“Cinta dalam Rebana”
8 Februari 2013 pukul 10:30
Monolog Tatang Makky Tanginan:
“Cinta dalam Rebana”
Minggu malam, 26 Januari 2013. Hujan rintik menemani hembusan angin dingin yang berjatuhan perlahan. Menyusur udara, menembus awan dibawahnya, hingga terjatuh bebas akibat gravitasi yang menariknya.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh kendaraan dari seberang jalan. Diiringi suara puji-pujian dan shalawat kepada Nabi.Ada apakah?
Keriuhan itu cukup lama berlangsung, sampai seseorang yang berbicara menggunakan pengeras suara menghimbau mereka untuk berhenti.
Dari seberang jalan, di dalam rumah, di kamar lantai dua yang jendelanya terbuka itu aku memperhatikannya.
Beberapa saat aku tergoda untuk melihat apa yang terjadi. Jaraknya yang cukup dekat memudahkan aku untuk mengetahui maksud acara itu. Dari apa yang kudengar, dan dari apa yang aku lihat di spanduk, ternyata malam itu adalah malam pembukaan festival qasidah, marawis, dan rebana se-Tasikmalaya Raya.
Acara itu, katanya disponsori oleh seorang anggota dewan dari Jakarta, yang katanya juga akan memberikan hadiah uang serta kesempatan untuk rekaman di salah satu studio di Bogor. Pantas saja peminatnya cukup banyak, sehingga harus dilaksanakan selama 7 hari penuh.
Shalawat kembali terdengar, kali ini untuk mengiringi kepergian para tamu undangan dan perwakilan peserta yang hadir dalam acara pembukaan tersebut. Hingga akhirnya tersdengar sayup, lalu hilang perlahan berganti suara rintik hujan di atas genting. Airnya turuun.. tidak terkira.. #ehh.
****
Esoknya, selepas adzan maghrib nampak kesibukan panitia acara dalam mempersiapkan segalanya. Panggung di setting sedemikian rupa sehingga nampak meriah, kursi untuk juri, peserta dan penonton disiapkan dengan rapi, Sound system ditest, lighting dan posisi microphone disesuaikan. Tapi ada juga panitia yang sibuk mengatur lahan parkir. Mereka membentangkan tali raffia sebagai pembatas. Lumayan katanya, jika terisi penuh, Rp 100.000 bisa mereka raup dalam semalam. Yaahh jaman sekarang.., jangankan parkir, pipis ajaa kita musti bayar. Cibu, alias seribu. Hehe.
Hingga akhirnya selepas isya, acara mulai digelar, peserta nomor urut 1-10 mulai berdatangan. Ada yang dari Sodong, Cigalontang, dari Gobras, dan dari daerah lainnya. Mereka datang menggunakan kendaraan minibus yang nampaknya milik salah seorang dari keluarga atau kerabat peserta itu sendiri. Sementara pendukungnya juga tak mau ketinggalan untuk hadir. Mereka datang lebih riweuh dari pesertaanya sendiri. Menggunakan mobil bak terbuka, mereka memasuki arena sambil bersholawat dan menabuh bedug. Gandeng Cuuuu…!!!
Seperti biasa, aku hanya memperhatikannya dari lantai atas rumah, dari balik jendela kamar yang selalu terbuka. Aku hanya tersenyum saja tanpa sedikitpun tertarik untuk melihatnya secara langsung. Nooo… offcourse that is not my style. Sorry Jeck, kalo nonton konser Kerispatih mungkin aku ada di barisan paling depan. Meskipun harus tertatih, demi cinta, aku harus jujur bahwa cinta ini membunuhku. (aeh, naha jadi D Massive..?? heu)
MC dengan suaranya yang khas memanggil peserta pertama untuk naik ke atas panggung. Peserta dari Singaparna ternyata. Tuan Rumah. Dari kategori Dewasa, atau istilah MC sih Kategori Remako, alias Remaja Kolot. Kategori ini memang kategori usia terakhir, yang usia pesertanya gak boleh lagi dibilang belia. Makanya, yang tampil merupakan ibu-ibu pengajian dari suatu masjid.
Aku hanya tersenyum saja mendengar MC menyebut Remako, sambil mata mencari remote TV, aku mendengar sayup ibu-ibu tadi membawakan qasidah berjudul Sholatum… lagu yang sering menggema di masjid-masjid. Aku tak tahu pasti liriknya, namun hampir bias dipastikan isinya gak akan jauh dari puji-pujian..
Tadi hujan turun sampai sore, hanya tersisa lapang yang becek didalam arena. Hari pertama, aku masih tidak tertarik.
Hari Kedua: IDEM. No WAY Man..!!
Rabu, 29 Januari 2013. Tidak seperti biasanya, pekerjaan di kantor pagi sampai siang membuatku sangat kelelahan. Hingga selepas ashar tak terasa mata ini terpejam. Cukup lama, karena ketika aku terbangun, matahari sudah akan kembali ke peraduannya.
Hooaamm.. Mandi, lalu seperti biasa, stand by depan TV untuk menonton acara favoritku: Orang Pinggiran. Acara yang sangat membantu aku untuk selalu bersyukur, karena banyaknya orang yang kehidupannya yang masih memprihatinkan.
Dan selepas maghrib, mulai kembali terdengar riuh paniitia yang akan menggelar festival di hari ketiga. Aku menengok sekilas keluar jendela. Hmm, tidak hujan ternyata hari ini. Lapangan dan jalan kering. Cukup aneh, karena biasanya selalu turun hujan. Sementara hari ini, tak setetespun hujan yang turun membasahi bumi.
Entah ada angin apa, malam itu aku sedikit tergoda untuk melihat festival secara langsung. Pikirku, yaa itung-itung pengalaman aaja. Tidak lebih. Lagipula bosan beberapa hari ini diam dirumah.
Singkat cerita, akupun berangkat ke seberang jalan dimana acara itu berlangsung. Berbekal jaket untuk menahan dingin, aku melangkah keluar rumah. Sesekali tersenyum kepada orang-orang yang berpapasan denganku. Aku tidak kenal mereka, begitu pula sebaliknya. Tetapi senyum, selalu membuat segalanya lebih cair.
Hingga akhirnya aku tiba di depan panggung. Rupanya kursi yang disediakan panitia tidak cukup menampung jumlah penonton yang hadir. Akupun berdiri. Sendiri. Tak mengapa, toh paling hanya beberapa menit saja pikirku..
Festival hari ketiga dimulai..
Panitia memanggil peserta urutan 31, dari kelompok anak-anak. Mereka rata-rata berusia 10-12 tahun. SD lah boleh dibilang begitu. Peserta pertama ini berasal dari Sodong, sebuah daerah dekat kecamatan Taraju di Kabupaten Tasikmalaya. Cukup jauh. Tapi kulihat semangat mereka begitu kuat. Mereka melangkah ke atas panggung dengan ceria.
