Mengenal Sesosok Ulama Dari Kalangan Para SahabatDiantaranya SBB.
Abdullah Ibnu Ummi
Maktum radhiallâhu 'anhu
"Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa'at
kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan
(demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Rabb itu adalah suatu peringatan, maka
barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya." ('Abasa 1-2)
Menurut
beberapa orang Ahli tafsir, 7 ayat-ayat tersebut diturunkan berkenaan
dengan Ibnu Ummi Maktum.
Abdullah Ibnu Ummi Maktum radhiallâhu 'anhu
Siapakah
dia dan darimana asal-usulnya? Apakah ia mempunyai kedudukan sosial dalam
kabilah Arab atau tengah-tengah kaum Quraisy? Apakah ia tergolong salah seorang
penyair tenar yan suaranya berkumandang di Suuq 'Ukazh, mendeklamasikan
kepahlawanan dan keutamaan suatu kabilah, lalu suaranya itu terdengar ke sana
kemari, menjadi pembicaraan orang ramai? Atau, barangkali ia seorang ahli
perang yang berani dan pahlawan yang tak terkalahkan di medan laga, yang
dijagokan para penyair dalam syairnya? Atau, ia termasuk salah seorang tokoh
yang berpikiran cerdik dan jenius, suara dan caranya diterima serta dihargai
para tokoh Arab dan penguasanya?
Ibnu Ummi
Maktum radhiallaahu 'anhu bukanlah salah seorang dari mereka, bahkan
namanya pun belum pernah dikenal orang sebelum Islam. Apalagi orang akan
mengindahkan suaranya. Ia seorang awam di kota Mekah, hidup untuk diri dan
bersama dirinya. Suaranya tidak pernah didengar orang dan rupanya tidak pernah
dikenal orang.
Malah,
namanya pun ada yang memperselisihkan. Penduduk kota Madinah berpendapat bahwa
namanya adalah Abdullah Ibnu Ummi Maktum, tetapi orang Iraq berpendapat bahwa
namanya adalah 'Amru bin Ummi Maktum. Walaupun demikian, mereka semua sepakat
bahwa nama ibunya adalah Atikah binti Abdullah bin Ma'ish. Dia adalah putera
dari bibi Khadijah binti Khuwalid.
Matanya
buta sejak kecil, penduduk kota Mekah mengenalnya sebagai seorang yang rajin
mencari rezeki dan belajar ilmu pengetahuan. Meskipun ia seorang tunanetra ,
namun semangatnya bergelora untuk belajar dan mengetahui segala yang
didengarnya. Ia menggunakan pendengarannya sebagai pengganti matanya, apa yang
didengarnya tidak dilupakan lagi sehingga ia mampu mengutarakan kembali apa
yang pernah didengarnya dengan baik sekali.
Dia
mendengar orang-orang mustadh'afin dan budak-budak (hamba sahaya) di
kota Mekah bersembunyi-sembunyi pergi ke Darul Arqam untuk mendengarkan
berita-berita dari langit yang dibawakan Muhammad al-Amin. Ia merasa bahwa di
Mekah terjadi pergolakan yang lain dari biasanya. Perang urat saraf mulai
tampak di permukaan ; wahyu yang disampaikan kepada Muhammad al-Amin itu
menganjurkan persamaan dan persaudaraan antar sesama umat manusia. Kaum Mustadh'afin
dan para hamba sahaya tertarik akan semua seruan itu, sedangkan tohok-tokoh
Quraisy berusaha keras mempertahankan system kehidupan Jahiliah, tanpa
mengindahkan perkembangan zaman dan tuntutan hati nurani masyarakat umum.
Ibnu Ummi
Maktum memutuskan untuk pergi sendiri ke majelis Ibnul Arqam untuk mendengarkan
dan meyakini berita yang sedang ramai diperbincangkan orang itu. Ia
mengambil tongkatnya dan mengayunkan langkahnya menuju kesana. Ternyata apa
yang didengarnya lebih hebat dari apa yang diberitakan orang; rasanya suara
yang didengarnya berhasil membuka pintu hatinya dan menimbulkan rasa ketenangan
serta kedamaian dalam kalbunya. Kini, ia tidak takut dan gentar terhadap
seluruh kekuatan bumi, sesudah ia mendengarkan kalamullah yang diwahyukan
kepada Muhammad al-Amin dengan perantaraan Malaikat Jibril, untuk mengukuhkan
tauhid kepada Allah al-Khaliq, untuk mempersamakan antar umat manusia, untuk
menegakkan keadilan antar berbagai lapisan masyarakat, dan untuk mengumandangkan
rasa persaudaraan serta kedamaian ke seluruh pelosok dunia yang sedang dilanda
kezaliman dan kesesatan.
