FIQH EKONOMI ISLAM

Fikih Ekonomi Islam. Dewasa ini muncul suatu kesadaran baru yang cukup kuat di kalangan masyarakat dunia bahwa sosialisme maupun kapitalisme ternyata tidak dapat membawa masyarakat ke arah kesejahteraan dan keadilan sosio-ekonomi seperti yang diharapkan sebelumnya.
          Kesadaran baru ini makin kuat setelah terbukti bahwa kapitalisme dan sosialisme pada akhir abad 20 tampaknya sudah sampai pada ‘titik jenuh’, dan orang mulai mencari alternatif baru.
          September 1998 mungkin adalah bulan ketika orang-orang tiba-tiba sadar bahwa Amerika, si besar itu, tidaklah sekuat seperti yang dimaksud dalam pernyataan berikut: “Krisis boleh terjadi di mana saja, tetapi imbasnya tidak akan sampai ke daratan Amerika”. Kenyataannya adalah Amerika tidaklah sekuat anggapan konvensional tersebut; bursa saham Wall Street bisa diguncang, defisit perdagangan meningkat, angka penggangguran naik meski kecil, dan bahkan indeks konsumen pun melemah.
          Apa yang terjadi memang tidaklah seburuk dan sedrastis apa yang diramalkan Marx dan Engels yang menyatakan, “Globalisasi ekonomi adalah untuk revolusi, dan kaum borjuis global hanya akan menghasilkan kuburan buat diri mereka sendiri.”  Namun ada satu hal yang jelas, yaitu arus utama pemikiran ekonomi dunia yang antara lain dibentuk oleh apa yang dikenal dengan istilah “ijma’ (consensus)  Washington”, ijma’ yang secara bersama-sama dibuat oleh Bank Dunia, IMF, Departemen Keuangan As, para pemikir Washington dan konco-konco mereka di seluruh dunia, tengah mengalami gugatan.
          Puluhan tahun  pasca komunisme tumbang para ekonom telah membayangkan sebuah “jalan” tunggal. Mereka berbicara tentang pasar bebas, globalisasi, kematian intervensi pemerintah, bentuk industri baru yang “tidak nasional” (sebuah industri yang terletak di sebuah zona yang paling jauh, yang produknya tidak cuma dikonsumsi di dalam negeri tempat industri itu berdiri melainkan juga pada setiap titik di penjuru dunia), pencabutan subsidi yang tidak perlu dan seterusnya.
          Apa yang terjadi kini tampak jauh panggang dari api. Sementara di AS orang kembali berbicara mengenai depresi, di Asia orang yang dijanjikan kaya menemukan dirinya miskin. Krisis mula-mula dipicu oleh devaluasi mata uang bath di Thailand pada bulan Juli 1997, dan kemudian berlaku sebagai efek domino ke wilayah sekitarnya, merupakan wujud nyata gagalnya ilusi pasar bebas tersebut.
          Di tengah kevakuman gagasan ekonomi-politik saat itu orang mulai melirik kembali ungkapan lama yang telah menjadi perdebatan ahli ekonomi tentang gagasan alternatif di luar kutub kiri dan kanan, sosialisme dan kapitalisme : The Third Way, sebuah jalan ketiga.
          Istilah “jalan ketiga” sempat populer beberapa waktu lamanya. Istilah itu sebelumnya diartikan sebagai tradisi paling mendasar dalam sosialisme parlementer dan demokrasi sosial. Namun istilah “jalan ketiga” ala penulis mempunyai makna yang sangat berbeda. Istilah ini mengandung makna suatu ikhtiar mencari alternatif di antara dua ideologi dominan -sosialisme dan fundamentalisme pasar atau kapitalisme- yang terbukti gagal. Nah, lalu bagaimana sistem ekonomi “jalan ketiga” itu ?.
