Konsep Remaja Masa Kini |A. Latar Belakang Masalah | BAB I Skripi Psikolog


Konsep Remaja Masa Kini
A.  Latar Belakang  Masalah
Semakin maju dan berkembangnya teknologi dan informasi lebih  mempermudah manusia dalam mengakses berbagai macam informasi, yang dapat diakses oleh hampir semua usia. Para remaja dengan mudah mendapatkan informasi apapun yang diinginkan, hal tersebut menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya perilaku seks saat para remaja melakukan pacaran. Faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah remaja adalah faktor lingkungan seperti VCD, buku, dan film porno (Taufik, 2005). Menurut Rohmawati (2008) paparan media massa, baik cetak (koran, majalah, buku-buku porno) maupun elektronik (TV, VCD, Internet), mempunyai pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
Perilaku seks bebas pada  remaja semakin banyak dan semakin bertambah. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya kasus aborsi yang dilakukan para remaja. Semakin meningkatnya kasus aborsi terlihat dari data BKKBN dan perhimpunan Obseteri dan Ginekologi (POGI). Kedua institusi tersebut memaparkan saat ini setidaknya terdapat 2 juta aborsi setiap tahunnya, dimana 700 ribu adalah pengguguran yang disengaja (induce). Sisanya adalah aborsi spontan. WHO memperkirakan di Asia Tenggara terjadi sekitar 4,2 juta aborsi setiap tahunnya, termasuk 750.000 hingga 1,5 juta di Indonesia. (Inung, 21 April 2008). Dr. Boyke Dian Nugraha, memperkirakan angka aborsi di Indonesia berkisar antara 2,3 juta setiap tahunnya, dan dari jumlah tersebut 50 % dilakukan oleh remaja.
Berdasarkan data yang ada di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Satreskrim Polres Tuban, angka kasus asusila mulai menunjukan peningkatan sejak 2 tahun terakhir. Sedikitnya sebanyak 2-3 anak menjadi korban asusila khususnya pencabulan setiap bulannya. Pada tahun 2011 jumlah kasus asusila yang masuk dan ditangani UPPA sudah mencapai 28 kasus. Selanjutnya terjadi peningkatan tahun 2012 menjadi 32 kasus. Salah satu diantaranya kasus aborsi yang dilakukan dua pasangan remaja yang kebanyakan masih di bawah umur (Hidayat, 1 April 2013). Tahun 2006, salah satu media lokal menurunkan sebuah berita tentang hasil penelitian tentang perilaku seks bebas di antara generasi muda. Penelitian tersebut mengungkap perilaku seks bebas generasi yang menamakan dirinya anak baru gede atau ABG. Data penelitian tersebut menunjukan bahwa ternyata remaja bangsa Indonesia, bangsa yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, 50 persen dari 474 remaja yang dijadikan sampel penelitian, ternyata mengaku telah melakukan hubungan seks tanpa nikah, dan yang lebih mengagetkan lagi ternyata 40 persen di antara mereka melakukan hubungan seks yang pertama kali justru dilakukan di rumah sendiri (Latif, 21 April 2008).
Berdasarkan data yang dikeluarkan BKKBN, diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Bahkan, 800 ribu di antaranya terjadi di kalangan remaja. Beberapa wilayah lain di Indonesia, seks pranikah juga dilakukan beberapa remaja. Seperti di Surabaya tercatat 54 persen, Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan.
Aborsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan remaja hal ini dapat dilihat dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada 2011 ada sekitar 2 juta tindak aborsi yang dilakukan pada tahun 2008. Dari jumlah tersebut, sekitar 62 persen lebih dilakukan oleh remaja (Hardiyanto, 1 Januari 2013).
Fenomena diatas memperlihatkan bahwa pergaulan remaja saat ini sangat memperihatinkan. Perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja saat ini tidak lagi dianggap hal yang tabu bahkan oleh sebagian besar remaja sudah dianggap hal yang biasa dan wajar, seperti bergandengan tangan, berpelukan dan berciuman. Hurlock (1997, 299) Hubungan seksual sebelum menikah dianggap benar apabila orang yang melakukannya saling mencintai dan saling terkait.
 Salah satu alasan banyak terjadinya perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja dipengaruhi oleh kematangan seksual yang menyebabkan terjadinya perubahan hormon seksual sehingga mempengaruhi perilaku yang ditampilkan. Pada masa pubertas, dorongan seksual dapat muncul dalam bentuk ketertarikan pada lawan jenis, hal ini terjadi karena keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual dari lawan jenis.
Pada masa pubertas, remaja biasanya menjalin hubungan yang lebih dari pertemanan, dan hubungan ini disebut dengan istilah pacaran. Iriani (2005, 68). Arti pacaran adalah dua orang yang berbeda jenis kelamin yang saling menyukai, berkomitmen, kedekatan dua orang yang dilandasi cinta dan masa penjajakan mencari pasangan hidup. Selama proses berpacaran, sepasang remaja akan melakukan kegiatan bersama selama proses pendekatan, dengan seringnya pergi berdua misalnya nonton ke bioskop, makan bersama atau melakukan perilaku seksual seperti bergandengan tangan, berciuman, atau berpelukan.