Adalah Grup marawis Al Manar namanya. Beranggotakan sepuluh orang gadis kecil berpakaian muslimah warna coklat tua dengan sedikit aksen hitam mirip batik, tetapi bukan. Sekilas aku melihatnya seperti kostum para pagar ayu di pernikahan. Yaa nggak salah salah amat sih, tapii aku menangkap kesan kurangnya aura anak dengan warna seperti itumah..
Dan, seperti yang sudah kukira, mereka membawakan lagu Sholatum.. lagu yang saat ini menjadi lagu paling Hits..
Mereka dibagi menjadi 2 baris, dengan leading vocal berdiri di paling depan. Leading vocalnya cantik unyu-unyu. Tapi sayang, kualitas vokalnya masih standar. Kekurangan utamanya dari pengaturan nafas saat bernyanyi. Sehingga terkesan nafasnya pendek. Contohnya kalo di pelajaran ngaji, dia harusnya 4 harokat, inimah cuman dua. Bayangkan deeh lagu “mungkinkah” Stinky.
Harusnya kan : “Mungkinkaaaahh….”
Ini cuma: “Mungkinkaah..” kan jadi gak pass.Betul gak masbro mbakbro..?? Hehe.Tapi Gak apa-apa, tinggal dilatih saja. Hanya saja, mengingat posisi lead vocal selalu menjadi pemain kunci dalam penilaian, aku sangat yakin, mereka tidak akan juara. Penilaianku cukup objektif, karena ketika aku memperhatiakan penonton lain, mereka juga sedikit mengernyitkan dahi mendengar suara vokalis itu..
Usai Al Manar beraksi, selanjutnya peserta kedua datang dari Kecamatan Mangunreja. Grup Marawis An Nisa. Masih dari kelas anak. Hanya jumlah anggotanya lebih banyak.
MC kali ini sedikit mewawancara grup ini, dengan menanyakan nama vokalisnya. Gadis kecil sang vokalis pun menyebutkan namanya: Indri. Lalu dia menyebutkan satu persatu nama rekannya, mulai dari barisan pertama sebelah kiri: Riska, Ervin, Reka, Nur, Herni, Ika, Eva, Widya, Devi, Winda, dan yang terakhir, gadis kecil berperawakan gempal, kulit putih, dengan senyum yang selalu mengembang dari bibirnya, dia bernama: Risa.
Biasanya… ini biasanya lho broo.., kalo anak kecil perempuan tipe-tipe begini, kecilnya lucu, gedenya cantik.. Contohnya Tasya. Iya kan?? Hihihi..
Mereka menggunakan kostum yang eye catching, dengan warna aquablue, cerah, cocok dengan jiwa-jiwa belia mereka. Hingga kesan pertama yang muncul pun aroma semangat dan keriangan.
Dari segi kostum: OKEH..!!
Dan ketika MC mempersilahkan An Nissa untuk memulai performance’nya, sebuah intro dialunkan oleh Indri. Suara Gadis manis yang agak kurus itu ternyata sungguh luar biasa.
Suaranya tinggi, bulat, dengan nafas panjang, serta teknik yang sangat baik.
“Sholaaatuuuuuuuuuuuuuuuummmmmmmm…. Bissalaamin muubiiiiiiiiiiiinnnn…”
Semua penonton sontak bertepuk tangan, termasuk aku. Mirip.. Mirip sekali dengan suara mantan pacar sayah, Neng Siti Nurhaliza.. Kereeeeeen pokonamah. Hade.
Intro yang memukau itu dilanjutkan dengan nyanyian yang tak kalah bagus. Dilengkapi dengan volume dari lead vocal dan backing vocal yang cukup. Tidak keras dan tidak pelan. Sehingga enak didengar.. Plus, koreografi yang menarik, proporsional, dalam arti tidak berlebihan. Mengingat ini lomba marawis, bukan ajang pencarian bakat Girlbands seperti Cherrybelle. Mereka hanya berganti posisi dari formasi awal dan gerakan kaki dinamis dari porosnya. Sangat bagus.
Dan disana, di ujung kiri sana, Risa, My Tasya (qkqkqk) tampil sangat percaya diri.. Seyumnya adalah senyum terbaik se Kabupaten.. (Haaaaaa, lebay) tapi da emang bener. Nampak jelas, mereka memiliki pelatih yang bagus, dengan volume latihan yang memang cukup. Makanya mereka tampil sangat RUARRR BIASA..!!
Penilaian An Nisa: KANDIDAT..!! eh salah, KANDIDAT KUAT..!!!
Penampilan yang menghibur seperti ini akan terasa sangat cepat berlalu. Seperti baru saja, padahal 10 menit mereka ada di pentas, sesuai teori Einstein tentang relativitas.. E =m. c2
An Nissa selesai, dilanjutkan penampilan Grup dari Gobras. Qkqkqk, nama apa pula itu Gobras. Coba kalian perhatikan, nama2 daerah yang tadi kusebutkan. Singaparna, Sodong, Taraju, Mangunreja, Gobras.. Lucu kan? Bagi sebagian orang pasti terdengar lucu, atau bahkan aneh. Kenapa..? Jawabannya: karena belum terbiasa. Itu saja. Karena kita manusia hanya tahu sedikit tentang dunia, sehingga perlu waktu untuk beradaptasi, termasuk untuk mendengar sebuah nama.
Yaa.. grup ketiga ini bernama As Syifa, beranggotakan 10 orang, memakai kostum berwarna pink. Lucu. Hanya saja performance mereka tergolong sangat biasa. Sebetulnya lead vocalnya lumayan bagus, hanya anggota lainnya kurang support. Koreografinya rigid, volume suaranya terlalu pelan, juga suara rebananya, sehingga yang terdengar hanya suara lead vocalnya saja. Dan yang paling fatal: tidak ada anggotanya yang UNYU-UNYU.. ckckck. (hehe, kiddiiing..)
Penilaian As Syifa: Maaf.
Waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Mata sedikit lelah, namun aku memutuskan untuk melihat satu penampilan lagi sebelum beranjak pulang.
Dan rupanya kali ini pesertanya dari kelompok usia muda. Huhuuuuuyy. Sugan wee aya nu bening masbroooo..!!!
MC memanggil peserta keempat ini, nama grupnya An Nissa. Lho, kok sama seperti groupnya Tasya.. #ehh, Risa? Pikirku.. Tapi ketika MC menyebutkan asal mereka yang dari Mangunreja, aku memperkirakan ini adalah grup yang sama dengan grupnya Risa, hanya versi seniornya.
Anggotanya tidak terlalu banyak, hanya 9 orang. Dibagi menjadi 2 baris, tetaap.. leading vocal didepan. Berharap MC menanyakan nama2 personilnya, ternyata tidak. Sial.. Dasar MC tidak konsisten..!! Dasar Si kumis..!! Kumis we Jabrig, ari buuk beak.. whatdezig..!!
Just kidding masbro mbakbro.. aku tahu kok, karena sudah malam, jadi MC ingin menghemat waktu, sehingga sesi interview dilewat.
