Membangun karakter Pemuda islam
Kiat-kiat Membangun karakter Pemuda islam
Setiap
manusia mempunyai kelemahan. Namun justru kelemahan inilah yang menyebabkan
manusia berkembang dan berbahagia. Karena di balik kelemahan itu terdapat
kemajuan, moderenisasi dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan teknologi,
sehingga terjadi perubahan dipelbagai sektor kehidupan.
Sejak
zaman Nabi Adam hingga sekarang ini, manusia senantiasa berusaha untuk
menghilangkan kelemahan dirinya juga kelemahan orang lain, agar mendapatkan
kehidupan yang lebih nikmat dan terhormat. Namun karena sadar terhadap
kelemahannya itu, manusia bisa berubah menjadi “makluk buas” yang berbahaya
bagi sesamanya. Menjadikan orang lain sebagai korban hawa nafsunya.
Islam
mengajarkan umatnya agar senantiasa memperhatikan kelemahan dirinya juga kelemahan
orang lain. Suatu saat ketika Rasulullah saw. hendak menyembelih kambing, para
sahabat sibuk mencari dan memperhatikan kelemahan kawannya. Seorang sahabat
menghadap Rasul seraya berkata “ya Rasulallah alayya dzabhuha-wahai Rasulullah
biarlah saya yang menyembelihnya”. Melihat hal ini, sahabat yang lain tidak
tinggal diam, lalu ia berkata, “alayya salhuha-biarlah saya yang mengulitinya”.
Demikian pula sahabat yang lain berkata, “alayya thabkhuha-biarlah saya yang
memasaknya”. Memperhatikan sikap para sahabatnya ini, Rasulullah memandang
masih ada satu kelemahan yang harus ditutupi, karena itu beliau segera
menutupinya dengan mengatakan, “alayya jam’ul hathabi-biarlah saya yang mencari
kayu bakarnya”.
Peristiwa
ini menjadi ibrah bagi kita, bahwa sudah sepantasnya bila kaum muslimin saling
memperhatikan kelemahan sesamanya. Setelah dipelajari, barulah ia
menyingsingkan lengan baju untuk menutupi kelemahan itu menurut kemampuan
masing, baik dengan harta, tenaga, maupun pikiran.
Dengan
diketahuinya kelemahan orang lain, maka terbukalah lapangan yang luas untuk
beramal salih, medan
untuk berjihad.
Apabila
jiwa qurbani seperti ini tertanam pada setiap anggota, maka tidak perlu ada
anggota yang merasa dikucilkan, merasa bosan hidup dijam’iyyah, merasa
tertinggal hidup di daerah terpencil, dan merasa rendah berada di belakang
sebagai makmum.
Apabila
jiwa qurbani seperti ini tetap segar dan mendarah daging pada diri tiap
pimpinan, maka tidak akan ada pimpinan yang haroream, merasa paling berjasa,
lebih maju aktif di PD, PW, atau PP, dan merasa terhormat berada di depan
sebagai imam.
Namun
sebaliknya, apabila jiwa qurbani tidak ada pada diri kita, maka kelemahan
ikhwatu iman bukan dijadikan modal untuk beramal salih melainkan dijadikan
kesempatan dalam kesempitan, dijadikan batu loncatan, sehingga kehidupan
berjam’iyyah penuh dengan kecurigaan dan kemunafikan.
Ketika
Rasulullah saw. mendapatkan tugas amar ma’ruf nahi munkar, kaum jahiliah merasa
tertutup ruang geraknya untuk memanfaatkan kelemahan orang lain, menguras keuntungan.
Maka
diutuslah Utbah bin Rabi’ah membawa misi untuk membujuk Rasul agar berhenti
berdakwah, dengan memberikan ganti rugi apabila Rasul merasa rugi dengan
berhentinya tugas itu.
Mereka
berani melakukan hal demikian, karena beranggapan bahwa bagaimana pun kuatnya
seekor banteng tetap saja ada kelemahan, akan tunduk pada tuannya apabila
dicocoki lubang hidungnya. Demikian pula halnya dengan Rasulullah. Maka Utbah
membawa misi untuk menundukkan kelemahan Rasul, sehingga Rasul menuruti
kehendak kaum jahiliah.
Datanglah
Utbah ke hadapan Rasul, kemudian ia meminta agar beliau menutup kegiatan
dakwahnya, mengakhiri perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran, dicari-cari
titik kelemahan beliau seraya menawarkan ganti rugi, “Inkunta innama bihadzal
amri malan, jama’naka min amwalina hatta takuna aktsarana malan-Jika dengan
kegiatanmu itu sesungguhnya engkau mengharapkan harta, maka akan kami kumpulkan
seluruh harta kami untukmu sehingga engkau menjadi orang yang paling kaya di
antara kami.”
Utbah berani menawarkan harta kepada rasul, karena
ia memandang bahwa manusia lemah ketika berhadapan dengan harta. Karena
kelemahan terhadap harta itu, manusia menjadi lupa akan kewajiban dan hakikat
perjuangannya.
