TEORI ‘ILLAT HUKUM & PROSEDUR PENETAPANNYA

TEORI ‘ILLAT HUKUM & PROSEDUR PENETAPANNYA
Oleh: Ibnu Muchtar

 A. Pengertian ‘Illat
Untuk dapat memahami rumusan tentang teori ‘illat hukum ini, maka terlebih dahulu akan dikemukakan pengertiannya baik secara bahasa (etimologis) maupun secara istilah (terminologis). Secara etimologis kata ‘illat adalah bentuk mashdar yang berasal dari akar kata   عــل- يـعل- علةatau اعــتـل yang berarti sakit atau penyakit.1 Dalam dunia kedokteran sesuatu yang menyebabkan tubuh merasa sakit atau kesakitan disebut dengan ‘illat.
Al-Jurjânî2 dalam kitab al-Ta‘rifât menyebutkan bahwa ‘illat secara bahasa berarti sesuatu yang berada di suatu tempat, lalu diubahnya kondisi di tempat tersebut. Dan ‘illat itu dinamakan juga dengan penyakit karena ia mengubah kondisi fisik seseorang dari kuat menjadi lemah.
Dalam ilmu hadis, ‘illat dipandang sebagai sesuatu yang menyebabkan cacatnya suatu hadis. Dalam terminologi ahli hadis bahwa ‘illat itu merupakan sebab tersembunyi yang mengakibatkan cacatnya hadis, meskipun secara lahiriyah tampak terhindar dari cacat.3
Adapun secara terminologis ditemukan sejumlah definisi atau pengertian tentang ‘illat yang redaksionalnya berbeda antara satu dengan lainnya. Imam al-Ghazâlî misalnya, dalam kitab al-Mustashfâ menyebut ‘illat hukum itu dengan manâth al-hukm (مناط الحكم) yaitu pautan hukum.4 Selanjutnya al-Ghazâlî menjelaskan bahwa ‘illat dalam pengertian syar‘î adalah:
مَنَاطُ الْحُكْمِ أَيْ مَا أَضَافَ الشَّرْعُ الْحُكْمَ إِلَيْهِ وَنَاطَ بِهِ
"Pautan hukum atau tambatan hukum dimana Syâri‘ menggantungkan hukum dengannya"5
Pandangan Al-Ghazâlî ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh kalangan pengikut  Imam   Malik   yang  juga  mendefinisikan ‘illat hukum sebagai:
مَنَاطُ الْحُكْمِ الَّذِي أَضَافَ الشَّارِعُ إِلَيْهِ بِهِ
"Pautan hukum dimana Syâri‘ menghubungkan ketetapan hukum dengannya"6
Sementara itu kalangan Asy‘ari, seperti dijelaskan oleh Ahmad Abd al-Kâfî al-Subkî7 (W. 576 H) dalam kitabnya al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj, bahwa yang dimaksud dengan ‘illat hukum ialah al-mu‘arrif ((المعرف yaitu yang memberitahukan, al-‘alâmah (العلا مة) yaitu tanda,  indikator dan kadang-kadang ‘illat itu disebut juga dengan al-mu`atsir fî al-hukm (المؤثر في الحكم) yaitu yang mempengaruhi lahirnya ketetapan hukum. Istilah ini menurut al-Subkî8 adalah istilah yang digunakan oleh kalangan Mu‘tazilah. Kemudian, Imam al-Amidî dan Ibn Najîb, sebagaimana dijelaskan oleh al-Subkî9, lebih suka menggunakan istilah al-ba‘its (الباعث) yang berarti pendorong lahirnya hukum syara‘.
Ibn al-Subkî10 dalam kitab Matan Jâmi‘ al-Jawâmi‘ menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘illat hukum ialah "yang memberitahu atau suatu tanda dan petunjuk bagi adanya ketetapan hukum" (المعرف أي العلامة والامارة للحكم) . Untuk memperjelas pengertian definisi ini Ibn al-Subkî mengemukakan suatu contoh, yaitu mabuk (سكار) sebagai alasan atau dasar diharamkannya khamar. Menurutnya “mabuk” adalah merupakan ‘illat yang memberitahukan atau merupakan tanda dan sesuatu yang memberi petunjuk diharamkannya khamar atau nabiz.11
Kemudian,  al-Ghazâlî (W. 505 H)  sendiri kadang-kadang menyebut ’illat -- selain   dari   apa  yang  telah dikemukakan di atas dengan al-mu`asstir  (المؤ ثر) yaitu yang membawa  pengaruh dan al-‘alâmah  ( العلا مة ), yang berarti suatu tanda atau indikator.12 Sebetulnya apa yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî ini pada prinsipnya tidak berbeda dengan ibn al-Subkî, yang juga berpendapat bahwa ‘illat itu merupakan tanda ditetapkannya suatu ketentuan hukum.13
Dalam hubungan ini al-Ghazâlî mengemukakan argumentasinya dengan memberikan contoh tentang menyentuh (المس) kemaluan yang menyebabkan batalnya wudu. Menurut al-Ghazâlî14 bahwa menyentuh ( المسّ ) kemaluan adalah merupakan ‘illat yang mempengaruhi atau suatu indikator atau tanda adanya  kewajiban untuk mengulangi wudu. Sebab, jika tidak karena menyentuh kemaluan, tentu tidak ada perintah yang menuntut untuk mengulangi berwudu kembali. Dapat ditegaskan bahwa perbuatan atau tindakan menyentuh kemaluan inilah yang menjadi pertanda atau indikator batalnya wudu sehingga wudu harus diulangi kembali.