Kalian harus tahu, kenapa aku sangat ingin mengetahui nama-nama personil An Nissa senior ini. Karena Didepan sana, di atas panggung, dibawah microphone utama, sang leading vocal… dia membuat mataku sejenak tak berkedip.. kalian tahu kenapa hanya sejenak? Karena kalau kelamaan akan jadi peurih. He.
Dia.. dia gadis dengan perawakan sedang, berwajah cerah, dengan mata indah yang sempurna itu telah membuatku terpesona. Tidak memakai make up berlebih, seperti alami. Gesturnya juga elegan, dan.. senyum yang selalu mengembang.
“Tuhan…, inikah yang disebut dengan cinca pada pandangan pertama..??”
Pikiran pun melayang, ke udara, menjadi angan-angan yang baru tersadarkan ketika “dia” melantunkan intro.. Lagunya apa coba..??
Saaalaaaahhh wew. Bukan Sholatum.. lagunya berjudul “Wahdana” yang dipopulerkan oleh Wafiq Azizah (asanamah)
“Wahdana waahdaaaann..”
Subhanalloh…. Bukan hanya fisiknya saja yang nomor wahid, tapi juga suaranya cyiiiinnnttt..!!!
“Tuhan…, inikah yang disebut dengan cinca pada pendengaran pertama..??”
Semuanya lagi-lagi terasa begitu singkat, sehingga tak terasa An Nissa senior selesai membawakan penampilannya. Sungguh.., sungguh lebih cepat dari Juniornya yang tadi lebih dulu tampil..
Selama 8 menit dan 46.82 detik aku terbuai oleh pesonanya.. olehnya, dia yang tak aku ketahui siapa namanya. Pandangan ini tak sedikitpun berubah arah. Tidak, sungguh tidak. Sampai dia turun dari atas panggung dan kembali ke kursi para peserta, tatapanku tetap mengarah kepadanya.
Penilaian An Nissa Senior: Dari Hati.. he.
Aku sudah tak peduli bagaimana hiruk pikuk MC, penonton, tukang kacang rebus, dan semua orang di tempat itu. Bahkan aku sudah tidak peduli dengan kelanjutan acara festival itu. Tak peduli penampilan peserta selanjutnya. Sejak dia selesai bernyanyi, aku sudah punya nilai untuk diberikan kepada peserta nomor 5 sampai nomor 10.
Penilaian Nomor 5 : Backspace
Penilaian Nomor 6 : Ctrl + Esc
Penilaian Nomor 7 : Ctrl + Alt + Del
Penilaian Nomor 8 : Stand by
Penilaian Nomor 9 : Restart
Penilaian Nomor 10 : Shut Down
Ya.. itulah nilaiku untuk mereka. Mau protes?? Karep teuing.
Dia duduk bersama rekannya di kursi peserta. Dan tetap sambil tersenyum, dia meminum air mineral yang diberikan oleh rekannya. Haus meureunan tos nyanyi.. Ari suganteh nu geulismah tara eueut. Geningan sami we.. hehe.
Aku terus memperhatikannya. Saat minum, saat berbicara, saat memandang. Dan, saat dia memandang itulah aku sangat berharap lehernya diputar 90 derajat ke arah kanan. Ke arahku tentunya, bukan ke arah si MC Kumis.. tapi tidak. Dia tidak menoleh kepadaku. Sampai acara selesai, sampai semuanya bergegas pulang. Di perjalanan kaki menuju kendaraannya, aku berusaha untuk mendekatinya. Menerobos berdesakannya orang-orang, aku berusaha sekuat tenaga untuk bias sedikit lebih dekat dengannya. Sebelum benar-benar berpisah, untuk yang terakhir, sekali lagi aku ingin melihat senyum indah dari wajahnya..
Tapi tidak, aku kehilangan jejaknya akibat saking banyaknya orang yang dengan tidak sengaja menghalangiku. Yang menjadi pemisah jarak diantara kami. Aku kehilangan dia. Sesak rasanya, meski aku tahu aku akan kehilangan dia.
Dipayungi redup bintang dan dipelukan angin malam. Aku pulang. Aku senang. Tapi aku tak tenang.
**** ******
Namaku Tatang Makky Tanginan. Putra pertama dari dua bersaudara. Dari namaku, tentu semua tahu kalau aku berasal dari Suku Sunda. Tatang, nama pasaran bagi orang sunda angkatan bapakku. Tolong digaris bawahi ya, untuk angkatan bapakku. Plis deh Behh, mbo ya ngasih nama tuh yang sesuai angkatan gitu loh.. hadeuhh. Akte mana akte..???!!!
Pernah suatu hari kutanyakan kepada Bapak arti dari namaku. Bukan nama depannya, dan bukan pula nama belakang. Karena tanginan itu asli bahasa sunda yang artinya rajin. Bagus juga sih kalo melihat artinya. Aku tidak pernah memprotes nama belakangku itu.
Yang aku tanyakan kepada Bapak adalah arti dari Makky, nama tengahku. Di usia 12 tahun saat itu, aku dengan kepercayaan diri yang tinggi bertanya kepada Bapak. Tepatnya mengkonfirmasi sih.
“Pak, Bapak ngasih nama Makky pasti karena Bapak cinta sama kota Mekkah yah? Atau karena Bapak nanti pengen naik Haji..?? tanyaku dengan semangat 45.
Bapak sejenak diam, mengernyitkan dahi, lalu berujar..
“Bukan, kamu dikasih nama itu karena saat Ibu kamu hamil, dia hobby-nya nonton film kartun Walt Disney.. namanya Makky.”
Mendengar itu seketika langit terasa runtuh.. Gue.. Gue.. nama gue terinspirasi dari tikus..
Lha mending kalo nulisnya bener.. Mickey atuh Beeeeeehhhh.. hiks.
Tatapanku kosong, tulang serasa lembek, jantung berhenti berdetak, dan darah serasa tak mengalir. Dengan kondisi yang memprihatinkan itu, aku berbalik ke kamar.
Cicing aing teu hayang seuri yeuh..
Mendengar jawaban Bapak, aku berharap adik perempuanku tidak pernah berfikir untuk menanyakan arti dari namanya:
Jembar Mini Atikah.
Adikku.. sebelumnya aku biasanya memanggilnya neng.. tapi setelah kejadian mengerikan pengungkapan sejarah namaku, aku membiasakan diri untuk memanggilnya dengan Tika.. sedikit diambil dari nama belakangnya. Tentu dengan maksud supaya dia terbiasa juga. Dan kalian tentu tahu maksud sesungguhnya dari hal ini.
Sementara aku, sejak kecil dipanggil Makky. Keren laaah. Selama tidak ada yang tahu sejarahnya.., aku sih fine fine aja. Ketika ada yang bertanya arti Makky. Aku menjawabnya dengan menujuk ke arah barat sambil berkata : “Kiblat”.
Allohu Akbar..!!!