Utbah tidak tinggal diam, ia masih berusaha
menawarkan yang lainnya, “wainkunta turidu tasyrifan, sawwadnaka ‘alaina-dan
sekiranya engkau ingin mendapatkan kedudukan, akan kami angkat menjadi pemimpin
kami.” “wain kunta turidu mulkan, mallaknaka ‘alaina-dan jika engkau
menghendaki jadi raja, kami angkat engkau menjadi raja.”
Utbah berani menawarkan pangkat dan tahta sebab
manusia lemah juga ketika menghadapi tahta. Demi tahta rela menyembunyikan
kebenaran.
Demikian pula manusia lemah pada saat menghadapi
wanita. Karena lemahnya menghadapi wanita, maka manusia diperas dan diumpan
dengan aneka ragam penampilan wanita.
Tapi Rasul telah menjaga dirinya dengan perisai
keimanan dan ketakwaan yang luar biasa, sehingga beliau tidak lemah lagi ketika
berhadapan dengan harta, tahta, maupun wanita. Beliau menolak tawaran
ganti-rugi dari Utbah dan tetap amar ma’ruf nahi munkar.
Inilah berbagai tantangan dan godaan yang akan
dihadapi oleh mujahid dakwah, khususnya Pemuda Persatuan Islam.
Untuk menyikapi tantangan yang berat ini tentu saja
dibutuhkan pemuda-pemuda yang memiliki militansi dalam berjihad fi sabilillah,
berilmu, dan rela berkorban demi tegaknya kalimatullah. Keberhasilan mewujudkan
tim yang siap tempur ini sangat erat kaitannya dengan persolaan imamah.
Sehubungan
dengan itu kita harus mampu membangun dan memelihara paradigma perjuangan
sebagai berikut:
Pertama,
setiap perubahan yang terjadi hendaknya berawal dari kekuatan diri sendiri dan
bukan berawal dari kekutan dunia luar. Kekuatan dari dalam dirilah yang akan
mendorong kita menuju perbaikan. tidak
akan mungkin terjadi perubahan yang signifikan selama jam’iyyah didukung oleh
sikap mental yang tidak percaya terhadap kekuatan sendiri. Bantuan dari pihak
luar bukanlah segala-galanya. Bantuan luar bukan merupakan faktor utama
kebarhasilan perjuangan.
Kedua, sebuah
masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan kekuatan orang per
orang. Kita membutuhkan team work yang kuat, dimana semua potensi yang
ada dapat dipadukan dan disinergikan.
“dan orang-orang yang beriman, lalaki
dan perempuan, sebagian merka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh mengerjakan yamg makruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Maha perkasa
lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 71)
“sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti
suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff:4)
team work yang kuat ini akan
muncul ketika diikat oleh
koridor-koridor sebagai berikut.
Pertama, harus ada sikap tafahum,
yaitu sikap saling memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hendaknya
kelemahan yang satu ditutupi oleh kekuatan yang lain, sehingga masing-masing
akan saling melengkapi dan saling memperkuat, bukannya justru saling melemahkan
dan menjatuhkan.
Kedua, harus ada semangat untuk
berkorban (tadh-hiyyah) terutama bagi kepentingan umat. Tanpa ada
pengorbanan yang sungguh-sungguh, maka upaya perbaikan hanya akan menjadi suatu
yang sia-sia saja. Pengorbanan ini terutama harus dicontohkan oleh para
pemimpin dan kaum elit bangsa dengan mempraktikan perilaku hidup sederhana dan
bersih dari unsur korupsi.
Ketiga, harus ada upaya saling
menasehati (taushiyah). Nasihat ini sangat penting agar proses perbaikan dan perubahan yang
dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rel yang dicita-citakan. Taushiyah
dilakukan dalam kontek kebenaran, keadilan, dan kejujuran, yang dilandasi oleh
kesabaran dan kesungguhan untuk mau berubah. Budaya taushiyah ini
merupakan bentuk kontrol terhadap perilaku kita. Tanpa ada kontrol, kita akan
terjebak pada perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Taushiyah pun harus dilaksanakan dengan penuh kasih sayang (taushiyah
bil marhamah, perhatikan al-Balad: 17 dan al-Ashr: 3), bukan diliputi
dengan penyakit kebencian dan balas dendam.
“ Dan dialah orang-orang yang beriman
dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (al-Balad:
17)
“Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi kebenaran.” (al-Ashr:3)
keepat adalah dikembangkannya budaya
ishlah, yaitu saling mendamaikan dan memberi maaf ketika terjadi
berbagai konflik yang mengarah kepada pertentangan dan perpecahan yang
merugikan.
Mudah-mudahan Muscab Pemuda Persis Cabang Margahayu
tahun 2005 ini menjadi awal yang lebih baik, yang dapat mengembalikan semangat
dan jiwa qurbani sehingga kehidupan jam’iyyah sarat dengan fastabiqul
khairat.
الله يأخذ بأيدينا إلى ما في خير للإسلام والمسلمين
أقول قولى هذا وأستغفر الله لي