TEORI ‘ILLAT HUKUM & PROSEDUR PENETAPANNYA
Oleh: Ibnu Muchtar
A.
Pengertian ‘Illat
Untuk
dapat memahami rumusan tentang teori ‘illat hukum ini, maka terlebih
dahulu akan dikemukakan pengertiannya baik secara bahasa (etimologis) maupun
secara istilah (terminologis). Secara etimologis kata ‘illat adalah
bentuk mashdar yang berasal dari akar kata عــل- يـعل-
علةatau اعــتـل yang berarti sakit atau penyakit.1 Dalam dunia
kedokteran sesuatu yang menyebabkan tubuh merasa sakit atau kesakitan disebut
dengan ‘illat.
Al-Jurjânî2
dalam kitab al-Ta‘rifât menyebutkan bahwa ‘illat secara bahasa
berarti sesuatu yang berada di suatu tempat, lalu diubahnya kondisi di tempat
tersebut. Dan ‘illat itu dinamakan juga dengan penyakit karena ia
mengubah kondisi fisik seseorang dari kuat menjadi lemah.
Dalam
ilmu hadis, ‘illat dipandang sebagai sesuatu yang menyebabkan cacatnya
suatu hadis. Dalam terminologi ahli hadis bahwa ‘illat itu merupakan
sebab tersembunyi yang mengakibatkan cacatnya hadis, meskipun secara lahiriyah
tampak terhindar dari cacat.3
Adapun
secara terminologis ditemukan sejumlah definisi atau pengertian tentang ‘illat
yang redaksionalnya berbeda antara satu dengan lainnya. Imam al-Ghazâlî
misalnya, dalam kitab al-Mustashfâ menyebut ‘illat hukum itu
dengan manâth al-hukm (مناط
الحكم) yaitu pautan hukum.4 Selanjutnya
al-Ghazâlî menjelaskan bahwa ‘illat dalam pengertian syar‘î
adalah:
مَنَاطُ الْحُكْمِ أَيْ مَا أَضَافَ
الشَّرْعُ الْحُكْمَ إِلَيْهِ وَنَاطَ بِهِ
"Pautan hukum atau tambatan hukum dimana Syâri‘
menggantungkan hukum dengannya"5
Pandangan
Al-Ghazâlî ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh kalangan pengikut Imam
Malik yang juga
mendefinisikan ‘illat hukum sebagai:
مَنَاطُ الْحُكْمِ الَّذِي أَضَافَ
الشَّارِعُ إِلَيْهِ بِهِ
"Pautan hukum dimana Syâri‘ menghubungkan ketetapan
hukum dengannya"6
Sementara
itu kalangan Asy‘ari, seperti dijelaskan oleh Ahmad Abd al-Kâfî al-Subkî7
(W. 576 H) dalam kitabnya al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj,
bahwa yang dimaksud dengan ‘illat hukum ialah al-mu‘arrif ((المعرف yaitu yang
memberitahukan, al-‘alâmah (العلا مة) yaitu tanda, indikator
dan kadang-kadang ‘illat itu disebut juga dengan al-mu`atsir fî
al-hukm (المؤثر
في الحكم) yaitu yang
mempengaruhi lahirnya ketetapan hukum. Istilah ini menurut al-Subkî8
adalah istilah yang digunakan oleh kalangan Mu‘tazilah. Kemudian, Imam al-Amidî
dan Ibn Najîb, sebagaimana dijelaskan oleh al-Subkî9, lebih suka
menggunakan istilah al-ba‘its (الباعث) yang berarti pendorong lahirnya hukum syara‘.
Ibn
al-Subkî10
dalam kitab Matan Jâmi‘ al-Jawâmi‘ menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan ‘illat hukum ialah "yang memberitahu atau suatu tanda dan
petunjuk bagi adanya ketetapan hukum" (المعرف أي العلامة والامارة للحكم) . Untuk memperjelas pengertian definisi ini Ibn al-Subkî
mengemukakan suatu contoh, yaitu mabuk (سكار) sebagai alasan atau dasar diharamkannya khamar. Menurutnya “mabuk”
adalah merupakan ‘illat yang memberitahukan atau merupakan tanda dan
sesuatu yang memberi petunjuk diharamkannya khamar atau nabiz.11
Kemudian, al-Ghazâlî (W. 505 H) sendiri kadang-kadang menyebut ’illat
-- selain dari apa
yang telah dikemukakan di atas
dengan al-mu`asstir (المؤ ثر) yaitu yang membawa
pengaruh dan al-‘alâmah ( العلا مة ), yang berarti suatu tanda atau indikator.12
Sebetulnya apa yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî ini pada prinsipnya tidak
berbeda dengan ibn al-Subkî, yang juga berpendapat bahwa ‘illat itu merupakan
tanda ditetapkannya suatu ketentuan hukum.13
Dalam
hubungan ini al-Ghazâlî mengemukakan argumentasinya dengan memberikan contoh
tentang menyentuh (المس) kemaluan yang menyebabkan batalnya wudu. Menurut al-Ghazâlî14
bahwa menyentuh ( المسّ ) kemaluan adalah merupakan ‘illat yang mempengaruhi atau
suatu indikator atau tanda adanya kewajiban
untuk mengulangi wudu. Sebab, jika tidak karena menyentuh kemaluan, tentu tidak
ada perintah yang menuntut untuk mengulangi berwudu kembali. Dapat ditegaskan
bahwa perbuatan atau tindakan menyentuh kemaluan inilah yang menjadi pertanda
atau indikator batalnya wudu sehingga wudu harus diulangi kembali.
Selanjutnya,
al-Amidî dan ibn al-Hajîb, sebagaimana disebutkan oleh Mushthafâ Syalabî15
dalam bukunya, Ta‘lîl al-Ahkâm, mengartikan ‘illat hukum
sebagai:
الْبَاعِثُ وَالدَّاعِيْ لِشَرْعِ
الْحُكْمِ
Yang
dimaksudkan oleh al-Amidî dan ibn Hajîb dengan istilah ini ialah bahwa ‘illat
hukum itu merupakan motif atau pendorong (al-bâ‘its) dan sesuatu yang
menuntut (al-dâ‘î) adanya persyariatan
hukum syara‘, yaitu menciptakan
maslahat dan menolak mudharat dalam kehidupan manusia.
Di
samping itu, al-Anshârî16 menjelaskan
bahwa yang disebut dengan ‘illat hukum ialah:
الْمُعَرِّفُ وَقِيْلَ الْمُؤْثِرُ
أَوِ الْبَاعِثُ لِلْمُكَلَّفِ وَرَافِعُهُ أَوْ دَافِعُهُ لِلْحُكْمِ
Maksudnya,
‘illat merupakan sesuatu yang memberitahukan atau yang mempengaruhi,
mendorong serta memunculkan penetapan hukum bagi orang mukallaf.
Definisi yang dikemukakan oleh Anshârî ini, secara substansial tidak berbeda
dengan definisi yang disebutkan oleh al-Amidî dan ibn Hajîb di atas,
tetapi secara redaksional terdapat tambahan ungkapan bahwa penetapan hukum itu
ada kaitannya dengan taklif kepada orang mukallaf.
Kemudian,
selain dari apa yang telah dikemukakan di atas, ada lagi istilah yang digunakan
untuk menyebut ‘illat hukum ini. al-Jurjânî17 misalnya
menyebutkan bahwa yang disebut dengan ‘illat ialah: "عبارة عما يجب الحكم به معه" yaitu sesuatu yang
mengharuskan adanya ketetapan hukum.
Definisi
yang dikemukakan oleh al-Jurjânî ini agaknya dapat menimbulkan salah paham bagi
orang yang tidak memahami esensi ‘illat hukum. Esensi ‘illat
dalam perspektif Ushul Fiqh adalah bahwa suatu ketentuan hukum didasari oleh
apa yang menjadi alasan penetapannya.18 Oleh karena
itu, definisi ‘illat yang dikemukakan oleh al-Jurjânî di atas harus
dipahami dalam pengertian yang disebut terakhir ini.
Selanjutnya,
Shâdiq Hasan Khan19 dalam bukunya Mukhtashar Hushûl
al-Ma‘mûl min ‘Ilm al-Ushûl menjelaskan bahwa memang terdapat sejumlah sebutan tentang ‘illat
ini. Sebutan-sebutan atas ‘illat itu adalah yaitu:السبب (sebab), الأمارة (tanda,
petunjuk), الداعي (yang mendorong, yang menuntut),المستدعي
(yang
menghendaki), الباعث (yang menjadi motif), الحامل (sesuatu
menghendaki), المناط (yang menjadi pautan), الدليل (yang
menjadi petunjuk), المقتضي (yang menentukan), الموجب (yang
mengharuskan) dan المؤثر (yang mempengaruhi).
Kesemua
sebutan atau nama untuk ‘illat ini -meskipun satu sama lainnya berbeda-beda penyebutannya- secara
substansial mengacu kepada satu pandangan bahwa tidak ada suatu ketetapan hukum
yang tidak didasari oleh ‘illat. Artinya, suatu ketentuan hukum yang
disyariatkan tentu ada yang mendorong, mempengaruhi, menghendaki dan
memunculkannya, yakni apa yang disebut dengan ‘illat. Sebab, jika tidak demikian, tentu hukum tidak
perlu disyariatkan.
Istilah
atau penyebutan ‘illat hukum seperti telah dikemukakan di atas umumnya
banyak ditemukan dalam buku-buku teks Ushul Fiqh yang lahir pada masa klasik
dan pertengahan. Namun demikian, apa yang dirumuskan para ulama ushul pada
periode ini adalah merupakan kerangka dasar yang amat penting dalam usaha
melahirkan rumusan teori ‘illat hukum.
Kerangka dasar pemikiran ini mempunyai
nilai dan pengaruh yang amat penting dalam pengembangan dan aplikasi
teori dari ‘illat hukum pada masa berikutnya.
Masalah
‘illat hukum pada periode klasik belum menggambarkan sebuah teori yang
komprehensif dan menyeluruh. Sifatnya baru memberikan konsep-konsep dasar yang
selanjutnya pengembangannya terlihat dalam pemikiran ushul fiqh kontemporer
pada masa berikutnya.
Dalam
pemikiran Ushul Fiqh kontemporer (periode modern) ‘illat hukum
dirumuskan sebagai suatu teori yang jelas dan tegas. Muhammad Abû Zahrah20,
misalnya, dalam bukunya Ushûl Fiqh, menyebutkan definisi ‘illat
sebagai berikut:
الْعِلَّةُ بِأَنَّهَا الوَصْفُ
الظَّاهِرُ المُنْضَبِطُ المُنَاسِبُ لِلْحُكْمِ
‘Illat ialah suatu
sifat atau keadaan yang jelas, pasti, lagi serasi sebagai (dasar) penetapan
hukum.
Untuk
memperjelas pengertian ‘illat di atas, Abû Zahrah mengemukakan sebuah
contoh, yaitu tentang pengharaman khamar yang ‘illat-nya
memabukkan yang disebut dengan Iskâr.21 ‘Illat
“memabukkan” adalah suatu sifat
atau keadaan yang jelas dan tegas yang dapat dibuktikan secara kongkrit serta
ternyata memang pantas, serasi dan sangat tepat untuk dijadikan sebagai dasar
pensyariatan hukum untuk pengharaman khamar.
Kemudian
Zakî al-Dîn Sya‘bân22 memberikan
pengertian ‘illat tersebut dengan berpijak pada tiga unsur pokok sebagai
berikut:
Pertama, disebut dengan:المعنى المناسب لتشريع الحكم , maksudnya suatu yang serasi (pantas) untuk dijadikan alasan
bagi persyariatan hukum. Sebagai contoh kesulitan (المشقة) ketika dalam perjalanan (safar) adalah merupakan alasan yang
sangat tepat dibolehkannya tidak shaum pada bulan Ramadhan bagi seorang
musafir.
Kedua,
disebut dengan:
الثمرة
أو المصلحة التي تترتب على تشريع الحكم, maksudnya
bahwa ‘illat dikaitkan dengan tujuan pensyariatan hukum yaitu untuk
merealisir atau mewujudkan kemaslahatan, seperti menghilangkan kesulitan dan
kesusahan, sehingga dibolehkan tidak shaum bagi musafir yang mengadakan
perjalanan pada bulan Ramadhan.
Ketiga,
disebut dengan:الوصف الظاهر المنضبط الذي يشتمل
على المعنى المناسب للحكم, yaitu suatu sifat yang jelas
dan pasti yang pantas untuk dijadikan sebagai alasan dalam penetapan hukum.
Selanjutnya,
Abd al-Wahhâb Khallâf[1]
dalam bukunya Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî fî mâ lâ Nashsh fîh menjelaskan
bahwa secara bahasa ‘illat disebut dengan rabth al-hukm (ربط الحكم) atau irtibâth al-ahkâm
(ارتباط الأحكام) yang berarti tambatan atau
pautan hukum.
Adapun
secara istilah, menurut Abd al-Wahhâb Khallâf[2] ‘illat
adalah:
الأَمْرُ الظَّاهِرُ الَّذِي رَبَطَ
بِهِ الشَّارِعُ الحُكْمَ وَبَنَاهُ عَلَيْهِ لِأَنَّ مِنْ شَأْنِ رَبْطِهِ بِهِ وَبِنَائِهِ
عَلَيْهِ تَحْقِيْقُ حِكْمَةِ الحُكْمِ
‘Illat
itu merupakan sesuatu yang jelas yang dijadikan oleh Syâri‘ sebagai tambatan
hukum yang tujuannya adalah untuk merealisir hikmah yang terkandung dalam
ketetapan hukum tersebut.
Dalam
ungkapan lain Khallâf[3]
menyebut ‘illat sebagai berikut:
وَأَمَّا عِلَّةُ الحُكْمِ فَهِيَ الأَمْرُ الظَّاهِرُ المُنْضَبِطُ
الَّذِي بُنِيَ الحُكْمُ عَلَيْهِ وَرُبِطَ بِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Adapun
yang disebut dengan ‘illat itu ialah sesuatu yang jelas dan akurat (teratur)
yang dapat dijadikan dasar penetapan hukum dan tambatan hukum karena ada atau
tidaknya ‘illat tersebut.
Khallâf
memberikan contoh dengan kebolehan meng-qashar shalat bagi musafir.