Ibnu Ummi
Maktum mengulurkan tangannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
menyatakan ke-Islamannya, keluar dari lingkungan Jahiliah, dan masuk kedalam
barisan kaum beriman, menyatakan janji kepada Allah Ta'ala dan kepada Rasul-Nya
untuk mengorbankan segala-segala, termasuk nyawanya demi tegaknya agama Islam.
Semangatnya untuk mengetahui agama itu lebih banyak dan mendalam, tidak
tertahankan lagi; di saat ada kesempatan bertanya, ia mengajukan pertanyaan
tentang berbagai persoalan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .
Apa yang didengarnya dicerna dan diresapi dengan sebaik-baiknya.
Kaum
Quraisy tidak mampu menumpas dakwah langit itu. Akhirnya, mereka mengubah
taktik dengan memperlambat gerak dan mempersempit penyebarannya dengan
mengejar-ngejar dan memaksa para pengikutnya yang tidak berdaya dan tidak
bersenajta. Akhirnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Memberikan
izin kepada para pengikutnya pergi berhijrah dengan membawaserta
agamanya. Di antara para Muhajirin itu terdapat Ibnu Ummi Maktum. Para
sejarawan muslim berbeda pendapat tentang sejarah hijrahnya itu. Ada yang
menetapkan bahwa ia hijrah sesudah perang Badar dan tinggal di Darul
Qurra'. Ada pula yang mengatakan bahwa ia hijrah sebelum Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam tiba di Madinah, sebelum perang Badar. Saya lebih
condong menerima riwayat yang terakhir ini, seperti yang diutarakan
Abu Ishaq dari al-Barra' bin Azib, 'Pada waktu itu, orang yang pertama hijrah
ke negeri kami ialah Mush'ab bin Umair dari bani Abdid-Dar bin Qushai. Kami
tanyakan kepadanya , 'Apa kabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ?'
Ia menjawab , 'Beliau baik-baik saja di Mekah, sedang para sahabat-nya
akan segera menyusulku.' Sesudah itu datang Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang
tunanetra itu. Kami tanyakan pula kepadanya, 'Apa kabar Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam .?' Ia menjawab 'Mereka segera akan menyusulku.'"
Ia
mulai melakukan tugasnya yang sejak lama sudah dipersiapkannya
dengan mengajukan banyak pertanyaan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam, yaitu mengajarkan dasar-dasar agama Islam, mengajar penduduk kota
Madinah menghafal ayat-ayat al-Qur'anul-Karim, dan menyiapkan hati serta jiwa
masyarakat menyambut kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam .
Tak lama setelah itu, sampailah berita bahwa Rasulullah akan segera datang di
Madinah. Ibnu Ummi Maktum bersama para penyambut lainnya berderet-deret di tepi
jalan menyambut kedatangan kekasih Allah yang sudah lama tidak terdengar suara
dan pelajarannya.
Menurut
sebagian perawi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tinggal di
rumah Bani an-Najjar. Beliau lalu membangun masjidnya untuk dijadikan sekolah
terbesar bagi generasi yang pernah dikenal umat manusia, yang mengemban
petunjuk dan Kitab Allah. Ibnu Ummi Maktum senantiasa menyertai kegiatan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Ia ikut aktif dalam
pembangunan masjidnya, tidak pernah absen dalam mengikuti pelajaran yang
diberikannya, selalu shalat jama'ah di belakang beliau, dan hampir tidak ada
ayat yang turun di Madinah yang tidak diketahuinya. Malah, ia puaskan
telinganya dalam mendengarkan semua sabda Rasulullah dan pengarahan
langit yang dikirimkan Allah Ta'ala kepada hamba-Nya, untuk memancarkan
persamaan, kedamaian, dan keadilan di seluruh jagat raya ini.
Menurut
Anas bin Malik radhiallaahu 'anhu, "Pada suatu hari, Malaikat
Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Disana
ada Ibnu ummi Maktum; ia lalu bertanya , 'Sejak kapan kau tidak dapat melihat?'
