ZAKAT PROFESI

Zakat Profesi Dan Kedudukannya. Al-Qardlawi menjelaskan bahwa di antara mukjizat aturan zakat dari Yang Maha Bijaksanaini ialah gaungnya yang telah mendahului pertanda zaman dan kurun waktu yang merentang jauh. Islam mengobati problema kemiskinan dan kaum mustadl’afin lainnya tanpa pertentangan kelas (antara kelas the hava dan have not), tanpa revolusi sosial-politik. Perhatian dari orang kaya (aghniya’) tidak bersifat sampingan atau berupa embel-embel tetapi betul-betul menyentuh, karena ia adalah ajar pokok ke tiga dari rukun Islam yang lima.
Hadis Ibnu Umar menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Islam dibina (dibangun) di atas lima (pilar): (1) syahadat bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah; (2) mendirikan shalat; (3) mengeluarkan zakat; (4) shaum pada bulan Ramadhan; dan (5) ibadah haji bagi yang mampu dalam perjalanannya. (Muttafaq ‘Alaih).
Hadis ini menyatakan rukun (pilar) Islam; bukan Islam secara utuh dan lengkap (kaffah), melainkan tiang fundamental yang harus kokoh sehingga di atasnya bisa dibangun buyanul Islam yang meliputi semua asfek kehidupan manusia.
Komponen zakat perlu diperkokoh. Kalau tidak, bangunan itu akan roboh, karena tidak ditopang oleh komponen penting dalam pembinaan umat, yakni financial force. Al-Qur’an menyatakan wajibnya zakat bersamaan dengan tobat dari syirik dan kewajiban mendirikan shalat. Hal itu menunjukan bahwa zakat merupakan identitas Muslim yang berhak memiliki nilai ukhuwah dan terlibat dalam masyarakat yang islami. Allah berfirman mengenai kaum musyrikin yang memerangi Islam;
فَإِذَا انسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوْا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ. التوبة : 5.
Maka apabila luput, bulan-bulan yang dihormati itu (bulan-bulan Rajab, Dzul Qa’idah, Dzul Hijjah dan Muharram) maka bunuhlah orang-orang musyrikin dimana saja kamu dapati mereka (karena diwaktu itu kaum musyrikin bersatu memusuhi dan memerengi ummat Islam) dan tawanlah mereka dan kepunglah mereka, dan tunggulah mereka ditiap-tiap tempat penjagaan; tetapi jika mereka bertobat, mendirikan salat dan mengeluarkan zakat, maka biarkanlah mereka, karena sesungguhnya Allah Pengampun lagi Penyayang. (Q.s. At-Taubah, 9:5)
Inilah ikatan keagamaan dan kemasyarakatan antara kaum Muslimin kewajiban zakat merupakan ikatan kekayaan dan kemasyarakatan kaum Muslimin.
          Dalam sistem ajaran Islam, sebagaimana dinyatakan dalam beberapa ayat al-Qur’an, kewajiban salat diikuti oleh kewajiban zakat, seperti dalam surat al-Baqarah :43, 83, 100 dan 177, surat An-Nisa: 77; surat Al-Hajj ; 78; surat An-Nur: 56; surat Al-Ahzab: 33; dan surat Al-Mujadah: 13. Hal ini menunjukan kuatnya kaitan antara salat dan zakat. Keislaman seseorang belum sempurna, kecuali jika kewajiban ini ditunaikan. Salat adalah tiang agama sedangkan zakat adalah jembatan penghubung tulang punggungnya.
          Orang-orang yang sedar mengeluarkan zakat disifati Al-Qur’an dengan gelar al-muhsinin, (orang-orang yang baik), al-mu’minin, (orang-orang beriman) al-abrar, (orang-orang yang bersih) al-muttaqin (orang-orang takwa); sedang kan orang-orang yang menolak mengeluarkan zakat digelari Al-Qur’an sebagai al-musyrikin (orang-orang yang musyrik) dan al-munafiqin. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Bukhari, zakat adalah manifestasi keimanan dan keislahan: “Zakat itu bukti nyata keimanan”. Zakat adalah pemisah antara keimanan dan kekafiran, antara iman dan nifaq, antara takwa dan durhaka. Orang yang tidak mengimani dan mengamalkan zakat, tidak berhak memperoleh sukses (al-falah), surga Firdaus yang dijanjikan Tuhan. Di samping itu, Al-Qur’an menyatakan bahwa orang yang mengeluarkan zakat adalah busyra dan hudan (penggembira dan petunjuk) bagi orang-orang mukminin:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ # الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ # وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ اللَّغْوِ

