Apa
Alquran itu
Al-Quran, firman
Allah yang paling akhir, adalah sumber utama setiap Muslim dalam beriman dan
beramal. Al-Quran berhubungan dengan semua masalah yang menjadi urusan semua
ummat manusia: kebijaksanaan, doktrin, ibadah, transaksi, hukum, dlsb. Tema
paling mendasar yang dibawa Al-Quran adalah hubungan antara Allah dengan
makhluk-Nya. Pada saat yang sama, Al-Quran menyediakan bimbingan dan ajaran
yang terperinci mengenai sebuah tatanan masyarakat yang adil, tingkah laku
manusia yang sesuai, dan tatanan ekonomi yang seimbang.
Al-Quran
diturunkan kepada Muhammad saw dalam Bahasa Arab, sehingga semua terjemah
Al-Quran, baik itu dalam Bahasa Inggris atau bahasa selain Bahasa Arab lainnya
tidak bisa dianggap sebagai Al-Quran. Akan tetapi hanyalah merupakan terjemahan
dan pendekatan arti dari Al-Quran. Al-Quran hanya terdapat dalam Bahasa Arab,
bahasa Al-Quran itu diturunkan.
Muhammad saw
dilahirkan pada tahun 570 Masehi di Mekkah yang terletak di Semenanjung Arab.
Karena ayahnya meninggal sebelum kelahirannya dan ibunya juga meninggal tidak
lama kemudian, dia kemudian diasuh oleh pamannya, seorang yang terhormat dari
Suku Quraisy. Dia diasuh tanpa pendidikan, tidak bisa membaca dan menulis, dan
hal ini terus berlangsung sampai dia meninggal. Ketika dia dewasa, dia dikenal
sebagai orang yang jujur, dapat dipercaya, murah hati dan tulus. Dia sangat
jujur sehingga dikenal dengan julukan Al-Amiin (yang dipercaya).
Muhammad saw
adalah seorang yang selalu berfikir, dia telah lama membenci kemerosotan moral
serta pemujaan berhala yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya. Pada
usianya yang keempat puluh, Muhammad saw menerima wahyu pertamanya dari Allah
melalui Malaikat Jibril. Wahyu-wahyu selanjutnya berkelanjutan selama dua puluh
tiga tahun, dan secara kolektif dikenal dengan sebutan Al-Quran.
Al-Quran yang secara
harfiah berarti "bacaan
sempurna" merupakan
suatu nama pilihan
Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun
sejak manusia mengenal
tulis baca lima ribu
tahun yang lalu
yang dapat menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna
lagi mulia itu.
Tiada
bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta orang yang
tidak mengerti artinya
dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan
dihafal huruf demi
huruf oleh
orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Tiada bacaan
melebihi Al-Quran dalam
perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara
umum, tetapi ayat demi ayat,
baik dari segi masa, musim, dan
saat turunnya, sampai
kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.
Tiada
bacaan seperti Al-Quran yang
dipelajari bukan hanya susunan redaksi
dan pemilihan kosakatanya,
tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan
sampai kepada kesan
yang ditimbulkannya. Semua
dituangkan dalam jutaan jilid buku,
generasi demi generasi.
Kemudian apa yang dituangkan dari
sumber yang tak
pernah kering itu, berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan kemampuan
dan kecenderungan mereka,
namun semua mengandung
kebenaran. Al-Quran
layaknya sebuah permata yang
memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut
pandang masing-masing.
Tiada bacaan
seperti Al-Quran yang
diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan,
dipanjangkan, dipertebal atau
diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan
berhenti, bahkan diatur lagu
dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.
Tiada bacaan
sebanyak kosakata Al-Quran
yang berjumlah 77.439 (tujuh puluh
tujuh ribu empat
ratus tiga puluh sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus
dua puluh tiga ribu lima
belas) huruf yang
seimbang jumlah kata-katanya, baik
antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.
Sebagai
contoh -sekali lagi
sebagai contoh- kata
hayat terulang sebanyak
antonimnya maut, masing-masing 145 kali; akhirat
terulang 115 kali sebanyak
kata dunia; malaikat terulang 88
kali sebanyak kata
setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang
13 kali sebanyak
kata dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak
kata dingin.
Kata infaq
terulang sebanyak kata yang
menunjuk dampaknya yaitu
ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali;
kikir sama dengan
akibatnya yaitu penyesalan
masing-masing 12 kali; zakat sama
dengan berkat yakni
kebajikan melimpah, masing-masing 32
kali. Masih amat
banyak keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari)
terulang sebanyak 365, sejumlah hari-hari
dalam setahun, kata
syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan
dalam setahun.
Demikian "Allah menurunkan kitab Al-Quran
dengan penuh kebenaran dan
keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."