          Jawabannya sangat bergantung pada filsafat hidup dan ideologi masing-masing masyarakat. Karena itu, tidaklah mungkin dapat dicapai suatu kesimpulan sahih yang objektif, bila “jalan ketiga” yang dimaksudkan adalah didasarkan atas suatu penilaian yang secara logis harus diterima oleh para pendukung dari semua sistem ekonomi. Namun, bila perbandingan sistem tersebut tertuju pada cara membandingkan prestasi, maka hanya dapat mencapai dua hal, yaitu  perbandingan yang dapat menunjukkan setiap sistem unggul atas sistem lainnya dalam memenuhi tujuan tertentu, dan perbandingan yang dapat mengemukakan sejauh mana suatu tujuan itu dikorbankan untuk tujuan lainnya. Tetapi, karena seluruh analisis tersebut adalah subjektif, kita tidak perlu terkejut bila mendapati orang yang tujuannya berbeda atau memberikan bobot yang berbeda pada tujuan yang sama, menolak untuk menerima sudut pandang kita.
Kritik terhadap Kapitalisme dan Sosialisme
          Kapitalisme pada hakikatnya hanyalah suatu “produk sampingan” filsafat politik bernama liberalisme, yang berkembang pada zaman pencerahan pada abad ke-18. Semangat liberalisme mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia itu sama sekali tidak jahat. Sejarah umat manusia dapat dipandang sebagai sejarah kemajuan (progress) yang menuju kepada suatu tatanan rasional dalam kehidupan, sehingga tuntunan spiritual dari lambang agama apa pun tidak diperlukan lagi.
          Ekses semangat liberalisme di Perancis pada zaman pencerahan tampak pada semboyan “lenyapkanlah hal yang memalukan itu”. Karena itu,  gereja Katolik dan berbagai “takhayul yang diorganisir” oleh gereja dianggap sebagai hal yang memalukan.
          Filsafat politik liberalisme, dengan didorong rasionalisme yang menyatakan bahwa rasio manusia dapat menerangkan segala hal di dunia ini secara menyeluruh dan tuntas, kemudian melahirkan kapitalisme, dengan prinsip mekanisme pasar yang terdiri atas suply dan demand (penawaran dan permintaan) akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat sebaik-baiknya.
          Invisible hands (tangan yang tidak kelihatan) dalam mekanisme pasar itu akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat secara rasional, dan karena itu, dapat menciptakan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi masyarakat. Akan tetapi, dalam dunia nyata kita tidak menemukan kapitalisme murni, yang memungkinkan barang-barang ekonomi yang tersedia dalam masyarakat didistribusikan sepenuhnya lewat mekanisme pasar. Oleh karena itu, setiap sistem ekonomi yang pada dasarnya bersifat kapitalistik memiliki kelemahan.
          Sebagai antitesis terhadap kapitalisme muncul marxisme pada abad 19, yang dipandang dapat melahirkan sosialisme ilmiah. Sedangkan berbagai bentuk sosialisme di Eropa, sebelum kehadiran marxisme, dianggap sebagai sosialisme utopian (khayalan). USSR merupakan negara sosialis marxis pertama, jadi negara sosialis ilmiah, yang berhasil didirikan, dan kemudian diikuti oleh RRC maupun negara-negara Eropa Timur.
          Sosialisme, seperti dirumuskan dalam Encyclopaedia Britannica, adalah kebijakan atau teori yang bertujuan untuk memperoleh suatu distribusi yang lebih baik dengan tindakan otoritas demokrasi terpusat, dan kepadanya perolehan produksi kekayaan yang lebih baik daripada yang kini berlaku sebagaimana mestinya diarahkan (M.A. Mannan, 1992:317). Berbagai tindakan yang dianjurkan sosialisme untuk sosialisasi kehidupan masyarakat adalah:
1)     Penghapusan milik pribadi atas alat produksi. Hal ini akan digantikan oleh milik pemerintah serta pengawasan atas industri dan pelayanan utama.
2)     Sifat dan luasnya industri dan produksi mengabdi kepada kebutuhan sosial dan bukan kepada motif laba.
3)     Dalam kapitalisme daya penggerak adalah laba pribadi. Hal ini akan digantikan oleh motif pelayanan sosial.