مُعْرِضُونَ # وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ. المؤمنون : 1-4.
Sungguh berbahagia orang –orang mukmin yang dalam salatnya khusuk; dan mereka dari yang sia-sia berpaling; dan mereka yang untuk zakat mengerjakan. (Q.s. Al-Mukminun, 28: 1-4).
هُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ(2)الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ … النمل : 2-3.
Petunjuk dan kegembiraan bagi orang-orang yang mukmin, yaitu mereka yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. (Q.s. An-Naml, 27:2-3)
Menolak zakat berarti mengelurkan kita dari kelompok al-muhsinin dan al-muttaqin:
هُدًى وَرَحْمَةً لِلْمُحْسِنِينَ # الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ. لقمان : 3-4.
Petunjuk dan rahmat bagi al-muhsinin, yakni mereka yang mendirikan salat dan mengeluarkan zakat serta beriman kepada hari akhir. (Lukman, 31:3-4).
Sebagaimana dinyatakan dalam Q.s. Al-Baqarah, 2: 177, orang yang menolak mengeluarkan zakat tidak termasuk orang-orang abrar (bersih), ash-shidikin dan al-muttaqin.
          Lebih dari itu penolak zakat tidak dibedakan dengan kaum musyrikin (Q.s. Al-Baqarah,2: 177), tidak dibedakan dengan kaum munafiqin (Q.s. At-Taubah, 9:67, 54). Tanpa kesadaran membayar zakat, kita tidak berhak mendapatkan rahmat dari Allah swt. (Q.s. Al-A’raf, 7:156; At-Taubah, 9:71); tidak berhak mendapatkan pimpinan Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin (Q.s. Al-Maidah, 5:55) dan tidak berhak mendapatkan pertolongan Allah yang telah dijanjikan-Nya (Q.s. Al-Hajj, 23:40-41). Selain itu, Allah juga memberikan ancaman dengan siksa yang keras, baik di dunia maupun di akhirat, kepada orang-orang yang mengeluarkan zakat (Q.s. At-Taubah, 9:34-35; Ali Imran, 3:180).
          Pendek kata, tidak ada alasan bahwa kewajiban zakat terpisah dari kewajiban ibadah lainnya. Bahkan bagi yang menolak zakat disediakan ancaman, karena dalil tentang kewajian zakat sangat jelas, baik dari Al-Qur’an Sunah  Nabi maupun atsar sahabat.  