Adakah
suatu bacaan ciptaan makhluk
seperti itu? Al-Quran menantang: "Katakanlah, Seandainya manusia dan jin
berkumpul untuk menyusun
semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya walaupun
mereka bekerja sama"
(QS Al-Isra,[17]: 88).
Orientalis
H.A.R. Gibb pernah menulis
bahwa: "Tidak ada seorang pun
dalam seribu lima
ratus tahun ini
telah memainkan
'alat' bernada nyaring yang demikian
mampu dan berani,
dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad
(Al-Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran
keindahan bahasa, ketelitian,
dan keseimbangannya, dengan
kedalaman makna, kekayaan
dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
"Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang
mengajar manusia dengan
pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum
diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
Mengapa
iqra, merupakan perintah
pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak
pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian?
Iqra'
terambil dari akar kata yang
berarti "menghimpun," sehingga tidak selalu harus diartikan
"membaca teks tertulis dengan
aksara tertentu."
Dari "menghimpun" lahir
aneka ragam makna,
seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis
maupun tidak.
Iqra'
(Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca?
"Ma aqra'?" tanya
Nabi -dalam suatu riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh
malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan
itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki
agar beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan
tersebut Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan.
Iqra' berarti
bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda
zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis
dan tidak tertulis. Alhasil objek
perintah iqra' mencakup segala
sesuatu yang dapat
dijangkaunya.
Demikian
terpadu dalam perintah ini segala macam
cara yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan
kemampuannya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini,
bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca
tidak diperoleh kecuali
mengulang-ulangi bacaan, atau
membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas
maksimal kemampuan, tetapi juga untuk
mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika
(demi karena Allah)
akan menghasilkan pengetahuan
dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu
juga.
Mengulang-ulang
membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru,
pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang "membaca" alam
raya, membuka tabir
rahasianya dan memperluas
wawasan serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran
yang kita baca dewasa
ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam
raya pun demikian, namun pemahaman,
penemuan rahasianya, serta
limpahan kesejahteraan-Nya
terus berkembang, dan itulah pesan
yang dikandung dalam
Iqra' wa Rabbukal
akram (Bacalah dan Tuhanmulah yang
paling Pemurah). Atas
kemurahan-Nyalah kesejahteraan
demi kesejahteraan tercapai.
Sungguh, perintah
membaca merupakan sesuatu
yang paling berharga yang
pernah dan dapat
diberikan kepada umat manusia. "Membaca" dalam
aneka maknanya adalah
syarat pertama
dan utama pengembangan ilmu dan
teknologi, serta syarat
utama membangun peradaban.
Semua peradaban yang berhasil
bertahan lama, justru
dimulai dari satu
kitab (bacaan).
Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia
berakhir dengan hadirnya Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai
dengan karya Newton (1641-1727)
dan berakhir dengan
filsafat Hegel (1770-1831). Peradaban
Islam lahir dengan
kehadiran Al-Quran.
Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena kita yakin
bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, selama umatnya ikut bersama
Allah memeliharanya
"Sesungguhnya
Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya)
menurunkan Al-Quran, dan Kami (yakni
Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya"
(QS Al-Hijr [15]: 9).
Pengetahuan dan
peradaban yang dirancang
oleh Al-Quran adalah
pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya. Wahyu pertama
Al-Quran menjelaskan dua cara
perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.
Setiap pengetahuan
memiliki subjek dan objek. Secara
umum subjek
dituntut berperan guna
memahami objek. Namun pengalaman ilmiah
menunjukkan bahwa objek
terkadang memperkenalkan dirinya
kepada subjek tanpa usaha sang subjek. Komet
Halley, memasuki cakrawala,
hanya sejenak
setiap
76 tahun. Dalam kasus ini, walaupun
para astronom menyiapkan
diri dan alat-alatnya
untuk mengamati dan mengenalnya,
tetapi sesungguhnya yang lebih berperan
adalah kehadiran
komet itu sendiri untuk memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham,
intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya atau
apa yang diduga
sebagai "kebetulan"
yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya tidak
lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan
kasus komet di atas. Itulah pengajaran
tanpa
qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.
"Allah
mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia
sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena) apa
yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)
Sekali
lagi terlihat betapa Al-Quran sejak dini
memadukan usaha dan
pertolongan Allah, akal
dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu
menjadikan manusia seperti
robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan
pelita di tangan
bayi, sedangkan
ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.
Al-Quran sebagai
kitab terpadu, menghadapi,
dan memperlakukan peserta
didiknya dengan memperhatikan keseluruhan
unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.
Ketika Musa
a.s. menerima wahyu
Ilahi, yang menjadikan beliau tenggelam dalam situasi spiritual,
Allah menyentaknya dengan
pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material:
"Apakah
itu yang di tangan kananmu, hai Musa?" (QS
Thaha [20]: 17).
