Demokrasi dan Muslim Indonesia

Menimbang Demokrasi Indonesia

Pertentangan ideologi seperti itu sudah menjadi hal yang sangat mudah ditemukan sejak era reformasi 1998 silam. Keduanya tidak lagi sembunyi-sembunyi untuk memasarkan ideologinya, melainkan sangat terbuka dan transparan. Melalui media massa dan forum-forum terbuka, keduanya juga sangat sering terlibat dalam polemik yang cukup sengit.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah di antara yang berdiri di barisan depan penganjur anti-demokrasi. Dengan dukungan tenaga-tenaga muda, khususnya dari kalangan mahasiswa, mereka terlihat getol sekali mewacanakan anti-demokrasi. Bahkan fatwa MUI tentang golput pun berani mereka kritisi untuk tidak disebut disalahkan. Dalam majalah, bulletin dan situs mereka, pasca-pemilu ini digunakan untuk mengampanyekan secara lebih intensif bahwa demokrasi bukan solusi. Satu-satunya solusi bagi mereka hanya satu, khilafah.
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) adalah di antara kelompok lainnya yang menyuarakan anti-demokrasi. Jika HTI mengutamakan jargon khilafah, maka MMI dan JAT mengutamakan jargon jihad. Yang jelas mereka semua bersepakat bahwa perubahan di negeri ini harus ditempuh dengan sistem alternatif selain demokrasi. Mungkin semacam revolusi, menurut mereka, harus dilakukan untuk perjuangan Islam di negeri ini.
Bagi ormas-ormas Islam yang bernaung di bawah MUI, keberadaan mereka yang anti-demokrasi tentu sangat berseberangan. Bahwa Indonesia belum menjadi Negara Islam ideal adalah iya, akan tetapi itu bukan berarti harus ditinggalkan begitu saja. Karena perjuangan ke arah sana bukan berarti tidak dilakukan. Sudah dilakukan, dan sampai saat ini juga masih terus dijalankan dan diperjuangkan. Oleh karena itu cara yang bijak untuk melanjutkan perjuangan itu adalah dengan berpartisipasi aktif sebagai bentuk amar ma’ruf nahyi munkar.Bukan malah menjauhinya sama sekali, karena nanti yang terjadi akan sama dengan masa-masa awal Orde Baru, dimana umat Islam dipinggirkan dan dakwah Islam pun tidak bisa berjalan dengan optimal.
KH. M. Ali Ya’kub dari MUI, yang diwawancarai Risalah pada edisi Februari 2009, mengkritik keras kelompok yang menilai bahwa Indonesia bukan Negara Islam dan masih menggunakan sistem kufur. Ia menuturkan:
Yang merebut kemerdekaan dari penjajah itu mayoritas siapa? Umat Islam kan. Untuk apa umat Islam berjuang dengan darah dan sebagainya? Untuk dapat menerapkan syari’at Islam di Indonesia. Yang kedua, penjajah pergi, Indonesia merdeka. Nah kemudian ronde berikutnya perjuangannya lewat konstitusi kan. Umat Islam ketika ditawari dasar negara semuanya menghendaki Islam sebagai dasar negara. Tapi kan setelah divoting tidak berhasil. Maka ini sebenarnya sudah upaya maksimal umat Islam agar Indonesia merdeka, sehingga umat Islam Indonesia dapat menjalankan syari’at. Kok tiba-tiba ada orang yang tidak pernah ikut perang, tidak pernah ikut berjuang, lahir baru kemarin sore, tiba-tiba mengatakan “Indonesia bukan negara Islam, tidak boleh ikut pemilu”, ini siapa di belakang mereka itu? Berbahaya sekali.