'Sejak
kanak-kanak.'
'Allah
Ta'ala berfirman, 'Apabila Aku mengambil indra penglihatan hamba-Ku, tiada
imbalan baginya selain surga."
'Selamat
bagimu, wahai Ibnu Ummi Maktum! Engkau telah berhasil menjadi sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan mendapat berita
gembira masuk surga, langsung dari malaikat Jibril.'"
Apabila
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjumpainya, beliau suka berucap,
"Selamat datang, wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan
dengan baik!"
Apabila
Bilal radhiallaahu 'anhu tidak ada, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam suka sekali menyuruhnya mengumandangkan azan shalat lima waktu
karena suaranya merdu dan lembut, tetapi kalau Bilal hadir, ia yang adzan dan
Ibnu Ummi Maktum yang iqamat. Pada bulan Ramadhan, Bilal radhiallaahu 'anhu
azan untuk mengingatkan orang akan waktu makan-minum sahur, tetapi kalau
terdengar azan Ibnu Ummi Maktum, makan-minum harus dihentikan; itu tanda waktu
imsak sudah tiba.
Menurut
Abdullah bin Umar radhiallaahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam pernah bersabda, "Apabila bilal azan pada malam hari, maka
kalian boleh makan dan minum hingga mendengar azannya Ibnu Ummi Maktum!"
Ibnu Ummi
Maktum termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang
sangat mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Di hatinya,
beliau lebih dari sanak keluarga, bahkan dari diri pribadinya sendiri. Mereka
semua, termasuk Ibnu Ummi Maktum, sanggup menahan derita serta cerca orang
terhadap diri dan sanak keluarganya, bahkan bisa memaafkan hal itu, tetapi
tidak bisa menerima dan memaafkan hal itu bila ditujukan kepada Rasulullah.
Ibnu Ummi
Maktum pernah tinggal di rumah seorang wanita Yahudi, bibi seorang Anshar.
Wanita itu baik budi dan melayani makan-minumnya, tetapi mulutnya tidak pernah
diam menyerang orang-orang yang paling dicintai Ibnu Ummi Maktum. Ia tidak
sabar mendengar ejekan dan cercaan itu. Ia berusaha beberapa kali menegurnya,
tetapi teguran dan peringatannya itu tidak diindahkan. Terpaksalah ia
memukulnya. Ternyata pukulan itu mematikan. Hal ini dilaporkan kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sesudah ia dihadapkan,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bertanya,
"Mengapa
kau bertindak demikian?"
"Wahai
Rasulullah! Sungguh, ia seorang yang baik budi terhadap diriku, namun ia
senantiasa mencela dan mencerca Allah dan Rasul-Nya, maka terpaksalah aku
memukulnya untuk menghentikannya, namun kiranya ajalnya sudah sampai."
"Allah
telah menjauhkannya dan ia telah membatalkan darahnya?????."
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam sering mengangkatnya sebagai wakil apabila
beliau keluar meninggalkan Madinah dalam peperangan, umpamanya ketika pergi menyerang
Kabilah Banu Sulaim dan Kabilah Ghathafan. Ia menjadi Imam jamaah dan Khatib
shalat Jumat. Begitu pula ketika Rasulullah pergi berperang ke Uhud,
Hamra'al-Asad, Bani an-Nadhir, Khandaq, Bani Quraizah, Bani Lahyan, al-Ghabah,
Dzi Qirad, dan Umrah al-Hudaibiyah.
"Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam terlibat dalam penyerangan ofensif sebanyak
tiga belas kali; beliau selalu mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pejabat
untuk menggantikannya di Madinah, mengimami orang shalat jamaah, dan lain-lain,
padahal ia seorang tunanetra," demikian ucap asy-Sya'bi.