Selanjutnya, al-Amidî dan ibn al-Hajîb, sebagaimana disebutkan oleh Mushthafâ Syalabî15 dalam  bukunya,  Ta‘lîl al-Ahkâm,  mengartikan ‘illat  hukum  sebagai:
الْبَاعِثُ وَالدَّاعِيْ لِشَرْعِ الْحُكْمِ
Yang dimaksudkan oleh al-Amidî dan ibn Hajîb dengan istilah ini ialah bahwa ‘illat hukum itu merupakan motif atau pendorong (al-bâ‘its) dan sesuatu yang menuntut (al-dâ‘î) adanya persyariatan  hukum syara‘, yaitu  menciptakan maslahat dan menolak mudharat dalam kehidupan manusia.
Di samping itu, al-Anshârî16 menjelaskan bahwa yang disebut dengan ‘illat hukum ialah:
الْمُعَرِّفُ وَقِيْلَ الْمُؤْثِرُ أَوِ الْبَاعِثُ لِلْمُكَلَّفِ وَرَافِعُهُ أَوْ دَافِعُهُ لِلْحُكْمِ
Maksudnya, ‘illat merupakan sesuatu yang memberitahukan atau yang mempengaruhi, mendorong serta memunculkan penetapan hukum bagi orang mukallaf. Definisi yang dikemukakan oleh Anshârî ini, secara substansial tidak berbeda dengan definisi yang disebutkan oleh al-Amidî dan ibn Hajîb di atas, tetapi secara redaksional terdapat tambahan ungkapan bahwa penetapan hukum itu ada kaitannya dengan taklif kepada orang mukallaf.
Kemudian, selain dari apa yang telah dikemukakan di atas, ada lagi istilah yang digunakan untuk menyebut ‘illat hukum ini. al-Jurjânî17  misalnya menyebutkan bahwa yang disebut dengan ‘illat ialah: "عبارة عما يجب الحكم به معه"  yaitu sesuatu yang mengharuskan adanya ketetapan hukum.
Definisi yang dikemukakan oleh al-Jurjânî ini agaknya dapat menimbulkan salah paham bagi orang yang tidak memahami esensi ‘illat hukum. Esensi ‘illat dalam perspektif Ushul Fiqh adalah bahwa suatu ketentuan hukum didasari oleh apa yang menjadi alasan penetapannya.18 Oleh karena itu, definisi ‘illat yang dikemukakan oleh al-Jurjânî di atas harus dipahami dalam pengertian yang disebut terakhir ini.
Selanjutnya, Shâdiq Hasan Khan19  dalam bukunya Mukhtashar Hushûl al-Ma‘mûl  min ‘Ilm  al-Ushûl menjelaskan bahwa  memang terdapat sejumlah sebutan tentang ‘illat ini. Sebutan-sebutan atas ‘illat itu adalah yaitu:السبب  (sebab), الأمارة (tanda, petunjuk), الداعي (yang mendorong, yang menuntut),المستدعي  (yang menghendaki), الباعث (yang menjadi motif), الحامل (sesuatu menghendaki), المناط (yang menjadi pautan), الدليل (yang menjadi petunjuk), المقتضي (yang menentukan), الموجب (yang mengharuskan) dan المؤثر (yang mempengaruhi).
Kesemua sebutan atau nama untuk ‘illat ini -meskipun satu sama lainnya  berbeda-beda penyebutannya- secara substansial mengacu kepada satu pandangan bahwa tidak ada suatu ketetapan hukum yang tidak didasari oleh ‘illat. Artinya, suatu ketentuan hukum yang disyariatkan tentu ada yang mendorong, mempengaruhi, menghendaki dan memunculkannya, yakni apa yang disebut dengan ‘illat.  Sebab, jika tidak demikian, tentu hukum tidak perlu disyariatkan.
Istilah atau penyebutan ‘illat hukum seperti telah dikemukakan di atas umumnya banyak ditemukan dalam buku-buku teks Ushul Fiqh yang lahir pada masa klasik dan pertengahan. Namun demikian, apa yang dirumuskan para ulama ushul pada periode ini adalah merupakan kerangka dasar yang amat penting dalam usaha melahirkan rumusan teori ‘illat hukum.  Kerangka dasar pemikiran ini mempunyai  nilai dan pengaruh yang amat penting dalam pengembangan dan aplikasi teori dari ‘illat hukum pada masa berikutnya.
Masalah ‘illat hukum pada periode klasik belum menggambarkan sebuah teori yang komprehensif dan menyeluruh. Sifatnya baru memberikan konsep-konsep dasar yang selanjutnya pengembangannya terlihat dalam pemikiran ushul fiqh kontemporer pada masa berikutnya.
Dalam pemikiran Ushul Fiqh kontemporer (periode modern) ‘illat hukum dirumuskan sebagai suatu teori yang jelas dan tegas. Muhammad Abû Zahrah20, misalnya, dalam bukunya Ushûl Fiqh, menyebutkan definisi ‘illat sebagai berikut:
الْعِلَّةُ بِأَنَّهَا الوَصْفُ الظَّاهِرُ المُنْضَبِطُ المُنَاسِبُ لِلْحُكْمِ
‘Illat ialah suatu sifat atau keadaan yang jelas, pasti, lagi serasi sebagai (dasar) penetapan hukum.
Untuk memperjelas pengertian ‘illat di atas, Abû Zahrah mengemukakan sebuah contoh, yaitu tentang pengharaman khamar yang ‘illat-nya memabukkan yang disebut  dengan Iskâr.21  ‘Illat  “memabukkan”  adalah suatu sifat atau keadaan yang jelas dan tegas yang dapat dibuktikan secara kongkrit serta ternyata memang pantas, serasi dan sangat tepat untuk dijadikan sebagai dasar pensyariatan hukum untuk pengharaman khamar.
Kemudian Zakî al-Dîn Sya‘bân22 memberikan pengertian ‘illat tersebut dengan berpijak pada tiga unsur pokok sebagai berikut:
Pertama, disebut dengan:المعنى المناسب لتشريع الحكم , maksudnya suatu yang serasi (pantas) untuk dijadikan alasan bagi persyariatan hukum. Sebagai contoh kesulitan (المشقة) ketika dalam perjalanan (safar) adalah merupakan alasan yang sangat tepat dibolehkannya tidak shaum pada bulan Ramadhan bagi seorang musafir.
Kedua, disebut dengan: الثمرة أو المصلحة التي تترتب على تشريع الحكم, maksudnya bahwa ‘illat dikaitkan dengan tujuan pensyariatan hukum yaitu untuk merealisir atau mewujudkan kemaslahatan, seperti menghilangkan kesulitan dan kesusahan, sehingga dibolehkan tidak shaum bagi musafir yang mengadakan perjalanan pada bulan Ramadhan.  
Ketiga, disebut dengan:الوصف الظاهر المنضبط الذي يشتمل على المعنى المناسب للحكم, yaitu suatu sifat yang jelas dan pasti yang pantas untuk dijadikan sebagai alasan dalam penetapan hukum.
Selanjutnya, Abd al-Wahhâb Khallâf[1] dalam bukunya Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî fî mâ lâ Nashsh fîh menjelaskan bahwa secara bahasa  ‘illat  disebut dengan  rabth al-hukm       (ربط الحكم) atau irtibâth  al-ahkâm (ارتباط الأحكام) yang berarti tambatan atau pautan hukum.
Adapun secara istilah, menurut Abd al-Wahhâb Khallâf[2] ‘illat adalah:
الأَمْرُ الظَّاهِرُ الَّذِي رَبَطَ بِهِ الشَّارِعُ الحُكْمَ وَبَنَاهُ عَلَيْهِ لِأَنَّ مِنْ شَأْنِ رَبْطِهِ بِهِ وَبِنَائِهِ عَلَيْهِ تَحْقِيْقُ حِكْمَةِ الحُكْمِ
‘Illat itu merupakan sesuatu yang jelas yang dijadikan oleh Syâri‘ sebagai tambatan hukum yang tujuannya adalah untuk merealisir hikmah yang terkandung dalam ketetapan hukum tersebut.
Dalam ungkapan lain Khallâf[3] menyebut ‘illat sebagai berikut:
وَأَمَّا عِلَّةُ الحُكْمِ فَهِيَ الأَمْرُ الظَّاهِرُ المُنْضَبِطُ الَّذِي بُنِيَ الحُكْمُ عَلَيْهِ وَرُبِطَ بِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Adapun yang disebut dengan ‘illat itu ialah sesuatu yang jelas dan akurat (teratur) yang dapat dijadikan dasar penetapan hukum dan tambatan hukum karena ada atau tidaknya ‘illat tersebut.
Khallâf memberikan contoh dengan kebolehan meng-qashar shalat bagi musafir. Adanya ketetapan hukum tentang bolehnya meng-qashar shalat bagi musafir ‘illat-nya adalah safar (bepergian) itu sendiri. Karena inilah yang tampak dengan jelas (zhahir) dan akurat sebagai dasar tambatan hukum (مناط للحكم). Sebab, jika tidak bepergian, maka tidak boleh meng-qashar shalat. Di sini, memang menimbulkan pertanyaan, yaitu kenapa safar (berpergian) yang dijadikan ‘illat bukan masyaqqat? Menurut Khallâf, bahwa adanya qashar shalat hukumnya adalah memberikan keringan dan menghilangkan kesulitan bagi musafir, sementara kesulitan itu sendiri sesuatu yang tidak pasti dan tidak mungkin dijadikan sebagai alasan penetapan hukum. Oleh karena itu, safar lebih tepat dijadikan sebagai ‘illat bolehnya meng-qashar shalat dan diakui bahwa memang dalam safar itu ada kesulitan.