 harta yang wajib dizakati, prosentasenya, nisabnya dan juga mustahiqnya

Zakat Hasil Jasa dan Profesi

Pendapatan (income) perorangan yang menonjol pada abad sekarang ialah hasil-hasil jasa dan profesi (keahlian). Pendapatan ini tidak kalah besarnya daripada pendapatan perdagangan atau pertanian, bahkan bisa melebihi. Misalnya, pendapatan jasa pegawai tinggi (negara dan swasta) dan pendapatan jasa sebagai konsultan, dokter, insinyur, kontraktor, pengarang dan sebagainya.
Permasalahan yang timbul ialah (1) apakah uang atau harta yang diperoleh melalui jasa atau profesi ini terkena wajib zakat atau tidak; (2) kalau kena wajib jakat, berapa nisbah-nya (batas minimalnya); (3) berapa presentasenya; dan (4) apakah ada persyaratan haul (tahun takwin). Baik permasalahan pokok yang tersebut pada point (1) maupun permasalahan berikutnya yang disebut pada (2), (3) dan (4), perlu mendapatkan jawaban.
Pengertian jasa dibagi menjadi dua bagian: (1) jasa bebas; tidak ada ikatan (kontrak) dengan negara atau swasta seperti jasa profesi dokter, insinyur, pengacara, tukang jahit, tukang kayu dan sebagainya; dan (2) jasa yang ada ikatan (kontrak) dengan negara atau perusahaan sehingga mendapat imbalan tetap bulanan. Pendapatan dari kedua macam jasa itu dikenal dengan istilah fiqih dengan al-mal al-mustafad; begitu pula jasa lainnya seperti jasa angkutan, hasil sewaan, dan sebagainya (Yusuf al-Qardlawi, t.t.: 487: 52; dan Wahbahal-Zuaili, 1985: 865-6). Dalam tulisan ini, saya membatasi kajian pada jasa dan profesi manusia.
Menurut para ulama, seperti Muhammad Abu Zahrah, Abdurrahman Hasan Abdula Wahab Khallaf, Yusuf al-Qardlawi dan Wahab al-Zuhaili, jasa-jasa tersebut di atas tidak terlepas dari kewajiban zakat, berdasarkan pemahaman kembali terhadap keumuman makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis berikut:
1.     Surat Al-Baqarah ayat 267:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنْ الأَرْضِ… البقرة: 267.
Wahai orang-orang yang beriman, nafakahkanlah sebagian dari usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu … (Q.s. Al-Baqarah : 267)
Telaah Qur’an terhadap ayat di atas yang dilakukan oleh naikun manyatakan bahwa Syaib Qutub menafsirkan ayat tersebut meliputi hasil usaha manusia yang diperoleh secara halal yang dikenal pada setiap kurun waktu (Nasikun, 1989 : 4).
2.     Surat At-Taubah ayat : 103 : 
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ … التوبة : 103.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka  (Q.s. At-Taubah ayat : 103)
3.    Hadis riwayat Bukhari:
Setiap muslim wajib mengeluarkan zakat (shadaqah). Mereka bertanya: “Hai Nabi Allah, bagaimana jika ia tidak punya?” Nabi menjawab: “Hendak lah ia bekerja dengan tenaganya. Maka akan memberi manfaat untuk dirinya dan dapat mengeluarkan zakat.” Mereka bertanya lagi: “Bagaimana jika ia tidak bisa?” Nabi menjawab: “Menolong orang yang membutuhkan lagi menderita … “ H.r. Al-Bukhari).
4.    Dalil-dalil atsar para sahabat dab tabi’in yang menyatakan bahwa mereka mengeluarkan zakat; begitu juga dari gaji (al-‘atha),. Tunjangan (al-‘umalah), hadiah (al-jizyah), dan harta yang pernah dirampas (al-Mazhalim) begitulah sebagaimana dijelsakan oleh Al-Qardlawi (liahat al-Qardlawi, t.t. :500-509).
Setelah persoalan pokok terjawab, timbul persoalan berikutnya: berapakah nishab zakat jasa dan profesi itu?
          Pada prinsipnya, untuk membedakan seseorang kaya atau miskin terlihat dari batas minimal wajib zakat, yang disebut nishab. Namun, karena Al-Qur’an tidak menerangkan nishab zakat, dalilnya dapat ditelusuri dalama hadis, antara lain sebagai berikut:
Yang kurang dari liam 85 kg emas murni (uqiyat) tidak wajib zakat. (H.r. Bukhari; lihat pula al Qardlawi, t.t.: 513)
Tidak wajib zakat kecuali dalam keculupan; dahulukan orang yang kau wajib urus. (H.r. Bukhari).
Zakat itu diambil dari orang-orang kaya dan diberikan bagi orang-orang fakir. (H.r. Bukhari). 
Patut pula dipertimbangkan pendapat Syekh Muhammad al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh al-Qaqdlawi, yang menyatakan bahwa nisbah zakat jasa dan profesi ini tidak diqiaskan kepada uang emas, tetapi kepada hasil pertanian, yakni sebesar 5 wasaq atau 653 kg hasil tanaman seperti sya’ir (al-Qardlawi, t.t.:513). Pengqiyasan kepada hasil pertanian ini diikuti pula oleh anggota Majlis Tarjih Muhammad Sumatera Barat, yakni 5 wasaq atau 750 kg beras, atau nilai uang rupiah sebesar Rp 450.00.00 (1 kg beras = Rp 600.00). dikatakan pula bahwa hasil pengqiyasan ini lebih mudah dicapai dari pada kepada emas atau perak, yang sebesar Rp. 2 juta _  disamping lebih banyak unsur persamaan  (PMW Majelis Tarjih Sumbar, 1989:8). Penentuan nisbah ini, apakah diqiyaskan kepada emas atau hasil pertanian, tentu akan mempengaruhi besarnya prosentase zakat itu.
          Selain itu, Al- Qardlawi berpendapat bahwa nisbah zakat jasa profesi ini adalah pendapatan bersih setelah dikurangi hutang-hutang yang mendesakdan keperluan pokok untuk diri dan keluarga. Hal ini di dasarkan pada dalil-dalil berikut:
Dan mereka bertanya kepadamu: Apa yang wajib mereka nafakahkan? Katakanlah: “Selanjutnya” (dari keperluan untuk membayar hutang dan keperluan hidup.
Dahulukan orang yang wajib kamu urus. (H.r. Bukhari)
Tidak wajib zakat kecuali dalam kecukupan. (H.r. Bukhari)
Berapa persen yang wajib dikeluarkan zakatnya dari hasil jasa dan profesi itu? bagi yang mengqiyaskannya kepada uang, maka zakatnya 2,5% dari hasil bersih, sedangkan bagi yang diqiyaskan kepada hasil pertanian, zakatnya 10% bagi jasa dan profesi yang tidak memerlukan biaya, atau 5% bagi yang memerlukan biaya.
          Pertanyaan berikutnya, apakah ada persyaratan haul bagi al-mal al-mustafad? Melalui penelitian yang mendalam, Al-Qardlawi mengambil kesimpulan berikut:
1.     Penelitian terhadap hadis-hadis mengenai persyaratan atau haul bagi al-mal al-mustafad menunjukan tidak ada hadis yang bisa dijadikan hujjah, karena terdapat kelemahan kualitas sanadnya;
2.    Karena alasan di atas, para ulama termasuk sahabat, berselisih pendapat mengenai haul ini.
3.    Dalam keyakinan seperti itu, persoalan dikembalikan keada pokok, yakni zakat jasa dan profesi dikeluarkan ketika menerimanya (Al-Qardlawi, t.t.:492-497).
Hikmah zakat hasil jasa dan profesi sama dengan zakat lainnya, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an surat At-Taubah:103, yakni membersihkan dan mensucikan pemberi zakat dari sifat kikir, egois kecintaan yang berlebihan terhadap harta; selain menyuburkan terhadap hati nurani manusia dan menumbuhkan harta benda. Di samping itu, hikmah lainnya adalah untuk menanamkan rasa saling mencintai antara yang kaya dan fakir miskin, sehingga tertanam solidaritas sosial yang bernilai ibadah.

   
Ridwan Syam.
  



Pengunjung