**** ****** *
Malam ini kawan, di sebuah malam dimana festival terbaik dalam hidupku digelar. Selama lebih dari 25 tahun aku berjalan di muka bumi, baru sekaranglah aku temukan hakikat harapan hidupku. Selama ini aku selalu berfikir tentang karir, tentang usaha untuk menjadi orang yang sukses. Ternyata bukan itu. Ternyata ada yang lebih dari itu. Ternyata ada sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya.
Ternyata aku….., ingin menikah dengan vokalis grup marawis. Itulah keinginan terbesar yang sesungguhnya. Yang baru aku sadari di malam ini. Hakikatnya soal cinta. Dan kutemukan cinta dalam rebana. Kepada dia, yang akupun bahkan tak tahu siapa namanya.
Aku mengaku aku salah, selama ini menilai marawis, qasidah dan sejenisnya adalah sesuatu yang Ndeso.., yang ketinggalan jaman. Ternyata tidak. Didalamnya terkandung sejuta makna. Lebih dalam.., jauh lebih dalam dari yang aku kira.
Hari berlalu. Meski aku ingin sekali melihat acara festival di hari berikutnya, namun sampai acara Grand Final, aku tak sempat menyaksikannya lagi. Sebuah tugas luar kota harus aku jalankan. Sedih. Tapi kewajiban menuntutku.
**** ****** * *********
Seminggu berlalu, bulan demi bulan berlalu hingga pada suatu ketika, aku mendapat tugas untuk mensurvey kondisi Penerangan Jalan Umum di sebuah Desa di Mangunreja. Aku dan anggota tim diterima dengan sangat baik oleh Pak Sekdes. Beliau menunjukkan letak detail lampu PJU yang padam. Ternyata di sebuah perempatan jalan desa, persis di depan sebuah masjid.
“Jadi Pak.., kalau malam ada acara di masjid, kasian masyarakat disini.. gelap.” Ujar Pak Sekdes.
Kami mengangguk, lalu memeriksa keruksakan komponen PJU. Mencatatnya untuk dijadikan laporan.
Saat itu lepas Ashar. Sayup terdengar di dalam masjid ada suara dentang rebana. Riuh rendah anak kecil bersuara penuh canda. Aku, anggota tim dan Pak Sekdes masih berada di lokasi untuk sedikit berkoordinasi. Sampai tak kusadari derap langkah seseorang terdengar. Tiba-tiba Pak Sekdes berbicara:
“Bade latihan Neng Gita..??”
Sebagai seorang laki-laki dengan pendengaran yang sakti, mendengar kata Neng, aku reflex doong menengok. Dan….,
Subhanalloh….!!!
Itu diaa..!!! itu diaaaaa..!!!
“Sumuhun Pak.. Mangga..” jawabnya singkat.
Ketika dia berjalan, sempat mataku dan matanya beradu. Dia tersenyum, sementara aku hokcay.. namun langsung tersadar dan membalas senyumnya.
Mungkin hokcay aku yang berlangsung tadi diperhatikan oleh Pak Sekdes. Dia berkata sesuatu:
“Cantik ya Pak..?”
Aku tersipu malu.. barijeung unggeuk. “Hooh” ( dalem hati tapiii..)
Pak Sekdes bicara lagi, “Yaahh sayangnya telat..”
Aku menimpal: “telat gimana Pak..?”
“Neng Gita mah tos nikah.. baru dua bulan kemarin Pak. Telat Bapak kesininya..”
Guys, aku pikir, sejak malam penjelasan arti namaku oleh Bapak, aku tak akan pernah lagi mengalami yang rasanya langit runtuh..
Yang ini malah lebih berat. Seperti baru saja diajak terbang ke awan, namun lalu dijatuhkan ke muka bumi. Sakiit… Sakiiiiit sekali.
Kalian tahu kenapa in lebih sakit..?
Karena tidak ada yang salah..!! itu jawabannya. Ketika ada kondisi dimana kita menemukan siapa atau apa yang salah, maka sebenarnya itu sudah sedikit banyak bisa mengurangi dampak kesalahannya itu sendiri, setidaknya secara psikologis.
Tapi ini..?? siapa yang bisa disalahkan? Aku? Tidak.. Gita?? Tidak.. atau Pak Sekdes..? Tidak juga.. Tidak ada yang salah. Atau berfikir takdir yang salah..? Tidak. Qada Alloh tidak pernah salah. Nah Guys.., itulah yang membuat hal ini lebih sakit. Aku berusaha tegar walau sebenarnya nyanyautan.. hiks.
Aku berkata ke Pak Sekdes: “Alhamdulillah atuh Paak tos nikah mah, saya ikut senang..” (Padahalmaaaah…@#$%@##$)
Semua tertawa. Termasuk aku, meski diiring kegetiran hati..
Selesai mendata PJU, kami diajak oleh Pak Sekdes untuk mampir ke rumahnya. Katanya, istrinya sudah menyiapkan makan. Kami sudah berusaha menolak, namun Pak Sekdes lebih kuat memaksa. Akhirnya kami menurutinya.
Singkat kata, sekitar satu jam kami berada di rumah Pak Sekdes, puas makan dan mengobrol, kami pamit mundur. Mobil Dinas Silver aku starter, lalu diiring salam kami meninggalkan rumah Pak Sekdes. Di perjalanan, dari kejauhan, dibalik kaca mobil, kulihat seorang gadis menuntun seorang anak perempuan bertumbuh gempal. Mereka berjalan perlahan, lalu berhenti di sebuah rumah dengan pagar tertutup. Dan setelah jarak kami semakin dekat, kupastikan dia adalah Gita. Dan tahukah kalian anak kecil itu..?? Dia Risa..!!! My Tasya..!!! rupanya mereka kakak beradik. Akupun memelankan laju mobil. Dan ketika sekitar 5 meter sebelum berpapasan, syukurlah keduanya melirik ke arah kami.. ke arahku. Sambil terseyum. Kami membalas senyumannya. Lalu ketika mobil kami tepat berada di depannya, kudapati seorang laki-laki sesusiaku membukakan pagar rumah untuk mereka. Laluu.., kulihat Gita mengucapkan salam sambil mencium tangannya.
Saat itu aku masih tersenyum.., lalu mulai meluruskan pandangan ke depan. Lalu pedal gas kuinjak lebih dalam.
Terima kasih Gita, Terima kasih Risa.. untuk senyum kalian yang sudah nancleb di hatiku..
**** ****** * * ********* ********
Cinta itu bukan soal memiliki.. tapi soal membahagiakan hati.
Lagi pula, masih baaanyak vokalis vokalis grup marawis yang lain.. Betul gak Masbro Mbakbro..???
Tidak perlu bersusah hati, percayalah. Alloh Yang Maha Kaya telah memberi kita banyak opsi. Jadi jangan menganggap jika kita kehilangan satu, maka dunia akan berakhir.
Selalu bersyukur apapun yang terjadi. Ingat itu Kawan..!!
**** ****** * ********* ******** **
Terima kasih sudah membaca.