Adanya ketetapan hukum tentang bolehnya meng-qashar shalat bagi musafir ‘illat-nya
adalah safar (bepergian) itu sendiri. Karena inilah yang tampak dengan
jelas (zhahir) dan akurat sebagai dasar tambatan hukum (مناط للحكم). Sebab, jika tidak bepergian, maka tidak boleh meng-qashar
shalat. Di sini, memang menimbulkan pertanyaan, yaitu kenapa safar
(berpergian) yang dijadikan ‘illat bukan masyaqqat? Menurut
Khallâf, bahwa adanya qashar shalat hukumnya adalah memberikan keringan
dan menghilangkan kesulitan bagi musafir, sementara kesulitan itu sendiri
sesuatu yang tidak pasti dan tidak mungkin dijadikan sebagai alasan penetapan
hukum. Oleh karena itu, safar lebih tepat dijadikan sebagai ‘illat
bolehnya meng-qashar shalat dan diakui bahwa memang dalam safar
itu ada kesulitan.
Di
samping itu, menurut hemat penulis masyaqqat (kesulitan) itu sendiri
berbeda-beda pada setiap orang dan sulit diukur dan dipastikan sehingga tidak
mungkin untuk dijadikan ‘illat bolehnya meng-qashar shalat bagi
musafir. Untuk itu, safar (berpergian)-lah yang lebih pasti dan tepat
dijadikan alasan (‘illat) penetapan hukum bolehnya musafir meng-qashar
shalat.
Kemudian,
Abd al-Karîm Zaidân[4]
dalam bukunya al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh
menyebutkan definisi ‘illat sebagai:
وَأَنَّ الْعِلَّةَ هِيَ الْوَصْفُ
الظَّاهِرُ المُنْضَبِطُ الَّذِي بُنِيَ عَلَيْهِ الحُكْمُ وَرُبِطَ بِهِ وُجُوْدًا
وَعَدَمًا
Sesungguhnya
‘illat ialah suatu sifat yang jelas dan pasti yang dapat dijadikan sebagai
dasar penetapan hukum dan pautan hukum, karena ada atau tidak adanya hukum
terkait dengan ada dan tidak adanya
‘illat.
Artinya,
adanya hukum karena adanya ‘illat, sebaliknya ketiadaan hukum karena
ketiadaan ‘illat. Inilah yang disebut oleh Abd al-Karîm Zaidân dengan
ungkapannya:
أَنَّ الحُكْمَ يُوْجَدُ مَتَى
وُجِدَتْ عِلَّتُهُ وَأَنَّ الحُكْمَ يَنْتَفِي مَتَى مَا انْتَفَتْ عَلَيْهِ
Dari
sejumlah definisi atau pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami
bahwa baik definisi-definisi yang ditemukan dalam buku-buku Ushul Fiqh klasik
maupun kontemporer, sama-sama menyebutkan bahwa ‘illat itu merupakan
sesuatu dan mendorong yang memberitahu atau sesuatu yang menjadi tambatan
hukum.
Akan
tetapi, terdapat perbedaan antara rumusan ‘illat yang dikemukan dalam
buku-buku Ushul Fiqh klasik dan kontemporer. Dalam buku-buku klasik ‘illat
dirumuskan lebih melihat pada fungsinya dan tidak menyebutkan kriterianya,
sehingga ‘illat dirumuskan dengan ungkapan bahwa ‘illat itu
sesuatu yang memberitahukan, yang mendorong, yang menjadi motif
dan atau yang menjadi pautan dan tambatan hukum.
Sementara dalam pemikiran Ushul
Fiqh kontemporer ‘illat dirumuskan bukan saja melihat pada fungsinya
tetapi juga melihat pada kriterianya. Hal ini, misalnya, terlihat dalam
buku-buku Ushul Fiqh karya Muhammad Abû Zahrah dan Zakî al-Dîn Sya‘bân, Abd
al-Wahhâb Khallâf dan Abd al-Karîm Zaidân bahwa ‘illat dirumuskan secara
lebih tegas, rinci dan jelas kriterianya serta dijelaskan pula sifat-sifat atau
keadaan yang dapat dijadikan ‘illat dalam menetapkan hukum.
Kemudian,
sesuatu yang menjadi dasar atau alasan penetapan hukum itu ada yang dapat
dipahami hubungannya dengan ketentuan hukum yang ditetapkan dan ada yang tidak.
Terhadap yang dapat dipahami hubungannya antara apa yang menjadi alasan
penetapan hukum dengan ketentuan hukum yang ditetapkan, maka itulah yang
disebut dengan ‘illat hukum.
Akan
tetapi, terhadap yang tidak dapat dipahami hubungan antara apa yang menjadi
dasar atau alasan penetapan hukum dengan ketentuan hukum yang ditetapkan
disebut dengan sebab (السبب). Pada dasarnya, baik ‘illat maupun sebab, keduanya sama-sama menjadi dasar atau
alasan yang melatarbelakangi adanya ketetapan
hukum.
Abd
al-Wahhâb Khallâf[5]
menyebutkan bahwa sebagian ulama ushul tidak membedakan antara ‘illat dan
sebab, karena pada dasarnya keduanya adalah satu. Pandangan seperti ini
umumnya terlihat dalam pemikiran Ushul Fiqh klasik. Dalam hubungan ini Ahmad
Hasan[6]
-seorang pakar hukum Islam kontemporer- menyatakan bahwa pengertian ‘illat
yang dirumuskan dalam pemikiran Ushul Fiqh klasik banyak menimbulkan
kritik, karena tidak jâmi‘ dan mâni‘, termasuk
juga dalam hubungan ini masalah sebab.
Dalam
pandangan Abd al-Wahhâb Khallâf[7] ‘illat
dan sebab itu berbeda. Hal ini sebagaimana pernyataannya:
.. إِذَا كَانَتِ المُنَاسَبَةُ فِي هَذَا الرَّبْطِ مِمَّا تُدْرِكُهُ
عُقُوْلُنَا سُمِّيَ الوَصْفُ (العِلَّةَ) وَإِذَا كَانَتْ مِمَّا لاَ تُدْرِكُهُ عُقُوْلُنَا
سُمِّيَ السَّبَبَ فَقَطْ وَلاَ يُسَمَّى العِلَّةَ.
Jika
sesuatu yang menjadi tambatan hukum itu dapat dinalar oleh akal hubungannya
dengan ketentuan hukum yang ditetapkan, maka hal ini dinamakan dengan ‘illat. Akan
tetapi, manakala tidak dapat dipahami oleh akal kita, maka hal demikian disebut
dengan sebab dan tidak dinamakan dengan ‘illat.
Dalam hubungan ini Khallâf[8]
memberikan contoh, “menyaksikan bulan sebagai sebab timbulnya kewajiban
untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan”. Hal ini tidaklah dinamakan ‘illat,
melainkan sebab, karena tidak dapat dipahami bagaimana hubungannya
antara menyaksikan bulan dengan adanya kewajiban puasa. Dengan kata lain contoh yang dikemukakan oleh
Abd al-Wahhâb Khallâf ini hanya bisa dipahami dari segi hubungan sebab-akibat.
Artinya, dengan menyaksikan bulan, maka timbul kewajiban puasa. Contoh lainnya,
misalnya terbenamnya mata hari (ghurûb
al-syams) di barat, maka timbulnya kewajiban shalat Maghrib adalah sebab,
bukan ‘illat .
Oleh karena itu, dapat
ditegaskan bahwa jika sesuatu ketentuan hukum dapat dipahami secara logis
hubungannya dengan hal yang melatarbelakangi penetapannya, maka hal demikian
disebut dengan ‘illat. Akan tetapi, manakala suatu ketetapan hukum tidak
dapat dipahami hubungannya dengan
sesuatu yang melatarbelakangi penetapannya -melainkan hanya sebab-akibat maka
hal demikian disebut sebab.
فَكُلُّ عِلَّةٍ سَبَبٌ وَ لَيْسَ
كُلُّ سَبَبٍ عِلَّةً
setiap ‘illat itu adalah sebab, (tetapi) tidaklah semua
sebab itu dapat disebut ‘illat
Selanjutnya sebagai suatu
teori dalam perspektif sejarah pemikiran ‘illat hukum juga mengalami
proses perkembangan perumusannya secara bertahap, hingga sampai kepada kita
sekarang ini. Bila ditelaah secara mendalam, maka perkembangan pemikiran
tentang ‘illat hukum ini dapat dibagi kepada tiga periode, yang
masing-masing periode mempunyai corak dan karakteristik tersendiri.
Pertama;
periode sahabat. Pada periode ini, secara teoritis belum ada rumusan ‘illat
secara jelas sebagaimana ditemukan sekarang. Para sahabat umumnya, dalam
memahami dan menetapkan hukum tetap menempuh prosedur atau cara-cara yang telah
dipraktekkan oleh Rasulullah sebelumnya. Akan tetapi sungguhpun demikian
seperti disebutkan oleh Mushthafâ Syalabî bahwa mereka (para sahabat) itu tetap
berupaya menelusuri sebab-sebab yang melatarbelakangi pensyariatan hukum dan
menggali rahasia yang terkandung di dalamnya.
Atas dasar ini, maka para
sahabat mencoba memperluas ketentuan dasar dari sesuatu ketetapan hukum dalam
nash kepada persoalan-persoalan lain yang tidak dijelaskan oleh nash secara
tekstual ketentuan hukumnya. Sikap seperti ini didasari oleh anggapan bahwa
syariat tidaklah statis.[10]
Oleh karena itu, suatu
ketentuan hukum harus dapat diterapkan dalam segala persoalan yang tercakup di
dalamnya meskipun secara eksplisit tidak disebutkan oleh nash. Para sahabat
tetap berpegang kepada suatu ketentuan hukum yang disebutkan oleh nash, lalu
mereka menggali apa yang menjadi ‘illat-nya dan kemudian memperluasnya
kepada persoalan yang substansinya sama dengannya. Hal ini sesuai dengan ungkapan
Mushthafâ Syalabî[11]
berikut:
فَيَسْتَنْبِطُوْنَ لَهُ العِلَّةَ
لِيُوَسِّعُوْا دَائِرَتَهُ
Mereka
menggali dan menetapkan ‘illat bagi sesuatu ketentuan hukum kemudian
memperluasnya kepada persoalan yang tercakup ke dalamnya.
Praktek
seperti ini, secara jelas, dapat ditemukan pada masa Umar Ibn al-Khattâb
menjadi Khalifah.[12]
Umar menghentikan pemberian zakat bagi orang-orang yang baru masuk Islam (mu`allaf),
padahal sejak masa Nabi sampai ke masa Abû Bakar menjadi khalifah, kelompok
mu`allaf ini tetap mendapat pemberian zakat; dengan alasan iman mereka masih
lemah. Pemberian zakat kepada Mu`allaf pada masa Rasulullah dan Abû Bakar
bertujuan memperkuat iman keimanan mereka.
Akan tetapi Umar melihatnya
tidak demikan. Menurutnya, alasan pemberian zakat ketika itu -pada masa
Rasulullah dan Abû Bakar- tidak lebih sekedar kebutuhan insidentil, karena umat
masih sedikit dan lemah. Setelah pada masa Umar menjadi khalifah, keadaan
tersebut tidak ada lagi karena umat Islam telah banyak dan relatif cukup kuat
imannya dan tidak perlu menjinakkan hati mereka dengan zakat.
Kebijakan Umar menghentikan
pemberian zakat kepada mu’allaf ini, sudah dapat dipastikan ada kaitannya
dengan upaya untuk melihat hubungan antara keberadaan suatu ketentuan hukum
dengan alasan penetapannya, apa yang dilakukan oleh Umar ini disetujui oleh
para sahabat lainnya, meskipun beberapa orang sahabat lainnya tidak
menerimanya.
Contoh kasus Umar di atas
jelas berkaitan dengan upaya untuk menemukan dan memahami ‘illat hukum
dan dalam prakteknya, memang refleksi pemikiran hukum yang berkembang pada
waktu ini.
Dari kegiatan pemikiran yang
berkembang pada periode sahabat ini dapat dipahami bahwa pada dasarnya praktek
yang dilakukan oleh mereka (sahabat) merupakan langkah dari proses penalaran ‘illat,
meskipun secara teoritis mereka belum atau tidak merumuskan apa yang disebut
dengan ‘illat hukum itu. Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa pada
periode sahabat ini penalaran terhadap ‘illat baru sebatas tatanan
praktis.
Kedua, periode
tabi‘in. Sebetulnya secara jelas agak sulit menarik benang merah (membedakan)
antara periode tabi‘in dan sahabat dalam melihat bagaimana rumusan pemikiran ‘illat
pada waktu ini, karena pengaruh sahabat dalam kehidupan para tabi‘in relatif
cukup besar dan dominan. Akan tetapi, meskipun demikian, kegiatan pemahaman dan
penalaran terhadap ‘illat hukum sebagai alasan pensyariatan hukum sudah
mengarah kepada kejelasan.
Pada waktu ini telah tampak
dengan jelas dan kongkrit langkah-langkah untuk mencari hubungan logis antara
suatu ketetapan hukum dengan ‘illat yang melatarbelakanginya. Adalah
Ibrahim al-Nakhâ`î,[13]
misalnya menegaskan bahwa setiap ketentuan hukum mempunyai tujuan yang
didasarkan atas sebab ‘illat-nya yang kesemuanya dapat dipahami
hubungannya secara logis.
Pernyataan Ibrahim al-Nakhâ`î
di atas menunjukkan bahwa pensyariatan hukum terkait dengan sesuatu yang
menyebabkan terciptanya hukum itu, yaitu ‘illat. Contoh berikut ini akan
memperjelas pandangan di atas bahwa diceritakan oleh ibn al-Qayyim, yang
bersumber dari Umar ibn al-Khattâb, dimana pada dasarnya seseorang dapat saja
menjadi saksi bagi ayahnya atau sebaliknya. Sebab, pada dasarnya, dalam Islam
-dengan tidak membedakan keluarga atau bukan- boleh diterima kesaksiannya. Alquran
sendiri, memang menjelaskan bahwa antar keluarga (sesama keluarga) boleh
memberikan kesaksian demi tegaknya keadilan.[14]
Memberikan kesaksian pada
hakikatnya, tidak lain adalah menyampai-kan atau memberikan berita yang benar
untuk tegaknya keadilan dengan ucapan kesaksian di depan Majelis Hakim di
Pengadilan. Inilah yang disebut oleh Abd al-Fattâh Muhammad Abû al-‘Inain[15] dengan ungkapannya:
اِخْبَارُ صَادِقٍ لِإِثْبَاتِ حَقٍّ بِلَفْظِ
الشَّهَادَةِ فِى مَجْلِسِ القَضَاةِ.
maksudnya, menyampaikan ucapan yang benar dalam
memberikan kesaksian di depan Majelis Hakim di Pengadilan.