Ia
mengikuti kehidupan sosial dan politik kaum muslimin, mengikuti kegiatan
berbagai perutusan yang pergi dan datang menghadap Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam . Ia sering sekali berpuasa dan shalat malam. Hampir
seluruh masa hidupnya diisi dengan peribadatan atau ikut berperang altig??????
dalam kegiatan kaum muslimin. Kemudian, turunlah firman Allah,
"Tidaklah
sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai
uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan
jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya
atas orang-orang yang duduk satu derajat…" (Q.,. 4/an-Nisaa':
95)
Jadi, di
sana masih terdapat lapangan peribadahan yang ganjarannya lebih utama dari
ganjaran yang mungkin diperolehnya. Ada suatu taqarrub yang dilakukan orang,
yang lebih mendekatkan orang itu kepada Allah Ta'ala lebih dari dirinya. Ia
lalu merintih menangisi nasibnya kepada Allah Ta'ala, "Ya Allah, Engkau
mengujiku dengan kebutaan. Apa yang dapat aku lakukan selain mengharap rahmatMu
yang meliputi segala-galanya." Lalu turunlah firman-Nya,.. "yang
tidak mempunyai uzur…," sebagai pelengkap.
Menurut
Ibnu Abbas radhiallaahu 'anhu, "Ketika firman Allah, 'Tidaklah
sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai
uzur dengan orang-orang yagn berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa
mereka…,' diturunkan, Abdullah bin Ummi Maktum yang buta (tunanetra) itu
datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam , lalu bertanya,
'Wahi Rasulullah, Allah telah menurunkan keutamaan jihad fi sabilillah ; seperti
yang baginda ketahui, aku ini seorang tunanetra, tidak bisa ikut berjihad,
apakah kepadaku diberi izin tidak ikut berjihad?
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menjawab, 'Aku belum mendapat keterangan mengenai
dirimu dan orang-orang yang senasib denganmu.'
Ibnu Ummi
Maktum lalu menengadahkan wajahnya dan mengangkat kedua tangannya seraya
berseru, 'Ya Allah, aku memohon pertimbangan-Mu mengenai pengelihatanku ini.'
Lalu, turunlah ayat, 'Tidak sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut
berperang) yang tidak mempunya uzur dengan orang yang berjihad di jalan
Allah dengan harta dan jiwa mereka…'"
Izin sudah
ia peroleh dari Allah Ta'ala; apakah ia memanfaatkan izin itu? akan mengikuti
pasukan Islam yang menuju ke al-Qadisiyah. Ia ingin memperoleh ganjaran seorang
mujahid. Ia memohon kepada komandan perang, "Hai kekasih Allah, hai
sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam , Hai pahlawan perang,
serahkan bendera perang itu kepadaku. Aku seorang tunanetra, tak mungkin bisa
lari. Nanti tempatkanlah aku diantara kedua pasukan yang berperang."
Menurut
Qotadah, Anas bin Malik radhiallaahu 'anhu berkata: "dalam perang
al-Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum memegang bendera hitam dan memakai baju
besi."
Ia lalu
kembali ke Madinah dan meninggal dunia di sana. Semoga Allah Ta'ala
merahmatinya, aamin.
Sebab turunnya Ayat
Menurut
Ibnu Abbas radhiallaahu 'anhu : "Ketika Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam sedang menerima kedatangan Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal,
dan al-Abbas bin Abdul Muththalib, pada waktu Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam berusaha keras menawarkan Islam kepada mereka supaya mereka
beriman, tiba-tiba datanglah seorang tunanetra yang dikenal dengan panggilan
Abdullan bin Ummi Maktum. Ia minta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam supaya kepadanya dibacakan ayat-ayat Al-Qur'anul Karim, "Ya
Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang diajarkan Allah kepadamu!".
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam lalu mengerutkan mukanya dan memalingkan pandangannya,
kesal kepada omongannya. Ia lalu meneruskan pembicaraannya melayani
tamu-tamunya. Sesudah pertemuan itu usai, beliau terus pergi dan keluarganya
meninggalkan tempat itu, kemudian turunlah ayat, " 'Abasa
warawalla" .
Sesudah
ayat-ayat itu turun, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sangat
menghormati Ibnu Ummi Maktum. Kalau ia datang, selalu ditanyakan," Apa
keperluanmu..? Apa perlu bantuanku?" Kalau ia hendak pergi, selalulah
ditanyakan," Apakah kau memerlukan sesuatu?"
Seorang
miskin yang tunanetra itu datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam seperti biasanya ingin belajar dan memperdalam agama Allah Ta'ala.