          Sekalipun kita mengenal banyak varian sosialisme, untuk keperluan ini, yang dimaksudkan adalah sosialisme-marxis. Pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an banyak orang yang menyangka bahwa sosialisme marxis dengan dimodifikasi di sana-sini dapat merupakan alternatif bagi kapitalisme.
          Sosialisme dianggap dapat mengatasi kelemahan-kelemahan kapitalisme, sementara dari segi pertumbuhan industrialis, sosialisme tidak saja diyakini akan “melahap” kapitalisme, melainkan juga akan mengubur kapitalisme yang penuh dengan kontradiksi internal untuk selama-lamanya.
          Ternyata, optimisme ini kandas di tengah jalan. Tidak saja negara-negara sosialis tertinggal oleh negara-negara kapitalis dalam soal kemajuan industrialisasi, tetapi juga kelemahan-kelemahan sosialisme menjadi terlalu faktual dalam perjalanan waktu.
          Tinjauan singkat di atas paling tidak menunjukkan bahwa ada persamaan yang sangat mendasar antara kapitalisme dan sosialisme. Keduanya bertujuan mencapai tingkat kepuasan materialistik masyarakat secara maksimal, sekalipun metode yang digunakannya berbeda. Kapitalisme lewat individualisme, sedangkan sosialisme lewat kolektivisme. Keduanya berusaha berlomba dalam mengejar kesejahteraan material sebagai tujuan akhir, sehingga kadang-kadang keduanya menampilkan watak hedonistik.
          Esensi moral kapitalisme dan sosialisme -walaupun di permukaan keduanya tampak seperti konsep ekonomi murni- sesungguhnya tak mungkin kita abaikan. Kapitalisme bermaksud mengembalikan hak-hak individual dan memberikan kebebasan dalam hidupnya, sedangkan sosialisme menginginkan pembebasan kelas pekerja dari eksploitasi yang opersif. Jadi keduanya mendambakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Akan tetapi keduanya berat sebelah. Hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang tidak adil dan tidak manusiawi, sehingga fenomena peningkatan volume barang dan jasa belum memberikan sumbangannya bagi kebahagiaan hidup manusia sebagai refleksi kedamaian jiwa, yang sebenarnya tidak sekedar merupakan fungsi material, tetapi juga spiritual. Meskipun semua itu membutuhkan pemenuhan semua kebutuhan dasar fisik dari tubuh manusia dan penyediaan kenyamanan yang diperlukan, manusia juga membutuhkan kekuatan moral.
          Distribusi pendapatan yang tidak adil yang disertai dengan perbedaan tingkat kehidupan yang mencolok membuat orang terus menerus menderita dan tidak bahagia. Orang tidak pernah puas dan tidak akan pernah mampu ataupun tidak pernah mau memenuhi kewajiban terhadap orang lain. Akibatnya, solidaritas sosial melemah dan masyarakat mengalami degradasi.
Teistik (Islam) sebagai “Jalan Ketiga”
          Islam sebagai jalan ketiga merupakan alternatif signifikan setelah umat manusia tidak menemukan apa-apa dari sistem ekonomi yang dikembangkannya (kapitalisme dan sosialisme), sehingga konsentrasi pada ajaran Islam menjadi semakin tebal dan semakin mungkin dikejar oleh hasrat manusia yang selama ini mengalami kemiskinan ruhani.
Satu hal fundamental yang membedakan pandangan Islam dari pandangan kapitalis dan sosialis tentang kegiatan ekonomi adalah bahwa Islam melihatnya -sebagaimana kegiatan-kegiatan lainnya- hanyalah sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan akhirat.
          Eksistensi manusia hanya memiliki makna bila seluruh kegiatannya didedikasikan kepada Allah. Tuntunan Islam yang bersifat nonritual mencakup kegiatan manusia di bidang sosial, estetika, politik, hukum dan sudah tentu ekonomi. Islam memberikan spektrum pilihan yang sangat luas dan mendorong manusia untuk memenuhi keperluan fisik dan psikisnya dalam progresivitas, dan sekaligus melindungi manusia dari kejahatan.