Kesaksian tersebut wajib
diberikan kepada siapa saja, sekalipun kepada keluarga sendiri, demi tegaknya
kebenaran dan keadilan serta terhindar dari kerusakan. Akan tetapi karena telah
terjadinya perubahan pada sikap dan mental manusia, lemahnya iman serta
terlihat tanda-tanda tidak baik (kezaliman), maka kesaksian keluarga ditolak.
Kasus ini menunjukkan bahwa penetapan hukum dikaitkan dengan ‘illat.
Menurut Mushthafâ Syalabî[16],
bahwa dari kasus ini dapat dipahami dimana penolakan kesaksian dari keluarga
tidak lain adalah karena ia dapat membawa kepada kerusakan pada diri sendiri
dan hak manusia.
Dari sini dapat dapat dipahami
bahwa telah terjadi perubahan, dimana hukum berubah karena terjadi perubahan
situasi dan perubahan ini akan mempengaruhi ketetapan hukum dan inilah yang
disebut dengan ‘illat.[17]
Ketiga, periode
ulama mazhab. Setelah berlalu periode tabi‘in, maka muncul era gerakan
pemikiran hukum dengan ditandai lahirnya berbagai mazhab hukum yang
masing-masing mempunyai corak dan karakterestik tersendiri dalam sistem
pemikiran hukum mereka. Kelahiran berbagai mazhab hukum dengan corak dan
karakteristik tersendiri ini tidak jarang menimbulkan perbedaan pendapat yang
kontroversial di kalangan mereka, karena beragamnya teori dan sistem yang
muncul dalam pemikiran hukum.
Akibat perbedaan ini; baik
langsung maupun tidak langsung, akan
membawa pengaruh kepada produk dan nilai hukum yang dihasilkan. Pada periode
ini kegiatan pemikiran hukum sudah
dilandasi oleh berbagai teori atau
kaidah-kaidah tersendiri serta di samping itu ulama mazhab telah merumuskan
konsep dalam upaya memahami hukum syara‘ dari Alquran dan sunah, bahkan
menyangkut persoalan-persoalan baru yang tidak disebutkan oleh kedua sumber ini
juga diantisipasi dengan memformulasi-kan kaidah-kaidah untuk menjawabnya.
Para ulama di setiap mazhab
berupaya mensistematisasikan kegiatan dan pola istinbâth hukum
(penggalian dan penetapan hukum) sebagai hasil internalisasi yang mereka serap
dari pemikiran yang berkembang sebelumnya dan kegiatan ini pada akhirnya
melahirkan sistem pemikiran hukum yang disebut: طريقة استنباط الاحكام yang dalamnya tercakup juga konsep atau teori
ke ‘illat-an hukum (ta‘lîl al-ahkâm).
Di dalam teori ‘illat
hukum, pembicaraan secara jelas dan luas adalah
muncul pada periode ini dan pada waktu ini pula ulama atau mujtahid
memformulasikan apa yang disebut dengan ‘illat (العـلة). Pada periode inilah ‘illat
di samping dirumuskan secara konkrit, juga diberi batasan-batasannya,
syarat-syarat, prosedur dan langkah yang ditempuh dalam menetapkannya
sebagaimana telah diuraikan sebelum ini. Pembicaraan tentang ‘illat ini
juga menyangkut aspek nilai (sasaran) dari sesuatu ketetapan hukum yang
bertumpu pada ‘illat tersebut. Secara lebih tegas lagi dapat dinyatakan
bahwa formulasi ‘illat seperti kita temukan sekarang ini, dirumuskan
setelah munculnya era ulama mazhab dengan memberi batasan-batasan dan
persyaratan-persyaratan serta ruang lingkup operasionalnya dan posisinya
sebagai alasan yang melatarbelakangi lahirnya suatu ketetapan hukum.
Dalam prakteknya, pemikiran
tentang ‘illat hukum ternyata di kalangan ulama berbeda-beda satu sama
lainnya. Yang dimaksudkan di sini ialah pemahaman mereka tentang keberadaan ‘illat
dan aplikasinya dalam penetapan hukum tasyrî‘
adalah tidak sama. Ketidaksamaan ini, tentu saja, jelas akan mempengaruhi nilai
dari ketetapan hukum yang dihasilkan.
Contoh yang paling sering
dirujuk oleh ulama Ushul Fiqh ialah tentang ‘illat riba -riba fadhl
dan riba nasi`ah- pada enam macam benda yang disebutkan dalam hadis Nabi[18].
Berdasarkan hadis ini ulama Ushul sepakat bahwa keenam macam benda tersebut
bisa mendatangkan riba. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang ‘illat
yang menjadi dasar penetapan hukum riba tersebut.[19]
Kalangan Hanafi mengatakan
bahwa ‘illat riba -riba fadhl- dari keenam macam benda tersebut
ialah timbangan dan takaran yang dalam istilah Fiqh disebut
dengan al-kail wa al-wazn (الكيل والوزن). Adapun
riba nasi`ah ialah wujud dari dua sifat benda yang sejenis, yaitu takaran
dan timbangan. Sementara itu, kalangan Malikiyah dan Syafi‘iyah
berpendapat bahwa ‘illat riba fadhl adalah emas dan perak, karena
sifat keduanya merupakan standar harga. Sedangkan untuk empat macam
benda lainnya ‘illat-nya ialah makanan pokok (al-qût). Mengenai
riba nasi`ah ‘illat-nya adalah pada emas dan perak, karena
keduanya merupakan standar harga.[20]
Kemudian, dalam hubungan ini,
kalangan Hanabilah berpendapat bahwa ‘illat riba dari emas dan perak
ialah karena ia jenis benda yang dapat ditimbang dan sedangkan empat
jenis benda lainnya ‘illat-nya ialah takaran.[21]
Dari contoh kasus ini, dapat
dilihat bahwa ternyata para ulama ushul berbeda dalam memahami dan menentukan ‘illat
bagi keenam macam benda yang dapat menimbulkan riba fadhl dan nasi`ah
tersebut. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh perbedaan asumsi terhadap sesuatu
yang menjadi dasar penentuan ‘illat riba fadhl dan nasi`ah
bagi keenam macam benda tersebut.
Bagi kalangan Hanafi keenam
macam benda yang disebutkan dalam hadis tersebut, semuanya dapat ditakar dan
ditimbang. Takaran dan timbangan ini merupakan sifat yang menjadi ukuran atau
yang membawa pengaruh timbulnya riba fadhl dan nasi`ah jika
penukarannya dalam satu jenis, yang salah satunya berlebih. Lain halnya dengan
kalangan Malikiyah dan Syafi‘iyah dimana mereka membedakan antara ‘illat
riba fadhl dan nasi`ah. Riba fadhl hanya terjadi pada
emas, karena ia merupakan standar harga, sedangkan riba nasi`ah ‘illat-nya
adalah al-qût (makanan pokok) dan ini berlaku bagi empat jenis benda
lainnya.
Agaknya, kalangan Hanabilah
mempunyai pandangan yang sama dengan Hanafiyah, tetapi mereka membedakan antara
sifat ‘illat timbangan dan
sifat ‘illat takaran. Untuk emas dan perak ‘illat-nya
adalah timbangan, karena ia hanya bisa dinilai dengan timbangan, bukan takaran.
Adapun ‘illat untuk empat jenis benda lainnya -gandum, syair,
kurma dan garam- adalah takaran dengan asumsi bahwa ia bisa
ditakar.
Kelihatannya, kalangan
Hanabilah membedakan dua sifat ‘illat timbangan dan takaran. Sebetulnya,
membedakan dua sifat ‘illat disebut terakhir ini, kalangan Hanabilah
tidak mempunyai pijakan yang kuat karena baik emas dan perak,
begitu pula gandum, syair, garam dan kurma, kesemuanya bisa
ditakar dan ditimbang. Tidak ada artinya
membedakan dua macam sifat ‘illat antara timbangan dan takaran bagi
keenam jenis benda yang disebutkan di atas, jika keduanya dapat diterapkan dan
mengandung asumsi yang sama.
Demikian pula halnya dengan kalangan
Malikiyah dan Syafi‘iyah yang membedakan dua sifat ‘illat antara standar
harga dan al-qût, menyatakan riba Fadhl terjadi pada emas dan
perak karena ia menjadi standar harga. Akan tetapi, jika hanya emas dan perak
yang dapat menimbulkan riba fadhl karena ia menjadi standar harga tidaklah
tepat. Sifat riba fadhl bisa pula
terjadi pada empat jenis benda lainnya.
Demikian pula dengan ‘illat al-qût bagi empat jenis benda,
selain dari emas dan perak, juga tidak tepat, karena seperti garam bukanlah termasuk
makanan pokok.
Karena itu, dari ketiga
pandangan di atas, agaknya kalangan Hanafiyah lebih tepat dalam melihat dan
menentukan hubungan ‘illat dengan penetapan hukum riba fadhl dan nasi`ah
terhadap enam macam benda di atas, yaitu timbangan dan takaran.
Adapun membedakan antara riba fadhl
dan nasi`ah hanyalah berkaitan dengan sifat pelaksanaannya. Jika dalam
kegiatan tukar-menukar (jual-beli) terhadap benda sejenis yang salah satunya
lebih -tidak sama takaran atau timbangannya-
maka hal ini disebut riba fadhl.
Sementara riba nasi`ah, jika dalam kegiatan tukar menukar
(jual-beli) dengan telah ditentukan harganya, dan setelah jatuh tempo
waktu pembayaran (pengembalian) tidak
dipenuhi, maka pembayaran atau pengembalian harus lebih.[22]
Kemudian, contoh lain dapat
pula dikemukakan berkenaan dengan ‘illat
keharaman nabiz jika tidak mabuk, tidak haram. Oleh karena itu, bagi Abû
Hanifah ‘illat keharaman nabiz adalah mabuk. Artinya, jika mabuk
maka ia haram dan jika tidak sampai mabuk tidaklah haram. Sementara itu,
kalangan ulama Hijaz berpendapat bahwa ‘illat keharaman nabiz
ialah karena diduga dapat memabukkan.
Oleh karena itu, bagi ulama Hijaz, nabiz baik mabuk atau tidak,
tetap haram diminum.[23]
Di sini terlihat bahwa menurut
pandangan ulama Hijaz, ‘illat keharaman nabiz adalah diduga
dapat memabukkan bukan mabuk seperti pendapat Abû Hanifah. Dalam
hubungan ini Imam Syafi‘i juga berpendapat sama seperti ulama Hijaz, bahwa
setiap yang dapat memabukkan, sedikit atau banyak tetap haram diminum dan
pelakunya akan dikenakan had/dera sebagaimana peminum khamar.[24]
Dari dua contoh kasus yang
telah dikemukakan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa penentuan ‘illat
sebagai alasan penetapan hukum di kalangan ulama terdapat perbedaan. Akibat
perbedaan ini, maka kadang-kadang produk hukum yang dihasilkan juga berbeda.
Diakui bahwa kadang-kadang ulama berbeda dalam menentukan ‘illat
sementara hukum yang ditetapkan sama dan kadang-kadang berbeda dalam menentukan
‘illat dan berbeda pula hukum yang ditetapkan.
Kasus pada enam macam benda
pada contoh pertama dimana ulama berbeda dalam menentukan ‘illat
tetapi ketentuan hukum yang ditetapkan adalah sama; yakni riba fadhl
dan riba nasi`ah. Begitu pula pada contoh kedua, tentang keharaman nabiz,
dimana perbedaan tidak saja dalam penentuan dan pemahaman ‘illat, tetapi
juga ketentuan hukum yang dihasilkanpun tidak sama.
Dari apa yang telah
dikemukakan ini ternyata perbedaan dalam ketetapan hukum, seperti banyak
ditemui dalam berbagai leteratur dan refleksinya dalam kehidupan praktis umat
adalah berakar dari perbedaan penentuan ‘illat sebagai dasar atau alasan
pensyariatan hukum. Perbedaan ini terlihat -terutama sekali- dalam menentukan
sifat ‘illat yang tidak disebutkan oleh nash.
Terhadap hal yang disebut ini,
ulama ushul menempuh cara-cara yang mungkin untuk dapat menetapkan dan
menentukan ‘illat. Setidak-tidaknya dalam persoalan ini, terdapat dua
kelompok pemikiran yang berbeda satu sama lainnya. Kelompok pertama berpendapat
bahwa dalam suatu ketentuan hukum yang berpengaruh adalah sifat-sifat (al-aushâf)
‘illat. Oleh sebab itu sifat yang mempengaruhi ketentuan hukum itu harus
berupa sifat yang tegas dan jelas (الأوصاف الظاهرة الجاـية). Terhadap sifat ‘illat yang
disebut terakhir ini, sebagaimana dikemukakan oleh al-Jashshas dan al-Amidi adalah disepakati oleh seluruh ulama
ushul.[25]
Akan tetapi pandangan ini akan
berhadapan dengan suatu pertanyaan, yaitu bagaimana menentukan sifat yang tegas
dan jelas itu? Sebagaimana diketahui bahwa kadang-kadang suatu ketentuan hukum
tetap saja tersembunyi sifat ‘illat yang mendasari penetapannya. Oleh
sebab itu, penentuan sifat jelas atau tidak jelasnya, hanya berdasarkan dugaan
(anggapan) saja. Salah satu, contoh ialah berkenaan dengan ‘illat
wajibnya qishâsh bagi pelaku pembunuhan.
Ketentuan hukum wajib qishâsh
bagi pembunuhan tidak terdapat indikasi yang tegas sifat apa yang mempengaruhi
penetapannya. Dalam menanggapi kasus ini; pertama mengatakan
bahwa pembunuhan itu harus dibedakan antara "sengaja" dan "tidak
sengaja". Terhadap pembunuhan sengaja (al-qatl al-‘amd) pasti
dilatarbelakangi oleh suatu motif yang mempengaruhinya, yaitu permusuhan (al-‘adâwah).[26]
Atas dasar ini, yang terlihat dengan jelas dan ada hubungannya dengan perbuatan
pembunuhan adalah rasa permusuhan dan inilah sifat yang mempengaruhi adanya
penetapan hukum qishâsh pada pembunuhan sengaja. Sedangkan pembunuhan
tidak sengaja tidak demikian halnya.
Pembunuhan tidak sengaja,
tidak ada motif permusuhan, melainkan terjadi kesalahan di luar kontrol
pelakunya. Oleh karena itu tidak berlaku hukum qishâsh. Jadi penetapan
hukum qishâsh itu diberlakukan bagi pembunuhan sengaja, karena
dilatarbelakangi oleh permusuhan dan inilah sifat ‘illat yang jelas
dalam penetapan hukum qishâsh.