Di samping itu, menurut hemat penulis masyaqqat (kesulitan) itu sendiri berbeda-beda pada setiap orang dan sulit diukur dan dipastikan sehingga tidak mungkin untuk dijadikan ‘illat bolehnya meng-qashar shalat bagi musafir. Untuk itu, safar (berpergian)-lah yang lebih pasti dan tepat dijadikan alasan (‘illat) penetapan hukum bolehnya musafir meng-qashar shalat.
Kemudian, Abd al-Karîm Zaidân[4] dalam bukunya al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh  menyebutkan definisi ‘illat sebagai:
وَأَنَّ الْعِلَّةَ هِيَ الْوَصْفُ الظَّاهِرُ المُنْضَبِطُ الَّذِي بُنِيَ عَلَيْهِ الحُكْمُ وَرُبِطَ بِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Sesungguhnya ‘illat ialah suatu sifat yang jelas dan pasti yang dapat dijadikan sebagai dasar penetapan hukum dan pautan hukum, karena ada atau tidak adanya hukum terkait dengan ada dan  tidak adanya ‘illat.
Artinya, adanya hukum karena adanya ‘illat, sebaliknya ketiadaan hukum karena ketiadaan ‘illat. Inilah yang disebut oleh Abd al-Karîm Zaidân dengan ungkapannya:
أَنَّ الحُكْمَ يُوْجَدُ مَتَى وُجِدَتْ عِلَّتُهُ وَأَنَّ الحُكْمَ يَنْتَفِي مَتَى مَا انْتَفَتْ عَلَيْهِ
Dari sejumlah definisi atau pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa baik definisi-definisi yang ditemukan dalam buku-buku Ushul Fiqh klasik maupun kontemporer, sama-sama menyebutkan bahwa ‘illat itu merupakan sesuatu dan mendorong yang memberitahu atau sesuatu yang menjadi tambatan hukum. 
Akan tetapi, terdapat perbedaan antara rumusan ‘illat yang dikemukan dalam buku-buku Ushul Fiqh klasik dan kontemporer. Dalam buku-buku klasik ‘illat dirumuskan lebih melihat pada fungsinya dan tidak menyebutkan kriterianya, sehingga ‘illat dirumuskan dengan ungkapan bahwa ‘illat itu sesuatu yang memberitahukan, yang mendorong, yang menjadi motif dan atau yang menjadi pautan dan tambatan hukum. 
Sementara dalam pemikiran Ushul Fiqh kontemporer ‘illat dirumuskan bukan saja melihat pada fungsinya tetapi juga melihat pada kriterianya. Hal ini, misalnya, terlihat dalam buku-buku Ushul Fiqh karya Muhammad Abû Zahrah dan Zakî al-Dîn Sya‘bân, Abd al-Wahhâb Khallâf dan Abd al-Karîm Zaidân bahwa ‘illat dirumuskan secara lebih tegas, rinci dan jelas kriterianya serta dijelaskan pula sifat-sifat atau keadaan yang dapat dijadikan ‘illat dalam menetapkan hukum.
Kemudian, sesuatu yang menjadi dasar atau alasan penetapan hukum itu ada yang dapat dipahami hubungannya dengan ketentuan hukum yang ditetapkan dan ada yang tidak. Terhadap yang dapat dipahami hubungannya antara apa yang menjadi alasan penetapan hukum dengan ketentuan hukum yang ditetapkan, maka itulah yang disebut dengan ‘illat hukum.
Akan tetapi, terhadap yang tidak dapat dipahami hubungan antara apa yang menjadi dasar atau alasan penetapan hukum dengan ketentuan hukum yang ditetapkan disebut dengan sebab (السبب). Pada dasarnya, baik ‘illat maupun sebab, keduanya sama-sama menjadi dasar atau alasan yang melatarbelakangi adanya ketetapan  hukum.
Abd al-Wahhâb Khallâf[5] menyebutkan bahwa sebagian ulama ushul tidak membedakan antara ‘illat dan sebab, karena pada dasarnya keduanya adalah satu. Pandangan seperti ini umumnya terlihat dalam pemikiran Ushul Fiqh klasik. Dalam hubungan ini Ahmad Hasan[6] -seorang pakar hukum Islam kontemporer- menyatakan bahwa pengertian ‘illat yang dirumuskan dalam pemikiran Ushul Fiqh klasik banyak menimbulkan kritik,  karena  tidak jâmi‘ dan mâni‘, termasuk juga dalam hubungan ini masalah sebab.
Dalam pandangan Abd al-Wahhâb Khallâf[7] ‘illat dan sebab itu berbeda. Hal ini sebagaimana pernyataannya:
.. إِذَا كَانَتِ المُنَاسَبَةُ فِي هَذَا الرَّبْطِ مِمَّا تُدْرِكُهُ عُقُوْلُنَا سُمِّيَ الوَصْفُ (العِلَّةَ) وَإِذَا كَانَتْ مِمَّا لاَ تُدْرِكُهُ عُقُوْلُنَا سُمِّيَ السَّبَبَ فَقَطْ وَلاَ يُسَمَّى العِلَّةَ.