Kematangan seksual dan dorongan seksual pada remaja belum diimbangi dengan kematangan psikososial yang dipahami, sehingga remaja sering kali belum dapat memahami apa resiko dari perilaku seksual yang dilakukan, terlebih pada masa remaja mengalami rasa ingin tahu yang lebih, karena pada masa ini adanya keinginan yang kuat untuk mengeksplorasi apa yang ingin ditampilkan, dan terkadang tidak menghiraukan norma yang berlaku baik itu norma agama ataupun norma yang ada di masyarakat. Havighurst (1991) salah satu tugas perkembangan remaja yaitu memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya baik laki-laki maupun perempuan. Semakin banyaknya remaja yang berpacaran, berdampak pada semakin biasnya peraturan mengenai boleh atau tidaknya pacaran. Hal ini mengakibatkan remaja mengalami kebingungan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, misalnya apakah boleh atau tidak untuk melakukan pacaran, menonton film porno berdua, pegangan tangan, berpelukan atau berciuman. Kebingungan yang dialami oleh remaja ini mengakibatkan timbulnya pacaran yang lebih banyak melakukan kontak fisik bersama pasangannya, sehingga menyebabkan terjadinya perilaku seksual pranikah.
Menurut Hurlock (1991) perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis. Soetjiningsih (2004)  perilaku seks pranikah pada remaja adalah segala tingkah laku remaja yang didorong oleh hasrat baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan sebelum adanya hubungan resmi dengan suami istri. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan, atau diri sendiri.
Norma agama menjadi hal yang paling mendasar yang harus ditanamkan pada remaja, Sarwono (2000) salah satu faktor yang dapat menjadi pengontrol dalam mempengaruhi perilaku seksual adalah agama. Dengan menanamkan nilai-nilai keagamaan pada remaja akan mempengaruhi dalam membentuk kepribadian remaja yang terlihat dari perilaku yang ditampilkan, sikap, perkataan, atau ritual-ritual keagamaan yang dilakukan serta mengikuti peraturan-peraturan yang dilakukan sesuai dengan ajaran agama. Waruwu (2003) seseorang yang masih berada dalam masa remaja belum memiliki religiusitas yang matang,  mereka masih memilah tentang hal-hal apa saja yang akan dijadikan sebagai pegangan hidupnya. Agama merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja, menurut  Sarwono (2000)  rendahnya nilai agama dimasyarakat yang bersangkutan serta komitmen religiusitas yang kian menipis dipandang mempengaruhi remaja dalam berperilaku seksual. Agama mungkin tidak berpengaruh langsung terhadap perilaku seksual tetapi bila agama diberlakukan sebagai sistem norma masyarakat maka ada semacam mekanisme kontrol sosial yang mengurangi kemungkinan seseorang melakukan tindakan seksual di luar batas ketentuan agama.
Lingkungan sekolah menjadi salah satu faktor yang penting dalam pembentukan karakter pada remaja, karena pada masa ini remaja lebih banyak berinteraksi dengan teman sebaya. Peraturan yang di terapkan di sekolah menjadi salah satu hal yang penting dalam membentuk pergaulan dengan teman sebayanya, terutama pergaulan dengan lawan jenis. Hurlock (1997) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah lingkungan sekolah, di sekolah remaja dihadapkan dengan pemikiran dan pandangan serta penilaian yang lebih objektif, termasuk dalam soal seksualitas.
Pesantren menjadi salah satu pilihan bagi para orang tua untuk menitipkan anak mereka, dengan harapan akan terbentuk kepribadian anak yang lebih religius sehingga perilaku mereka akan sesuai dengan peraturan- peraturan agama islam. Salah satu bentuk peraturan yang di terapkan adalah dengan  menanamkan peraturan-peraturan tentang  pergaulan dengan lawan jenis, yaitu para santri tidak dibolehkan untuk berkhalawat (berdua-duaan) dengan lawan jenis, sehingga diharapkan para santri mampu mengaplikasikan peraturan tersebut sesuai dengan pemahaman yang di ajarkan. Hal ini ditetapkan berdasarkan salah satu Firman Allah SWT dalam QS. Al-Israa ayat 32 yaitu :
wur (q/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
Artinya  “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk “(al israa : 32).
Pesanteran Nurul Huda yang berada di Kampung Talegong Asli Kecamatan Salopa Kabupaten Tasikmalaya, adalah salah satu pesantren yang menerapkan peraturan-peraturan dengan menanamkan nilai-nilai keagamaan  yang dilakukan setiap harinya. Dari mulai jam tiga pagi para santri dibiasakan bangun untuk shalat tahajud, kemudian setelah itu melaksanakan shalat subuh secara berjamaah, sebelum persiapan berangkat ke sekolah para santri belajar kitab dan mufradat terlebih dahulu, baru pada pukul 06.30 para santri berangkat ke sekolah.