Sebaliknya, pandangan kedua
berpegang kepada hikmah. Menurut mereka hikmahlah yang mendorong
penetapan suatu ketentuan hukum. Pandangan kedua ini mengatakan bahwa pada
hakikatnya ‘illat hukum itu adalah hikmah yaitu suatu keserasian (munâsib)
yang mempunyai relevansi terhadap pensyariatan hukum, dimana atas keserasian
inilah hukum dibina demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari
kemudaratan.[27]
Dalam hubungan ini, al-Ghazâlî
mengatakan bahwa sesungguhnya kemaslahatanlah yang mewajibkan adanya hukum,
tetapi kadang-kadang hal ini tidak jelas (tersembunyi) dan tidak bisa
menentukan ‘illat dengan sifat, kecuali hal tersebut dugaan semata.[28]
Dengan kata lain, apa yang menjadi ukuran dan yang melatarbelakangi ketentuan
Allah dalam pensyariatan hukum adalah tersembunyi dan kita dituntut untuk
mencari persesuaiannya dengan melihat tujuannya yaitu kemaslahatan. Akan
tetapi, mungkin esensinya tidak terlihat pada maslahat, namun pada sifat yang
diduga mencakup maslahat yang dimaksud.
Artinya, setiap hikmah
mengandung kemaslahatan dan inilah ‘illat yang mendorong pensyariatan
hukum. Oleh sebab itu, hukum tidak akan mempunyai arti apa-apa, jika tidak
mengandung kemaslahatan.
Dengan demikian, jika Allah menetapkan
wajib qishâsh bagi pelaku pembunuhan sengaja, ‘illat-nya adalah
hikmah, demi terciptanya kemaslahatan bagi umat manusia seluruhnya. Mewajibkan qishâsh
berarti akan menjerakan dan menakutkan orang
untuk melakukan pembunuhan. Dengan cara ini akan tercapai maksud syara‘,
yaitu tegaknya kemaslahatan dan hilangnya kemudharatan.
Bila dilihat pandangan kedua
ini, ternyata yang mendorong terciptanya hukum adalah hikmah dan hikmah ini
pula yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Dalam tasyrî‘ hukum, sebagai
dijelaskan Ahmad al-Raisani, dalam kitab Nazhriyat al-Maqâshid ‘lnd
al-Syâtibî bahwa pembicaraan tentang hikmah dan ‘illat adalah
berakar dari pembahasan Maqâshid al-Syar‘îyat ditetapkannya hukum, yaitu
untuk kemaslahatan.
Pembicaraan yang disebut
terakhir ini dalam kajian Ushul Fiqh menjadi sesuatu yang sangat intens. Hal ini terlihat tidak saja dalam buku-buku
teks klasik tetapi juga dalam buku-buku ushul kontemporer. Para mujtahid dari
setiap periode hingga sekarang ini mengaitkan masalah hikmah kepada hampir
semua lapangan hukum. Dan tentu saja diakui bahwa perbedaan pandangan antara
satu dengan yang lainnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan.
Hal ini terjadi karena
sebagian dari hikmah tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dipastikan dalam
kenyataannya, karena tidak semua ketetapan hukum bisa dijangkau oleh akal nilai
hikmah yang dikandungnya. Aspek inilah yang menjadi perbedaan di kalangan ulama
ushul untuk menggunakan hikmah sebagai ‘illat hukum, meskipun semuanya
mengatakan bahwa seluruh ketentuan hukum pasti mengandung hikmah, yaitu
kemaslahatan baik yang bisa dipahami maupun tidak.
Akan tetapi, dalam
kenyataannya, refleksi pemikiran tentang ‘illat hukum dan
perkembangannya sebagai dasar penetapan hukum tasyrî‘, terutama pada
abad kontemporer ini lebih banyak
berorientasi pada maslahat sebagai ‘illat-nya. Lebih-lebih lagi
berhadapan dengan masalah ijtimâ‘îyah atau lapangan mu‘amalat yang luas
dan terus berkembang yang dihajatkan oleh masyarakat demi merealisir dan
memudahkan kepentingan hidup mereka.
Tidak terhitung lagi jumlahnya
sudah berapa banyak persoalan kontemporer ditetapkan dan diputuskan berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan sebagai ‘illat-nya. Untuk menyebut
diantaranya, seperti: persoalan yang berkaitan dengan bidang kedokteran dan
rekayasa genetik, masalah kependudukan dan keluarga berencana, inseminasi
buatan (bayi tabung) dan pencangkokan organ tubuh, bunga bank, asuransi,
transaksi perkreditan, perkawinan dan harta bersama, kawin antar agama, masalah
pendidikan dan pekerja wanita.[29] Hal
ini terjadi, tentu saja, karena dibutuhkan oleh masyarakat.
Jalan yang ditempuh oleh para
ulama untuk mengatasi dan menjawab persoalan ini adalah dengan menggunakan
pertimbangan maslahat sebagai ‘illat-nya. Penggunaan pertimbangan maslahat
ini didasarkan atas pandangan apakah keberadaan sesuatu yang akan diputuskan
itu mengandung manfa‘at yang betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat dan dapat
menghindarkan mereka dari kemudharatan atau tidak? Dengan kata lain, penetapan
hukum berdasarkan peretimbangan maslahat sebagai ‘illat-nya harus
bermuara pada Maqashid al-Syar‘îyah, yaitu terciptanya kebajikan dan
manfa‘at bagi kehidupan manusia serta terhindarnya mereka dari kesulitan yang
membawa kepada kerusakan.
Yusuf Qardhâwî[30]
salah seorang pakar Ushul Fiqh kontemporer menyebutkan --dengan mengutip
pandangan Abd al-Wahhâb Khallâf--bahwa maslahat merupakan alat (metode)
penetapan hukum syariat yang paling luas digunakan untuk masalah-masalah yang
tidak disebutkan di dalam nash.
Penggunaan maslahat memberikan ruang gerak yang luwes yang
memungkinkan penetapan hukum berjalan seiring dengan perkembangan maslahat
yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Dari pandangan Yusuf Qardhâwî
yang disebutkan terakhir ini, meskipun ia menyebutnya sebagai metode, tetapi dapat
dipahami bahwa apa yang disebut dengan maslahat sebagai dasar pertimbangan
penetapan hukum dan bahkan ia dipandang sebagai sarana yang sangat luas dipakai
untuk menetapkan hukum, terutama terhadap persoalan-persoalan yang tidak
disebutkan oleh nash adalah bagian yang lebih dominan dan merupakan bidang
garapan yang luas cakupannya.
Tentu saja, penggunaan
pertimbangan maslahat sebagai ‘illat dalam penetapan hukum tetap saja
menjadi perdebatan yang tidak dapat dihindari dan tidak habis-habisnya di
kalangan ulama dan pakar hukum Islam. Lebih-lebih lagi terhadap
persoalan-persoalan baru, sehingga akibatnya produk hukum yang lahir bisa
beragam dan bertolak belakang diantara
pendapat yang ada. Namun inilah kenyataan yang tidak dapat dihindari,
dimana penetapan hukum tasyrî‘ dan keragaman produk hukum jelas
dilatarbelakangi perbedaan pemahaman dan penggunaan ‘illat di kalangan
ulama.
Perbedaan ini terlihat tidak
saja antara pemikiran ushul klasik dengan kontemporer, tetapi juga di dalam
pemikiran ushul klasik sendiri dan begitu pula di kalangan pemikiran Ushul Fiqh
kontemporer-pun terdapat perbedaan.
B. Pembagian ‘Illat Hukum.
Di dalam buku-buku Ushul Fiqh,
para ulama ushul membagi atau mengklasifikasikan ‘illat kepada beberapa
macam, baik dilihat dari segi eksistensi (keberadaannya) maupun segi
penerapannya. Menyangkut
segi eksistensi atau keberadaan ‘illat, baik di dalam pemikiran ushul
klasik maupun kontemporer, ternyata juga berbeda-beda satu sama lainnya. Hal
ini terlihat tidak saja pada segi pembagian atau macamnya, tetapi juga terhadap
istilah yang dipakai oleh para ulama Ushul Fiqh tersebut.
Pembagian
‘illat dilihat dari segi eksistensi dan penerapannya pada uraian ini,
maksudnya adalah untuk melihat bagaimana keberadaan ‘illat dan
penerapannya dalam istinbâth hukum. Dalam hubungan ini, Imam al-Ghazâlî
(w. 1111 M/505 H)[31]
misalnya, di dalam kitabnya al-Mushtasfâ, menyebutkan bahwa ‘illat
dilihat dari segi eksistensinya dapat dibedakan kepada dua macam yaitu, ‘illat
yang didasarkan kepada dalil naqlî disebut dengan ‘illat naqlîyah (علة النقلية) dan ‘illat
yang didasarkan pada tasyrî‘
atau disebut dengan ‘illat mustanbathah (علة المستنبطة).
Yang
dimaksud oleh al-Ghazâlî dengan ‘illat naqlî ialah ‘illat yang
ditunjukkan atau disebutkan langsung oleh nash secara jelas, dengan ungkapan
lafaz tertentu. Adapun yang dimaksud dengan ‘illat tasyrî‘ (‘illat
Mustanbathah) ialah ‘illat yang didasarkan pada tasyrî‘,
yaitu berdasarkan pemahaman dan ijtihad ulama, karena tidak disebutkan oleh
nash secara tekstual.
Pada
umumnya dalam pemikiran ahli ushul klasik, bahwa eksistensi ‘illat itu
lebih berorientasi pada pemahaman tentang ada atau tidak adanya pengakuan Syâri‘
atas sesuatu ‘illat hukum tersebut. Dalam hubungan ini, Abd al-Kâfî
al-Subkî[32]
(w. 765 H) dalam bukunya al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj
menyebutkan bahwa ‘illat itu dilihat dari segi keberadaannya dibagi
kepada dua macam yang disebutnya dengan ungkapan:
مُنَاسِبٌ
يَعْتَبِرُهُ الشَّارِعُ وَعَدَمُ اعْتِبَارِهِ
Yang maksud oleh Abd al-Kâfî
al-Subkî, adalah bahwa ‘illat itu ada yang ditunjukkan langsung oleh Syâri‘
dalam nash dan ada pula sama sekali tidak dijelaskan oleh nash. Kemudian Imam
al-Subkî,[33]
dalam kitab Matan Jâmi‘ al- Jawâmi‘
membagi ’illat kepada dua macam, yang ia sebut dengan istilah al-mansshûshat
wa al-mustanbathah (
المنصوصة والمستنبطة ).
Adapun
yang dimaksud oleh al-Subkî dengan
istilah al-mansshûshat ialah ‘illat yang disebutkan
langsung oleh Syâri‘ di dalam nash.
Sementara apa yang disebut dengan Mustanbathah ialah ‘illat
yang dipahami berdasarkan tasyrî‘ atau ijtihad. Menurut al-Subkî,[34]
‘illat hukum yang mansshûshat itu sifatnya qath‘î dan ‘illat
Mustanbathah itu sifatnya zhannî.
Pemikiran
Ushul Fiqh kontemporer nampaknya mengikuti pandangan yang terdapat dalam
pemikiran Ushul Fiqh klasik. Muhammad Mushthafâ Syalabî[35]
di dalam kitab Ta‘lîl al-Ahkâm, menyebutkan bahwa
‘illat bila dilihat dari segi eksistensinya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pertama,
disebut dengan ‘illat mansshûshah (علة
المنصوصة) dan kedua disebut dengan ‘illat
mustanbathah (علة
المستنبطة) .
Menurut
Mushthafâ Syalabî, bahwa ‘illat mansshûshah
adalah merupakan ‘illat yang disebutkan langsung oleh nash sebagai dasar
pensyariatan hukum. Mengenai ‘illat
mustanbathah, menurut Mushthafâ Syalabî ialah ‘illat yang tidak
disebutkan oleh nash, ia diperoleh atau ditetapkan lewat proses tasyrî‘ dengan memperhatikan berbagai indikator atau
kemungkinan yang berkaitan dengan pensyariatan suatu ketentuan hukum. Dengan
kata lain ‘illat mustanbathah ini, keberadaannya ditetapkan berdasarkan
ijtihad, yakni kira-kira apa yang paling pantas -dari berbagai kemungkinan-
menjadi ‘illat dari suatu ketentuan hukum yang telah disyariatkan oleh Syâri‘
atau dari sesuatu yang akan ditetapkan hukumnya.
Dalam
hubungan ini, Syeikh Khudari Beik[36]
dalam melihat ‘illat dari segi eksistensinya ini, membaginya kepada tiga
macam yaitu: pertama, disebut dengan ‘illat yang terdapat
pengakuan Syâri‘ atas maksudnya, kedua, disebut dengan ‘illat
yang membawa atau yang memberitahukan kepada yang dikehendaki oleh Syâri‘
dan ketiga, disebut dengan ‘illat baik yang terdapat pengakuan Syâri‘
atas keberadaannya maupun tidak.
Selanjutnya,
pandangan yang sama juga dikemukakan oleh pakar Ushul Fiqh kontemporer lainnya
seperti Muhammad Abû Zahrah, Abd al-Wahhâb Khallâf, dan Abd al-Karîm Zaidân[37].
Seperti halnya Khudari Beik, mereka juga membagi ‘illat kepada tiga
macam bila dilihat dari segi ada dan tidaknya pengakuan Syâri‘, yaitu: munâsib
mu`asstir (مناسب مؤثر), kedua, munâsib mulâ`im ( مناسب ملائم ) dan munâsib
mursal (مناسب مرسل).
Adapun
yang dimaksud dengan munâsib mu`asstir ialah ‘illat yang
ditunjukkan oleh Syâri‘ bahwa memang ia yang menjadi dasar pensyari‘atan
hukum, baik secara jelas maupun bentuk isyarat saja. Kemudian dimaksud
dengan munâsib mulâ`im ialah ‘illat yang tidak disebutkan oleh Syâri‘
sifat dan keadaannya pada satu ketentuan hukum, tetapi disebutkan pada Nash
lain yang terdapat kesepadanan atau kesamaannya. Selanjutnya, yang disebut
dengan munâsib mursal ialah ‘illat
yang sama sekali tidak dijelaskan oleh Syâri‘ (nash), tetapi ia
merupakan suatu sifat yang patut dijadikan sebagai ‘illat dalam rangka
untuk merealisir kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.