Singaparna, 7 Februari 2013
Humaira Ilyasa
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jangan diambil hati.. Maaf untuk yang kurang berkenan)
“Cinta dalam Rebana”
Minggu malam, 26 Januari 2013. Hujan rintik menemani hembusan angin dingin yang berjatuhan perlahan. Menyusur udara, menembus awan dibawahnya, hingga terjatuh bebas akibat gravitasi yang menariknya.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh kendaraan dari seberang jalan. Diiringi suara puji-pujian dan shalawat kepada Nabi.Ada apakah?
Keriuhan itu cukup lama berlangsung, sampai seseorang yang berbicara menggunakan pengeras suara menghimbau mereka untuk berhenti.
Dari seberang jalan, di dalam rumah, di kamar lantai dua yang jendelanya terbuka itu aku memperhatikannya.
Beberapa saat aku tergoda untuk melihat apa yang terjadi. Jaraknya yang cukup dekat memudahkan aku untuk mengetahui maksud acara itu. Dari apa yang kudengar, dan dari apa yang aku lihat di spanduk, ternyata malam itu adalah malam pembukaan festival qasidah, marawis, dan rebana se-Tasikmalaya Raya.
Acara itu, katanya disponsori oleh seorang anggota dewan dari Jakarta, yang katanya juga akan memberikan hadiah uang serta kesempatan untuk rekaman di salah satu studio di Bogor. Pantas saja peminatnya cukup banyak, sehingga harus dilaksanakan selama 7 hari penuh.
Shalawat kembali terdengar, kali ini untuk mengiringi kepergian para tamu undangan dan perwakilan peserta yang hadir dalam acara pembukaan tersebut. Hingga akhirnya tersdengar sayup, lalu hilang perlahan berganti suara rintik hujan di atas genting. Airnya turuun.. tidak terkira.. #ehh.
****
Esoknya, selepas adzan maghrib nampak kesibukan panitia acara dalam mempersiapkan segalanya. Panggung di setting sedemikian rupa sehingga nampak meriah, kursi untuk juri, peserta dan penonton disiapkan dengan rapi, Sound system ditest, lighting dan posisi microphone disesuaikan. Tapi ada juga panitia yang sibuk mengatur lahan parkir. Mereka membentangkan tali raffia sebagai pembatas. Lumayan katanya, jika terisi penuh, Rp 100.000 bisa mereka raup dalam semalam. Yaahh jaman sekarang.., jangankan parkir, pipis ajaa kita musti bayar. Cibu, alias seribu. Hehe.
Hingga akhirnya selepas isya, acara mulai digelar, peserta nomor urut 1-10 mulai berdatangan. Ada yang dari Sodong, Cigalontang, dari Gobras, dan dari daerah lainnya. Mereka datang menggunakan kendaraan minibus yang nampaknya milik salah seorang dari keluarga atau kerabat peserta itu sendiri. Sementara pendukungnya juga tak mau ketinggalan untuk hadir. Mereka datang lebih riweuh dari pesertaanya sendiri. Menggunakan mobil bak terbuka, mereka memasuki arena sambil bersholawat dan menabuh bedug. Gandeng Cuuuu…!!!
Seperti biasa, aku hanya memperhatikannya dari lantai atas rumah, dari balik jendela kamar yang selalu terbuka. Aku hanya tersenyum saja tanpa sedikitpun tertarik untuk melihatnya secara langsung. Nooo… offcourse that is not my style. Sorry Jeck, kalo nonton konser Kerispatih mungkin aku ada di barisan paling depan. Meskipun harus tertatih, demi cinta, aku harus jujur bahwa cinta ini membunuhku. (aeh, naha jadi D Massive..?? heu)
MC dengan suaranya yang khas memanggil peserta pertama untuk naik ke atas panggung. Peserta dari Singaparna ternyata. Tuan Rumah. Dari kategori Dewasa, atau istilah MC sih Kategori Remako, alias Remaja Kolot. Kategori ini memang kategori usia terakhir, yang usia pesertanya gak boleh lagi dibilang belia. Makanya, yang tampil merupakan ibu-ibu pengajian dari suatu masjid.
Aku hanya tersenyum saja mendengar MC menyebut Remako, sambil mata mencari remote TV, aku mendengar sayup ibu-ibu tadi membawakan qasidah berjudul Sholatum… lagu yang sering menggema di masjid-masjid. Aku tak tahu pasti liriknya, namun hampir bias dipastikan isinya gak akan jauh dari puji-pujian..
Tadi hujan turun sampai sore, hanya tersisa lapang yang becek didalam arena. Hari pertama, aku masih tidak tertarik.
Hari Kedua: IDEM. No WAY Man..!!
Rabu, 29 Januari 2013. Tidak seperti biasanya, pekerjaan di kantor pagi sampai siang membuatku sangat kelelahan. Hingga selepas ashar tak terasa mata ini terpejam. Cukup lama, karena ketika aku terbangun, matahari sudah akan kembali ke peraduannya.
Hooaamm.. Mandi, lalu seperti biasa, stand by depan TV untuk menonton acara favoritku: Orang Pinggiran. Acara yang sangat membantu aku untuk selalu bersyukur, karena banyaknya orang yang kehidupannya yang masih memprihatinkan.
Dan selepas maghrib, mulai kembali terdengar riuh paniitia yang akan menggelar festival di hari ketiga. Aku menengok sekilas keluar jendela. Hmm, tidak hujan ternyata hari ini. Lapangan dan jalan kering. Cukup aneh, karena biasanya selalu turun hujan. Sementara hari ini, tak setetespun hujan yang turun membasahi bumi.
Entah ada angin apa, malam itu aku sedikit tergoda untuk melihat festival secara langsung. Pikirku, yaa itung-itung pengalaman aaja. Tidak lebih. Lagipula bosan beberapa hari ini diam dirumah.
Singkat cerita, akupun berangkat ke seberang jalan dimana acara itu berlangsung. Berbekal jaket untuk menahan dingin, aku melangkah keluar rumah. Sesekali tersenyum kepada orang-orang yang berpapasan denganku. Aku tidak kenal mereka, begitu pula sebaliknya. Tetapi senyum, selalu membuat segalanya lebih cair.
Hingga akhirnya aku tiba di depan panggung. Rupanya kursi yang disediakan panitia tidak cukup menampung jumlah penonton yang hadir. Akupun berdiri. Sendiri. Tak mengapa, toh paling hanya beberapa menit saja pikirku..
Festival hari ketiga dimulai..
Panitia memanggil peserta urutan 31, dari kelompok anak-anak. Mereka rata-rata berusia 10-12 tahun. SD lah boleh dibilang begitu. Peserta pertama ini berasal dari Sodong, sebuah daerah dekat kecamatan Taraju di Kabupaten Tasikmalaya. Cukup jauh. Tapi kulihat semangat mereka begitu kuat. Mereka melangkah ke atas panggung dengan ceria.
