Manhaj Salaf, Salafiyah, dan Salafy



Pengertian Manhaj
Secara bahasa kata manhaj (ألْمَنْهَجُ  ) berasal dari kata an-nahj (ألْنَهْجُ  ) artinya nyata dan terang. Manhaj berarti jalan yang nyata dan terang. [1] Bisa juga berarti jalan yang ditempuh seseorang. Allah Ta'ala berfirman:
...لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا...
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan syariat dan manhaj …Q.s. al-Maidah:48. Yaitu Syariat dan jalan yang terang lagi jelas.
Manhaj secara bahasa juga tercermin pada ucapan al-Abbas:
وَاللهِ مَا مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ حَتَّى تَرَكَ السَّبِيْلَ نَهْجًا وَاضِحًا
“Demi Allah, Rasulullah tidak meninggal dunia, hingga meninggalkan jalan yang jelas” [2]
Sedangkan secara istilah manhaj yang populer di kalangan ahlul ilmi berarti
الطَّرِيْقُ أَوْ مَجْمُوْعَةُ الأُصُوْلِ وَالْقَوَاعِدِ الَّتِيْ يَجْتَمِعُ عَلَيْهَا لِضَبْطِ الآرَاءِ وَالْمَسِيْرَةِ وَوَضْعِ الأَحْكَامِ وَاتِّخَاذِ الْمَوَاقِفِ
Metode atau kumpulan prinsip dan kaidah yang dihimpun untuk dhabth (mengoreksi, menertibkan) berbagai pandangan dan pendapat, penetapan hukum-hukum, dan pengambilan berbagai keterangan.[3]

Dalam pengertian lain manhaj adalah jalan yang akan mengantarkan kepada pengenalan hakekat ilmu melalui kaidah-kaidah umum yang dapat menjaga jalannya akal dan memberi batasan-batasan yang praktis, sehingga dengan itu akan sampai kepada hasil yang dapat diketahui dengan jelas. [4]  Dengan perkataan lain manhaj adalah sistem pemahaman dan pengenalan ilmu.
Pengertian Salaf, Salafiyah, dan Salafy
Kata Salaf (سلف  ) secara bahasa berpadanan dengan kata مضى و تقدم (madha wa taqaddama) yang dapat diartikan berlalu, sudah lewat atau terdahulu. As-Salif  السالف berarti المتقدم (mutaqaddim, pendahulu).
Kata as-Salaf secara bahasa sudah dikenal pada masa Rasulullah saw, bahkan Rasul sendiri pernah mengucapkan kata itu. Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa ketika Rasul ditimpa penyakit yang menyebabkan kematiannya, beliau berkata kepada Fatimah

فَاتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

“Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik as-Salaf bagimu.”[5]
Menurut para pakar bahasa, kata as-Salaf (السلف  ) memiliki beberapa makna, antara lain:
(a) المتقدمون الجماعة (sekumpulan orang yang terdahulu).
(b) السير المتقدمون في القوم (al-qaum al-mutaqqadimun fis siyar), yaitu orang-orang yang terdahulu, berlalu, dan sudah lewat dalam perjalanan hidupnya.
Kedua makna ini terkandung dalam firman Allah
فَلَمَّا آسَفُونَا انتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ # فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلْآخِرِينَ
Maka tatkala mereka membuat kami murka, kami hukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya, dan kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian. Q.s.az-Zukhruf : 55-56
Maknanya, tatkala mereka menyebabkan Kami murka maka Kami hukum mereka dan Kami tenggelamkan mereka semuanya, dan kami jadikan mereka sebagai salafan mutaqadiimiin (contoh orang-orang terdahulu) bagi orang-orang yang melakukan perbuatan mereka, agar orang-orang setelah mereka dapat mengambil pelajaran dan menjadikan mereka sebagai peringatan bagi lainnya.
