersebut juga
mengisyaratkan bahwa hadits-hadits yang dijadikan hujjah oleh beliau bisa saja
kalah kuat dari sisi kualitas dan ketepatan argumentasinya bila diban-ding
dengan hadits-hadits yang belum sempat beliau dengar nantinya, dengan menegaskan
bahwa hadits yang shahih itulah madzhab beliau, meskipun tidak pernah didengar
dari beliau.