Agar dapat dimengerti lebih jelas, barangkali dapat disebutkan di sini tiga prinsip dalam sistem ekonomi Islam:
Pertama, Islam meletakkan hak individu dan masyarakat dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan. Ekonomi yang moderat tidak menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis. Islam juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, terutama komunis, tetapi di tengah-tengah di antara keduanya. Islam mengakui hak individu dan masyarakat, juga meminta mereka melaksanakan kewajiban masing-masing. Dengan demikian, Islam menjabarkan keduanya dengan penuh keadilan dan kebijaksanaan.
          Kedua, Kapitalisme percaya akan usaha bebas yang mengharuskan pribadi memiliki alat produksi. Kebebasan menabung, berinvestasi, mewarisi dan akumulasi, merupakan hak yang lebih khas kapitalisme dari pilihan bebas akan konsumsi dan pekerjaan. Dalam suatu sistem sosial seperti itu kita dapati ketidaksamaan pendapatan yang besar. Banyak orang tinggal di gedung mirip istana, tetapi banyak pula yang berdiam di gubuk dan tenda. Sosialisme menghendaki lenyapnya hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Di sini,  sifat, tujuan industri, dan produksi diabdikan kepada kebutuhan sosial dan bukan motif laba. Walaupun menghindari pemborosan sistem kompetitif, namun di sini pun kita dapati masalah insentif dan kebebasan individu yang sama.
Dalam Islam pemilik mutlak dunia dan kekayaan alamnya, baik yang terkandung dalam bumi maupun yang tersebar di langit adalah Allah. Maka hak milik dari semua anugerah alam itu -tanah, laut, danau, hutan, dan semua isinya- tidaklah pada seseorang.
          Semua anugerah alam itu diamanatkan kepada manusia agar memanfaatkannya dengan merata dan tidak mengecualikan siapa pun. Tidak memperkaya diri, mengisap orang, atau memperhambakan setiap orang. Demikianlah, Islam memperkenankan setiap orang memiliki harta benda pribadi, tetapi membatasinya, sehingga si pemilik agar menggunakan harta benda tersebut  untuk kebaikan bersama. Islam mendorong setiap orang  memperoleh harta benda pribadi, tetapi juga menghendaki agar hal itu membawa kebaikan untuk masyarakat secara keseluruhan.
          Ketiga, ciri khas konsep persaudaraan islami terletak dalam kenyataan bahwa Islam mengenyahkan semua kegiatan ekonomi antisosial yang tidak mendorong pada kesejahteraan bersama. Demikianlah,  semua perusahaan monopoli dan spekulatif dilarang karena semua hal itu tidak bermanfaat, dan  mengambil keuntungan dari penderitaan sesama manusia. Penimbunan dikutuk karena  menahan kekayaan di luar peredaran, sehingga tidak bermanfaat bagi masyarakat, bahkan bagi pemiliknya. Selanjutnya, dengan melarang bunga, Islam bukan saja membantu meluaskan produksi dan kesempatan kerja, tetapi juga menempatkan kebudayaan persaudaraan pada dasar yang kukuh, karena bila bunga dikenakan untuk pinjaman uang,  putuslah persaudaraan dan simpati.  Karena itu, semua kegiatan ekonomi yang diperbolehkan Islam, harus bebas dari pengisapan atau ketidakjujuran yang akhirnya dapat merintangi persaudaraan manusia yang sesungguhnya. (M.A. Mannan, 1992:341).
          Ketiga prinsip di atas akan menjadikan sistem ekonomi Islam tipikal. Konsep yang mendasarinya adalah bahwa komunitas ekonomi pada hakikatnya seperti suatu tubuh organik, di mana setiap sel yang tumbuh dengan sehat akan mempengaruhi sel-sel lainnya, dan demikian pula sebaliknya.
          Dengan demikian, ekonomi teistik merupakan sebuah paradigma alternatif yang harus dapat diimplementasikan secara praktis oleh kaum muslimin Indonesia pada abad sekarang. Karena diakui bahwa aplikasi sistem ekonomi teistik masih akan terus berevolusi dalam kerangka pencarian sistem alternatif yang lebih manusiawi daripada sistem-sistem sekuler dewasa ini.***




Pengunjung