Di
samping hal yang disebutkan ini, Abd al-Wahhâb Khallâf dan Abd al-Karîm Zaidân
menambahkan satu macam lagi, yang mereka sebut dengan munâsib mulghât (مناسب ملغاة). Dimaksud dengan istilah ini
ialah sesuatu sifat yang terlihat dengan jelas dan bisa dijadikan sebagai ‘illat
untuk merealisir kemaslahatan, tetapi berlawanan dengan ketentuan lain yang
menolaknya.
Kemudian
suatu hal yang sangat perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan ‘illat
dari segi eksistensinya ini ialah melihat persesuaian suatu ketetapan hukum
dengan ‘illat yang mendasarinya. Muhammad Abû Zahrah[38]
menyebutnya dengan al- munâsabah(المناسبة) . Menurut Mushthafâ Syalabî[39],
secara bahasa al-munâsabah berarti al-mulâ`im, yakni sesuai,
sepadan dan serasi. Dalam konteks ‘illat, sebagaimana disebutkan oleh
Mushthafâ Syalabî[40]
dengan mengutip pendapat al-Ghazâlî bahwa yang dimaksud dengan al-munâsabah
ialah suatu hal yang berhubungan dengan kemaslahatan ketika satu ketetapan
hukum didasarkan padanya. Contohnya ialah khamar diharamkan karena dapat
merusak akal pikiran manusia.
Sementara
itu, Imam al-Râzî sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Mushthafâ Syalabî[41]
menyebutkan pengertian al-munâsabah sebagai berikut:
اَنَّ المُنَاسِبَ
هُوَ الْوَصْفُ المُلاَئِمُ ضَمَّ الحُكْمَ إِلَيْهِ لِأَفْعَالِ الْعُقَلاَءِ فِي
الْعَادَاتِ.
Munâsib itu ialah suatu sifat
yang pantas/serasi, sebagai dasar/alasan penetapan hukum yang terkait dengan
perbuatan manusia dalam adat
Atas
dasar ini, maka pemahaman tentang munâsabah ini sangat penting agar dapat
menentukan sesuatu yang pantas sebagai ‘illat atau alasan dari suatu
ketetapan hukum. Setelah menentukan dan memperkirakan sesuatu yang mendasari
ketentuan hukum tersebut serta kuat dugaan bahwa memang ia yang menjadi ‘illat,
maka hasil yang telah diperkirakan inilah yang disebut dengan ‘illat mustanbathah.
Dalam
pandangan Mushthafâ Syalabî[42]
bahwa eksistensi ‘illat mustanbathah diperoleh melalui kegiatan tasyrî‘
ini, memang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama Ushul Fiqh.
Perbedaan ini agaknya lebih berorientasi pada perlu dan tidaknya unsur munâsabah
bagi sesuatu yang akan dijadikan sebagai ‘illat tersebut. Sebetulnya,
jika dicermati apa yang diperdebatkan ini, menyangkut persyaratan ‘illat
yang bukan saja ‘illat mustanbathah, tetapi juga manshûshah.
Bila
dicermati secara kritis pembagian ‘illat dilihat dari segi eksistensi
atau keberadaannya ini, baik dalam pemikiran ushul klasik maupun kontemporer,
sebetulnya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil, kecuali hanya perbedaan
istilah yang mereka gunakan. Diantara kalangan ulama ushul klasik dan
kontemporer terdapat kesamaan pandangan, dimana keberadaan ‘illat
dibedakan kepada ‘illat yang disebutkan langsung oleh nash yang dinamakan dengan ‘illat
manshûshah dan ‘illat yang tidak disebutkan langsung oleh nash yang
disebut dengan ‘illat mustanbathah, karena keberadaannya ditetapkan
berdasarkan tasyrî‘ ulama.
Terhadap
‘illat yang pertama, oleh Imam al-Ghazâlî, Abd al-Kâfî al-Subkî, Syaikh
Khudari Beik dan Abd al-Karîm Zaidân masing-masing menyebutnya dengan istilah ‘illat
naqlîyah, munâsib ya‘tabiruh al-Syari’ atau munâsib mu‘tabarah.
Istilah-istilah ini kemudian lebih populer dengan ‘illat manshûshah .(علة المنصوصة) Istilah yang disebut terakhir ini merupakan istilah yang
dipakai dalam buku-buku klasik diantaranya kitab Matan Jâmi‘ al-Jawâmi‘
karya Ibn al-Subkî[43]
dan buku Ushul Fiqh kontemporer, diantaranya dalam kitab Ta‘lîl al-Ahkâm
karya Muhammad Mushthafâ Syalabî[44]
dan dalam kitab Ushul Fiqh karya Abd al-Wahhâb Khallâf.[45]
Adapun
terhadap macam ‘illat kedua masing-masing mereka menyebutnya dengan
istilah tasyrî‘ al-‘illat, ‘adam i‘tibârih al-Syâri‘ atau dinamakan
dengan ‘illat mustanbathah. Akan
tetapi, macam ‘illat yang disebut terakhir ini -karena ketiadaan
pengakuan Syâri‘ atau tidak disebutkan langsung oleh Syâri‘ di
dalam nash- oleh Abd al-Wahhâb Khallâf,[46]
Abû Zahrah,[47]
Abd al-Karîm Zaidân[48]
dan Muhammad Mushthafâ Syalabî[49]
dibedakan kepada empat macam
yang mereka sebut dengan istilah
munâsib mu`astir (مـناسـب مؤثـر), munâsib
mulâ`im (مناسب ملا ئم), munâsib
mursal(مناسب مرسل) , munâsib mulghâh (مناسب
ملغاة )
Untuk
lebih jelasnya tentang ‘illat dilihat dari segi eksistensinya ini yang
dibedakan kepada ‘illat manshûshah dan ‘illat mustanbathah dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.‘Illat
dari segi eksistensinya
No
|
‘Illat
|
Keberadaan/Penetapannya
|
Bentuk/Sifatnya
|
1
|
Manshûshah
(منصوصة)
|
Ditetapkan
dengan nash
(ثابت
بالنص)
|
Sharîh
Zhahir
Isyarat
|
2
|
Mustanbathah
(مستنبطة)
|
Ditetapkan
dengan tasyrî‘ / ijtihad
(ثابت
بالإستنباط / الإجتهاد)
|
Munâsib
Mu`asstir
Munâsib
Mula`im
Munâsib
Mursal
Munâsib
Mulghâh
|
Dari
apa yang telah dikemukakan di atas, agaknya keberadaan ‘illat mustanbathah
dalam pandangan ulama ushul kontemporer dijelaskan lebih jelas dan tegas jika
dibandingkan dengan apa yang terdapat dalam pemikiran ushul klasik. Paling
tidak dalam pemikiran ushul kontemporer terdapat ketegasan bentuk hubungan
antara suatu ketentuan hukum dengan ‘illat yang mendasarinya, yaitu
dengan melihat munâsabah-nya, sekalipun tidak disebutkan oleh nash.
Selanjutnya,
tentang ‘illat mustanbathah -sebagaimana telah disebutkan sebelum
ini- diperlukan kejelian dan kecermatan dalam melihat apa yang menjadi alasan
ketetapan hukum syara‘, karena nash tidak menyebutkan dan tidak memberi isyarat
atau tidak ada tanda yang dapat dijadikan alasan yang melatar-belakangi
ketetapan hukum dimaksud.
Dalam
hubungan ini, contoh yang dapat diangkat ialah dimana dalam riwayat al-Bukhari[50]
diceritakan bahwa ada seorang laki-laki telah menyetubuhi isterinya pada siang
hari di bulan Ramadhan. Peristiwa ini dilaporkan kepada Nabi Saw. dan beliau
menetapkan hukuman kaffârat bagi laki-laki tersebut dengan memerdekakan
seorang budak (hamba sahaya), jika tidak ada budak, diwajibkan puasa dua bulan berturut-turut
dan jika tidak sanggup puasa dua bulan, maka hendaklah memberi makan enam puluh
orang fakir miskin.
Tidak
diragukan lagi bahwa setiap penetapan hukum akan selalu dikaitkan dengan ‘illat
yang melatarbelakanginya, tetapi dari kasus yang disebutkan ini tidak tampak
dengan jelas apa yang menjadi ‘illat-nya. Oleh karena itu, diperlukan tasyrî‘
dan ijtihad untuk mencari
kira-kira apa yang pantas untuk dijadikan sebagai ‘illat-nya. Setelah
diteliti secara cermat, ternyata ‘illat penetapan hukum kaffârat
itu adalah “menyetubuhi isteri di siang hari” pada bulan Ramadhan.[51]
Munculnya
penetapan hukum kaffârat bagi orang yang menyetubuhi isteri pada bulan
Ramadan adalah karena dilakukan di siang hari.
Sebab, jika tidak demikian tentu tidak ada ketentuan hukuman kaffârat
bagi laki-laki yang disebutkan dalam riwayat di atas. Artinya, jika seorang
laki-laki menyetubuhi isterinya pada malam hari di bulan Ramadhan tidak
dikenakan hukuman kaffârat.
Menurut
Muhammad Wafâ[52]
-dalam mengomentari kasus ini- bahwa hubungan “menyetubuhi isteri” dengan
“siang hari” pada bulan Ramadhan menunjukkan sifat (‘illat) yang
dijadikan sebagai alasan penetapan hukum kaffârat tersebut. Dalam kaitan
ini, memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Bagi
kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, sebagaimana dijelaskan oleh Zakî al-Dîn
Sya‘bân,[53]
bahwa ‘illat penetapan hukuman kaffârat adalah “sengaja”
membatalkan puasa pada bulan Ramadhan baik bersetubuh dengan isteri maupun
makan di siang hari, karena hal demikian menghilangkan kemuliaan (kehormatan)
bulan Ramadhan.
Akan
tetapi, kalangan Syafi‘iyah dan Hanabilah[54]
berpendapat bahwa penetapan kaffârat tersebut hanya berlaku bagi yang
sengaja menyetubuhi isterinya siang hari bulan Ramadhan saja, sebagaimana telah
disebutkan di atas. Karena itu, orang yang batal puasa karena makan dan minum
tidak dikenakan kaffârat.
Terlepas dari perbedaan yang
disebutkan ini, ternyata dari contoh yang telah dikemukakan di atas dapat
dipahami bahwa bagaimana posisi dan keberadaan ‘illat sebagai dasar penetapan
hukum baik ‘illat manshûshah maupun ‘illat mustanbathah.
Selanjutnya, mengenai ‘illat
dilihat dari segi penggunaannya menurut Alyasa Abubakar[55]
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: ‘illat tasyrî‘î (علة تشريعي) dan ‘illat qiyâsî (علة قياسي). Adapun istilah ‘illat tasyrî‘î
dan ‘illat qiyâsî tampaknya murni
hasil pemahaman dan internalisasi Alyasa Abubakar atas ‘illat hukum dari
segi penerapannya. Sebab bila ditelusuri dari berbagai literatur Ushul Fiqh
kita tidak menemukan pembagian ‘illat seperti yang dikemukakan oleh
Alyasa ini.
Dalam tulisannya berjudul
“Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya” dengan salah satu sub bahasan
yaitu, “Teori ‘Illat dan Penalaran Ta‘lîlî, Alyasa Abûbakar[56]
tidak menyebutkan secara tegas apa dasar pembagian ‘illat seperti
dikemukakan di atas. Namun, dapat dipahami bahwa pembagian ‘illat hukum
dari segi penerapan ini, agaknya dilatarbelakangi oleh pemahaman dan praktek
penggunaan ‘illat hukum di kalangan mujtahid.
Dalam kaitannya dengan
penerapan ‘illat hukum, dimana adakalanya ‘illat tersebut hanya
berlaku bagi suatu ketentuan hukum saja dan tidak dapat diperluas kepada
kasus-kasus lain. Inilah yang kemudian disebut oleh Alyasa Abubakar dengan ‘illat
tasyrî‘î. Selanjutnya ‘illat ini digolongkan kepada ‘illat qashîrah.
Bila suatu ‘illat hanya berlaku pada satu kasus hukum yang didasarinya
saja dan tidak dapat diperluas pada kasus-kasus lain, maka ‘illat
tersebut digolongkan kepada ‘illat qashîrah. Amir Syarifuddin[57]
menjelaskan bahwa ‘illat qashîrah, ialah ‘illat yang terbatas
pada wadah tertentu dan tidak mungkin berlaku ada wadah lain dan tidak dapat
dijadikan sebagai ‘illat hukum pokok (ashl). Tegasnya, ‘illat
qashîrah merupakan ‘illat
yang terbatas pada satu nash saja, dan tidak dapat diterapkan pada kasus-kasus
yang lain.
Menurut Alyasa Abubakar[58]
yang dimaksud dengan ‘illat tasyrî‘î ialah ‘illat yang digunakan
untuk mengetahui apakah suatu ketentuan hukum dapat terus berlaku atau sudah
sepantasnya berubah karena ‘illat yang mendasarinya telah berubah. Ketentuan
ini telah dirumuskan dalam sebuah kaidah kullîyah; “ada atau tidaknya
hukum tergantung (berputar) pada ‘illat-nya”.
Kaidah ini memberikan
pengertian bahwa adanya hukum karena adanya ‘illat dan hukum menjadi
tidak ada karena tidak ada ‘illat. Begitu pula, bila terjadi perubahan ‘illat
maka hukum akan mengalami perubahan.
Dalam perkembangan pemikiran
hukum Islam, ternyata kaidah kullîyah dalam aplikasinya telah diterapkan
dalam berbagai persoalan hukum. Dalam pandangan Alyasa Abubakar banyak ketentuan
Fiqh yang berubah dan berkembang berdasarkan azas ini. Perubahan ini dapat
dilihat dari dua segi:
Pertama,
pemahaman tentang ‘illat hukum memang telah berubah sesuai dengan
perkembangan pemahaman terhadap dalil nash yang menjadi landasannya. Alyasa Abûbakar
mengemukakan contoh, misalnya pemahaman tentang ‘illat zakat hasil
pertanian. Terhadap kasus ini yang bisa dipahami sebagai ‘illat-nya
ialah makanan pokok (الـقـوت)
yang dapat disimpan lama dan bisa ditakar. Untuk kasus ini tentu ‘illat-nya
hanya bisa berlaku terhadap hasil pertanian yang dikategorikan kepada makanan
pokok saja, dan tidak dapat menjangkau hasil-hasil pertanian yang lain yang
dalam kenyataannya jauh lebih produktif.