Adalah Grup marawis Al Manar namanya. Beranggotakan sepuluh orang gadis kecil berpakaian muslimah warna coklat tua dengan sedikit aksen hitam mirip batik, tetapi bukan. Sekilas aku melihatnya seperti kostum para pagar ayu di pernikahan. Yaa nggak salah salah amat sih, tapii aku menangkap kesan kurangnya aura anak dengan warna seperti itumah..
Dan, seperti yang sudah kukira, mereka membawakan lagu Sholatum.. lagu yang saat ini menjadi lagu paling Hits..
Mereka dibagi menjadi 2 baris, dengan leading vocal berdiri di paling depan. Leading vocalnya cantik unyu-unyu. Tapi sayang, kualitas vokalnya masih standar. Kekurangan utamanya dari pengaturan nafas saat bernyanyi. Sehingga terkesan nafasnya pendek. Contohnya kalo di pelajaran ngaji, dia harusnya 4 harokat, inimah cuman dua. Bayangkan deeh lagu “mungkinkah” Stinky.
Harusnya kan : “Mungkinkaaaahh….”
Ini cuma: “Mungkinkaah..” kan jadi gak pass.Betul gak masbro mbakbro..?? Hehe.Tapi Gak apa-apa, tinggal dilatih saja. Hanya saja, mengingat posisi lead vocal selalu menjadi pemain kunci dalam penilaian, aku sangat yakin, mereka tidak akan juara. Penilaianku cukup objektif, karena ketika aku memperhatiakan penonton lain, mereka juga sedikit mengernyitkan dahi mendengar suara vokalis itu..
Usai Al Manar beraksi, selanjutnya peserta kedua datang dari Kecamatan Mangunreja. Grup Marawis An Nisa. Masih dari kelas anak. Hanya jumlah anggotanya lebih banyak.
MC kali ini sedikit mewawancara grup ini, dengan menanyakan nama vokalisnya. Gadis kecil sang vokalis pun menyebutkan namanya: Indri. Lalu dia menyebutkan satu persatu nama rekannya, mulai dari barisan pertama sebelah kiri: Riska, Ervin, Reka, Nur, Herni, Ika, Eva, Widya, Devi, Winda, dan yang terakhir, gadis kecil berperawakan gempal, kulit putih, dengan senyum yang selalu mengembang dari bibirnya, dia bernama: Risa.
Biasanya… ini biasanya lho broo.., kalo anak kecil perempuan tipe-tipe begini, kecilnya lucu, gedenya cantik.. Contohnya Tasya. Iya kan?? Hihihi..
Mereka menggunakan kostum yang eye catching, dengan warna aquablue, cerah, cocok dengan jiwa-jiwa belia mereka. Hingga kesan pertama yang muncul pun aroma semangat dan keriangan.
Dari segi kostum: OKEH..!!
Dan ketika MC mempersilahkan An Nissa untuk memulai performance’nya, sebuah intro dialunkan oleh Indri. Suara Gadis manis yang agak kurus itu ternyata sungguh luar biasa.
Suaranya tinggi, bulat, dengan nafas panjang, serta teknik yang sangat baik.
“Sholaaatuuuuuuuuuuuuuuuummmmmmmm…. Bissalaamin muubiiiiiiiiiiiinnnn…”
Semua penonton sontak bertepuk tangan, termasuk aku. Mirip.. Mirip sekali dengan suara mantan pacar sayah, Neng Siti Nurhaliza.. Kereeeeeen pokonamah. Hade.
Intro yang memukau itu dilanjutkan dengan nyanyian yang tak kalah bagus. Dilengkapi dengan volume dari lead vocal dan backing vocal yang cukup. Tidak keras dan tidak pelan. Sehingga enak didengar.. Plus, koreografi yang menarik, proporsional, dalam arti tidak berlebihan. Mengingat ini lomba marawis, bukan ajang pencarian bakat Girlbands seperti Cherrybelle. Mereka hanya berganti posisi dari formasi awal dan gerakan kaki dinamis dari porosnya. Sangat bagus.
Dan disana, di ujung kiri sana, Risa, My Tasya (qkqkqk) tampil sangat percaya diri.. Seyumnya adalah senyum terbaik se Kabupaten.. (Haaaaaa, lebay) tapi da emang bener. Nampak jelas, mereka memiliki pelatih yang bagus, dengan volume latihan yang memang cukup. Makanya mereka tampil sangat RUARRR BIASA..!!
Penilaian An Nisa: KANDIDAT..!! eh salah, KANDIDAT KUAT..!!!
Penampilan yang menghibur seperti ini akan terasa sangat cepat berlalu. Seperti baru saja, padahal 10 menit mereka ada di pentas, sesuai teori Einstein tentang relativitas.. E =m. c2
An Nissa selesai, dilanjutkan penampilan Grup dari Gobras. Qkqkqk, nama apa pula itu Gobras. Coba kalian perhatikan, nama2 daerah yang tadi kusebutkan. Singaparna, Sodong, Taraju, Mangunreja, Gobras.. Lucu kan? Bagi sebagian orang pasti terdengar lucu, atau bahkan aneh. Kenapa..? Jawabannya: karena belum terbiasa. Itu saja. Karena kita manusia hanya tahu sedikit tentang dunia, sehingga perlu waktu untuk beradaptasi, termasuk untuk mendengar sebuah nama.
Yaa.. grup ketiga ini bernama As Syifa, beranggotakan 10 orang, memakai kostum berwarna pink. Lucu. Hanya saja performance mereka tergolong sangat biasa. Sebetulnya lead vocalnya lumayan bagus, hanya anggota lainnya kurang support. Koreografinya rigid, volume suaranya terlalu pelan, juga suara rebananya, sehingga yang terdengar hanya suara lead vocalnya saja. Dan yang paling fatal: tidak ada anggotanya yang UNYU-UNYU.. ckckck. (hehe, kiddiiing..)
Penilaian As Syifa: Maaf.
Waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Mata sedikit lelah, namun aku memutuskan untuk melihat satu penampilan lagi sebelum beranjak pulang.
Dan rupanya kali ini pesertanya dari kelompok usia muda. Huhuuuuuyy. Sugan wee aya nu bening masbroooo..!!!
MC memanggil peserta keempat ini, nama grupnya An Nissa. Lho, kok sama seperti groupnya Tasya.. #ehh, Risa? Pikirku.. Tapi ketika MC menyebutkan asal mereka yang dari Mangunreja, aku memperkirakan ini adalah grup yang sama dengan grupnya Risa, hanya versi seniornya.
Anggotanya tidak terlalu banyak, hanya 9 orang. Dibagi menjadi 2 baris, tetaap.. leading vocal didepan. Berharap MC menanyakan nama2 personilnya, ternyata tidak. Sial.. Dasar MC tidak konsisten..!! Dasar Si kumis..!! Kumis we Jabrig, ari buuk beak.. whatdezig..!!
Just kidding masbro mbakbro.. aku tahu kok, karena sudah malam, jadi MC ingin menghemat waktu, sehingga sesi interview dilewat.
