KRITERIA DAN SEJARAH ILMU HADIS

KRITERIA DAN SEJARAH ILMU HADIS
Oleh: Ibnu Muchtar


Al Quran dan Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, karena umat Islam mustahil dapat memahami, apalagi mengamalkan syariat Islam, bila tidak merujuk kepada keduanya. 
Begitu pentingnya keberadaan Sunnah di samping Al Quran, maka kemurnian Sunnah tersebut harus benar-benar terpelihara, agar fungsinya sebagai bayan Al Quran dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Karena itu, para ulama telah berupaya menyusun suatu ilmu untuk menjaga keabadiannya. Ilmu ini dapat memberikan gambaran tentang ketelitian mereka dalam meriwayatkan hadis dan menetapkan berita, sehingga dengan ilmu ini dapat dipastikan mana berita yang bersumber dari Nabi saw. dan mana yang bersumber dari orang-orang yang mengatasnamakan Nabi saw. Ilmu itu  dikenal dengan sebutan ulumul hadits, dan kata ini kini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu tersebut.
Ilmu hadis terbagi atas dua bagian besar, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
Ilmu Hadis Riwayah, ialah:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ نَقْلُ مَا أُضِيْفَ إِلَى النَّبِيِّ ص قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْتَقْرِيْرًا وَضَبْطُهُ وَتَحْرِيْرُهُ
Suatu ilmu untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pemkitaban sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuannya .”
Yang menjadi maudhu’ (objek kajian) ilmu hadis riwayah adalah (1)  cara periwayatan hadis, yang meliputi bagaimana cara penerimaan hadis dan penyampaiaannya kepada orang lain (2) penulisan atau pemkitaban hadis. Dengan demikian ilmu ini tidak berkompeten membicarakan ke-tsiqah-an rawi, permasalahan sanad, dan rukakah (kerancuan) matan hadis karena hal tersebut bukan merupakan objek kajian ilmu hadis riwayah.
Sedangkan faidah mempelajari ilmu ini ialah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Ulama pelopor dalam bidang ilmu ini ialah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri  (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hejaz dan Syam (Suriah), yang tercatat sebagai orang pertama  yang menghimpun hadis-hadis Nabi saw. atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memerintah 99-102 H/717-720 M.
Ilmu Hadis Dirayah, ialah:
عِلْمٌ بِاُصُوْلٍ وَقَوَاعِدَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالْمَتْنِ مِنْ حَيْثُ الْقَبُوْلُ وَالرَّدُّ
Ilmu tentang prinsi-prinsip dan kaidah-kaidah untuk mengetahui hal-ihwal sanad (jalur periwayatan) dan matan (teks dan kandungan) hadis dari segi diterima dan ditolaknya.”
Sasaran kajian ilmu ini adalah keadaan matan, sanad, dan rawi hadis. Di antara masalah yang menjadi bahasan ilmu hadis dirayah adalah yang menyangkut pembagian hadis dari segi nilainya, yaitu hadis sahih, hasan, dan daif. Demikian juga masalah usia rawi ketika menerima hadis, cara menerima dan menyampaikan hadis yang diriwayatkannya kepada orang lain. Sedangkan kegunaannya adalah untuk mengetahui dan menetapkan maqbul (diterima) dan mardud (ditolak)-nya suatu hadis.
Penelitian terhadap rawi meliputi penelitian tentang
Pertama, keadaannya pada waktu menerima dan menyampaikan hadis kepada orang lain, kedua, sifat tercela atau adil yang dimilikinya. Ketiga, pengetahuan tentang negeri, keluarga, kelahiran, dan wafatnya.
Penelitian tentang hal ihwal marwi (yang diriwayatkan/sanad dan matan) menyangkut
Pertama, syarat-syarat periwayatan ketika menerima dan menyampaikan hadis kepada orang lain. Kedua, bersambung atau terputus sanadnya. Ketiga, pengetahuan tentang cacat-cacatnya. Keempat, hal-hal lain yang berkaitan dengan diterima dan ditolaknya hadis tersebut. Dan ilmu ini disebut juga mushthalah hadits, ushulul hadits, dan ilmul hadits.
Berdasarkan keterangan tersebut seseorang yang mendalami hadis tidak dapat melepaskan diri dari ilmu hadis dirayah -sebagaimana juga ilmu hadis riwayah-karena dengan ilmu inilah ia dapat membedakan antara hadis yang diterima dan yang ditolak.
Sejarah  dan Perintis Ilmu Dirayah
Ilmu dirayah menjadi alat bagi ilmu riwayah. Walaupun ilmu dirayah telah menjadi pembahasan para ulama sejak abad ke-2 H/8 M, namun ilmu ini belum dibahas secara khusus dalam sebuah kitab tertentu. Baru pada awal abad IV H/10 M, ilmu ini dikitabkan dan dijadikan satu fan ilmu yang berdiri sendiri, sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya.