Penetapan ‘illat zakat
hasil pertanian berupa makanan pokok yang bisa disimpan lama dan bisa ditakar
itu adalah merupakan pemahaman ‘illat yang digunakan dalam praktek tasyrî‘
hukum selama ini. Pemahaman ‘illat seperti ini tentu dilatarbelakangi
oleh kondisi dan keadaan yang berkembang pada masa ini. Akan tetapi, sekarang
muncul pemahaman dan pendapat baru bahwa ‘illat itu adalah produktif (النماء). Dengan pemahaman ‘illat seperti ini, maka
tanaman-tanaman yang produktif -tidak terkecuali hanya tanaman yang menjadi
makanan pokok- wajib dikeluarkan zakatnya.
Dengan melihat perubahan
pemahaman ‘illat ini, maka jenis tananaman apa saja yang produktif, yang
diusahakan dan dikelola oleh petani akan dapat dikenakan zakatnya, karena
jangkauan dan sasaran penerapan ‘illat hukum lebih luas dan mencakup.
Dengan kata lain, mengubah pemahaman ‘illat dari arti semula kepada
pemahaman yang lebih luas, seperti pada kasus yang disebutkan ini, merupakan
lompatan dan perkembangan baru dalam pemikiran Ushul Fiqh.
Perubahan pemahaman ‘illat
seperti pandangan Alyasa Abubakar di atas, jelas dipengaruhi oleh perkembangan
dan pertumbuhan berbagai jenis usaha pertanian yang dikelola oleh manusia pada
masa modern sekarang ini, yang tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan
kondisi usaha pertanian yang dilakukan oleh masyarakat pada masa lampau.
Apalagi, budidaya berbagai
jenis usaha pertanian berkembang dengan pesatnya dan akan terus dikembangkan
secara lebih intensif dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dan dalam
kenyataannya, justeru model pertanian sekarang ini mampu mendatangkan income
(pendapatan) yang lebih besar.
Dapat dibayangkan
bahwa, jika pemahaman ‘illat masih seperti semula, bila dihadapkan
dengan berbagai jenis usaha pertanian yang berkembang seperti sekarang ini,
tentu tidak terkana kewajiban zakat. Hal ini memang menjadi perdebatan di
kalangan pakar Ushul Fiqh kontemporer dengan kalangan yang masih tetap
berpegang kepada pemahaman ‘illat seperti semula.
Kedua,
pemahaman ‘illat tetap seperti semula, tetapi maksud tersebut akan
tercapai lebih baik, sekiranya ketentuan hukum yang didasarkan atas ‘illat
tersebut yang diubah.[59]
Dengan kata lain, yang diubah adalah ketentuan penerapan hukumnya, sedangkan ‘illat-nya
tidak diubah.
Misalnya, berkenaan dengan
pembagian harta rampasan perang, baik harta bergerak maupun
tidak bergerak berupa tanah dan tanam-tanaman, yang disebut
dengan al-fay` (الفيئ) dan al-ghanîmah (الغـنيمة) [60] sebagaimana disebutkan dalam surat
al-Hasyr ayat 7 dan surat al-Anfâl ayat 41, yang pembagiannya dibagi
lima, yaitu:
مَا اَفَاءَ
اللهُ عَلَى رَسُوْلِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِيْ
الْقُرْبى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ كَيْ لاَيَكُوْنَ دُوْلَةً
بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ... (الحشر/۵۹:۷)
Apa
saja harta rampasan (al-fay`) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang
diperoleh dari berbagai penduduk negeri (kota), maka adalah untuk Allah dan
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang
kaya saja diantara kamu … (QS. Al-Hasyr/59:7)
Dan dalam surat al-Anfâl
disebutkan sebagai berikut:
وَاعْلَمُوْا أَنَّمَا
غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ لِلَّهِ خُمُسُهُ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَمَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ... (الأنفال/۸:٤۱)
Ketahuilah,
bahwa apa saja yang kamu peroleh dari harta rampasan perang, maka sesungguhnya
seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan) … (QS.
Al-Anfâl/8:14)
Dalam
prakteknya, baik al-fay` maupun al-ghanîmah, seperti disebutkan
dalam kedua ayat di atas, oleh
Rasulullah selalu dibagi-bagikan. Jika satu suku atau negeri tidak mau damai
dan menyerah, tetapi harus bertempur, maka tanah dan harta benda mereka disita
sebagai rampasan yang kemudian dibagi-bagikan kepada pasukan muslim. Maksudnya,
harta yang dibagi-bagikan kepada pasukan muslim yang bertempur itu adalah empat
perlimanya, sedangkan seperlimanya dibagikan kepada Allah dan Rasul-Nya,
kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibn sabil.
Praktek
pembagian seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw. ini dipahami berpijak pada ’illat
“agar harta rampasan perang tersebut“ tidak dimonopoli atau hanya bertumpuk dan
beredar pada orang-orang kaya saja. Praktek ini oleh kaum Muslimin dipandang
sebagai sunnah yang harus diikuti.
Akan
tetapi pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khattâb tidak demikian halnya, karena
umat Islam sudah tersebar luas dan penaklukan telah melebar ke berbagai daerah
yang berada di luar Jazirah Arab yang cakupannya lebih besar
dan lebih luas, jika dibandingkan dengan masa Nabi dan masa Abû Bakar al-Siddîq. Pada masa Umar, harta rampasan perang berupa
tanah pertanian yang luas dan subur, seperti yang terdapat di Irak tidak
dibagi-bagikan kepada para pasukan yang ikut perang, meskipun perang telah
selesai.
Dalam
pandangan Umar Ibn Khattâb bahwa jika harta rampasan perang tersebut
dibagi-bagikan, -sebagaimana praktek pada masa Nabi dan Abû Bakar- justeru akan
melahirkan orang-orang kaya baru dan hal seperti inilah yang tidak dibenarkan
atau dilarang oleh Alquran. Bagi Umar, seperti dijelaskan Alyasa Abubakar93,
tanah harus dikuasai oleh negara, tetapi disewakan kepada penduduk dan yang
dibagi adalah hasil sewanya kepada pihak yang tidak mampu dan pihak-pihak yang
memerlukan bantuan negara.
Di
sini terlihat dan diakui bahwa Umar telah melakukan dan mengambil kebijakan
yang berbeda dengan apa yang telah dipraktekkan oleh Nabi dan apa yang tertulis secara tekstual dalam Alquran.
Pembagian harta rampasan perang pada masa Nabi, sebetulnya juga menimbulkan
berbagai pandangan bahwa apakah pembagian tersebut merupakan sunnah yang harus
diikuti atau merupakan aturan yang berlaku pada masa itu saja.
Dalam
hubungan ini, Fazlur Rahman[61]
menegaskan bahwa pembagian harta rampasan perang seperti yang dipraktekkan oleh
Nabi, mungkin sekali sesuai dengan aturan perang yang berlaku pada masa itu dan
terdapat kemungkinan berubah sebagai akibat dari perkembangan masyarakat Islam,
seperti apa yang di lakukan oleh Umar ibn al-Khattâb.
Kebijakan Umar dalam pembagian
harta rampasan perang dengan aturan baru bukan berarti tidak menimbulkan
perdebatan dan tantangan dari sebagian sahabat lain. Mereka mendesak Umar agar
tanah rampasan perang dibagi menurut praktek semula seperti berlaku pada masa
Nabi dan Abû Bakar. Akan tetapi, masih ada sebagian sahabat lain yang mendukung
dan sama pendirian mereka dengan Umar ibn Khattâb.[62]
Berbagai kritik dan pandangan
yang muncul, pro dan kontra terhadap kebijakan Umar tentang pembagian harta
ini. Menurut Jalaluddin Rahmat[63]
paling tidak ada lima pandangan tentang ijtihad Umar. Pertama, Umar
tidak meninggalkan nash, apalagi mengganti atau menghapusnya. Kedua,
Umar meninggalkan zhahir nash dan berpegang kepada substansi (ruh) nash atau maqâshid
al-syarî‘ah. Ketiga, ijtihad Umar
berkenaan pada masalah-masalah qath‘îyah bukan bidang ijtihad, tetapi
diperbolehkan khusus untuk Umar. Keempat, Umar telah meninggalkan nash
yang sharîh, tetapi ijtihadnya tetap memperoleh satu pahala. Kelima,
Umar banyak melakukan pelanggaran terhadap nash yang qath‘î dan ini
terjadi karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan yang
bersangkutan.
Akan tetapi betulkah Umar
meninggalkan nash, melakukan kesalahan dan pelanggaran atau tidak mengerti
terhadap persoalan yang ia putuskan, padahal ia salah seorang sahabat yang
terkemuka yang cukup lama bergaul dengan Nabi, dimana kemampuan dan
pengetahuannya tidak diragukan lagi?
Dari berbagai sumber literatur
mengungkapkan bahwa kebijakan Umar tentang pembagian harta rampasan perang itu
tetap berpijak pada pemahaman ‘illat seperti semula, yaitu agar
harta rampasan tidak hanya “beredar di tangan orang-orang
kaya saja”, tetapi penerapannya yang diubah, karena menurut Umar cara
tersebutlah yang lebih tepat. Jika
demikian halnya, maka Umar tidak dapat dipandang sebagai orang yang telah
melakukan kesalahan atau meninggalkan nash yang sharîh, tetapi ia
menerapkan ruh syari‘at dengan melihat sasaran maksud syara‘, yaitu
dengan mengedepankan kemaslahatan.
Kemudian mengenai ‘illat
qiyâsî ialah ‘illat yang digunakan untuk mengetahui apakah
ketentuan yang berlaku terhadap sesuatu masalah yang dijelaskan oleh nash dapat
diberlakukan pada masalah lain (baru) yang tidak dijelaskan oleh nash karena
ada kesamaan ‘illat antara keduanya.[64].
Hal ini sesungguhnya terkait dengan ‘illat muta‘âdîyah. Yang
dimaksud dengan ‘illat muta‘âdîyah ialah ‘illat disamping
dapat ditemukan pada wadah yang menjadi tempat bertemunya hukum ashl,
juga dapat ditemukan di tempat lain.[65]
Artinya, ‘illat ini disamping berlaku pada hukum ashl, tetapi
juga dapat diterapkan pada kasus-kasus hukum lainnya.
Dalam teori qiyâsî,
salah satu unsur pokok atau rukunnya ialah adanya ‘illat. Pemahaman
tentang ‘illat qiyâsî ini ialah usaha mencari persamaan ‘illat
yang ada pada persoalan hukum yang disebutkan oleh nash dengan persoalan baru
yang tidak terdapat ketentuan hukumnya di dalam nash. Dengan kata lain, untuk
menetapkan dua persoalan dalam ketentuan hukum yang sama, di mana yang pertama
telah disebutkan oleh nash dan yang kedua tidak disebutkan oleh nash, maka
haruslah didasarkan pada kesamaan ‘illat.
Dasar kesamaan ini harus
dilihat pada sifat yang menjadi pautan hukum yang disebut oleh nash. Sebab
menurut Abd al-Wahhâb Khallâf,[66]
bahwa pada hakikatnya ‘illat qiyâsî itu merupakan sifat yang
menjadi dasar penetapan hukum di dalam nash dan atas dasar sifat itu pula ditetapkan
atau diberlakukan ketentuan hukum yang sama pada persoalan lain (baru) yang
tidak disebutkan oleh nash. Dalam
pandangan Imam al-Juwainî[67]
(W. 478) disebut dengan istilah qiyâs al-‘illat (قياس
العلة) yaitu mencari persamaan ‘illat
yang disebutkan oleh nash di tempat lain, yaitu dalam persoalan yang tidak
disebutkan oleh nash (فى غير واقع الـنص).
Dalam ketentuan qiyâs
bahwa antara ‘illat yang mendasari ketentuan hukum pada al-ashl (pokok)
yang disebutkan nash dan pada al-far‘u (cabang) yang tidak disebutkan
oleh nash terdapat kesamaan, sehingga keduanya berlaku ketentuan hukum yang
sama.
Menurut Zakî al-Dîn Sya‘bân[68]
hal yang paling mendasar tentang ‘illat qiyâs itu ialah ‘illat
yang tidak hanya terdapat pada hukum asal (yang disebut oleh nash), tetapi
harus juga ditemukan di tempat lain (cabang) sehingga keduanya dapat disamakan
ketentuan hukumnya. Sebab, lanjut Zakî al-Dîn Sya‘bân[69]
لأَنَّ الْقِيَاسَ
لاَ بُدَّ فِيْهِ مِنِ اشْتِرَاكِ الأَصْلِ وَالْفَرْعِ فِي عِلَّةِ الْحُكْمِ
Maksudnya qiyâs itu
antara pokok (al-ashl) dan cabang (al-far‘u) dapat disatukan karena kesamaan ‘illat hukum
Oleh karena itu, ‘illat
hukum yang terdapat pada pokok (al-ashl)
akan menjadi ukuran atau standar bagi cabang (masalah baru), dimana cabang akan
mengacu kepada ketentuan hukum yang terdapat pada pokok.
Dalam hubungan ini Abd
al-Wahhâb Khallâf[70]
memberikan contoh dengan ‘illat iskar
(اسكار), yaitu “memabukkan” yang merupakan sifat yang menjadi dasar
pengharaman khamar yang disebutkan di dalam nash. Atas dasar ini, maka
diberlakukanlah ketentuan hukum yang sama terhadap jenis minuman yang
mengandung sifat atau unsur yang memabukkan tersebut. Dari sini jelas bahwa ‘illat
dilihat dari segi penggunaan dan penerapannya tidak saja dipakai untuk
kepentingan qiyâs semata, tetapi ia juga untuk menetapkan hukum di
luar qiyâs, yaitu apa yang disebut
dengan istilah ‘illat tasyrî‘î (علة
تشر يعى).
Selanjutnya
sebelum berbicara tentang persyaratan ‘illat maka pada bagian ini
dipandang perlu menjelaskan apa yang disebut dengan ‘illat qashîrah dan ‘illat
muta‘âdîyah. Menurut Zakî al-Dîn Sya‘bân, bahwa yang dimaksud dengan ‘illat
qashîrah ialah ‘illat yang hanya terdapat pada suatu ketetapan
hukum syara‘ yang tidak bisa diperluas penerapannya kepada masalah lain yang
belum ada ketentuan hukumnya dalam rangka pemberlakuan qiyâs.
Contoh
kasus untuk ‘illat qashîrah ini adalah berkenaan dengan kebolehan
mengqasar shalat bagi musafir yang sedang dalam perjalanan. Hikmahnya adalah
untuk menghilangkan kesulitan dan meringankan beban bagi hamba (manusia). Akan
tetapi Syâri‘ (Allah) mengaitkan penetapan hukum (‘illat) dengan safar.