Demokrasi yang Multitafsir

Demokrasi berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Demokrasi selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kata itu sendiri sebenarnya tidak mempunyai single definition (satu pengertian),karena maknanya selalu berubah-ubah di setiap masa dan tempat tergantung pada para penafsirnya itu sendiri. Untuk konteks dunia saja, misalnya, dikenal dua arus besar demokrasi; demokrasi liberal-kapitalis dan demokrasi marxis leninis. Sementara untuk konteks Indonesia, dikenal beberapa corak demokrasi; demokrasi liberal-parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, dan demokrasi tanpa diembel-embeli apapun untuk era reformasi saat ini.
Gagasan pemerintahan rakyat itu sendiri (demokrasi) sudah ada sejak zaman Yunani kuno yang kemudian dikembangkan oleh seorang negarawan Yunani bernama Piracles. Di masa ini, demokrasi diperuntukkan bagi mereka yang masuk kategori warga negara (citizen). Akibatnya, budak belian dan para pedagang yang tidak tercatat sebagai warga negara dan notabene mayoritas tidak bisa berpartisipasi aktif dalam konsep pemerintahan yang dinamakan demokrasi ini. Di masa-masa selanjutnya, ketika slogan kebebasan bergaung di Barat dan perbudakan juga kelas sosial dihapuskan, maka semua warga negara berhak untuk terlibat dalam proses demokrasi.
Dalam perjalanan selanjutnya, demokrasi yang dikembangkan oleh Barat ini kemudian dijadikan sebagai indikator utama kemajuan sebuah negara. Sebuah negara akan dikatakan maju jika demokrasi berkembang dengan baik di negara bersangkutan. Sebaliknya, sebuah negara dinyatakan tidak maju jika demokrasi tidak berkembang dengan baik di negara bersangkutan. Adapun indikator baik tidaknya demokrasi itu diukur dari:
  1. Kebebasan berbicara. Setiap warga negara berhak mengemukakan pendapatnya tanpa harus merasa takut. Dalam sistem demokrasi, hal ini penting untuk mengontrol kekuasaan agar berjalan dengan benar.
  2. Pelaksanaan Pemilihan Umum yang luber dan jurdil secara teratur. Pemilu ini merupakan sarana yang konstitusional untuk melihat dan menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau perlu diganti dengan yang lain.
  3. Kekuasaan dipegang oleh mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas. Prinsip ini mengakui adanya hak oposisi suatu kelompok terhadap pemerintah.
  4. Partai politik memerankan peranan penting. Rakyat berhak dengan bebas mendukung partai mana yang lebih sesuai dengan pandangan dan pilihannya.
  5. Pemisahan kekuasaan legislatif (perundang-undangan), eksekutif (pemerintahan) dan yudikatif (kehakiman). Dengan pemisahan ini akan ada checks and balances (fungsi kontrol)sehingga kekuasaan terhindar dari praktik-praktik eksploitatif.
  6. Supremasi hukum. Semua individu harus tunduk di bawah hukum, tanpa memandang kedudukan dan status sosialnya.
  7. Menjungjung tinggi HAM (hak asasi manusia) dan kebebasan.

Islam dan Demokrasi

Karena memang dikembangkan oleh Barat, maka otomatis demokrasi tidak dikenal dalam peradaban Islam selama beberapa dekade lamanya. Baru kemudian ketika Barat bersinggungan dengan Islam lewat kolonialismenya, wacana keterkaitan Islam dan demokrasi mulai mendapatkan perhatian dari kalangan para pemikir Islam.
Secara umum, para pemikir Islam terbagi ke dalam tiga bagian dalam menyikapi demokrasi ini. Pertama, menerima dengan sepenuhnya seraya menyatakan bahwa demokrasi sangat sesuai dengan Islam. Kedua, menolak dengan sepenuhnya seraya menyatakan bahwa demokrasi sistem kufur. Dan ketiga, menerima dengan catatan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Kelompok pertama biasanya menerima ide demokrasi dengan menyatakan bahwa dalam Islam tidak diatur masalah politik ataupun khilafah. Khilafah mereka nyatakan sebagai sesuatu yang tidak ada ajaran dasarnya di dalam Islam. Karena memang Nabi saw adalah seorang penyebar ajaran Islam, bukan seseorang yang mempunyai ambisi politik untuk meraih kekuasaan. Kelompok yang lebih santunnya menyatakan bahwa kalaupun praktik politik Islam ada dalam sejarah peradaban Islam, tapi tetap secara ajaran tidak tersaji dengan detail. Itu artinya bahwa praktik politik diserahkan kepada ijtihad murni. Dan demokrasi yang dikembangkan Barat saat ini merupakan sistem terbaik untuk diadopsi oleh umat Islam dalam kehidupan politiknya.
Kelompok yang menolak demokrasi akan selalu menyatakan bahwa demokrasi sistem kufur. Kewenangan menetapkan hukum di tangan rakyat merupakan pengingkaran terhadap aqidah Islam yang menyatakan bahwa hanya di tangan Allah lah kewenangan hukum berada. Pemujaannya terhadap kebebasan dan HAM telah menempatkan manusia menjadi Tuhan dengan menggantikan posisi Tuhan yang sebenarnya. Sehingga kebenaran dan kesalahan bukan diukurkan lagi pada hukum dan aturan Tuhan, melainkan pada kehendak manusia yang berdiri di atas dasar HAM dan kebebasan.
Kelompok yang ketiga cenderung lebih realistis dalam melihat fakta demokrasi. Fakta bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang melibatkan rakyat mereka terima sebagai sesuatu yang sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip syura/musyawarah yang dikenal dalam Islam pada intinya adalah mengajarkan agar pemimpin dan umat Islam terlibat secara aktif bersama-sama dalam mengatur urusan kehidupan manusia. Nabi Muhammad saw dengan praktik politiknya di Madinah, yang kemudian dilanjutkan oleh para khalifah yang empat, mereka nilai sebagai sebuah praktik politik modern jauh melampaui pencapaian praktik politik Barat saat itu. Jika di Barat demokrasi digaungkan sejak abad ke-17 M, maka di Islam praktik serupa sudah dijalankan dari sejak abad ke-6 M. Hanya tentu menurut mereka demokrasi yang dimaksud bukan untuk mengorupsi kewenangan Allah swt dalam kaitan hukum. Jadi kalaupun ada parlemen, bukan dalam rangka menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Melainkan sebagai sebuah lembaga ijtihad yang terikat dengan al-Qur`an dan Sunnah; dua sumber hukum tertinggi bagi umat Islam.