Jika sesuatu yang menjadi tambatan hukum itu dapat dinalar oleh akal hubungannya dengan ketentuan hukum yang ditetapkan, maka hal ini dinamakan dengan ‘illat. Akan tetapi, manakala tidak dapat dipahami oleh akal kita, maka hal demikian disebut dengan sebab dan tidak dinamakan dengan ‘illat.
Dalam hubungan ini Khallâf[8] memberikan contoh, “menyaksikan bulan sebagai sebab timbulnya kewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan”. Hal ini tidaklah dinamakan ‘illat, melainkan sebab, karena tidak dapat dipahami bagaimana hubungannya antara menyaksikan bulan dengan adanya kewajiban puasa.  Dengan kata lain contoh yang dikemukakan oleh Abd al-Wahhâb Khallâf ini hanya bisa dipahami dari segi hubungan sebab-akibat. Artinya, dengan menyaksikan bulan, maka timbul kewajiban puasa. Contoh lainnya, misalnya terbenamnya mata hari  (ghurûb al-syams) di barat, maka timbulnya kewajiban shalat Maghrib adalah sebab, bukan ‘illat .
Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa jika sesuatu ketentuan hukum dapat dipahami secara logis hubungannya dengan hal yang melatarbelakangi penetapannya, maka hal demikian disebut dengan ‘illat. Akan tetapi, manakala suatu ketetapan hukum tidak dapat dipahami  hubungannya dengan sesuatu yang melatarbelakangi penetapannya -melainkan hanya sebab-akibat maka hal demikian disebut sebab.
Atas dasar ini, Abd al-Wahhâb Khallâf[9] menjelaskan perbedaan ‘illat dengan sebab sebagai berikut:
فَكُلُّ عِلَّةٍ سَبَبٌ وَ لَيْسَ كُلُّ سَبَبٍ عِلَّةً
setiap ‘illat itu adalah sebab, (tetapi) tidaklah semua sebab itu dapat disebut  ‘illat
Selanjutnya sebagai suatu teori dalam perspektif sejarah pemikiran ‘illat hukum juga mengalami proses perkembangan perumusannya secara bertahap, hingga sampai kepada kita sekarang ini. Bila ditelaah secara mendalam, maka perkembangan pemikiran tentang ‘illat hukum ini dapat dibagi kepada tiga periode, yang masing-masing periode mempunyai corak dan karakteristik tersendiri.
Pertama; periode sahabat. Pada periode ini, secara teoritis belum ada rumusan ‘illat secara jelas sebagaimana ditemukan sekarang. Para sahabat umumnya, dalam memahami dan menetapkan hukum tetap menempuh prosedur atau cara-cara yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah sebelumnya. Akan tetapi sungguhpun demikian seperti disebutkan oleh Mushthafâ Syalabî bahwa mereka (para sahabat) itu tetap berupaya menelusuri sebab-sebab yang melatarbelakangi pensyariatan hukum dan menggali rahasia yang terkandung di dalamnya.
Atas dasar ini, maka para sahabat mencoba memperluas ketentuan dasar dari sesuatu ketetapan hukum dalam nash kepada persoalan-persoalan lain yang tidak dijelaskan oleh nash secara tekstual ketentuan hukumnya. Sikap seperti ini didasari oleh anggapan bahwa syariat tidaklah statis.[10]
Oleh karena itu, suatu ketentuan hukum harus dapat diterapkan dalam segala persoalan yang tercakup di dalamnya meskipun secara eksplisit tidak disebutkan oleh nash. Para sahabat tetap berpegang kepada suatu ketentuan hukum yang disebutkan oleh nash, lalu mereka menggali apa yang menjadi ‘illat-nya dan kemudian memperluasnya kepada persoalan yang substansinya sama dengannya. Hal ini sesuai dengan ungkapan Mushthafâ Syalabî[11] berikut:
فَيَسْتَنْبِطُوْنَ لَهُ العِلَّةَ لِيُوَسِّعُوْا دَائِرَتَهُ
Mereka menggali dan menetapkan ‘illat bagi sesuatu ketentuan hukum kemudian memperluasnya kepada persoalan yang tercakup ke dalamnya.
Praktek seperti ini, secara jelas, dapat ditemukan pada masa Umar Ibn al-Khattâb menjadi Khalifah.[12] Umar menghentikan pemberian zakat bagi orang-orang yang baru masuk Islam (mu`allaf), padahal sejak masa Nabi sampai ke masa Abû Bakar menjadi khalifah, kelompok mu`allaf ini tetap mendapat pemberian zakat; dengan alasan iman mereka masih lemah. Pemberian zakat kepada Mu`allaf pada masa Rasulullah dan Abû Bakar bertujuan memperkuat iman keimanan mereka.
Akan tetapi Umar melihatnya tidak demikan. Menurutnya, alasan pemberian zakat ketika itu -pada masa Rasulullah dan Abû Bakar- tidak lebih sekedar kebutuhan insidentil, karena umat masih sedikit dan lemah. Setelah pada masa Umar menjadi khalifah, keadaan tersebut tidak ada lagi karena umat Islam telah banyak dan relatif cukup kuat imannya dan tidak perlu menjinakkan hati mereka dengan zakat.
Kebijakan Umar menghentikan pemberian zakat kepada mu’allaf ini, sudah dapat dipastikan ada kaitannya dengan upaya untuk melihat hubungan antara keberadaan suatu ketentuan hukum dengan alasan penetapannya, apa yang dilakukan oleh Umar ini disetujui oleh para sahabat lainnya, meskipun beberapa orang sahabat lainnya tidak menerimanya.
Contoh kasus Umar di atas jelas berkaitan dengan upaya untuk menemukan dan memahami ‘illat hukum dan dalam prakteknya, memang refleksi pemikiran hukum yang berkembang pada waktu ini.
Dari kegiatan pemikiran yang berkembang pada periode sahabat ini dapat dipahami bahwa pada dasarnya praktek yang dilakukan oleh mereka (sahabat) merupakan langkah dari proses penalaran ‘illat, meskipun secara teoritis mereka belum atau tidak merumuskan apa yang disebut dengan ‘illat hukum itu. Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa pada periode sahabat ini penalaran terhadap ‘illat baru sebatas tatanan praktis.
Kedua, periode tabi‘in. Sebetulnya secara jelas agak sulit menarik benang merah (membedakan) antara periode tabi‘in dan sahabat dalam melihat bagaimana rumusan pemikiran ‘illat pada waktu ini, karena pengaruh sahabat dalam kehidupan para tabi‘in relatif cukup besar dan dominan. Akan tetapi, meskipun demikian, kegiatan pemahaman dan penalaran terhadap ‘illat hukum sebagai alasan pensyariatan hukum sudah mengarah kepada kejelasan.
Pada waktu ini telah tampak dengan jelas dan kongkrit langkah-langkah untuk mencari hubungan logis antara suatu ketetapan hukum dengan ‘illat yang melatarbelakanginya. Adalah Ibrahim al-Nakhâ`î,[13] misalnya menegaskan bahwa setiap ketentuan hukum mempunyai tujuan yang didasarkan atas sebab ‘illat-nya yang kesemuanya dapat dipahami hubungannya secara logis.
Pernyataan Ibrahim al-Nakhâ`î di atas menunjukkan bahwa pensyariatan hukum terkait dengan sesuatu yang menyebabkan terciptanya hukum itu, yaitu ‘illat. Contoh berikut ini akan memperjelas pandangan di atas bahwa diceritakan oleh ibn al-Qayyim, yang bersumber dari Umar ibn al-Khattâb, dimana pada dasarnya seseorang dapat saja menjadi saksi bagi ayahnya atau sebaliknya. Sebab, pada dasarnya, dalam Islam -dengan tidak membedakan keluarga atau bukan- boleh diterima kesaksiannya. Alquran sendiri, memang menjelaskan bahwa antar keluarga (sesama keluarga) boleh memberikan kesaksian demi tegaknya keadilan.[14]
Memberikan kesaksian pada hakikatnya, tidak lain adalah menyampai-kan atau memberikan berita yang benar untuk tegaknya keadilan dengan ucapan kesaksian di depan Majelis Hakim di Pengadilan. Inilah yang disebut oleh Abd al-Fattâh Muhammad Abû al-‘Inain[15]  dengan ungkapannya:
 اِخْبَارُ صَادِقٍ لِإِثْبَاتِ حَقٍّ بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ فِى مَجْلِسِ القَضَاةِ.
maksudnya, menyampaikan ucapan yang benar dalam memberikan kesaksian di depan Majelis Hakim di Pengadilan.
Kesaksian tersebut wajib diberikan kepada siapa saja, sekalipun kepada keluarga sendiri, demi tegaknya kebenaran dan keadilan serta terhindar dari kerusakan. Akan tetapi karena telah terjadinya perubahan pada sikap dan mental manusia, lemahnya iman serta terlihat tanda-tanda tidak baik (kezaliman), maka kesaksian keluarga ditolak. Kasus ini menunjukkan bahwa penetapan hukum dikaitkan dengan ‘illat. Menurut Mushthafâ  Syalabî[16], bahwa dari kasus ini dapat dipahami dimana penolakan kesaksian dari keluarga tidak lain adalah karena ia dapat membawa kepada kerusakan pada diri sendiri dan  hak manusia.
Dari sini dapat dapat dipahami bahwa telah terjadi perubahan, dimana hukum berubah karena terjadi perubahan situasi dan perubahan ini akan mempengaruhi ketetapan hukum dan inilah yang disebut dengan ‘illat.[17]
Ketiga, periode ulama mazhab. Setelah berlalu periode tabi‘in, maka muncul era gerakan pemikiran hukum dengan ditandai lahirnya berbagai mazhab hukum yang masing-masing mempunyai corak dan karakterestik tersendiri dalam sistem pemikiran hukum mereka. Kelahiran berbagai mazhab hukum dengan corak dan karakteristik tersendiri ini tidak jarang menimbulkan perbedaan pendapat yang kontroversial di kalangan mereka, karena beragamnya teori dan sistem yang muncul dalam pemikiran hukum.