Allah berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ
فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ
خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ... (النساء/٤:۱۰١)
Dan
jika kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasar shalat
(mu), jika kamu takut di serang oleh orang-orang kafir... (QS. Al-Nisâ`/4:101)
Ayat
ini menunjukkan bahwa safar (berpergian) merupakan ‘illat
bolehnya meng-qashar shalat, dan safar itu sendiri merupakan ‘illat
qashîrah yang tidak dapat diberlakukan kepada kasus lain; mengqiyaskannya
kepada orang-orang yang bekerja berat. Kemudian, yang dimaksud dengan ‘illat
muta‘âdîyah ialah ‘illat yang terdapat pada hukum ashl dapat
direntangkan atau diberlakukan kepada kasus lain.[71] ‘Illat ini juga disebut dengan ‘illat qiyâsî.
Misalnya, ‘illat “menyakiti” pada ucapan ‘uff”, yaitu berkata
kasar kepada orang tua yang haram hukumnya dapat pula ditemukan pada perbuatan
atau ucapan lain yang dapat menyakiti orang tua, seperti memukul dan atau
menghardik mereka.
C. Syarat-syarat‘Illat
hukum
Yang dimaksud dengan
syarat-syarat disini ialah ketentuan-ketentuan yang mengikat keabsahan suatu ‘illat
hukum. Dengan kata lain, suatu ‘illat dapat diterima atau dijadikan
sebagai dasar atau pijakan dalam penetapan hukum bila telah memenuhi sejumlah
persyaratan dan kriteria yang sudah ditentukan. Syarat-syarat ‘illat
yang ditetapkan ini, sesungguhnya, akan terkait dengan kepentingan pelaksanaan qiyâs.
Demikian pula, penetapan
persyaratan ‘illat ini akan berhubungan pula dengan keabsahan dan eksistensinya
sebagai dasar dalam penetapan hukum syara‘. Bila suatu ‘illat tidak
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, maka ia tidak dapat dijadikan
sebagai dasar dalam penetapan hukum qiyâs.
Atas dasar ini para ulama
ushul[72]
berpendapat bahwa penetapan syarat bagi ‘illat hukum merupakan sesuatu
yang mutlaq. Dalam penentuan syarat-syarat bagi ‘illat hukum ini, di
kalangan ulama ushul, baik klasik maupun kontemporer terdapat keragaman satu
sama lainnya. Keragaman perbedaan ini
terlihat bukan saja diantara pemikiran Ushul Fiqh klasik dan kontemporer,
tetapi juga dalam pemikiran ushul klasik terdapat perbedaan.
Imam al-Ghazâlî[73]
misalnya, dalam kitab al-Mustashfâ menetapkan delapan syarat bagi suatu ‘illat
hukum, Imam ibn al-Subkî[74]
dalam kitab Matan Jâmi‘ al-Jawâmi‘ menyebutkan sepuluh, dan Imam
al-Syaukânî ((W. 1255 H)[75]
dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl menyebutkan dua puluh empat syarat.
Kemudian, dalam pemikiran
Ushul Fiqh kontemporer, penetapan syarat ‘illat lebih sederhana, simple
dan lebih aplikatif. Para pakar Ushul Fiqh kontemporer, seperti, Abd al-Wahhâb
Khallâf, Zakî al-Dîn Sya‘bân dan Ali Hasaballah menyebutkan empat syarat bagi
suatu ‘illat hukum.[76]
Akan tetapi, Imam Abû Zahrah, Abd al-Karîm Zaidân dan Mushthafâ Syalabî[77]
yang juga pakar Ushul Fiqh kontemporer masing-masing menetapkan lima syarat ‘illat
dan Syekh Khudari Beik[78]
menetapkan delapan syarat.
Dari perbedaan dan
keragaman syarat ‘illat yang
ditetapkan para ulama ushul baik klasik maupun kontemporer, ada sejumlah syarat
yang mereka sepakati. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, ‘Illat
hendaklah berupa sifat yang jelas, dapat ditangkap oleh indera dan akal
pikiran. Artinya dapat diterima secara logis. Misalnya ‘illat memabukkan
(iskâr) yang dapat diketahui dengan jelas pada khamar. Jika dalam
hubungannya dengan qiyâs, maka ‘illat “memabukkan” pada khamar
sebagai pokok (al-ashl) harus dapat dipastikan secara jelas
keberadaannya pada persoalan lain sebagai cabang. Menurut ibn al-Subkî[79]
sifat yang jelas di sini maksudnya ialah dapat dipastikan wujudnya. Sifat yang
jelas ini oleh Abd al-Wahhâb Khallâf[80]
disebut dengan ungkapan:
أَنْ تَكُوْنَ
الْعِلَّةُ وَصْفًا ظَاهِرًا
Kedua, ‘Illat hendaklah
berupa sifat yang pasti (dhâbith). Zakî
al-Dîn Sya‘bân menyebutnya dengan istilah:
أَنْ تَكُوْنَ
الْعِلَّةُ وَصْفًا مُنْضَبِطًا
Sifat
‘illat yang pasti dan akurat di sini maksudnya, ialah relatif dapat
diukur dan kepastiannya dapat dilihat pada cabang. Karena prinsip pokok dalam qiyâs
adalah menyamakan cabang (al-far‘u) dengan pokok (al-ashl).
Sebagai contoh, tidak boleh menjadikan masyaqqat (kesulitan) sebagai ‘illat atas
bolehnya berbuka (افطار) bagi musafir pada bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan masyaqqat
merupakan perkara yang tidak dapat dipastikan dan tidak sama antara satu dengan
yang lainnya diantara musafir. Oleh karena itu ‘illat boleh berbuka
bagi musafir pada bulan Ramadhan adalah safar
(berpergian) itu sendiri. Sebab kalau bukan karena safar tentu tidak boleh
(dilarang) berbuka puasa pada bulan Ramadhan.
Ketiga,
أَنْ تَكُوْنَ
الْعِلَّةُ وَصْفًا مُنَاسِبًا
‘Illat hendaklah berupa sifat yang serasi dan pantas
Maksudnya bahwa ‘illat
itu tidak hanya sesuatu yang pantas dan cocok untuk mewujudkan hikmah yang
terkandung dari segi tujuan penetapan hukum, tetapi juga dari segi wujudnya
memang pantas sebagai alasan penetapan hukum (مناسبا
للحكم) sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh Syâri‘, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak
kemudharatan. Sebagai contoh, ‘illat memabukkan (iskâr) adalah
merupakan ‘illat yang pantas untuk pengharaman khamar. Sebab memabukkan
itu dapat merusak akal manusia. Oleh karena itu, pengharaman khamar itu
tujuannya tidak lain adalah untuk memelihara akal manusia.
Keempat,
أَنْ لاَ تَكُوْنَ
الْعِلَّةُ وَصْفًا قَاصِرًا عَلَى الأَصْلِ
’Illat tidak hanya terdapat pada pokok (al-ashl), tetapi
juga terdapat pada
cabang
Maksudnya, bahwa ‘illat
pada pokok dapat diberlakukan pada persoalan lain. Jika sekiranya ‘illat itu
hanya ada pada pokok saja, maka tidak dapat dijadikan sebagai tempat untuk
menyamakan persoalan lain.
Kelima,
‘Illat tidak boleh berlawanan atau menyalahi ketentuan hukum yang
ditetapkan oleh nash. Maksudnya ialah dalam penetapan suatu ‘illat hukum
tidak boleh menyalahi atau berlawanan dengan sesuatu ketentuan hukum yang pasti
di dalam nash. Contohnya, pandangan sebagian orang masa sekarang yang
menyamakan derajat laki-laki dan perempuan dijadikan ‘illat untuk
menyamakan hak kewarisan laki-laki dan perempuan.[81]
Keenam, ‘Illat tidak
boleh membatalkan hukum pokok. Maksudnya, penetapan suatu ‘illat hukum
tidak boleh mengubah dan membatalkan suatu ketentuan yang sudah pasti.
Ketujuh,‘Illat dalam
penetapannya tidak boleh sesudah hukum pokok. Maksudnya ‘illat merupakan
suatu sifat yang mendorong adanya hukum,
maka keberadaannya tidak boleh sesudah hukum. Imam Ibn al-Subkî[82]
menyebutnya dengan
istilah berikut ini:
أَنْ لاَ يَكُوْنَ ثُبُوْتُهَا مُتَأَخِّرًا
عَنْ ثُبُوْتِ الْحُكْمِ الأَصْلِى
Tujuh
syarat ‘illat yang dikemukakan di atas merupakan syarat-syarat yang
disepakati oleh ulama ushul baik klasik maupun komtemporer. Dengan kata lain,
bila ditelusuri secara mendalam persyaratan ‘illat yang telah ditetapkan
oleh ulama ushul baik klasik maupun kontemporer maka setidaknya terdapat tujuh
macam syarat yang disepakati oleh mereka.
Kemudian,
menyangkut tentang persyaratan ‘illat yang tidak disepakati dimana
antara ulama ushul baik klasik maupun komtemporer terdapat perbedaan. Dalam
pemikiran ushul fiqh klasik sendiri berbeda-beda. Perbedaan persyaratan ‘illat
ini terlihat dari segi jumlah persyaratan yang ditetapkan.
Dikalangan
ulama ushul klasik penetapan persyaratan ‘illat lebih ketat. Bila
dicermati secara kritis sebagian dari syarat-syarat itu sifatnya penegasan
saja, sehingga terkesan sangat ketat. Sebagai
contoh, tiga dari delapan syarat ‘illat yang
ditetapkan al-Ghazâlî[83]
yaitu: ‘illat yang tidak didukung dalil nash maka keabsahannya tidak
diterima, ‘illat yang hanya berdasarkan dalil akal tidak sah, dan ‘illat
tidak boleh menyalahi ijmâ‘, pada dasarnya mengandung esensi yang sama.
Demikian juga persyaratan ‘illat yang ditetapkan oleh ibn al-Subkî dalam
kitab Matan Jâmi‘ al-Jawâmi‘ dan al-Syaukânî dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl
yang boleh dikatakan sifatnya penegasan.
Berbeda
halnya dengan persyaratan ‘illat yang ditetapkan ulama ushul kontemporer
yang tampak lebih sederhana dan jumlahnya relatif lebih sedikit, tidak ketat
dan lebih aplikatif jika dibandingkan dengan
persyaratan ‘illat yang terdapat dalam pemikiran ushul klasik.
Kemudian,
dilihat sari segi urutannya, persyaratan ‘illat dalam pemikiran Ushul
kontemporer bersifat kumulatif dan tidak parsial. Kecuali, hanya Syaikh Khuduri
Beik yang menetapkan delapan syarat yang ternyata sebagian dari syarat-syarat
itu juga bersifat penjelasan dan penegasan dari syarat yang lainnya.
Adanya
usaha penyederhanaan bagi persyaratan ‘illat yang relatif jumlahnya
lebih sedikit, dan lebih aplikatif seperti terlihat dalam pemikiran ushul
kontemporer, menunjukkan adanya perkembangan baru, yang sedikit banyaknya akan
berpengaruh pada tasyrî‘ dan penetapan hukumnya. Paling tidak, dengan
penyederhanaan ini akan lebih memudahkan bagi seorang peneliti atau orang yang
akan menggali hukum Islam dalam menentukan ‘illat dari suatu ketentuan
hukum. Di samping itu, coraknya lebih operasional dan tata
urutannya saling terkait antara satu dengan lain.
Penyederhanaan
syarat ‘illat seperti terlihat dalam pemikiran ushul kontemporer
dirumuskan menjadi empat syarat, yaitu:
1.‘Illat
hendaklah merupakan sifat yang jelas (washfan zhâhiran).
2.
‘Illat hendaklah merupakan sifat pasti dan akurat (washfan
mundhabithan).
3.
‘Illat merupakan sifat yang serasi dan ada relevansinya dengan hukum
yang ditetapkan (washfan munâsiban).
4.
‘Illat bukan hanya sifat yang dapat berlaku pada pokok tetapi juga dapat
diberlakukan pada cabang (washfan muta‘âdîyan) serta ‘illat tidak
boleh bertentangan dengan nash adalah menggambarkan tata urutan persyaratan
yang sistematis.
Kemudian, apakah persyaratan
ini mencakup untuk ‘illat manshûshah dan mustanbathah? Kelihatannya,
baik pemikiran ushul klasik maupun kontemporer tidak menyatakan dengan tegas.
Akan tetapi dapat dipahami bahwa semua syarat ‘illat yang telah
ditetapkan itu mencakup untuk keduanya yaitu manshûshah dan mustanbathah. Begitu pula dari segi
penerapannya, syarat-syarat ini berlaku pula bagi ‘illat qiyâsî
dan ‘illat tasyrî‘î. Hanya saja khusus bagi ‘illat qiyâsî
harus terlihat dan dapat dibuktikan secara kongkrit unsur persamaan yang dapat
mempertautkan antara pokok dengan cabang.
Dengan kata lain, ‘illat yang terdapat pada hukum pokok harus
berupa sifat muta‘âdîyah dan bukan qashîrah.
Demikian juga halnya dengan ‘illat
tasyrî‘î yang pemahamannya ada atau tidak adanya ‘illat serta
apakah sudah sepantasnya ‘illat tersebut dirubah. Dan untuk aspek ini, akan terkait dengan syarat-syarat ‘illat,
berupa sifat yang jelas, akurat dan munâsabahnya. Artinya aspek ini lebih berorientasi dan mengacu kepada
maqâshid al-syarî‘ah (مــقاصــد الشـريعـة ) yaitu tujuan hukum. Hal inilah yang diungkapkan oleh Imam
al-Ghazâlî[84]
dalam kitab al-Mushtasfâ sebagai berikut:
اِنْتِفَاءُ الْعِلَّةِ
يُوْجِبُ انْتِفَاءَ الْحُكْمِ بَلْ لِأَنَّ الْحُكْمَ لاَ بُدَّ لَهُ مِنْ عِلَّةٍ,
فَإِذَا اتَّحَدَتِ الْعِلَّةُ وَانْتَفَتْ فَلَوْ بَقِيَ الْحُكْمُ لَكَانَ ثَابِتًا
بِغَيْرِ سَبَبٍ مَا حَيْثُ تَعَـدَّدَتِ الْعِلَّةُ فَلاَ يَلْزَمُ انْتِفَاءُ الْحُكْمِ
عِنْدَ انْتِفَاءِ بَعْضِ الْعِلَلِ بَلْ عِنْدَ انْتِفَاءِ جَمِيْعِهَا
Pandangan
al-Ghazâlî ini menunjukkan bahwa ‘illat-lah yang memastikan adanya
hukum, tetapi jika ‘illat terbatas, tidak ada atau terjadi perubahan
padanya, meskipun hukum ada, maka ketetapan itu merupakan sesuatu yang tidak
dapat dipahami alasannya. Adapun ketika terdapat sejumlah ‘illat (ada ‘illat),
maka tidak mesti ketiadaan hukum disebabkan ketiadaan ‘illat baik
sebagian maupun seluruhnya.