Demokrasi dan Muslim Indonesia

Secara umum tidak ditemukan adanya tokoh Islam di masa-masa revolusi kemerdekaan yang bersikap anti-demokrasi 100%. Pada umumnya mereka menerima demokrasi, hanya dengan syarat harus dilandaskan pada nilai-nilai ketuhanan (theistic demokrasi). Pemerintahan pun dengan sendirinya harus berwujud nomokrasi (pemerintahan yang taat pada hukum dan norma-norma). Bahkan seorang Soekarno yang sekuler pun tidak ingin jika demokrasi yang dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi seperti berlaku di Barat. Dalam asumsinya, demokrasi di Indonesia haruslah demokrasi yang disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia.
Sampai di sini berarti bahwa demokrasi, sekali lagi, multitafsir tergantung para penafsirnya itu sendiri. Satu saja yang menjadi titik persamaan dalam demokrasi ini, yaitu pemerintahan yang melibatkan rakyat. Sampai di sini terlihat pula bahwa demokrasi seperti dimaksud oleh kelompok kedua di atas (muslim penolak demokrasi), ditolak pula oleh para founding fathers kita yang muslim. Tapi kemudian mereka pun tidak menutup mata bahwa sebagai sistem, demokrasi cocok untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat yang plural seperti di Indonesia, dimana masing-masing kelompok masyarakat yang multietnik dan agama bisa bertarung secara fair dan terbuka dalam memperjuangkan ideologinya masing-masing.
Hanya memang dalam perumusan demokrasi seperti apa yang harus diterapkan di Indonesia itulah, dari kalangan tokoh-tokoh Islam terjadi perbedaan pendapat.
M. Natsir misalnya menyatakan bahwa Islam tidak bisa diidentikan dengan demokrasi 100%, tidak pula bisa diidentikkan dengan otokrasi 100%. “Islam itu… yah Islam”, tegas Natsir. Akan tetapi ajaran yang memerintahkan wa syawirhum fil-amr (QS. Ali ‘Imran [3] : 159), bagi Natsir, merupakan perintah agar pemerintah melaksanakan pemerintahannya dengan demokratis, “si penguasa harus memperoleh keridlaan daripada orang jang diaturnja.” Akan tetapi bukan berarti segala sesuatunya harus diatur oleh pemerintah dan rakyat/parlemen.
Dalam parlemen suatu Negara Islam merdeka tidaklah perlu dipermusyawaratkan terlebih dulu, apakah yang harus menjadi dasar pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keridhaan parlemen terlebih dahulu, apakah perlu diadakan pembasmian arak atau tidak, apakah perlu diadakan penghapusan perjudian dan kecabulan apa tidak, apakah perlu diadakan pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak. (Islam Sebagai Ideologie, hlm. 23)
Dari konsep demokrasinya yang seperti ini maka Natsir berada di barisan paling depan yang menentang sistem demokrasi terpimpin versi Soekarno. Bagi Natsir, ide demokrasi terpimpin sebagai kebalikan dari Demokrasi liberal-parlementer itu hanya akal-akalan Soekarno untuk menambah lingkup kekuasaannya sekaligus melanggengkan kekuasaannya. Bagi Natsir, sistem demokrasi liberal-parlementer dipandang cukup untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini, tanpa harus diganti dengan konsep demokrasi terpimpin.
Akan tetapi pembelaan Natsir terhadap demokrasi liberal-parlementer ini mendapatkan kritikan yang sangat tajam dari Isa Anshari. Bagi Isa Anshari, Natsir dianggap tidak konsisten dengan pendapatnya. Dulu, ia vokal dengan ide negara harus berlandaskan Islam, dengan sistem demokrasi Islam. Tetapi sekarang, menurut Isa, sistem demokrasi liberal-parlementer yang tidak Islami itu malah dibela-bela oleh Natsir. Malah, bagi Isa Anshari demokrasi Islam itu sendiri lebih condong pada bentuk demokrasi terpimpin.
Demokrasi Islam bukanlah demokrasi ‘separo tambah satu’, tetapi demokrasi terpimpin, demokrasi dengan pimpinan dan bimbingan. Sistim hidup berdjamaah menurut adjaran Islam, ialah hidup berimamah, hidup memiliki kethaatan. Hidup berpimpinan dan berkethaatan, ialah hidup dengan ber-Quran dan ber-Sunnah. (Dikutip dari Pergulatan Pemikiran Kaum Muda Persis, hlm. 128)

Demokrasi vs Khilafah?

