Mantiq
Definisi dan Urgensi Mantiq
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya
akan menjaga kesalahan dalam berpikir.
Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang
membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang
menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk
yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia
seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya
sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan
upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.
Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada
baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir".
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang
misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan
yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm
(diketahui).
Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir 1. Hal-hal yang
dijadikan dasar (premis) tidak benar. 2. Susunan atau form yang menyusun premis
tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.
Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran
manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika
tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan
teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi,
maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna. Sebagai
misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak
zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar
dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis
yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya
tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates
adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua
premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya
tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi
yang benar, pen).
Ilmu dan Idrak
Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna
yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang
paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu.
Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq
(mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam
benak (akal). Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif,
yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan
sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam
dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu".
Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada
gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang
hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal).
Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau
hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang
pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq. Jadi tashawwur hanya
gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau
penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan".
Misalnya, "air itu dingin", atau "air itu tidak dingin";
"manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang"
dan lain sebagainya.
Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan
tashdiqi. Dharuri dan Nadzari
Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua
macam: dharuri dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan
pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut
badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa
membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri
dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran.
Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif
adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan
nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui
pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir).
Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami
melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.
Kulli dan Juz'i
Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i
(parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga
secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.
Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat
diterapkan (berlaku) pada beberapa benda di luar. Misalnya: gambaran tentang
manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan
lainnya.
Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan
(berlaku) hanya pada satu benda saja.
Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang
yang bernama Budi saja. Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan
sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin
ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan
sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan
adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4;
Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya;
Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya. Dalam ilmu mantiq kita
akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang
bersangkutan dengan juz'i.
Nisab Arba'ah
Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang
bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu.
(Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang
lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu
sebagai "Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori
relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus
Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).
Tabâyun adalah dua tashawwur kulli yang
masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur
kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan
bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur
batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama.
Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya
bisa diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia
dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang
berpikir adalah manusia.
Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli
yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak
sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah
hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum
dan lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.
Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur
kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad
kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur
manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang
manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang
hitam dan pada kapur tulis yang putih.
Hudud dan Ta'rifat
Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita
ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu
tentang hal-hal yang masih majhul.
Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki
ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil)
sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri
dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita
membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul
tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".
Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan
yang didahului pertanyaan "Apa?".
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui
(majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita
bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang
diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.
Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu,
mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas
lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang
sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan
disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi
yang benar.
Macam-Macam Definisi (Ta'rif)
Setiap definisi bergantung pada kulli yang
digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri
(biasa disebut "kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah: [1] Nau'
(spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common
accidens) dan [5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat
khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan
mantiq.
Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan
fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah
manusia itu? Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)".
"Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir" adalah fashl
manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.
Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins
saja. Misal: "Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari
esensi manusia.
Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh
khas. Misal: "Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat
tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan
"tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang
eksiden.
Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan
'ardh 'âm, misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".
Qadhiyyah (Proposisi)
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi
adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain
(seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas
dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul
("gunung" sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul).
Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).
Macam-macam Qadhiyyah
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1)
mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu' dan mahmul).
Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi
dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri
dari mawdhu', mahmul dan rabithah.
Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu,
lalu kita menilai atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang
pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang
menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah".
"Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan
"itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'.
Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah
hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah
salibah (negatif).
Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah
hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan
"setiap kali".
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan
hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula
"bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya
dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh,
Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi
akan hancur) disebut tali.
Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua:
muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua
qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa
adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua
qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan
keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu
genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin
kumpul.
Qadhiyyah Mahshurah dan Muhmalah
Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi
menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad
(realita) mawdhu'-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan
kata "semua" dan "setiap" atau "sebagian" dan
"tidak semua". Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian
manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu'-nya tidak
ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau manusia itu pintar.
Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu
pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.
Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi
determinatif general) dan terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif
partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang
salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:
Mujabah kulliyyah: Setiap manusia adalah hewan
Salibah kulliyyah: Tidak satupun manusia yang
berupa batu.
Mujabah juz'iyyah: Sebagian manusia pintar
Salibah juz'iyyah: Sebagian manusia bukan
laki-laki.
Sebenarnya
masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah
muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah dan
mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul jama'
dan maani'atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu
filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.
Hukum-Hukum Qadhiyyah
Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah,
maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat
qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa
terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2]
tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min wajhin. Demikian
pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah
mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4]
tadakhul.
Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua
qadhiyyah yang mawdhu' dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan
kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya
juz'iyyah salibah. Misalnya, "Semua manusia hewan" (kulliyyah
mujabah) dengan "Sebagian manusia bukan hewan" (juz'iyyah salibah).
Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama
kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain
salibah. Misalnya, "Semua manusia dapat berpikir" (kulliyyah mujabah)
dengan "Tidak satupun dari manusia dapat berpikir" (kulliyyah
salibah).
Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad
[interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya
(keduanya juz'iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya:
"Sebagian manusia pintar" (juz'iyyah mujabah) dengan "Sebagian
manusia tidak pintar" (juz'iyyah salibah).
Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah
dua qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya:
"Semua manusia akan mati" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian
manusia akan mati" (juz'iyyah mujabah) atau "Tidak satupun dari
manusia akan kekal" (kulliyyah salibah) dengan "Sebagian manusia
tidak kekal" (juz'iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula
Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif)
jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah.
Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak
mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa
dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif).
Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif),
jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah.
Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya
keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.
Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad
(interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah,
maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum
tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi
mungkin saja keduanya benar.
Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain
(interferentif), berbeda dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang
nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari
tashawwur juz'i (misalnya, Ali). Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari
qadhiyyah juz'iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah
juz'iyyah pasti benar.
Tetapi, jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka
qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar. Misalnya, jika "setiap A adalah
B" (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti "sebagian A pasti B".
Tetapi jika "sebagian A adalah B", maka belum pasti "setiap A
adalah B".
Tanaqudh
Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua
pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para
ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua
qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua
qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:
Kesamaan tempat (makan)
Kesamaan waktu (zaman)
Kesamaan kondisi (syart)
Kesamaan korelasi (idhafah)
Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan
kull )
Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan
bil fi'li).
Qiyas (silogisme)
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan
dari masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai
pendahuluan dari hudud atau ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq
adalah hudud dan qiyas.
Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang
berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan
menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).
Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas,
ada baiknya kita secara sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia
disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk
mengetahuinya:
Pengetahuan dari juz'i ke juz'i yang lain.
Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik
parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).
Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata
lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini
bersifat vertikal, dan disebut istiqra' (induksi).
Pengetahuan dari kulli ke juz'i. Atau dengan kata
lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).
Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme
kategoris) dan istitsna'i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas
di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara
satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk
memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling
berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.
1. Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul
natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu
besi" dan "setiap besi akan memuai jika dipanaskan", maka
"kunci itu akan memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tiga
qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan
[3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan. Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah
shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor)
dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul
yang sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu')
dan "akan memuai jika dipanaskan" (mahmul). Sedangkan
"besi" sebagai had awshat.
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung
antara mawdhu' muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu
disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan
kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).
Empat Bentuk Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan
had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya
menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah
kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang
makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan
yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul
pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.
Syarat-syarat syakl awwal.
Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi
(jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:
a. Muqaddimah shugra harus mujabah.
b. Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya
menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi
makshum", dan "tidak satupun pendosa itu makshum", maka
"tidak satupun dari nabi itu pendosa".
Syarat-syarat syakl kedua.
a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya
(kaif, yakni mujabah dan salibah).
b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya
menjadi mawdhu' pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi
makshum", dan "sebagian nabi adalah imam", maka "sebagian
orang makshum adalah imam".
Syarat-syarat Syakl ketiga.
a. Muqaddimah sughra harus mujabah.
b. Salah satu dari kedua muqaddimah harus
kulliyyah.
4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya
menjadi mawdhu' pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra
(kebalikan dari syakl awwal.)
Syarat-syarat Syakl keempat.
a. Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
c. Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya
(kaif)
d. Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.
Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas
iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua
dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima
oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama
tidak mencantumkan bentuk yang keempat.
Qiyas Istitsna'i
Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk
dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, "Jika
Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia
mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah". Penjelasannya: "Jika
Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah
syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah),
dan "Dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan
"maka dia mempunyai mukjizat" adalah natijah. Dinamakan istitsna'i
karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh karena".
Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna'i: Muqaddam
positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia
mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan
Allah". Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu
tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan
satu (tidak tidak satu)". Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya,
"Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia
mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)". Tali negatif dan
muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak akan
binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan".