FIKIH KOALISI POLITIK
Oleh: Ibnu Muchtar
Definisi
Koalisi
Dalam literatur Islam, koalisi termasuk kategori al-Hilfu,
Secara bahasa artinya bersumpah dan berjanji untuk saling membantu, tolong
menolong dan kerja sama dalam mengambil kesepakatan.[1]
Secara istilah syara’ maknanya
pun sama, dalam hadis Nabi saw.disebutkan dari Ashim ra:
قُلْتُ لِأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَبَلَغَكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا حِلْفَ فِي
الْإِسْلَامِ فَقَالَ قَدْ حَالَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ
قُرَيْشٍ وَالْأَنْصَارِ فِي دَارِي
“Aku
berkata kepada Anas bin Malik, 'Apakah telah sampai kepadamu bahwa Nabi saw.
Bersabda, 'Tidak ada hilfu dalam Islam' Maka jawab Anas ra, 'Bahkan Nabi saw. telah
berkoalisi dengan suku Quraisy dan Anshar dirumahku'.” H.r. Al-Bukhari dalam
bab Laka al Adab dan bab al-Ikha wa Halaf
Bentuk-bentuk
Koalisi Kaum Jahiliyyah Pada Masa Sebelum Kenabian
1. Perjanjian
Muthayyibin,
yaitu perjanjian antara kabilah Bani
Abdud Dar, Bani Jamah, Bani Salim, Bani Makhzum dan Bani Adi, yaitu untuk tidak
saling berebut kekuasaan atas Ka’bah yaitu dengan memasukkan masing-masing
tangannya ke dalam mangkok berisi minyak wangi dan mengusapkannya ke Ka’bah
sehingga dinamakan Muthayyibin (orang-orang yg memakai minyak wangi). Tentang
ini Nabi saw.bersabda: “Aku menyaksikan berlangsungnya al-Muthayyibin, aku
tidak ingin membatalkannya walaupun aku hanya diberikan kekuasaan atas binatang
ternak.” H.r. Ahmad, al-Musnad, I:190 dan 193).
Peristiwa ini menjadi dalil bahwa
perjanjian yang dilakukan oleh kelompok sekular atau non muslim sepanjang tidak
bertentangan dengan syariat Islam maka boleh didukung oleh kaum muslimin,
karena prinsipnya adalah Bertentangan Atau Tidak Dengan Syariat dan
bukan siapa yang melakukan perjanjian tersebut.
2. Perjanjian
Fudhul,
yaitu perjanjian antara Bani Hasyim, bani
Muthalib, bani Asad bin Abdul ‘Uzza, bani Zuhrah bin Kilab dan bani Taim bin
Murrah untuk tidak membiarkan kezaliman di kota Makkah baik terhadap penduduk
pribumi maupun terhadap pendatang (Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-I, hal
133-134). Tentang ini Nabi saw.bersabda: “Aku telah
menyaksikan perjanjian Fudhul di kediaman Abdullah bin Jad’an, perjanjian yang
tidak akan aku batalkan walaupun aku hanya diberi kekuasaan atas binatang
ternak. Dan sekiranya perjanjian itu dilaksanakan pada masa Islam, maka aku
akan menyetujuinya.” [2]
Pada peristiwa di atas,
Nabi saw. juga mendukungnya, walau perjanjian tersebut dilakukan oleh kaum
musyrikin, karena tidak bertentangan dengan syariat dan ada maslahatnya untuk
Islam dan kaum muslimin.
Bentuk-bentuk
Koalisi Masa Kenabian (Periode Mekah) antara Nabi dan Kaum Musyrikin
1. Perlindungan
Syi’ib Bani Hasyim
Diriwayatkan oleh
Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihab az-Zuhri: “Orang-orang kafir berkumpul untuk
merencanakan pembunuhan pada nabi SAW, yang akan dilakukan secara
terang-terangan, ketika kabar itu didengar oleh abu Thalib, maka ia
mengumpulkan bani Hasyim dan bani Muthalib untuk melindungi nabi SAW, diantara
mereka ada yang melakukannya berdasarkan keyakinan pada kebenaran Islam dan
adapula yang ingin melindunginya karena hubungan kekeluargaan (ta’ashub
kesukuan) saja.” [3]
2. Perlindungan
Muth’im bin ‘Adi
Ketika Nabi saw.pulang
dari Tha’if untuk kembali ke Makkah, maka beliau SAW mengutus seseorang dari
suku Khuza’ah untuk menemui Muth’im bin Adi dan berkata: “Apakah engkau
bersedia menjadi pelindung Muhammad?” Muth’im menjawab: “Ya.” Lalu ia
menyiapkan pedangnya dan berkata pada kaumnya: “Hunuskan senjata kalian dan
berdirilah di setiap pojok Ka’bah, sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad!”
Muth’im lalu mengutus orang untuk mempersilakan Muhammad saw. masuk ke Makkah,
maka Nabi saw.dan Zaid bin Haritsah ra pun memasuki Makkah. Sesampainya di
Ka’bah maka Muth’im bin Adi duduk di atas ontanya sambil berkata: “Hai
orang-orang Quraisy! Sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad, maka jangan
ada yang berani mengganggunya!” Maka Nabi saw. pun menyelesaikan thawaf,
mencium hajar aswad, melakukan shalat 2 raka’at dan kembali ke rumahnya.
Sedangkan Muth’im dan anak-anaknya terus menjaga Nabi SAW, sampai ia masuk ke
rumahnya. [4]
3. Tawaran Nabi saw.terhadap
qabilah-qabilah Arab.
Al-Maqrizi
berkata dalam kitab al-Imta’ al-Asma’: “Nabi saw. langsung menawarkan dan
menyerukan Islam sendiri kepada kabilah-kabilah pada setiap musim haji,
diantaranya adalah pada bani Amir, Ghassan, Fazarah, Murrah, Hanifah, Sulaim,
Abbas, Nashr, Tsa’labah, Kindah, Kalb, Harits, Udzrah, Qais. Dari seruan itu
dipahami bahwa keislaman seluruh kabilah tersebut bukanlah yang terpenting,
namun kepercayaan kabilah-kabilah tersebut untuk memberikan perlindungan kepada
Nabi saw.untuk melaksanakan dakwahnya, sebagaimana perlindungan bani Hasyim
sebelumnya pada Nabi saw.juga tdk seluruhnya muslim, bahkan abu Thalib sendiri
sampai wafatnya tidak masuk Islam.” (Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam I/422-425)
Keterangan :
Semua peristiwa
tersebut menunjukkan bagaimana Nabi saw.jelas-jelas menjalin KOALISI dengan
orang-orang yang non muslim (di luar Islam) dengan tiada satupun dari ayat
ALLAH SWT dalam al-Qur’an yang melarangnya.
Hukum fiqh yang bisa diambil dalam hal ini adalah: Bahwa pada fase dakwah
tertentu dimana ketika kondisi gerakan Islam masih kecil dan
bargaining-positionnya pun masih lemah, maka Islam mentolerir untuk melakukan Koalisi
baik terhadap personal (kasus perlindungan Abu Thalib, Muth’im bin ‘Adiy),
maupun terhadap kelompok (kasus perlindungan Syi’ib Bani Hasyim dan tawaran Nabi
saw.terhadap kabilah-kabilah Arab)
Pembolehan ini
merupakan bukti muro’at (perhatian) Islam yang demikian besar terhadap maslahat
dan kebutuhan dakwah.
Bentuk-bentuk
Koalisi Masa Kenabian (Periode Madinah) antara Nabi, Kaum Yahudi, dan Kaum
Musyrikin
Pada periode ini kita dapati
beberapa bentuk koalisi Nabi dengan kaum Yahudi dan kaum musyrikin, antara lain
sebagai
berikut:
Saat Nabi saw.memasuki
Madinah maka beliau menghadapi masyarakat yang sangat heterogen dalam suku dan
agama, ada Muhajirin, suku Khazraj, suku Aus, Yahudi bani Quraizhah, Yahudi
bani Qainuqa, para pimpinan ekonomi seperti Abdullah bin Ubay bin Salul, dan
sebagainya. Maka dibuatlah perjanjian sebagai berikut : 1) Perjanjian
persaudaraan diantara sesama muslim, 2) Perjanjian tolong-menolong kaum
muslimin dengan kaum musyrikin, 3) Perjanjian kerjasama antara kaum muslimin
dengan kelompok-kelompok besar qabilah Arab non muslim, dan 4)
Peraturan-peraturan yang berlaku umum. Perjanjian yang terkenal tersebut
kemudian disebut Piagam Madinah yang merupakan teks perjanjian Hak Asasi
Manusia antar agama, suku dan golongan pertama di dunia yang tertulis dalam
sejarah.
Kesimpulan
Koalisi, aliansi atau kompromi pada dasarnya dibolehkan,
bahkan bisa wajib apabila illat (argumentasi dasarnya) untuk kepentingan
umat dan kemaslahatan atau untuk kepentingan dakwah islamiyah dan sebaliknya
koalisi haram hukumnya apabila untuk kepentingan pribadi, kemunkaran dan kezaliman.
Kebolehan itu bukan untuk perorangan, melainkan bagi para
aktifis yang ikhlas yang
dikontrol oleh sebuah struktur yang terorganisir dan dipimpin oleh orang-orang
yang alim setelah
mempertimbangkan Fiqh Awlawiyyat (prioritas dalam bermu’amalah: Dimulai
dengan usaha koalisi dengan kelompok Islam dulu, jika tidak berhasil dengan
yang sekular tapi masih memiliki nilai-nilai kebaikan, dst) serta Fiqh
Muwazanah (dilakukan kajian yang mendalam tentang manfaat dan mafsadatnya
bagi gerakan Islam, dan bukan hanya sekedar penilaian sepintas yang
serampangan).
ISI
PIAGAM MADINAH[5]
A.Bab-I (Diantara kaum mu’minin):
Dengan
nama ALLAH Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, inilah piagam perjanjian
yang ditulis oleh Muhammad, nabi bagi orang mu’min dan orang muslim
dari Quraisy dan Yatsrib dan siapa saja yang mengikuti ajarannya dan berjuang
bersama dengan mereka :
i.
Sesungguhnya
mereka adalah 1 kelompok, memiliki ikatan persatuan yang kuat.
ii.
Kaum
Muhajirin dari suku Quraisy berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan
tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
iii.
Bani
Haritsah berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang
dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
iv.
Bani Jasyim
berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik
dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
v.
Bani Najjar
berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik
dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
vi.
Bani Amr bin
Auf berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan
baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
vii.
Bani Nubait
berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik
dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
viii.
Bani Aus
berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik
dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
ix.
Kaum mu’minin
tidak membiarkan kesenangan hanya pada segelintir orang diantara mereka, tapi
membagikannya pada semua orang, dengan membagikan hasil dari barang tebusan dan
denda secara adil di antara mereka.
x.
Seorang mu’min
tidak memberikan kekuasaan di antara mereka kepada di luar golongan mereka.
xi.
Sikap mu’min
terhadap orang yang membangkang dan mengajak berperang adalah suatu perbuatan
zalim, berdosa mengajak permusuhan dan merusak hubungan antar kaum mu’min.
xii.
Mereka
saling tolong-menolong, walau berbeda keturunan.
xiii.
Seorang mu’min
tidak boleh membunuh sesama mu’min karena membela orang kafir.
xiv.
Tidak
memberikan kemenangan atas orang kafir dengan mengesampingkan orang muslim.
xv.
Sesungguhnya
perlindungan ALLAH selalu berada di pihak orang mu’min
yang lemah.
xvi.
Sesungguhnya
orang mu’min itu pelindung bagi orang-orang mu’min
lainnya, terhadap bahaya yang ditimbulkan dari golongan di luar Islam.
xvii.
Orang-orang
Yahudi yang mematuhi aturan-aturan agama kita, akan mendapatkan pertolongan dan
persamaan dalam hukum seperti orang muslim lainnya, mereka tidak teraniaya dan
tidak menganiaya.
xviii.
Apabila
terjadi perdamaian sesama mu’min, tidak sama dengan perdamaian orang mu’min
dengan orang kafir di medan perang, kecuali didasari dengan persamaan dan
keadilan.
xix.
Bahwa setiap
prajurit kita yang turut berperang bersama kita, masing-masing saling
melindungi.
xx.
Sesungguhnya
orang mu’min itu bekerjasama, untuk saling melindungi jiwa
mereka dalam peperangan (sabiliLLAH).
xxi.
Sesungguhnya
orang mu’min yang bertakwa adalah orang yang mendapatkan
sebaik-baik dan selurus-lurusnya petunjuk.
xxii.
Bahwa orang
musyrik (madinah) tidak dibolehkan menyewakan pada orang Quraisy (Makkah), baik
jiwa ataupun harta, apalagi jika dipergunakan menyerang kaum muslimin.
xxiii.
Barangsiapa
membunuh seorang mu’min dan terdapat padanya suatu bukti pembunuhan,
maka dia akan mendapatkan hukuman qishahs, kecuali wali dari orang-orang yang
terbunuh tersebut memaafkannya.
xxiv.
Bahwa
orang-orang mu’min memiliki hukum yang sama, sehingga tidak
dibolehkan atas mereka kecuali melaksanakan hukum tersebut.
xxv.
Orang mu’min
yang menyetujui seluruh isi perjanjian ini dan beriman pada ALLAH dan hari
akhir, tidak dibolehkan bagi mereka untuk menolong dan melindungi orang-orang
pembuat bid’ah.
xxvi.
Barangsiapa
yang menolong dan melindunginya maka bagi mereka laknat dan kemurkaan ALLAH
pada hari akhir. Dan mereka tidak akan mendapat jaminan dan keadilan.
xxvii.
Sesungguhnya
segala apa yang kamu perselisihkan hendaklah dikembalikan pada ALLAH dan
rasul-NYA, Muhammad SAW.
B. Bab-II
(dengan orang Yahudi):
i.
Orang Yahudi
bani Auf hidup berdampingan dengan kaum mu’min. Bagi orang Yahudi diperbolehkan menganut
agama mereka, dan bagi orang mu’min diperbolehkan menganut agama mereka, begitu
pula terhadap harta dan jiwa masing-masing.
ii.
Apabila ada
salah satu dari mereka (Yahudi) melakukan kezaliman dan kesalahan, mereka tidak
dapat dihukum semuanya, kecuali mereka yang melakukan perbuatan tersebut atau
keluarganya.
iii.
Sesungguhnya
orang Yahudi dari bani Nadir mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
iv.
Sesungguhnya
orang Yahudi dari bani Haritsah mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani
Auf.
v.
Sesungguhnya
orang Yahudi dari bani Saidah mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
vi.
Sesungguhnya
orang Yahudi dari bani Jasyim mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
vii.
Sesungguhnya
orang Yahudi dari bani Aus mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
viii.
Sesungguhnya
orang Yahudi dari bani Tsa’labah mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani
Auf, kecuali bagi yang berbuat kezaliman dan kesalahan. Dan mereka semua tidak
dihukum kecuali hanya yang berbuat kesalahan tersebut.
ix.
Sesungguhnya
keselamatan jiwa orang bani Tsa’labah seperti orang-orang bani Auf.
x.
Sesungguhnya
orang-orang bani Syathbiyyah seperti orang-orang bani Auf.
xi.
Memberi
pertolongan pada perbuatan baik dan bukan pada perbuatan buruk.
xii.
Bahwa
orang-orang yang terikat perjanjian dengan bani Tsa’labah
diperlakukan sama dengan kaum mu’minin.
xiii.
Bahwa keselamatan
jiwa orang-orang Yahudi sama dengan keselamatan jiwa kaum mu’minin.
xiv.
Tidak
dibolehkan seorang pun dari orang Yahudi keluar dari Madinah kecuali atas izin
Rasul SAW.
xv.
Tidak
dibolehkan seorang pun pergi ke Makkah untuk balas dendam.
xvi.
Barangsiapa
yang melakukan pembunuhan maka hanya dirinya dan keluarganyalah yang mendapat
hukuman dari perbuatannya, kecuali jika ia orang yang dizalimi.
xvii.
ALLAH
melindungi isi perjanjian ini (ALLAH senantiasa meberikan keridhaan atas segala
isi perjanjian).
xviii.
Orang Yahudi
bekerjasama dengan kaum muslimin dalam mengumpulkan biaya perang, selama
terjadi peperangan.
C. Bab-III
(antar sesama Yahudi):
i.
Orang Yahudi
memberi nafkah terhadap orang Yahudi, begitu pula orang mu’min
meberikan nafkah pada orang mu’min.
ii.
Mereka
saling tolong-menolong dalam menghadapi orang-orang yang memerangi isi
perjanjian ini.
iii.
Mereka
saling memberi nasihat dalam kebaikan dan tidak memberi nasihat dalam perbuatan
dosa.
D. Bab-IV
(Peraturan-peraturan umum):
i.
Tidaklah
berdosa bagi orang-orang mu’min yang melakukan perjanjian perdamaian dengan
mereka.
ii.
Hendaknya
pertolongan ditujukan pada orang yang dizalimi.
iii.
Orang-orang
yang terikat dalam perjanjian ini dilarang untuk membunuh penduduk kota
Yatsrib.
iv.
Seorang
tetangga bagaikan sebuah jiwa yang tidak pernah melakukan sesuatu yang
membahayakan dan kesalahan terhadap dirinya sendiri.
v.
Tidak
dibolehkan menikahi seorang wanita, kecuali atas izin keluarganya.
vi.
Apabila
terjadi suatu permasalahan atau perselisihan yang dikuatirkan akan terjadi
perpecahan antara orang-orang yang memegang perjanjian hendaknya hal tersebut
dikembalikan pada ALLAH SWT dan nabi Muhammad SAW.
vii.
Sesungguhnya
ALLAH bersama orang yang paling mematuhi dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya
isi perjanjian.
viii.
Tidak
dibolehkan memberikan perlindungan kepada orang-orang Quraisy dan para
penolongnya.
ix.
Mereka harus
saling menolong atas segala musibah yang menimpa penduduk Yatsrib.
x.
Apabila
mereka diajak untuk berdamai dan melaksanakan segala usaha untuk menuju
perdamaian, mereka harus berdamai dan mewujudkan perdamaian tersebut.
xi.
Jika mereka
dianjurkan untuk melakukan yang seperti itu, maka orang-orang mu’min
juga memiliki beban yang sama.
xii.
Kecuali
terhadap orang yang memerangi agama mereka.
xiii.
Tiap manusia
memiliki bagiannya masing-masing dari apa yang ia kerjakan.
xiv.
Bagi
orang-orang Yahudi bani Aus, baik kolega ataupun diri mereka, memiliki
persamaan mengenai isi perjanjian, dengan orang-orang yang memegang perjanjian
ini. Dalam hal yang baik, bukan terhadap perbuatan jelek. Dan tidak akan
mendapat hukuman kecuali yang melakukannya.
xv.
Sesungguhnya
ALLAH bersama orang-orang yang paling patuh dan paling baik dalam menjalankan
isi perjanjian ini.
xvi.
Isi
perjanjian ini tidak berlaku atas orang yang melakukan kezaliman dan kesalahan.
xvii.
Sesungguhnya
ALLAH dan Rasul-NYA akan selalu menolong orang-orang yang baik dan bertakwa.
Koalisi Politik Dengan Kaum Musyrikin Setelah Pembentukan
Negara Madinah
1. Kompromi Politik Nabi saw.dengan qabilah-qabilah
Musyrikin di luar Madinah untuk melawan Quraisy, seperti dengan bani Mudallij
dan bani Dhamrah di sepanjang laut Merah pada jalur yang menuju ke Syam, ketika
pemimpin musyrik bani Juhainah, Majdi bin Amru al-Juhanilah bertemu Nabi saw.di
Madinah, maka ia disambut oleh Nabi saw.sehingga ia berkata: “Sungguh aku tidak tahu bahwa Maimun
itu seorang pemimpin yang baik dalam urusan ini.” [6]
Dan ditetapkanlah perdamaian antara keduanya dengan
kesepakatan Nabi saw.tidak memerangi bani Dhamrah dan bani Dhamrah tidak
memerangi Nabi saw.serta memprovokasi kelompok lain untuk memusuhi Nabi saw.serta
tidak memberi bantuan kepada musuh Nabi saw. [7]
2. Bahwa pasca kompromi-kompromi politik yang dilakukan oleh
Nabi saw.tersebut (terutama pasca perang Badar dan perjanjian Hudhaibiyyah)
maka Nabi saw. pun seringkali dikhianati dan disabot isi perjanjiannya terutama
oleh kaum Yahudi (persis yang dilakukan oleh kelompok sekular terhadap
kemenangan-kemenangan partai Islam saat ini), tapi beliau saw. berusaha
mengatasi semua bahaya dan bertahan agar tidak menghadapi 2 musuh sekaligus
(Quraisy dan Yahudi), kecuali setelah kaum muslimin bisa mengalahkan musuh
terbesarnya kafir Quraisy yaitu pasca perang Ahzab.
3. Bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang turun berkenaan tentang
larangan mengangkat pemimpin dari golongan non muslim turun berkenaan dengan
tema ini (jadi bukan sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang yang tidak
mengerti asbab an nuzul, bahwa ayat tersebut melarang partai Islam berkompromi
politik dengan orang kafir di parlemen). Contohnya QS Al Maidah ayat 51 yang
berbunyi :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpinmu. Karena sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain…”
Sabab an nuzul ayat ini adalah turun berkenaan tentang sikap
Abdullah bin Ubay bin Salul yang melarang Nabi saw.memerangi Yahudi bani
Qainuqa karena mereka telah membelanya selama ini.[8] Lalu
bagaimana mungkin ayat ini ditafsirkan sebagai ayat yang melarang semua jenis
kompromi politik dengan non muslim, sementara Nabi saw .sendiri berkompromi dan
meminta perlindungan kepada pamannya Abu Thalib, Muth’im bin Adi, dan lain-lain
yang semuanya adalah non muslim!!! Jadi jelaslah bagi kita bahwa duduk
perkaranya adalah bahwa masalah ini tergantung pada fase pertumbuhan dan
kekuatan dari harakah Islam itu sendiri.
4. Coba bandingkan dengan ayat ke-52 nya
yang memuji sikap Ubadah bin Shamit ra yang juga memiliki perjanjian dengan
Yahudi tersebut tapi memutuskannya setelah pengkhianatan mereka pada Nabi saw.tersebut
sebagai berikut: “Dan barangsiapa mengambil ALLAH, Rasul-NYA dan orang-orang
beriman sebagai penolong maka partai ALLAH itulah yang akan menang.”
Jadi permasalahannya bahwa konteks ayat
itu adalah keharusan mentaati kebijakan pemimpin (yang saat itu dipegang oleh
nabi SAW), serta ketaatan pada syura yang telah diputuskan oleh harakah Islam.
Hal lain yang dapat ditambahkan sebagai argumen adalah bahwa ALLAH SWT tidak
pernah membatalkan kompromi politik dengan bani Nadhir dan bani Quraizhah, maka
bagaimana mungkin ayat tersebut melarang berkompromi politik dengan non muslim,
sementara perjanjian Nabi saw.telah berjalan selama 4 tahun!!!
5. Latar-belakang peristiwa Fathu (penaklukan) Makkah. Pada
saat terjadi perjanjian Hudhaibiyyah dulu, maka bani Bakr memilih bersekutu
dengan Quraisy, sementara bani Khuza’ah memilih bersekutu dengan Nabi saw.(keduanya
adalah qabilah musyrik). Lalu 22 bulan setelah Hudhaibiyyah di bulan Sya’ban
bani Bakr menyerang dan membunuh 23 orang bani Khuza’ah di dekat mata air
al-Watir dekat Makkah. Maka Amru bin Salim dari Khuza’ah bersama 40 orang
kaumnya datang dan melantunkan sya’ir tentang kepedihan kaumnya dan mengadukan
pada nabi SAW. Maka Nabi saw.berdiri sambil menyeret bajunya bersabda: “Aku tidak akan ditolong ALLAH SWT,
jika aku tidak menolong bani Ka’ab sebagaimana aku menolong diriku sendiri!” [9]
Dalam lafz Ibnu Ishaq disebutkan: “Aku tidak akan mendapat pertolongan jika
tidak menolong bani Ka’ab seperti aku menolong diriku sendiri. Sesungguhnya
awan ini menjerit memintakan pertolongan untuk bani Ka’ab.” [10]
Maka lihatlah bagaimana Nabi saw.memegang perjanjian
politiknya dengan kabilah musyrikin dan bahkan menggerakkan pasukannya untuk
memerangi Makkah karena membela kabilah musyrikin yang telah berkompromi
politik dengan kaum muslimin!
6. Turunnya surat Bara’ah (at-Taubah). Setahun setelah
penaklukan Makkah dan kaum muslimin telah memiliki kekuatan yang besar, dan
ketika semua kekuatan yang menentang Islam di wilayah jazirah Arab telah jatuh
ke tangan kaum muslimin, maka barulah ALLAH SWT menurunkan QS at-Taubah yang
memerintahkan memutuskan semua hubungan perjanjian pada kaum musyrikin:
بَرَاءَةٌ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Inilah pernyataan pemutusan hubungan
ALLAH dan Rasul-NYA dari orang-orang musyrik yang kalian (kaum muslimin) telah
mengadakan perjanjian dengannya…” (QS At Taubah, 9/1).
Maka ketika ayat ini turun, Nabi saw.mengutus Ali ra untuk
menyusul Abubakar ra yang sedang memimpin hajji dengan kaum muslimin yang lain
untuk membacakan dan mengumumkan ayat ini, maka Ali ra mengumumkan 4 hal:
- Setelah tahun ini tidak boleh lagi orang musyrik mendekati Ka’bah,
- Tidak boleh lagi thawaf dalam keadaan telanjang,
- Tidak akan masuk syurga kecuali orang mu’min,
- Barangsiapa yang masih ada perjanjian dengan rasuluLLAH maka akan ditepati sampai akhir masanya.
Point yang ke-4 ini ditegaskan pada ayat ke-4 dari QS At
Taubah tersebut. Az-Zamakhsyari berkata dalam tafsirnya al-Kasysyaf bahwa
istitsna (pengecualian) dalam ayat tersebut bermakna istidrak (penyusulan
kalimat), sehingga makna ayatnya adalah: Barangsiapa yang menepati perjanjian
dan tidak mengingkarinya maka sempurnakanlah perjanjian tersebut dan jangan
perlakukan mereka sebagaimana orang yang tidak menepati perjanjiannya dan
sebaliknya jangan jadikan orang yang tidak menepati perjanjian seperti yang
menepatinya. Imam Ibnul Qayyim. menyatakan bahwa setelah turunnya ayat
ini maka kaum kafir dibagi 3, yaitu muharibin (yang memerangi kaum muslimin),
ahlul ‘ahdi (yang masih ada perjanjian dengan kaum muslimin) dan ahlu dzimmah
(kafir yang berada dalam perlindungan Nabi saw.). [11]
Kesimpulan
1. Hukum meminta bantuan pada orang musyrik di luar urusan
perang, adalah dibolehkan berdasarkan perilaku Nabi saw.di atas, ada pula hadis
al-Bukhari yang mempertegas sebagai berikut: “Nabi saw.dan Abubakar menyewa
seorang bani Dalil yang masih mengikuti agama Quraisy sebagai penunjuk jalan ke
Madinah.”
2. Hukum meminta bantuan kepada orang musyrik dalam
peperangan saat kaum muslimin lemah baik jumlah maupun kemampuannya, maka ini
dibolehkan berdasarkan perilaku Nabi saw.di atas. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya
menyatakan:
Jika kaum muslimin dalam keadaan darurat dan tidak bisa
menang maka dibolehkan meminta bantuan pada kafir Harbi tersebut, sepanjang ia
yakin bahwa kemenaangan tersebut tidak membahayakan jiwa, harta dan kehormatan
kaum muslimin, sebagaimana istitsna (pengecualian) ALLAH SWT terhadap kebolehan
memakan bangkai saat kondisi terpaksa (…kecuali apa yang kamu terpaksa
memakannya…). dalam hal ini ada yang mendebat kami dengan menyebutkan firman
ALLAH SWT : “..Dan tidakah aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu
sebagai penolong.” (QS Al Kahfi, 18/51). Maka jawaban kami adalah, ayat ini
tidak tepat untuk kasus ini karena kita sama sekali tidak menjadikan mereka
sebagai penolong melainkan mengadu mereka sebagian dengan sebagian yang lain,
karena mereka adalah sama jahatnya satu dengan lainnya maka ayat yang benar
adalah “..dan demikianlah KAMI jadikan sebagian orang yang zhalim sebagai teman
bagi sebagian yang lain karena apa yang mereka perbuat.” (QS Al An’am, 6/129),
juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Rabi’ dari Muhammad bin