Di penghujung masa Orde Baru sampai orde reformasi sekarang, baru kemudian muncul gerakan-gerakan yang menolak demokrasi 100% seraya menyodorkan konsep pemerintahan Islam. HTI menyebutnya dengan khilafah. Hanya tentu wacana pemerintahan Islam itu perlu diuji kembali secara ilmiah bagaimana wujud dan praktiknya. Karena bukankah model pemerintahan Islam masuk dalam wilayah ijtihad (tentunya dengan berpedoman al-Qur`an dan Sunnah)? Buktinya, metode pengangkatan khalifah yang empat (Abu Bakar as-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib) bermacam-macam sesuai dengan ijtihad yang dikembangkan shahabat waktu itu. Bahkan khilafah itu sendiri kemudian beragam juga modelnya dari masa ke masa. Ada yang cenderung demokratis, ada juga yang cenderung otoriter. Bahkan hampir selalu bisa dipastikan bahwa peralihan kekuasaan yang terjadi di khilafah-khilafah Islam selalu menumpahkan darah. Model khilafah yang mana dan seperti apa yang kelak diinginkan itu?
Kalau khilafah yang dimaksud adalah khilafah ‘ala minhajin-nubuwwah (khilafah berdasarkan manhaj Nabi), konsekuensinya kekhilafahan Utsmani di Turki jangan pernah disinggung-singgung sebagai periode akhir masa khilafah. Karena keberadaan khilafah ‘Utsmani sulit untuk dipertanggungjawabkan sebagai khilafah ‘ala minhajin-nubuwwah. Sehingga nantinya ada kontradiksi antara jargon khilafah yang diperjuangkan dengan khilafah yang dicontohkan. Fakta di antaranya membuktikan bahwa ‘Utsmani Turki korup, terbelakang, otoriter, memarginalkan bangsa Arab, mendukung Jerman Nazi pada Perang Dunia I, dan lain sebagainya, di samping beberapa capaian prestasi yang ada.
Kalau khilafah ‘Utsmani juga diakui sebagai periode akhir masa khilafah di abad modern ini, itu artinya mengakui eksistensi khilafah-khilafah lainnya yang memang berada di periode sebelum dan semasa dengan khilafah ‘Utsmani. Padahal fakta sejarah membuktikan bahwa peralihan kekuasaan di khilafah-khilafah itu hampir selalu disertai dengan pertumpahan darah. Seperti itukah khilafah yang akan diperjuangkan? Ini semua sekali lagi masih harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dan kalau khilafah yang dimaksud adalah khilafah ‘ala minhajin-nubuwwah, konsekuensinya orang-orang yang yang berjuang menegakkan Islam dalam sistem demokrasi tidak bisa dipersalahkan 100%. Karena masalah pemerintahan ini seperti tadi sudah disinggung di atas adalah wilayah ijtihad. Selama ia berpegang teguh pada al-Qur`an dan Sunnah, tidak hendak mengorupsi hukum dan wewenang Allah, dan perjuangannya murni hanya dalam hal-hal yang menjadi wilayah ijtihad dalam Islam, maka perjuangan tersebut tidak bisa dipersalahkan. Para ulama menyatakan, al-ijtihad la yanqudlu bil-ijtihad; yang ijtihad dengan khilafah tidak bisa menggugurkan yang ijtihad dengan demokrasi.
Dari uraian di atas, kita juga bisa menarik benang merah bahwa baik demokrasi atau khilafah, kedua-duanya ada sisi baik dan buruknya. Tinggal bagaimana masing-masing yang berjuang di dua wilayah itu mampu menghilangkan sisi buruknya dan menampilkan sisi baiknya. Dari sana nanti akan ditemukan sistem pemerintahan Islami yang menjadi idealisme semua pihak. Kuncinya, seperti telah disinggung di awal, bagaimana kedua belah pihak ini bisa saling mengisi bukan malah saling menegasikan. Karena al-ijtihad la yanqudlu bil-ijtihad. Wal-‘Llahu a’lam.
Pemikiran-islam.net

Pengunjung