Akibat perbedaan ini; baik langsung  maupun tidak langsung, akan membawa pengaruh kepada produk dan nilai hukum yang dihasilkan. Pada periode ini  kegiatan pemikiran hukum sudah dilandasi oleh berbagai teori  atau kaidah-kaidah tersendiri serta di samping itu ulama mazhab telah merumuskan konsep dalam upaya memahami hukum syara‘ dari Alquran dan sunah, bahkan menyangkut persoalan-persoalan baru yang tidak disebutkan oleh kedua sumber ini juga diantisipasi dengan memformulasi-kan kaidah-kaidah untuk menjawabnya.
Para ulama di setiap mazhab berupaya mensistematisasikan kegiatan dan pola istinbâth hukum (penggalian dan penetapan hukum) sebagai hasil internalisasi yang mereka serap dari pemikiran yang berkembang sebelumnya dan kegiatan ini pada akhirnya melahirkan sistem pemikiran hukum yang disebut: طريقة استنباط الاحكام  yang dalamnya tercakup juga konsep atau teori ke ‘illat-an hukum (ta‘lîl al-ahkâm).
Di dalam teori ‘illat hukum, pembicaraan secara jelas dan luas adalah  muncul pada periode ini dan pada waktu ini pula ulama atau mujtahid memformulasikan apa yang disebut dengan ‘illat (العـلة). Pada periode inilah ‘illat di samping dirumuskan secara konkrit, juga diberi batasan-batasannya, syarat-syarat, prosedur dan langkah yang ditempuh dalam menetapkannya sebagaimana telah diuraikan sebelum ini. Pembicaraan tentang ‘illat ini juga menyangkut aspek nilai (sasaran) dari sesuatu ketetapan hukum yang bertumpu pada ‘illat tersebut. Secara lebih tegas lagi dapat dinyatakan bahwa formulasi ‘illat seperti kita temukan sekarang ini, dirumuskan setelah munculnya era ulama mazhab dengan memberi batasan-batasan dan persyaratan-persyaratan serta ruang lingkup operasionalnya dan posisinya sebagai alasan yang melatarbelakangi lahirnya suatu ketetapan hukum.
Dalam prakteknya, pemikiran tentang ‘illat hukum ternyata di kalangan ulama berbeda-beda satu sama lainnya. Yang dimaksudkan di sini ialah pemahaman mereka tentang keberadaan ‘illat dan aplikasinya dalam  penetapan hukum tasyrî‘ adalah tidak sama. Ketidaksamaan ini, tentu saja, jelas akan mempengaruhi nilai dari ketetapan hukum yang dihasilkan.
Contoh yang paling sering dirujuk oleh ulama Ushul Fiqh ialah tentang ‘illat riba -riba fadhl dan riba nasi`ah- pada enam macam benda yang disebutkan dalam hadis Nabi[18]. Berdasarkan hadis ini ulama Ushul sepakat bahwa keenam macam benda tersebut bisa mendatangkan riba. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang ‘illat yang menjadi dasar penetapan hukum riba tersebut.[19]
Kalangan Hanafi mengatakan bahwa ‘illat riba -riba fadhl- dari keenam macam benda tersebut ialah timbangan dan takaran yang dalam istilah Fiqh disebut dengan al-kail wa al-wazn (الكيل والوزن). Adapun riba nasi`ah ialah wujud dari dua sifat benda yang sejenis, yaitu takaran dan timbangan. Sementara itu, kalangan Malikiyah dan Syafi‘iyah berpendapat bahwa ‘illat riba fadhl adalah emas dan perak, karena sifat keduanya merupakan standar harga. Sedangkan untuk empat macam benda lainnya ‘illat-nya ialah makanan pokok (al-qût). Mengenai riba nasi`ah ‘illat-nya adalah pada emas dan perak, karena keduanya merupakan standar harga.[20]
Kemudian, dalam hubungan ini, kalangan Hanabilah berpendapat bahwa ‘illat riba dari emas dan perak ialah karena ia jenis benda yang dapat ditimbang dan sedangkan empat jenis benda lainnya ‘illat-nya ialah takaran.[21]
Dari contoh kasus ini, dapat dilihat bahwa ternyata para ulama ushul berbeda dalam memahami dan menentukan ‘illat bagi keenam macam benda yang dapat menimbulkan riba fadhl dan nasi`ah tersebut. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh perbedaan asumsi terhadap sesuatu yang menjadi dasar penentuan ‘illat riba fadhl dan nasi`ah bagi keenam macam benda tersebut.
Bagi kalangan Hanafi keenam macam benda yang disebutkan dalam hadis tersebut, semuanya dapat ditakar dan ditimbang. Takaran dan timbangan ini merupakan sifat yang menjadi ukuran atau yang membawa pengaruh timbulnya riba fadhl dan nasi`ah jika penukarannya dalam satu jenis, yang salah satunya berlebih. Lain halnya dengan kalangan Malikiyah dan Syafi‘iyah dimana mereka membedakan antara ‘illat riba fadhl dan nasi`ah. Riba fadhl hanya terjadi pada emas, karena ia merupakan standar harga, sedangkan riba nasi`ah ‘illat-nya adalah al-qût (makanan pokok) dan ini berlaku bagi empat jenis benda lainnya.