Musa
sadar sambil menjawab, "Ini
adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk kambingku, disamping keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]:
18).
Di
sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut
dalam alam material,
Al-Quran menggunakan benda-benda
alam, sebagai tali
penghubung untuk mengingatkan
manusia akan kehadiran Allah Swt.
dan bahwa segala sesuatu yang
teriadi –sekecil apa pun-
adalah di bawah
kekuasaan, pengetahuan, dan pengaturan
Tuhan Yang Mahakuasa.
"Tidak
sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia mengetahuinya,
dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan
bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau kering
kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam jangkauan
pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).
"Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar,
tetapi Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga) kamu mampu
melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).
Sungguh,
ayat-ayat Al-Quran merupakan serat
yang membentuk tenunan
kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu seringkali pada saat
Al-Quran berbicara tentang
satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul
berbicara tentang aspek atau
dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun
mempelajarinya akan menemukan
keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama dengan
keserasian hubungan yang memadukan gejolak
dan bisikan-bisikan
hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau
aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi
terangkai
dan
terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung pangkalnya.
Salah
satu tujuan Al-Quran memilih
sistematika demikian, adalah
untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin-bahwa ajaran-ajaran
Al-Quran adalah satu kesatuan
terpadu yang
tidak dapat dipisah-pisahkan.
Keharaman makanan
tertentu seperti babi, ancaman
terhadap yang enggan menyebarluaskan pengetahuan,
anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan
hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban puasa,
hubungan suami-istri, dikemukakan
Al-Quran secara berurut
dalam belasan ayat
surat Al-Baqarah. Mengapa demikian?
Mengapa terkesan acak?
Jawabannya antara lain adalah, "Al-Quran menghendaki
agar umatnya melaksanakan ajarannya
secara terpadu." Tidakkah babi lebih
dianjurkan untuk dihindari
daripada keengganan
menyebarluaskan ilmu.
Bersedekah
tidak pula lebih
penting daripada menegakkan hukum dan
keadilan. Wasiat sebelum mati dan
menunaikannya tidak
kalah dari berpuasa di
bulan Ramadhan. Puasa
dan ibadah lainnya
tidak boleh menjadikan seseorang
lupa pada kebutuhan
jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan
seks antara suami-istri. Demikian
terlihat keterpaduan ajaran-ajarannya.
Al-Quran menempuh
berbagai cara guna
mengantar manusia kepada
kesempurnaan kemanusiaannya antara
lain dengan mengemukakan kisah
faktual atau simbolik.
Kitab Suci Al-Quran
tidak segan mengisahkan
"kelemahan manusiawi," namun itu digambarkannya dengan kalimat
indah lagi sopan tanpa mengundang
tepuk tangan, atau membangkitkan
potensi negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat
buruk kelemahan itu, atau
menggambarkan saat kesadaran
manusia menghadapi godaan
nafsu dan setan.
Ketika
Qarun yang kaya
raya memamerkan kekayaannya
dan merasa bahwa
kekayaannya itu adalah hasil
pengetahuan dan jerih
payahnya, dan setelah enggan berkali-kali
mendengar nasihat, terjadilah
bencana longsor sehingga seperti bunyi. Firman Allah:
"Maka
Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" (QS Al-Qashash [28]: 81).
Dan
berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan
Qarun, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki
bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau
Allah tidak melimpahkan
karuniaNya atas kita, niscaya kita pun dibenamkannya.
Aduhai benarlah tidak beruntung orang-orang yang kikir (QS Al-Qashash [28]:
82).
Dalam
konteks menggambarkan kelemahan
manusia, Al-Quran, bahkan
mengemukakan situasi, langkah
konkret dan kalimat-kalimat rayuan seorang wanita
bersuami yang dimabuk cinta
oleh kegagahan seorang
pemuda yang tinggal
di rumahnya,
Maksudnya, "(Setelah berulang-ulang kali merayu
dengan berbagai cara
terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat rapat,
seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya kepada
kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari lakukan itu!" (QS Yusuf [12]: 23).
Demikian, tetapi
itu sama sekali
berbeda dengan ulah sementara seniman,
yang memancing nafsu
dan merangsang berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai
satu kenyataan dalam
diri manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi tidak
juga dibuka lebar,
selebar apa yang
sering dipertontonkan,
di layar lebar atau kaca.
Al-Quran kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi
Yusuf, anak muda yang dirayu wanita itu, juga dengan
tiga alas an penolakan, seimbang dengan tiga cara
rayuannya, Yang
pertama dan kedua adalah,
"Aku
berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu adalah
tuanku, yang memperlakukan aku dengan baik" (QS
Yusuf [12]: 23).
Yang
ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup.
"Dan
sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang yang
berlaku aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).