Mu’awiyah dari Ahmad bin Syu’aib dari Imran bin Bakr bin Rasyid dari abu Yaman
dari Syu’aib bin abi Hamzah dari az-Zuhri dari Sa’id bin Musayyib dari abu
Hurairah berkata: “Rasul SAW bersabda : ALLAH SWT akan menegakkan agama ini
dengan bantuan orang yang fajir.” Maka Imam abu Muhammad berkata: Meminta
bantuan pada ahlul harb (kafir harbi) dalam melawan kafir harbi yang lain
dibolehkan, sebagaimana juga dibolehkan meminta bantuan pada muslim yang fajir
untuk menghentikan kezaliman muslim yang zalim. [12]
Hal
yang sama juga menjadi dalil bagi gerakan Islam untuk melakukan lobi-lobi untuk
berkoalisi dan melakukan kompromi politik dengan kelompok di luar gerakan Islam
(baik kelompok sekular maupun non muslim), sepanjang hal tersebut dilakukan
oleh para aktifis dakwah yang ikhlas dan dikontrol oleh sebuah struktur yang
terorganisir dan dipimpin oleh orang-orang yang alim dan bukan perorangan, dan
juga hal tersebut dilakukan setelah mempertimbangkan Fiqh Awlawiyyat
(prioritas dalam bermu’amalah: Dimulai dengan usaha koalisi dengan
kelompok Islam dulu, jika tidak berhasil dengan yang sekular tapi masih
memiliki nilai-nilai kebaikan, dst) serta Fiqh Muwazanah (dilakukan
kajian yang mendalam tentang manfaat dan mafsadatnya bagi gerakan Islam, dan
bukan hanya sekedar penilaian sepintas yang snap-shot dan serampangan).
Dari beberapa riwayat diatas, dapat kita ambil beberapa kesimpulan,
diantaranya:
1. Perjanjian
Fudhul atau koalisi pada masa jahiliah yang diikuti oleh Rasulullah saw sebagai
wakil dari kabilahnya berdasarkan asas kesukuan.
2. Tujuan
dari koalisi/perjanjian ini adalah untuk
membela orang yabg dizalimi dan mengembalikan hak-haknya.
3. Perjanjian
Fudhul menggunakan unsur-unsur syariat Islam dengan mengusung kemaslahatan
umat.
4. Setiap
pergerakan Islam hendaknya mengadakan koalisi, aliansi dan kompromi politik
untuk saling membantu dalam kebenaran dan menolong kaum yang lemah dan
teraniaya dan melawan para pembangkang.
Selanjutnya oleh syariat Islam diberikan arahan bentuk koalisi, aliansi
atau kompromi jangan sampai adanya perubahan atas hukum dengan menghalalkan
yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau sebaliknya dan jangan pula
menghianatinya. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw; ‘’Perdamaian
(perjanjian) dibolehkan diantara kaum muslimin selama tidak menghalalkan apa
yang telah diharamkan dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan.’’
Dalam kesempatan lain Rasulullah saw bersabda, ‘’…..Orang-orang
beriman harus melaksanakan syarat-syarat (kesepakatan) sesama mereka….’’
Maka dalam prespektif syariat jelas hukum dari koalisi, aliansi atau
kompromi pada dasarnya dibolehkan, bahkan bisa wajib apabila illat
(argumentasi dasarnya) untuk kepentingan umat dan kemaslahatan atau untuk
kepentingan dakwah islamiyah dan sebaliknya koalisi haram hukumnya apabila untuk
kepentingan pribadi, kemunkaran dan kezaliman.
[2] Diriwayatkan oleh
Ibnu Ishaq (seorang tsiqat tapi tadlis) dari Muhammad bin Zaid bin Muhajir (tsiqat)
dari Thalhah bin Abdullah bin Auf (tsiqat) seorang tabi’in. Hadis ini mursal
tapi ketadlisan Ibnu Ishaq tidak melemahkannya, karena Ibnu Ishaq tidak tadlis
dalam hadis ini hanya menyebutkan sanadnya. Dan juga telah diriwayatkan melalui
jalur lain dari Humaidi dari Sufyan dari Abdullah dari Muhammad dan Abdurrahman,
keduanya anak dari Abu Bakar ra
[4] Lihat, ar-Rahiq
al-Makhtum, al-Mubarakafuri, riwayat Zuhr dari Musa bin Uqbah; al-Bidayah
wa Nihayah, Ibnu Katsir, juz-III, hal. 150