Perjuangan Menimba Ilmu. Tak
terasa,hampir tiga tahun mengiringi perjalanan Nuri menimba ilmu di
sekolah Tsanawiyyahnya. Kurang lebih selama dua bulan murid kelas 9 di
sekolah tersebut melaksanakan beberapa ujian sekolah dan ujian negeri,
termasuk Nuri. Jika masa ujian selesai, maka tibalah waktu yang
dinanti-nanti para murid di sekolah tersebut, karena akan ada acara tasyakurba’dal imtihan
yang diwarnai dengan pentas seni dan unjuk bakat atau prestasi para
murid. Hal yang membuat mereka senang adalah adanya hadiah bagi para
murid yang tampil unjuk bakatnya di panggung pentas juga bagi murid yang
mendapat ranking 5 besar, dan tak terlewatkan akan adanya pengumuman
murid teladan. Banyak sekali para siswa yang menginginkan agar
dinobatkan menjadi murid teladan, maka dari itu mereka selalu semangat
dan gigih dalam belajarjuga selalu menunjukkan akhlaq yang baik.
Unjuk
bakat dan prestasi murid di sekolah tersebut adalah nyanyi, memainkan
alat musik, drama, membaca puisi, pidato, tilawah qur-an, cerdas cermat
dan tahfizh Qur-an. Kegiatan tersebut dipersembahkan spesial kepada para
orang tua murid. Yang paling diunggulkan di sekolah ini adalah tahfizh
alqur-an bahkan dijadikan syarat boleh diambilnya ijazah. Untuk tingkat
tsanawiyyahnya dalah dengan menyetor hafalan Alqur-an surat Al-Baqoroh.
Murid-murid dituntut untuk menghafalkannya dari sejak di bangku kelas
7. Perhatian kepala sekolah kepada Nuri begitu besar, beliau pun punya
harapan besar agar Nuri menjadi hafizhoh Alqur-an, sehingga beliau
menyuruh Nuri agar tinggal di asrama sekolah dengan tujuan agar Nuri
bisa fokus menghafal seperti teman-temannya yang lain. Tinggal di asrama
memang adalah keinginan Nuri,mengingat jarak antara rumah dan sekolah
lumayan jauh. Setidaknya Nuri bisa menghemat energi jika ia tinggal di
asrama, juga waktu untuk belajarnya tidakterhempas oleh lelah. Tawaran
tersebut malah membuat Nuri dilema antara keinginan diri dan kondisi
adik-adiknya jika ia tinggalkan karena tak ada ibu di samping mereka,
ayahnya pun jarang pulang. Nuri pun gamang.
Akhirnya
Nuri tinggal juga di asrama saat ia menginjak semester genap kelas 8.
Iamemutuskan untuk tinggal di asrama setelah adik bungsunya dibawa oleh
budenya ke Depok untuk diasuh dan disekolahkan disana, sedangkan adik
ke-satunya bersama ayahnya di rumah kampung halaman Nuri, karena ayahnya
sudah memutuskan tidak kerja di luar kota lagi. Nuri sangat senang
tinggal di asrama meski asramanya hanya sekedar rumah panggung yang
dibawahnya dipakai kandang beberapa ekor ayam dan itik, fasilitas yang
tidak begitu lengkap hanya ada kasur 'Palembang' dan lemari kayu saja.
Tak ada radio bahkan TV, menyetrika pun dengan setrika arang. Bagi Nuri
tak jadi masalah menyertika baju dengan setrika tersebut, karena ia
sudah terbiasa menyetrika baju seragamnya dengan setrika yang dipanaskan
diatas kompor dan dialaskan dengan saringan alumunium agar bajunya
tidak hitam dari asap, semenjak listrik ke rumahnya diputus oleh
bibinya.