Dalam
bidang pendidikan, Al-Quran menuntut
bersatunya kata dengan
sikap. Karena itu,
keteladanan para pendidik dan tokoh masyarakat merupakan salah satu
andalannya.
Pada
saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati
orangtuanya, pada saat
itu pula ia
mewajibkan orang-tua mendidik anak-anaknya.
Pada saat masyarakat diwajibkan menaati
Rasul dan para
pemimpin, pada saat
yang sama Rasul dan para pemimpin
diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi
yang dipimpin
sambil bermusyawarah dengan mereka.
Demikian Al-Quran
menuntut keterpaduan orang-tua, masyarakat,
dan pemerintah. Tidak mungkin keberhasilan dapat tercapai tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita
berhasil kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh
satu pihak, atau hanya ditangani
oleh guru dan
dosen tertentu, tanpa melibatkan
seluruh unsur kependidikan.
Dua
puluh dua tahun dua
bulan dan dua
puluh dua hari lamanya,
ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama itu pula
Nabi Muhammad Saw.
dan para sahabatnya
tekun mengajarkan
Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada akhirnya, mereka
berhasil membangun masyarakat
yang di dalamnya
terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan
ampunan Ilahi.
Kita
dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan berhasil?
Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil penelitian
seorang guru besar
Harvard University, yang dilakukannya pada
40 negara, untuk
mengetahui factor kemajuan atau kemunduran negara-negara itu.
Salah
satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar-
adalah materi bacaan
dan sajian yang disuguhkan
khususnya kepada generasi
muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun
menjelang kemajuan
atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu, para
generasi muda dibekali
dengan sajian dan
bacaan tertentu.
Setelah dua puluh tahun generasi muda itu berperan dalam
berbagai aktivitas, peranan
yang pada hakikatnya diarahkan oleh
kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan itu. Demikian dampak bacaan, terlihat setelah
berlalu dua puluh tahun, sama dengan lama turunnya
Al-Quran.
Kalau demikian,
jangan menunggu dampak
bacaan terhadap anak-anak kita kecuali 20 tahun
kemudian. Siapa pun
boleh optimis atau
pesimis, tergantung dari
penilaian tentang bacaan dan
sajian itu. Namun
kalau melihat kegairahan anak-anak
dan remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat mempelajari kandungannya, maka kita wajar
optimis, karena kita
sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi terdahulu dalam membangun peradaban Islam
yang jaya selama sekitar delapan
ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang mereka baca
dan hayati mendorong
pengembangan ilmu dan teknologi,
serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.
Kita
wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani pendidikan, serta tekadnya mencanangkan
wajib belajar.
Ayat
"wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan saja
mencanangkan "wajib belajar"
tetapi juga "wajib mengajar." Bukankah
tawashauw berarti saling
berpesan, saling mengajar,
sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil pencarian ilmu?
Mencari kebaikan menghasilkan
akhlak, mencari keindahan
menghasilkan seni, dan mencari kebenaran menghasilkan
ilmu. Ketiga unsur itulah
yang menghasilkan sekaligus mewarnai suatu peradaban.
Al-Quran yang
sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan, antara lain:
1.
Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala
bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang
keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam,
keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep
teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat
manusia.
2.
Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manusia merupakan suatu
umat yang seharusnya
dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah
dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
3.
Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam
semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat,
natural dan supranatural,
kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan kebenaran,
kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan
dan determinisme, kesatuan sosial, politik dan
ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu keesaan,
yaitu Keesaan Allah Swt.
4.
Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam
bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui
musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan.
5.
Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan,
penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan
manusia atas manusia, dalam bidang sosial, ekonomi,
politik, dan juga agama.
6.
Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan
keadilan social sebagai
landasan pokok kehidupan masyarakat manusia
7.
Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif
komunisme, menciptakan
ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan
dan mencegah kemunkaran.
8.
Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan
satu peradaban yang sejalan dengan jati diri
manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.
Demikian
sebagian tujuan kehadiran Al-Quran,
tujuan yang tepadu
dan menyeluruh, bukan sekadar
mewajibkan pendekatan
religius yang bersifat ritual atau mistik, yang dapat
menimbulkan formalitas dan
kegersangan. Al-Quran
adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari
akan membantu kita
menemukan nilai-nilai yang
dapat dijadikan
pedoman bagi penyelesaian berbagai
problem hidup. Apabila
dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran,
rasa, dan karsa kita mengarah kepada
realitas keimanan
yang dibutuhkan bagi
stabilitas dan ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat
Itulah
Al-Quran dengan gaya bahasanya yang merangsang akal dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita
menerima dan memberi kasih dan keharuan cinta,
sehingga dapat mengarahkan
kita untuk memberi sebagian dari
apa yang kita miliki untuk kepentingan
dan kemaslahatan umat manusia.
Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan kekayaan
spiritual bangsa kita, dan yang
telah tumbuh subur dalam negara kita. []