 Di sekolah  saat pagi-pagi para siswa dibiasakan untuk berwudu dan langsung memasuki mesjid untuk membaca doa “al-matsurat”, dan hafalan surat-surat pendek, para  siswa di wajibkan untuk melakukan solat duha berjamaah, hal ini dilakukan setiap hari lebih kurang dari jam 7 sampai jam 8 pagi, baru setelah itu para siswa memasuki kelas masing-masing untuk mengikuti pelajaran, kemudian sebelum pulang sekolah para santri diwajibkan untuk shalat dzuhur berjamaah. Setelah pulang sekolah kegiatan para santri diisi dengan mengikuti ekstra kulikuler sampai menjelang ashar. Setelah melaksanakan shalat ashar berjamaah para santri mengikuti pengajian kitab sampai pukul 16.30. Sebelum melaksanakan shalat magrib berjamaah para santri diwajibkan untuk tadarus, kemudian setelahnya mengikuti pengajian kitab. Setelah shalat isya berjamaah para santri juga diwajibkan untuk belajar malam sampai pukul 21.30.  
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, pada kenyataannya  remaja yang setiap harinya ditanamkan nilai-nilai keagamaan secara intensif dan tinggal di lingkungan pesantren, mengikuti berbagai macam kegiatan keagamaan, masih ada remaja yang melakukan perilaku seksual di luar norma yang telah ditetapkan di pesantren tersebut. Setelah melakukan wawancara, terdapat beberapa santri yang melakukan pacaran dengan memanfaatkan keadaan saat mengikuti kegiatan ekstra kulikuler, biasanya mereka mengawalinya dengan mengajak pasanganya untuk bertemu di suatu tempat dan biasanya ditempat yang sepi, untuk awal-awal bertemu mereka hanya mengobrol saja tanpa ada sentuhan fisik, namun kemudian setelah beberapa kali bertemu mereka mulai berani untuk melakukan kontak fisik seperti berpegangan tangan, berciuman sampai melakukan hubungan seksual. Saat melakukan perilaku seksual mereka mengabaikan  peraturan-peraturan yang telah ditetapkan di pesantren tersebut, dan bahkan sama sekali tidak merasa bersalah saat sedang melakukannya, penyesalan baru muncul setelah mereka selesai melakukannya, namun  meskipun merasa bersalah perilaku tersebut tetap dilakukan saat bertemu kembali, karena ada rasa ketagihan yang muncul untuk melakukan perilaku tersebut. Salah satu contoh adalah pada tahun 2008 pihak pesantren terpaksa mengeluarkan salah satu siswi karena hamil diluar nikah. Contoh lainnya adalah ada beberapa santri yang sudah terbiasa melakukan perilaku seksual pranikah dengan pacarnya seperti berpegangan tangan, dan mencium bibir.
Religiusitas menjadi hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh remaja, karena religiusitas merupakan suatu keyakinan yang menjadi dasar dalam mengontrol perilaku yang menjadi pilihan, sehingga bisa bertanggung jawab dengan konsekuensi atas semua perilaku  yang dipilihnya. Remaja yang memiliki minat untuk mempelajari agama akan terlihat dari kesehariannya, salah satunya yaitu dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama, dan memilih untuk tinggal di lingkungan pesantren, perilaku tersebut merupakan tolak ukur untuk melihat religiusitas remaja tersebut.
Fenomena remaja santri yang ditemui, melalui data awal yang diperoleh berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada 30 siswa, lebih dari 60% dari mereka sudah pernah melakukan perilaku seksual yaitu mastrubasi dan necking, dan 40% lainnya sudah pernah melakukan perilaku seksual seperti peeting.
Berdasarkan berbagai penelitian  diperoleh hasil bahwa tingkat religiusitas mempengaruhi perilaku seseorang. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Rini Lestari (2000:73) diperoleh hasil bahwa subjek yang mempunyai tingkat religiusitas tinggi cenderung menggunakan tingkah laku coping yang matang. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Waruwu (2003:36) mengungkapkan bahwa remaja dengan religiusitas yang baik mampu menyelaraskan hubungan intrapersonalnya dengan baik, memiliki tanggung jawab atas dirinya, serta memiliki kejelasan tujuan hidup.
Penelitian yang dilakukan oleh Idayanti (16 juni 2008) menujukan bahwa terdapat hubungan antara religiusitas dengan perilaku seksual, dimana semakin tinggi religiusitas maka perilaku seksual yang dilakukan semakin rendah. Penelitian lain juga dilakukan oleh Ritandiyono (16 juni 2008) menunjukan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku seks bebas, dimana semakin tinggi religiusitas seseorang maka semakin rendah perilaku seks bebas yang dilakukan.
Dari pemaparan diatas peneliti tertarik untuk meneliti  apakah ada hubungan negatif antara religiusitas dengan perilaku seksual pranikah pada remaja santri di pesantren Nurul Huda Tasikmalaya.  

Pengunjung