(c) مَنْ تَقَدَّمَكَ مِنْ أَبَائِكَ وَذَوِي قَرَابَتِكَ الَّذِيْنَ هُمْ فَوْقَكَ فِى السِّنِّ وَالْفَضْلِ
Artinya: orang yang mendahuluimu, baik bapak-bapakmu maupun kerabat yang lebih tua dan lebih utama daripada kamu.
Menurut Ibnul Atsir dan Ibnu Manzhur, dari makna inilah umat generasi awal dari kalangan tabi'in disebut as-salafus shalih. [6] Sedangkan menurut Syekh Abdullah bin Abdul Hamid, mereka dari kalangan sahabat dan tabi'in. [7]
(d)  كلُّ عملٍ قدَّمه العبدُ (setiap amal yang didahulukan seorang hamba).[8]

Adapun dilihat dari segi istilah, pengertian as-Salaf atau as-Salafus Shalih dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, zamani (waktu atau periode). Kedua, sifati (karakteristik). Dilihat dari aspek zamani, para ulama berbeda pendapat dalam penggunaan istilah itu menurut periodesasi generasi, meskipun semuanya akan mengacu kepada masa waktu terbatas, yakni berkisar di tiga periode generasi (sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in).
Pendapat Pertama: Generasi Sahabat
Pendapat ini membatasi makna salaf hanya untuk generasi sahabat, sebagai makna asal. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Al-Qolsyaani (w. 606 H/1209 M). Dalam Tahrir al-Maqalah fi Syarhir Risalah, ia berkata:
السَّلَفُ الصَّالِحُ، وَ هُوَ الصَّدْرُ الأَوَّلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ، الْمُهْتَدُوْنَ بِهَدْيِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم، الْحَافِظُوْنَ لِسُنَّتِهِ، إِخْتَارَهُمُ اللهُ تَعَالَى لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ، وَانْتَخَبَهُمْ لإِقَامَةِ دِيْنِهِ، وَرَضِيَهُمْ أَئِمَّةٌ لِلأُمَّةِ، وَجَاهَدُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ، وَأَفْرَغُوْا فِى نَصْحِ الأُمَّةِ وَنَفْعِهِمْ، وَبَذَلُوْا فِى مَرْضَاةِ اللهِ أَنْفُسَهُمْ
As-Salaf ash-Shalih adalah adalah generasi pertama yang kokoh keilmuannya, yang mengikuti petunjuk Nabi saw, yang senantiasa menjaga sunnah beliau saw, Allah Ta’ala memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya. Para imam pun ridha dengan mereka dan mereka telah berjuang di jalan Allah dengan sebenar-benarnya, menyeru umat dengan nasehat dan memberi manfaat kepada mereka, serta mengerahkan jiwa mereka untuk menggapai keridhaan Allah
Pendapat Kedua: Generasi Tabi'in
Pendapat ini membatasi makna salaf hanya untuk generasi Tabi'in. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnul Atsir (w. 606 H/1209 M) dan Ibnu Manzhur (w. 711 H/1311 M)
وَلِهذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ الأَوَّلُ مِنَ التَّابِعِيْنَ السَّلَفَ الصَّالِحَ
Dan karenanya generasi awal dari tabi'in disebut as-Salafus Shalih . [9]
Pendapat Ketiga: Generasi Sahabat dan Tabi'in
Menurut pendapat ini makna salaf meliputi generasi Sahabat dan Tabi'in. Tampaknya pendapat ini menggabungkan dua pendapat sebelumnya. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syekh Ahmad bin Ali al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M) berkata:
بَقِيَّةُ السَّلَفِ مِنْ أَلْقَابِ الْعُلَمَاءِ وَالصُّلَحَاءِ وَرُبَّمَا قِيْلَ بَقِيَّةُ السَّلَفِ الصَّالِحِ أَوْ بَقِيَّةُ السَّلَفِ الْكِرَامِ وَالْمُرَادُ بِالسَّلَفِ الآبَاءُ الْمُتَقَدِّمُوْنَ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمْ سَلَفَ إِذَا مَضَى وَرُبَّمَا أُطْلِقَ عَلَى مَنْ تَقَدَّمَ فِي صَدْرِ الإِسْلاَمِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ
"Baqiyyatus salaf adalah di antara gelar para ulama dan orang shaleh. Dan terkadang disebut Baqiyyatus Salaf as-Shaleh atau Baqiyyatus Salaf al-Kiram. Dan yang dimaksud dengan as-Salaf adalah nenek moyang terdahulu, diambil dari perkataan mereka: salafa idza madha (apabila telah lalu). Dan terkadang kata itu digunakan bagi orang terdahulu pada masa awal Islam, yaitu sahabat dan tabi'in" [10]
Pendapat Keempat: Tiga Generasi
Menurut pendapat ini makna salaf adalah generasi yang hidup pada masa 300 tahun pertama, yakni meliputi generasi Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in. Mereka hidup sejak zaman Nabi Muhamad saw. sampai abad ke-3 H. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam az-Zabidi (w. 1195 H/1780 M)
السَّلَف هُمُ الْعُلَمَاءُ الْمُتَقَدِّمُوْنَ فِي الصَّدْرِ الأَوَّلِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَأَتْبَاعِهِمْ وَالْخَلَفُ الْمُتَأَخِّرُوْنَ عَنْهُمْ وَالْقَائِمُوْنَ مَقَامَهُمْ فِي النَّظَرِ وَالاِجْتِهَادِ فِي كُلِّ عَصْرٍ
"As-Salaf adalah para ulama yang terdahulu pada masa awal, yaitu para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sedang khalaf adalah para ulama yang terakhir (datang terkemudian) dari mereka dan menempati tempat mereka dalam penelitian dan ijtihad di setiap masa". [11]
Pendapat ini merupakan pendapat umum (mayoritas) ulama. Pendapat ini mengacu kepada sabda Nabi: "Sebaik-baiknya abad adalah abadku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian abad berikutnya (masa Tabi'in), kemudian kemudian abad berikutnya (masa Tabi'ut Tabi'in)" H.r. al-Bukhari.
Jika abad-abad tersebut dihitung, maka yang pertama adalah masa sahabat Nabi saw. Yang kedua masa Tabi'in, dan Yang ketiga masa Tabi'ut Tabi'in.
Berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa meskipun berbeda penggunaan, namun mereka semua sepakat bahwa istilah itu tidak digunakan untuk generasi pasca tabi'ut tabi'in (abad ke-4 dan seterusnya). Karena itu, menurut Syekh Abdullah bin Abdul Hamid,  apabila disebut kata as-Salaf menurut para ulama i'tiqad (bidang akidah) semua definisi mereka tiada lain hanya akan berkisar di periode sahabat, atau "sahabat dan tabi'in", atau "sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in" pada kurun waktu yang mulia, yaitu para imam ahli ilmu yang diakui keimaman dan keutamaanya serta disepakati oleh umat Islam. Karena itulah generasi awal ini dinamakan as-Salafus Shalih.[12] Sedangkan Syekh Abdul Qadir bin Badran ad-Dimasyqi menyatakan bahwa istilah as-Salaf pada awalnya ditujukan bagi para sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in, dan imam agama yang diakui ketokohannya, sebagai pembeda dari ahli bid'ah seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji'ah,  Jabariyyah, Mu'tazilah, dan lain-lain. Namun kemudian istilah itu oleh para muhadditsin (ahli hadis) diindentikan dengan Imam Ahmad (w. 241 H/855) dan para ulama yang seakidah dengannya, terlepas dari latar belakang perbedaan madzhab fikih mereka. [13]
Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa secara zamani istilah as-Salaf bersifat khas atau sektoral dan temporal, yakni hanya dalam kurun waktu terbatas, dan itu semua qad madha wa taqaddama (telah berlalu dan terdahulu), sejak zaman sahabat hingga abad ke-3 H/ke-9  M. Setelah masa itu muncul masa khalaf, yang berarti masa pengganti atau kemudian. Masa khalaf ini berakhir pada abad ke-4 H/ke-10 M.