Pernyataan
al-Ghazâlî di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa adanya hukum karena
adanya ‘illat dan sebaliknya ketiadaan ‘illat maka hukum menjadi
tidak ada. Hal ini adalah suatu hal yang dapat dipahami secara logika. Akan
tetapi ketika dihadapkan dengan kenyataan suatu ketetapan hukum yang pasti
tetapi ‘illat dan sebabnya tidak dapat dipahami alasannya. Begitu pula
bahwa tidak ada hukum karena tidak ada ‘illat,
baik sebagian maupun seluruhnya.
Oleh
karena itu, penetapan syarat-syarat bagi suatu ‘illat sebagaimana telah
diungkapkan di atas bertujuan agar tidak menimbulkan ketidak-pastian dalam
hukum dan yang lebih penting lagi adalah tidak ada halangan yang menyebabkan ‘illat
pada suatu persoalan dalam nash tidak dapat diberlakukan pada persoalan baru.[85]
Dari
uraian di atas, ternyata antara pemikiran ushul klasik dan kontemporer tentang
persyaratan ini, dilihat dari segi jumlahnya terdapat perbedaan. Namun demikian
terdapat kesamaan pandangan bahwa penetapan syarat-syarat bagi ‘illat sesuatu yang penting dan
tidak dapat diabaikan. Hanya bedanya, kalangan pemikiran ushul klasik lebih
ketat dan terkesan kaku sedangkan pemikiran ushul kontemporer lebih sederhana
dan tidak ketat dan malah lebih aplikatif dan akomodatif.
1 Luis Ma`lûf, al-Munjid fî
al-Lughat wa al-Adâb wa al-Ulûm (Beirut: al-Matba‘at al-Katsûlikîyah,
1956), h. 523.
2 Muhammad al-Jurjânî, Kitâb al-Ta‘rîfât, ( Singapore-Jeddah:
tt), h. 154.
3 Ajjâj al-Khatîb, Ushûl
al-Hadîst terj. H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Lansyafiq (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998), h. 363-364
4 Al-Ghazâlî, Al-Mustasfâ, h. 395.
5 Al-Ghazali, al-Mustasfâ, h. 395.
7
Abd al-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj,
h. 39-40.
8
Abd l-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj Fî ¡yarh al-Minhâj, h, 39-40.
9
Abd al-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj Fî Syarh al-Minhâj, h, 39-40.
10 Ibn al-Subkî, Syarh
Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘, jil. II, (Indonesia: Maktabat Dâr Ihyâ`, t.t), h.
231.
11 Ibn al-Subkî, Syarh Matn
Jam’I al-Jawâmi’, jil. II. H. 231.
12 Lihat: Abû Hâmid
al-Ghazâlî, Al-Mushtasfâ, h. 399, 433, dan Muhammad Mushthafâ
Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm (Beirut:
Dâr al-Nahdhat al-Arabîyah, 1981), h. 115.
13 Ibn al-Subkî, Syarh
Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘,h. 231.
14 Al-Ghazâlî, Al-Mushtasfâ, h. 436.
Perintah untuk mengulangi wuduk karena menyentuh kemaluan ini didasarkan pada hadis
yang berasal dari Burrah. Hadis ini
menjelaskan: barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwuduk
kembali " من مـسّ ذ كره قـلـيـتوضـأ
".
Hadis ini dan penjelasannya dapat dilihat dalam: al-San‘ânî, Subul
al-Salâm, h. 67-68.
15 Muhammad Mushthafâ
Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm,
h. 117.
16 Abû Yahyâ Zakarîya
al-Anshârî, Ghâyat al-Wushûl: Syarh Lubb al-Uhul (Surabaya: t.pn, t.t),
h. 144.
17 Muhammad al-Jurjânî, Kitâb al-Ta‘rîfât, h. 154.
18 Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm
Ushûl al-Fiqh, h. 63-64
19 Shâdiq Hasan Khan, Mukhtashar
Hushûl al-Ma‘mûl Min ‘Ilm al-Ushûl (Kairo: Dâr al- Shahwah, 1403), h.
106-108.
20 Muhammad Abû Zahrah, Ushûl
al-Fiqh, h. 237.
21 Muhammad Abu Zahrah, Ushûl
al-Fiqh, h. 237.
22 Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl
al- Fiqh al-Islâmî, h. 131-132.
[1]
Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 49-50.
[2]
Abd al-Wahab Khalaf, Mashâdir alTasyrî’ al-Islâmi, h. 49-50.
[3]
Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 65.
[4]
Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, h. 201-202.
[5]
Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 67-68.
[6] Ahmad Hasan, Analogical
Reasoning In Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute
Press, 1986), h. 175-176.
[7] Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm
Ushûl al-Fiqh, h. 67-68.
[8]
Contoh ini termuat dalam QS. al-Baqarah/2:185.
[9]
Abd al-Wahâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 68.
[10]
Abd al-Wahâb Khalaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh. h. 68.
[11]
Abd al-Wahâb Khalaf.’Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 68.
[12]
Abd al-Wahâb Khalaf.’Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 37-38.
[13]
Abd al-Wahâb Khalaf.’Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 73.
[14]
Lihat: QS. al-Nisâ`/4:135
[15]
Abd al-Fattâh Muhammad Abû al-‘Inain, al-Qadhâ wa al-Istbât fî al-Fiqh al-Islâmî
(Kairo: t.pn, 1983), h. 121
[16]
Muhammad Mustafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm,
h. 75.
[17]
Muhammad Mustafâ Syalabî, Ta’lîl al-Ahkâm, h. 75.
[18] Teks hadis tersebut berbunyi:
وعن عبا دة بن الصا مت رضى الله عـنه قال،
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الذ هب بالذ هب والفـضة با لفضة والبربالبر
والـشـعـيـر با لشعير والتـمربالتمروالملح بالملح مثلا بمـثـل سواء يدا بيد فاذا
اخـتـلـفـت هـذه الاصنا ف فـبـيعـوا كيف شـئـتـم
اذا كا ن يدا بيد (رواه مسلم) .
Lihat,
Sahih Muslim Juz III, (Indonesia: Maktabah Dahlan,tt), h. 1211; Lihat pula
dalam al-Shan‘ânî, Subul al-Salâm, 37-38.
[19] Mushthafâ Said al-Khind, Asr
al-Ikhtilâf, h. 493-494.
[20] Musthafa Said al-Khind, Asr al-Ikhtilâf, h.493-494.
[21] Musthafa Said al-Khind, Asr al-Ikhtilâf, h.
496-497.
[22]
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Dalam Islam (Bandung: CV Diponegoro,
1984), h. 176-180.
[23]
Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah jil. III (Beirut: Dâar al-Kitâb al-Arabî,
1973), h. 378.
[24]
Al-Sya‘rânî, al-Mizân al-Qubrâ jil. II (Kairo: Dâr al-Fikr li al-Tibâ‘ah
wa al-Nasyr, t.t), h. 170.
[25]
Mushthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 130.
[26]
Musthafa Syalabi, Ta’lîl al-Ahkâm, h. 131.
[27]
Musthafa Syalabi, Ta’lîl al-Ahkâm, h.
133.
[28]
Musthafa Syalabi, Ta’lîl al-Ahkâm, h. 133.
[29]
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih, h. 79-140. Lihat pula: Johanes den Heyer,
Islam, Negara dan Hukum, terj. Syamsul Anwar (Jakarta: INIS, 1993), h.
20-33, Yûsuf al-Qardhâwî, Masalah–masalah Islam Kontemporer, terj.
Muhammad Ichsan (Jakarta: Megah Press, 1994), h. 162-186, Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Presindo, 1992), h. 113-172.
[30]
Yûsuf al-Qardhâwî, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, terj. Said Agil
Husen al-Munawar (Semarang: Bina Utama, 1993), h. 9-10.
[31]
Al-Ghazâlî, Al-Mushtasfâ, h. 425-435.
[32]
Abd al-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj, h. 60.
[33]
Ibn al-Subkî, Syarh Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘, h. 245-253.
[34]
Ibn al-Subkî, Syarh Matan Jam’î al-Jawâmi, h. 245252.
[35]
Muhammad Mushthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 64-65
[36]
Syekh Khudari Beik memberi komentar terhadap ketiga macam ‘illat ini.
Menurutnya, ‘illat yang disebut dalam kategori pertama adalah berkaitan
dengan tujuan Syâri‘ dalam pensyariatan hukum; yaitu akan bermuara pada
tiga kepentingan yakni kepentingan yang sifatnya dharûrî, hajjiyi dan takmîlî.
Adapun yang kedua, seperti ditegaskan oleh Khudari Beik adalah bahwa hukum
dibina berdasarkan ‘illat agar dapat membawa kepada kemaslahatan,
terhindar dari kerusakan. Ketiga ialah ‘illat yang terlihat adanya sifat
yang dijelaskan Syari’ bersamaan
dengan suatu ketetapan hukum, baik secara sharîh maupun tidak.
Lihat: Muhammad Khudharî Beik, Ushûl al-Fiqh, h. 299-309.
[37]
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 241-243, Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir
al-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 52-56, Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl
al-Fiqh, h. 207-210.
[38]
Abu Zahrah menjelaskan, jika nash tidak menyebutkan suatu ‘illat secara
jelas dan telah pula terikat adanya syarat atau indikator yang melatarbelakangi
suatu ketentuan hukum, maka jalan yang harus ditempuh ialah lewat ijtihad atau istinbâth
dengan mencari dan mengalisa berbagai kemungkinan sifat yang paling pantas terdapat keserasian untuk dijelaskan ‘illat
bagi suatu ketentuan hokum. Lihat: Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h.
245.
[39]
Musthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 240.
[40]
Musthafa Syalabi, Ta’lîl al-Ahkâm,
h. 230.
[41]
Musthafa Syalabi, Ta’lîl al-Ahkâm, h. 230.
[42]
Musthafa Ayalabi. Ta’lîl al-Ahkâm h. 230.,
[43]
Ibn al-Subkî, Matan Jâmi‘ al-Jawâmi‘, h. 231.
[44]
Muhammad Mushthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 189-198.
[45]
Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 75.
[46]
Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 71-75
[47]
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 241-243
[48]
Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, h. 207-210.
[49]
Muhammad Mushthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 250
[50]
Dalam versi lain laki-laki itu sendiri yang melapor dan menghadap Nabi bahwa ia
telah menyetubuhi isterinya di siang hari pada bulan Ramadhan, lalu Nabi
menyuruhnya memerdekakan budak (hamba sahaya) dan seterusnya. Lihat, Muhammad
Wafâ, Dilâlat al-Khithâb al-Syar‘î ‘ala Hukm al-Manthûq wa al-Mafhûm (Kairo:
Dâr al-Tibâ‘ah al-Muhammadîyah, 1981), h. 6; Muhammad Abû Zahrah, Ushûl
al-Fiqh, h. 245.
[51]
Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, h. 152
[52]
Muhammad Wafâ, Dilâlat al-Khithâb al-Syar‘î, h. 6.
[53]
Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, h. 152
[54]
Zakî al-Dîn Sya’bân. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, h. 152.
[55]Lihat:
Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h. 180-183 dan tesisnya
"Metode Istinbath Fiqih di Indonesia", h. 44-50.
[56]
Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h. 179
[57]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, h. 176.
[58]
Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h. 179.
[59]
Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h.172.
[60] Al-fay dengan al-ghanimah berbeda dari
segi memperolehnya; Al-fay’ diperoleh dari musuh tanpa perang, sedangkan
al-ghanimah diperoleh setelah terjadi peperangan. Dalam prakteknya,
keadaan pembagiannya adalah sama.
93 Alyasa Abubakar, Hukum
Islam di Indonesia, h. 181-183.
[61]
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas
Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1884), h. 271-272.
[62]
Amir Nuruddin, Ijtihad Umar al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum Dalam
Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 157.
[63] Jalaluddin
Rahmat, “Kontroversi Reaktualisasi Ijtihad Umar” dalam Polemik Reaktualisasi
Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 44-46.
[64]
Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h. 181-183.
[65]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, h. 176.
[66]
Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 63.
[67]
Imam al-Haramain al-Juwaini, al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh jil. II (Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmîyah, 1997), h. 23.
[68]
Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, h. 143.
[69]
Zakî al-Dîn Sya’bân, Ushûl al-Fiqh
al-Islâmî, h. 143.
[70]
Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh h. 63.
[71]
Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, h. 143-144.
[72]
Abû Hâmid al-Ghazâlî, Syifâ` al-Ghalîl fî Bayân wa Masâlik al-Ta‘lîl (Baghdad:
Matba‘ah al-Irsyad, 1971), h. 547-550.
[73]
Al-Ghazâlî, Al-Mushtasfâ, h. 463-477.
[74]
Ibn al-Subkî, Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘, h. 234-253.
[75]
Muhammad al-Syaukanî, Irsyâd al- Fuhûl, h. 207-209
[76]
Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 68-70, Zakî al-Dîn
Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, h. 141-143, dan Ali Hasab Allah, Ushûl
al-Tasyrî‘ al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1976), h. 147-151.
[77]
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 188-190, Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz
fî Ushûl al-Fiqh, h. 203-206 dan Muşthafâ Syallâbî, Ta‘lîl al-Ahkâm,
h. 154-199.
[78]
Muhammad Khudari Beik, Ushûl al-Fiqh, h. 319-325.
[79]
Ibn al-Subkî, Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘, h. 234-253.
[80]
Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 68-70
[81]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, h. 176-177.
[82]
Ibn al-Subkî, Matan Jam’i al–Jawâmi‘,
h. 234-253.
[83]
Romli SA, “Eksistensi Qiyâs Menurut
Al-Ghazali: Kajian Terhadap Kitab al-Mustashfâ” (Banda Aceh: tesis, 1994),
h. 79.
[84]
Al-Ghazâlî, Al-Mustasfâ, h. 463-477.
[85]
Alyasa Abubakar, “Beberapa Teori Penalaran Fiqih dan Penerapannya” dalam Hukum
Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung: PT. Rosdakarya, 1991),
h. 184.