Yang pertama kali menyusun sebagian aspek pembahasan ilmu dirayah itu ialah Ali bin Al-Madini, guru Al-Bukhari, sebagaimana juga dibahas oleh al-Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi pada berbagai pembahasan mereka dalam beberapa risalah terpisah, yang belum tersusun secara berkaitan antara satu sama lainnya. Tetapi yang pertama kali membahas masalah ini secara benar-benar ilmiah dengan menyatukan bab-bab dan bahasan-bahasannya dalam satu kitab ialah Al-Qadhi Abu Muhammad Ar-Ramahhurmuzi (w. 360 H/970 M), dengan kitabnya yang berjudul “Al-Muhadditsul Fashil bainar Rawi wal wa’iy”, namun belum juga lengkap benar. Kemudian tampil al-Hakim Abu Abdullah an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M), yang menulis kitab Ma’rifat Ulumul hadits. Ini pun belum benar-benar lengkap dan tertib. Maka diteruskan oleh Abu Nu’aim al-Asbahani (w. 430 H/1038 M), yang meninjau kembali karya al-Hakim dan menelitinya, serta mempertahankan berbagai hal yang akan berguna untuk mereka yang hendak melanjutkan pengembangan ilmu ini. Setelah itu, tampil al-Khatib Abu Bakar al-Baghdadi (w. 463 H/1070 M), yang menyusun prinsip-prinsip riwayat dalam kitab yang dinamainnya al-Kifayah fi ilmir riwayah dan dalam kitab lain yang bernama al-Jami’ li adabisy syaikh was sami’, yang di dalamnya dibahas secara rinci setiap cabang ilmu hadis dalam bagian-bagian tersendiri. Kemudian muncul al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H/1149), yang menulis kitab al-ilma’ ila ma’rifati ushulil riwayah, dalam pembahasannya ia merujuk kepada karya al-Khatib. Setelah itu kemudian tampil syekh Ibnu Shalah (w. 642 H/1244 M), dengan kitabnya yang terkenal dengan sebutan Muqaddimah Ibnu Shalah. Kitab tesebut ia diktekan kepada para muridnya di Madrasah Asyrafiyyah di Damaskus. Meskipun belum disusun secara sistematis, namun kitab tersebut mampu memuat berbagai hal yang terpisah dalam berbagai kitab para ulama sebelumnya. Karena itu, kitab Ibnu Shalah menjadi rujukan/referensi para ulama generasi selanjutnya dalam menyusun kitab ulumul hadis, baik dalam bentuk puisi maupun prosa, seperti kitab Alfiyah karya al-Iraqi dan syarahnya oleh as-Sakhawi, lalu kitab at-Taqrib karya an-Nawawi serta syarahnya Tadribur Rawi oleh As-Suyuthi, dan banyak lagi kitab-kitab lain dalam bidang yang sama. Kitab Ibnu Shalah juga diringkas oleh Ibnu Katsir (w. 774 H/1372 M) dalam kitabnya Ikhtishar Ulumil Hadits, lalu bermunculan berbagai karya dalam bidang ini, yang paling terkenal ialah Alfiyah karya al-’Iraqi (w. 806 H/1403 M) dan Nukhbatul Fikar fi Musthalahil Atsar oleh Ibnu Hajar (w. 852 H/1448 M), dan yang terakhir ialah kitab Qawaidut Tahdits karya al-Qasimi.
Cabang-cabang Ilmu Mushthalah Hadits
Ilmu Mushthalah hadits atau ilmu dirayah terus berkembang menuju kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya muncullah beberapa cabang ilmu hadis yang mempunyai objek pembahasan yang lebih spesifik yang berpangkal pada sanad, matan dan keduanya. Walaupun pembahasan ilmu-ilmu ini lebih mengarah kepada suatu objek tertentu, tetapi saling diperlukan dan erat hubungannya antara satu sama lain.
Cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan sanad:
1. Ilmu Rijalul Hadits,
2. Ilmu Thabaqatur Ruwah,
3. Ilmu Tarikhur Ruwah
4. Ilmu Al-Jarh wat Ta’dil.
Cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan matan:
1. Ilmu Gharibul Hadits,
2. Ilmu Asbabu Wurudil Hadits,
3. Ilmu Tawarikhul Mutun
4. Ilmu Nasikh wal mansukh,
5. Ilmu Talfiqil Hadits.
Cabang-cabang yang berpangkal pada sanad dan matan:
Ilmu ‘Ilalul Hadits.
Kajian-kajian terhadap sanad dan matan pada hakikatnya adalah kajian kritis dan telah muncul sejak masa yang dini dari perkembangan hadis, baik itu dilakukan oleh para sahabat, para penulis hadis, maupun ulama-ulama hadis yang datang kemudian. Dengan demikian, ilmu hadis memiliki peran yang sangat penting dalam menjamin terpeliharanya keaslian hadis sejak penerimaan pertama dari Nabi saw. sampai masa hadis ditulis dan dibukukan. Wallahu A’lam.

Penulis, Staf Pengajar dan Ketua Laboratorium Hadis Pesantren Tahdzibul Washiyyah Jl. Gumuruh, No. 69 Bandung.

Pengunjung