Kali ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sedang sibuk melayani
beberapa tokoh Quraisy, dengan harapan kalau mereka masuk Islam maka akan
meringankan tugasnya dan akan memudahkan perkembangan agama itu karena
merekalah yang selalu merintangi perkembangan Islam dengan harta, kedudukan,
dan wibawanya. Mereka berusaha keras menghalang-halangi orang dari agama Islam
dan menyempitkan ruang gerak dakwah dengan berbagai cara sehingga hampir
tidak berkembang di Mekah. Orang-orang di luar kota Mekah sudah tentu sulit menerima
agama baru yang ditentang keras oleh orang-orang yang paling dekat dengan
penganjurnya itu.
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menyibukkan diri dengan orang-orang itu bukan demi
kepentingan pribadinya, tapi demi kepentingan pengembangan Islam dan kepentingan
kaum muslimin juga. Kalau mereka masuk Islam maka diharapkan semua
rintangan yang membentang di hadapan para dai dan dakwah Islam bisa
disingkirkan. Ibnu Ummi Maktum mengulang-ngulang harapannya itu sehingga
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam makin kesal dan gusar karena ia
telah mengganggu pembicaraannya dengan para tamunya itu. Rasa benci nampak
diwajahnya dengan mengerutkan mukanya dan juga memalingkan pandangannya.
Disini, Allah berfirman dengan jelas dan tegas, dan mencela sikap Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam seorang yang memiliki akhlak yang luhur. Firman-Nya,
Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa'at
kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya.
(Q.,.
'Abasa: 1-6)
Sejak
itulah, kata ats-Tsauri, kalau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
melihat Ibnu Ummi Maktum datang, beliau menggelar baju luarnya seraya bersabda,
"Selamat datang sahabat, yang kau dicela Tuhanku karenannya! Apa kau
memerlukan sesuatu?"
Renungan
Kami
ucapkan selamat kepadamu, sahabat Rasulullah, atas darmabaktimu terhadap agama
Islam dan kaum muslimin, dan dengan ganjaransurga Tuhanmu yang kau raih.
Seorang
yang buta matanya, tetapi tajam matahatinya. Allah Ta'ala mengabadikan namanya
dalam Al-Qur'anul Karim, sekaligus diproklamasikan berdirinya suatu negara
orang-orang saleh yang berbudi luhur, suatu negara pemeluk Ilahi di muka bumi.
Ia sebagai proklamasi bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan harus
ditegakkan. Hak asasi manusia untuk bersaing secara sehat dan untuk mendapatkan
persamaan dan keadilan dijamin untuk merealisasikan firman-Nya, "Sesungguhnya
orang-orang yang termulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling
bertaqwa."
Sejak saat
itulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyambut baik
kedatangan para sahabatnya yang terbilang lemah dan miskin, yang ternyata kemudian
suara mereka menggema ke seluruh permukaan bumi, mengumandangkan suara
perdamaian, keadilan persamaan, dan persaudaraan. Mereka pancarkan cahaya agama
Alah Ta'ala untuk menghalau kegelapan dan kesesatan; mereka berusaha keras
menanggulangi kebodohan dan kemiskinan; dunia menyambut kedatangan mereka
sebagai pemimpin dan guru.
Segelintir
orang keluar dari tengah-tengah gurun pasir yang gersang , pergi mengembara ke
Timur, menerobos benteng Cina yang besar, mengembangkan agama Allah Ta'ala
sampai ke pedalaman negeri itu. Mereka mengembangkan agama Allah ke India dan
kepulauan-kepulauan di Lautan Teduh, lalu berhasil menerobos ke Eropa, maka
bertemulah Timur dan Barat dalam pengakuan Islam. Pasukan Maslamah bin Abdul
Malik berhasil menaklukan Konstantinopel di sebelah Timur, sedangkan pasukan
Abdurrahman al-Ghafiqi berhasil membebaskan Iberia (Spanyol dan Portugal) dari
sebelah barat, sehingga para pelaut Islam menguasai Laut Tengah sepenuhnya,
memiliki dan mengawasi keamanan pulau-pulau yang ada, sehingga pelayaran antar
pulau-pulai itu, Sicilia, Siprus, dan Koriska, tempat Napoleon diasingkan,
berjalan dengan lancar dan aman. Salah seorang penyair menggambarkan masa jaya
itu sebagai berikut.
"Dahulu,
mereka hanyalah penggembala unta sebelum kebangkitannya.
Sesudah itu, mereka penuhi alam raya ini dengan peradaban.
Apabila menara masjid di tengah negeri Cina mengumandangkan azan, Anda akan
mendengarkan di negeri Maghribi suara tahlil orang shalat.".