Kalian harus tahu, kenapa aku sangat ingin mengetahui nama-nama personil An Nissa senior ini. Karena Didepan sana, di atas panggung, dibawah microphone utama, sang leading vocal… dia membuat mataku sejenak tak berkedip.. kalian tahu kenapa hanya sejenak? Karena kalau kelamaan akan jadi peurih. He.
Dia.. dia gadis dengan perawakan sedang, berwajah cerah, dengan mata indah yang sempurna itu telah membuatku terpesona. Tidak memakai make up berlebih, seperti alami. Gesturnya juga elegan, dan.. senyum yang selalu mengembang.
“Tuhan…, inikah yang disebut dengan cinca pada pandangan pertama..??”
Pikiran pun melayang, ke udara, menjadi angan-angan yang baru tersadarkan ketika “dia” melantunkan intro.. Lagunya apa coba..??
Saaalaaaahhh wew. Bukan Sholatum.. lagunya berjudul “Wahdana” yang dipopulerkan oleh Wafiq Azizah (asanamah)
“Wahdana waahdaaaann..”
Subhanalloh…. Bukan hanya fisiknya saja yang nomor wahid, tapi juga suaranya cyiiiinnnttt..!!!
“Tuhan…, inikah yang disebut dengan cinca pada pendengaran pertama..??”
Semuanya lagi-lagi terasa begitu singkat, sehingga tak terasa An Nissa senior selesai membawakan penampilannya. Sungguh.., sungguh lebih cepat dari Juniornya yang tadi lebih dulu tampil..
Selama 8 menit dan 46.82 detik aku terbuai oleh pesonanya.. olehnya, dia yang tak aku ketahui siapa namanya. Pandangan ini tak sedikitpun berubah arah. Tidak, sungguh tidak. Sampai dia turun dari atas panggung dan kembali ke kursi para peserta, tatapanku tetap mengarah kepadanya.
Penilaian An Nissa Senior: Dari Hati.. he.
Aku sudah tak peduli bagaimana hiruk pikuk MC, penonton, tukang kacang rebus, dan semua orang di tempat itu. Bahkan aku sudah tidak peduli dengan kelanjutan acara festival itu. Tak peduli penampilan peserta selanjutnya. Sejak dia selesai bernyanyi, aku sudah punya nilai untuk diberikan kepada peserta nomor 5 sampai nomor 10.
Penilaian Nomor 5 : Backspace
Penilaian Nomor 6 : Ctrl + Esc
Penilaian Nomor 7 : Ctrl + Alt + Del
Penilaian Nomor 8 : Stand by
Penilaian Nomor 9 : Restart
Penilaian Nomor 10 : Shut Down
Ya.. itulah nilaiku untuk mereka. Mau protes?? Karep teuing.
Dia duduk bersama rekannya di kursi peserta. Dan tetap sambil tersenyum, dia meminum air mineral yang diberikan oleh rekannya. Haus meureunan tos nyanyi.. Ari suganteh nu geulismah tara eueut. Geningan sami we.. hehe.
Aku terus memperhatikannya. Saat minum, saat berbicara, saat memandang. Dan, saat dia memandang itulah aku sangat berharap lehernya diputar 90 derajat ke arah kanan. Ke arahku tentunya, bukan ke arah si MC Kumis.. tapi tidak. Dia tidak menoleh kepadaku. Sampai acara selesai, sampai semuanya bergegas pulang. Di perjalanan kaki menuju kendaraannya, aku berusaha untuk mendekatinya. Menerobos berdesakannya orang-orang, aku berusaha sekuat tenaga untuk bias sedikit lebih dekat dengannya. Sebelum benar-benar berpisah, untuk yang terakhir, sekali lagi aku ingin melihat senyum indah dari wajahnya..
Tapi tidak, aku kehilangan jejaknya akibat saking banyaknya orang yang dengan tidak sengaja menghalangiku. Yang menjadi pemisah jarak diantara kami. Aku kehilangan dia. Sesak rasanya, meski aku tahu aku akan kehilangan dia.
Dipayungi redup bintang dan dipelukan angin malam. Aku pulang. Aku senang. Tapi aku tak tenang.
**** ******
Namaku Tatang Makky Tanginan. Putra pertama dari dua bersaudara. Dari namaku, tentu semua tahu kalau aku berasal dari Suku Sunda. Tatang, nama pasaran bagi orang sunda angkatan bapakku. Tolong digaris bawahi ya, untuk angkatan bapakku. Plis deh Behh, mbo ya ngasih nama tuh yang sesuai angkatan gitu loh.. hadeuhh. Akte mana akte..???!!!
Pernah suatu hari kutanyakan kepada Bapak arti dari namaku. Bukan nama depannya, dan bukan pula nama belakang. Karena tanginan itu asli bahasa sunda yang artinya rajin. Bagus juga sih kalo melihat artinya. Aku tidak pernah memprotes nama belakangku itu.
Yang aku tanyakan kepada Bapak adalah arti dari Makky, nama tengahku. Di usia 12 tahun saat itu, aku dengan kepercayaan diri yang tinggi bertanya kepada Bapak. Tepatnya mengkonfirmasi sih.
“Pak, Bapak ngasih nama Makky pasti karena Bapak cinta sama kota Mekkah yah? Atau karena Bapak nanti pengen naik Haji..?? tanyaku dengan semangat 45.
Bapak sejenak diam, mengernyitkan dahi, lalu berujar..
“Bukan, kamu dikasih nama itu karena saat Ibu kamu hamil, dia hobby-nya nonton film kartun Walt Disney.. namanya Makky.”
Mendengar itu seketika langit terasa runtuh.. Gue.. Gue.. nama gue terinspirasi dari tikus..
Lha mending kalo nulisnya bener.. Mickey atuh Beeeeeehhhh.. hiks.
Tatapanku kosong, tulang serasa lembek, jantung berhenti berdetak, dan darah serasa tak mengalir. Dengan kondisi yang memprihatinkan itu, aku berbalik ke kamar.
Cicing aing teu hayang seuri yeuh..
Mendengar jawaban Bapak, aku berharap adik perempuanku tidak pernah berfikir untuk menanyakan arti dari namanya:
Jembar Mini Atikah.
Adikku.. sebelumnya aku biasanya memanggilnya neng.. tapi setelah kejadian mengerikan pengungkapan sejarah namaku, aku membiasakan diri untuk memanggilnya dengan Tika.. sedikit diambil dari nama belakangnya. Tentu dengan maksud supaya dia terbiasa juga. Dan kalian tentu tahu maksud sesungguhnya dari hal ini.
Sementara aku, sejak kecil dipanggil Makky. Keren laaah. Selama tidak ada yang tahu sejarahnya.., aku sih fine fine aja. Ketika ada yang bertanya arti Makky. Aku menjawabnya dengan menujuk ke arah barat sambil berkata : “Kiblat”.
Allohu Akbar..!!!