Nuri semakin semangat belajar, apalagi jadwal
belajar bagi siswa yang di asrama ada tambahannya dari jadwal sekolah
rutin yang dimulai pukul tujuh dan berakhir pukul 2. Bagi yang di asrama
dijadwalkan kembali setelah maghrib sampai pukul 9 dan setelah sholat
shubuh sampai pukul 6, dilanjutkan dengan bersih-bersih di sekitar
sekolah dan siap-siap untuk masuk kelas lagi tepat pukul 7. Begitulah
aktivitas yang tinggal di asrama, tidak akan jauh dari
kelas-masjid-asrama. Semangat belajar Nuri berimbas pada prestasi yang
dicapai Nuri, kepala sekolah bangga padanya. Namun Nuri tetaplah Nuri
yang begitu perasa anaknya. Kadang ia merasa minder oleh pihak sekolah
karena ia terlalu banyak tunggakan bayaran ke sekolahnya. Seolah Nuri
dewasa sebelum waktunya, harusnya yang ia lakukan adalah belajar saja
dengan baik dan fokus bukan memikirkan bagaimana cara membayar tunggakan
ke sekolah, bahkan Nuri selalu berfikiran merasa tak tega melihat
guru-gurunya karena nampaknya gaji yang didapat tidak full disebabkan
oleh salah satu muridnya yang tak kunjung bayaran juga, dia adalah Nuri.
Nuri selalu ber’azham kelak dia akan sambangi para gurunya untuk
membalas jasanya. Padahal sebenarnya sekolahnya tak pernah
mempermasalahkan murid yang punya tunggakan bahkan tidak bisa bayaran,
makanya ijazah tsanawiyyaah di sekolah tersebuthanya bisa ditebus dengan
hafalan surat al-baqoroh.
Tangis Menjelang Ayat-Ayat Terakhir
Hari ituadalah hari diselenggarakannya tasyakurba’dal imtihan
sekaligus pelepasan para murid yang telah lulus. Nuri diminta untuk
membacakan hafalan surat Al-baqorohnya di sesi unjuk prestasi tahfizh
siswa. Nuri menyanggupi, murid-murid lain yang diberi kepercayaan untuk
unjuk bakat dan prestasinya sangat senang dan ada rasa bangga, namun
bagi Nuri tidak demikian. Setiap semester pembagian buku raport dan
setiap tahun pentas seni, bakat dan prestasi, Nuri selalu merasakan yang
sama. Tibalah gilirannya Nuri untuk duduk di pentas membacakan
hafalannya, ayat demi ayat mengalir terlantun dari gadis kecil itu. Ia
melantunkannya agak tertunduk dari pandangan para hadirin. “....fa
yaghfiru limay yasyaa-u wa yu’adz-dzibu may yasyyaa. Wallohu ‘alaa...,
wallohu ‘alaa” di penggalan ayat itulah tepatnya ayat ke-284 suara Nuri
menjadi terbata bahkan menjadi isak tangis, hingga ia tak kuat
membendung sedihnya, ia berlari dari pentas ke asrama, ia tak
meneruskannya. Para hadirin menjadi bertanya-tanya ada apa sebenarnya.
Nuri menjadiperbincangan.
Kepalasekolah
menghampirinya. Ia tanyakan apa yang menyebabkan Nuri menangis, namun
Nuri tidak bisa menjawab ia masih saja terisak. Kepala sekolah menunggu
sampai Nuri tenang, dan ia menjawab “Aku tadi hanya menunduk saja, dan
aku menyesal saat aku menengadahkan kepala, aku tak melihat ada orang
tuaku menyaksikan anaknya, entah mengapa Pak, aku tak bisa menahan rasa
sedih ini. Maafkan Nuri ya Pak, sudah membuat malu sekolah, Nuri tidak
selesaikan sampai tamat hafalannya”. Hal tersebutlah yang menjadi alasan
Nuri selalu merasakan hal yang sama tiap semester dan tiap tahunnya,
karena orang tua Nuri selalu tidak bisa hadir saat moment tersebut.
Kepala sekolah ternyata sedang menyeka ujungmatanya menyaksikan Nuri
yang tiada biasanya menangis seperti itu, lalu ia tersenyum. Ia
mengobati lara Nuri,“Nuri, apa bapak tak dianggap orang tuamu? Atau kau
tidak mau mengakui bahwa yang berdiri di sini adalah bapakmu juga?
Berbaik sangkalah, orang tuamutentunya sangat sayang padamu, mungkin
waktunya harus digunakan untuk bekerja,mencari yang terbaik untukmu”.
Oleh : Rima Destiani. A