Adapun dilihat dari aspek sifati (karakteristik) istilah as-Salaf bersifat 'am atau universal, yakni meliputi seluruh generasi umat Rasulullah saw., tidak dibatasi oleh ketiga periode generasi di atas. Dengan perkataan lain, istilah itu berlaku untuk generasi pasca tabi'ut tabi'in hingga hari kiamat. Yang jadi pertanyaan: Sifat seperti apa yang dimilikinya sehingga menjadikan istilah itu memiliki waktu edar abadi? Dalam hal ini meliputi dua dimensi; Pertama, qudwah. Kedua, manhaj. Yang dimaksud dengan qudwah adalah sikap mereka yang layak dijadikan panutan, yaitu pertama, berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka disebut sebagai pemilik sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain yang berpegang pada pendapat, hawa nafsunya. Kedua, mereka bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan sehingga mereka disebut Ahlul Jama'ah. Dan yang dimaksud dengan manhaj di sini adalah jalan hidup mereka seperti yang telah dilalui oleh Rasulullah saw. Dalam hal ini Allah berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنْ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ
” Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orangorang yang musyrik". (QS Yusuf : 108)
Kedua dimensi inilah yang menyebabkan mereka mendapat rekomendasi dari Rasululullah saw. untuk selamat dari jurang neraka. Dilihat dari aspek inilah, istilah as-Salaf telah menjadi masdar shina'i (kata jadian) dengan mendapatkan imbuhan "yyah" (salafiyyah), yaitu menurut Syekh Abdullah bin Abdul Hamid, telah menjadi nama thariqah (metode) as-Salaf as-Shalih dalam menerima Islam, memahami, dan menerapkannya. Atas dasar ini maka salafiyah dipahami sebagai sebutan bagi orang-orang yang berpegang teguh kepada Alquran dan Sunah Rasulullah saw. dengan pemahaman as-Salaf. [14] Syekh Shaleh al-Fauzan berkata, “Dan kata Salafiyah digunakan terhadap jama’ah kaum mukminin yang hidup pada masa pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya : “Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya….”.[15] Dalam kitabnya yang lain beliau berkata,  “As-Salafiyah adalah orang-orang yang berjalan di atas Manhaj Salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya dalam hal aqidah, manhaj, dan metode dakwah”. [16]
Dan menurut Syekh Abdullah bin Abdul Hamid, "Setiap orang yang meneladani as-Salaf as-Shalih dan menempuh manhaj mereka pada setiap masa disebut as-Salafi". [17] Kata Imam as-Sam'ani (w. 562 H/1166 M), "As-Salafi - dengan huruf sin dan lam yang berharakat fathah dan huruf akhirnya fa’- merupakan penisbatan (dihubungkan) kepada salaf dan menempuh madzhab mereka menurut apa yang telah engkau dengar dari mereka.[18] Dan kata as-Suyuthi (w. 911 H/1505 M), as-Salafi -dengan difathah (huruf sin dan lam-nya) adalah penisbatan kepada madzhab as-Salaf"[19]
Menurut Abu Zahrah penggunaan istilah as-Salafi atau as-salafiyun mulai muncul pada abad ke-4 H/ke-10 M, dan dipopulerkan penggunaannya oleh sebagian dari hanabilah (pengikut Imam Ahmad).


Mereka mengklaim bahwa semua pendapat-pendapat mereka mengacu kepada Imam Ahmad yang telah menghidupkan kembali aqidah as-Salaf dan menentang selainnya.[20]
Ketika terjadi kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang, baik keagamaan, politik, sosial, ekonomi, maupun moral. Sementara itu, masyarakat muslim banyak menjadi penyembah kuburan nabi, ulama, tokoh-tokoh tarekat, dan sufi untuk mengharapkan berkat anbia (para nabi) dan aulia (para wali). Mereka sudah meninggalkan Alquran dan sunnah Rasul, melakukan perbuatan syirik dan bid'ah di samping percaya pada khurafat dan takhayul. Maka bangkit ulama yang ingin membangun alam fikiran kaum muslimin dengan menyadarkan mereka agar kembali pada Alquran dan sunnah sebagaimana yang telah ditempuh Ahlus Sunnah wal jama'ah. Gerakan ini dicetuskan pada abad ke-8. H/ke-14 M oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim. Beliau menganjurkan umat Islam agar mengikuti dan menerapkan ajaran salaf dalam kehidupan agamanya karena pola hidup ajaran salaf adalah pola hidup yang sudah terbentuk oleh Alquran dan sunnah Rasulullah saw. di tangan Ibnu Taimiyyah-lah istilah as-Salafus Shaleh dan Salafiyyah menemukan momentum popularitasnya.
Pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah menjadi embrio dari gerakan salafiyah di zaman modern lewat tangan pembaharu salafiyah di Jazirah Arab Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1201 H/1787 M), yang muncul pada abad ke-12 H/ke-17 M, sekitar 3 abad setelah wafatnya Ibnu Taimiyah.
Semangat Salaf, kembali pada Alquran dan sunnah serta berijtihad dilanjutkan oleh para imam salafiyah modern, antara lain Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Syekh Muhamad Abduh (1849-1905), Syekh Muhamad Rasyid Ridha (1865-1935), pendiri majalah al-Manar, penulis Tafsir al-Manar. Ia banyak terwarnai gurunya Syekh Muhamad Abduh, yang membuatnya tidak terlalu banyak dilirik oleh kaum salafiyun modern. Gerakan ini akhirnya menembus semua negara Islam dan negara yang berpenduduk muslim, seperti Indonesia yang waktu itu sedang berada di bawah cengkraman kaum kolonial.  Gerakan ini seterusnya menyebar ke hampir seluruh pelosok tanah air sehingga menggetarkan kaum penjajah, melalui para tokoh panutan umat, antara lain K.H Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyah-nya, Syekh Ahmad Syorkati, dengan organisasi al-Irsyad-nya, dan A.Hasan dengan organisasi Persis-nya.




[1] Lihat, Mukhtar as-Shihah, I:346; Lisanul 'Arab, II:383
[2] Lihat, Sunan ad-Darimi, I:52, No. 83
[3] Lihat, Mu'jam al-Mushtalahat dalam al-Maushu'ah al-Muyassarah, II:1164
[4] Lihat, Manhajul Istidlal, I:20
[5] Lihat, Shahih Muslim, IV:143
[6] Lihat, An-Nihayah fi Gharibil Hadis, II:390;  Lisanul Arab, IX:158
[7] Lihat, Al-Wajiz fi Aqidah as-Salaf as-Shalih, hal. 15.
[8] Lihat Tajul Arus min Jawahiril Qamus, I:5919-5923 dan Lisanul Arab, IX:158
[9] Lihat, An-Nihayah fi Gharibil Hadis, II:390;  Lisanul Arab, IX:158
[10] Lihat, Syubhul A'sya fi Shina'atil Insya , VI:41
[11] Lihat, Tajul Arus, I:31
[12] Lihat, Al-Wajiz fi Aqidah as-Salaf as-Shalih Ahlus Sunnah wal Jama'ah, hal. 15.
[13] Lihat, Al-Madkhal Ila Madzhab al-Imam Ahmad, I:422
[14] Lihat, Al-Wajiz fi Aqidah as-Salaf as-Shalih Ahlus Sunnah wal Jama'ah, hal. 22.
[15] Lihat, Nazharat Wa Tu’uqqubat ‘Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah, hal.21
[16] Lihat, al-Ajwibah al-Mufidah ‘An As`ilah al-Manahij al-Jadidah, hal.103-104
[17] Lihat, Al-Wajiz fi Aqidah as-Salaf as-Shalih Ahlus Sunnah wal Jama'ah, hal. 22.
[18] Lihat, Al-Ansab lis Sam'ani, III:273
[19] Lihat, Lubb al-Lubab fi Tahrir Al-Ansab, I:45
[20] Lihat, Tarikhul Madzahibil Islamiyyah, hal. 177.

Pengunjung