**** ****** *
Malam ini kawan, di sebuah malam dimana festival terbaik dalam hidupku digelar. Selama lebih dari 25 tahun aku berjalan di muka bumi, baru sekaranglah aku temukan hakikat harapan hidupku. Selama ini aku selalu berfikir tentang karir, tentang usaha untuk menjadi orang yang sukses. Ternyata bukan itu. Ternyata ada yang lebih dari itu. Ternyata ada sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya.
Ternyata aku….., ingin menikah dengan vokalis grup marawis. Itulah keinginan terbesar yang sesungguhnya. Yang baru aku sadari di malam ini. Hakikatnya soal cinta. Dan kutemukan cinta dalam rebana. Kepada dia, yang akupun bahkan tak tahu siapa namanya.
Aku mengaku aku salah, selama ini menilai marawis, qasidah dan sejenisnya adalah sesuatu yang Ndeso.., yang ketinggalan jaman. Ternyata tidak. Didalamnya terkandung sejuta makna. Lebih dalam.., jauh lebih dalam dari yang aku kira.
Hari berlalu. Meski aku ingin sekali melihat acara festival di hari berikutnya, namun sampai acara Grand Final, aku tak sempat menyaksikannya lagi. Sebuah tugas luar kota harus aku jalankan. Sedih. Tapi kewajiban menuntutku.
**** ****** * *********
Seminggu berlalu, bulan demi bulan berlalu hingga pada suatu ketika, aku mendapat tugas untuk mensurvey kondisi Penerangan Jalan Umum di sebuah Desa di Mangunreja. Aku dan anggota tim diterima dengan sangat baik oleh Pak Sekdes. Beliau menunjukkan letak detail lampu PJU yang padam. Ternyata di sebuah perempatan jalan desa, persis di depan sebuah masjid.
“Jadi Pak.., kalau malam ada acara di masjid, kasian masyarakat disini.. gelap.” Ujar Pak Sekdes.
Kami mengangguk, lalu memeriksa keruksakan komponen PJU. Mencatatnya untuk dijadikan laporan.
Saat itu lepas Ashar. Sayup terdengar di dalam masjid ada suara dentang rebana. Riuh rendah anak kecil bersuara penuh canda. Aku, anggota tim dan Pak Sekdes masih berada di lokasi untuk sedikit berkoordinasi. Sampai tak kusadari derap langkah seseorang terdengar. Tiba-tiba Pak Sekdes berbicara:
“Bade latihan Neng Gita..??”
Sebagai seorang laki-laki dengan pendengaran yang sakti, mendengar kata Neng, aku reflex doong menengok. Dan….,
Subhanalloh….!!!
Itu diaa..!!! itu diaaaaa..!!!
“Sumuhun Pak.. Mangga..” jawabnya singkat.
Ketika dia berjalan, sempat mataku dan matanya beradu. Dia tersenyum, sementara aku hokcay.. namun langsung tersadar dan membalas senyumnya.
Mungkin hokcay aku yang berlangsung tadi diperhatikan oleh Pak Sekdes. Dia berkata sesuatu:
“Cantik ya Pak..?”
Aku tersipu malu.. barijeung unggeuk. “Hooh” ( dalem hati tapiii..)
Pak Sekdes bicara lagi, “Yaahh sayangnya telat..”
Aku menimpal: “telat gimana Pak..?”
“Neng Gita mah tos nikah.. baru dua bulan kemarin Pak. Telat Bapak kesininya..”
Guys, aku pikir, sejak malam penjelasan arti namaku oleh Bapak, aku tak akan pernah lagi mengalami yang rasanya langit runtuh..
Yang ini malah lebih berat. Seperti baru saja diajak terbang ke awan, namun lalu dijatuhkan ke muka bumi. Sakiit… Sakiiiiit sekali.
Kalian tahu kenapa in lebih sakit..?
Karena tidak ada yang salah..!! itu jawabannya. Ketika ada kondisi dimana kita menemukan siapa atau apa yang salah, maka sebenarnya itu sudah sedikit banyak bisa mengurangi dampak kesalahannya itu sendiri, setidaknya secara psikologis.
Tapi ini..?? siapa yang bisa disalahkan? Aku? Tidak.. Gita?? Tidak.. atau Pak Sekdes..? Tidak juga.. Tidak ada yang salah. Atau berfikir takdir yang salah..? Tidak. Qada Alloh tidak pernah salah. Nah Guys.., itulah yang membuat hal ini lebih sakit. Aku berusaha tegar walau sebenarnya nyanyautan.. hiks.
Aku berkata ke Pak Sekdes: “Alhamdulillah atuh Paak tos nikah mah, saya ikut senang..” (Padahalmaaaah…@#$%@##$)
Semua tertawa. Termasuk aku, meski diiring kegetiran hati..
Selesai mendata PJU, kami diajak oleh Pak Sekdes untuk mampir ke rumahnya. Katanya, istrinya sudah menyiapkan makan. Kami sudah berusaha menolak, namun Pak Sekdes lebih kuat memaksa. Akhirnya kami menurutinya.
Singkat kata, sekitar satu jam kami berada di rumah Pak Sekdes, puas makan dan mengobrol, kami pamit mundur. Mobil Dinas Silver aku starter, lalu diiring salam kami meninggalkan rumah Pak Sekdes. Di perjalanan, dari kejauhan, dibalik kaca mobil, kulihat seorang gadis menuntun seorang anak perempuan bertumbuh gempal. Mereka berjalan perlahan, lalu berhenti di sebuah rumah dengan pagar tertutup. Dan setelah jarak kami semakin dekat, kupastikan dia adalah Gita. Dan tahukah kalian anak kecil itu..?? Dia Risa..!!! My Tasya..!!! rupanya mereka kakak beradik. Akupun memelankan laju mobil. Dan ketika sekitar 5 meter sebelum berpapasan, syukurlah keduanya melirik ke arah kami.. ke arahku. Sambil terseyum. Kami membalas senyumannya. Lalu ketika mobil kami tepat berada di depannya, kudapati seorang laki-laki sesusiaku membukakan pagar rumah untuk mereka. Laluu.., kulihat Gita mengucapkan salam sambil mencium tangannya.
Saat itu aku masih tersenyum.., lalu mulai meluruskan pandangan ke depan. Lalu pedal gas kuinjak lebih dalam.
Terima kasih Gita, Terima kasih Risa.. untuk senyum kalian yang sudah nancleb di hatiku..
**** ****** * * ********* ********
Cinta itu bukan soal memiliki.. tapi soal membahagiakan hati.
Lagi pula, masih baaanyak vokalis vokalis grup marawis yang lain.. Betul gak Masbro Mbakbro..???
Tidak perlu bersusah hati, percayalah. Alloh Yang Maha Kaya telah memberi kita banyak opsi. Jadi jangan menganggap jika kita kehilangan satu, maka dunia akan berakhir.
Selalu bersyukur apapun yang terjadi. Ingat itu Kawan..!!
**** ****** * ********* ******** **
Terima kasih sudah membaca.
Singaparna, 7 Februari 2013
Humaira Ilyasa
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jangan diambil hati.. Maaf untuk yang kurang berkenan)