Agaknya, kalangan Hanabilah mempunyai pandangan yang sama dengan Hanafiyah, tetapi mereka membedakan antara sifat ‘illat timbangan  dan sifat ‘illat takaran. Untuk emas dan perak ‘illat-nya adalah timbangan, karena ia hanya bisa dinilai dengan timbangan, bukan takaran. Adapun ‘illat untuk empat jenis benda lainnya -gandum, syair, kurma dan garam- adalah takaran dengan asumsi bahwa ia bisa ditakar.
Kelihatannya, kalangan Hanabilah membedakan dua sifat ‘illat timbangan dan takaran. Sebetulnya, membedakan dua sifat ‘illat disebut terakhir ini, kalangan Hanabilah tidak mempunyai pijakan yang kuat karena baik emas dan perak, begitu pula gandum, syair, garam dan kurma, kesemuanya bisa ditakar dan ditimbang.  Tidak ada artinya membedakan dua macam sifat ‘illat antara timbangan dan takaran bagi keenam jenis benda yang disebutkan di atas, jika keduanya dapat diterapkan dan mengandung asumsi yang sama.
Demikian pula halnya dengan kalangan Malikiyah dan Syafi‘iyah yang membedakan dua sifat ‘illat antara standar harga dan al-qût, menyatakan riba Fadhl terjadi pada emas dan perak karena ia menjadi standar harga. Akan tetapi, jika hanya emas dan perak yang dapat menimbulkan riba fadhl  karena ia menjadi standar harga tidaklah tepat.  Sifat riba fadhl bisa pula terjadi pada empat jenis benda lainnya.  Demikian pula dengan ‘illat al-qût bagi empat jenis benda, selain dari emas dan perak, juga tidak tepat, karena seperti garam bukanlah termasuk makanan pokok.
Karena itu, dari ketiga pandangan di atas, agaknya kalangan Hanafiyah lebih tepat dalam melihat dan menentukan hubungan ‘illat dengan penetapan hukum riba fadhl dan nasi`ah terhadap enam macam benda di atas, yaitu timbangan dan takaran.
Adapun membedakan antara riba fadhl dan nasi`ah hanyalah berkaitan dengan sifat pelaksanaannya. Jika dalam kegiatan tukar-menukar (jual-beli) terhadap benda sejenis yang salah satunya lebih -tidak sama takaran atau timbangannya-  maka hal ini disebut riba fadhl.  Sementara riba nasi`ah, jika dalam kegiatan tukar menukar (jual-beli) dengan telah ditentukan harganya, dan setelah jatuh tempo waktu  pembayaran (pengembalian) tidak dipenuhi, maka pembayaran atau pengembalian harus lebih.[22]
Kemudian, contoh lain dapat pula dikemukakan  berkenaan dengan ‘illat keharaman nabiz jika tidak mabuk, tidak haram. Oleh karena itu, bagi Abû Hanifah ‘illat keharaman nabiz adalah mabuk. Artinya, jika mabuk maka ia haram dan jika tidak sampai mabuk tidaklah haram. Sementara itu, kalangan ulama Hijaz berpendapat bahwa ‘illat keharaman nabiz ialah karena diduga dapat memabukkan.  Oleh karena itu, bagi ulama Hijaz, nabiz baik mabuk atau tidak, tetap haram diminum.[23]
Di sini terlihat bahwa menurut pandangan ulama Hijaz, ‘illat keharaman nabiz adalah diduga dapat memabukkan bukan mabuk seperti pendapat Abû Hanifah. Dalam hubungan ini Imam Syafi‘i juga berpendapat sama seperti ulama Hijaz, bahwa setiap yang dapat memabukkan, sedikit atau banyak tetap haram diminum dan pelakunya akan dikenakan had/dera sebagaimana peminum khamar.[24]
Dari dua contoh kasus yang telah dikemukakan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa penentuan ‘illat sebagai alasan penetapan hukum di kalangan ulama terdapat perbedaan. Akibat perbedaan ini, maka kadang-kadang produk hukum yang dihasilkan juga berbeda. Diakui bahwa kadang-kadang ulama berbeda dalam menentukan ‘illat sementara hukum yang ditetapkan sama dan kadang-kadang berbeda dalam menentukan ‘illat dan berbeda pula hukum yang ditetapkan.
Kasus pada enam macam benda pada contoh pertama dimana ulama berbeda dalam menentukan ‘illat tetapi ketentuan hukum yang ditetapkan adalah sama; yakni riba fadhl dan riba nasi`ah. Begitu pula pada contoh kedua, tentang keharaman nabiz, dimana perbedaan tidak saja dalam penentuan dan pemahaman ‘illat, tetapi juga ketentuan hukum yang dihasilkanpun tidak sama.
Dari apa yang telah dikemukakan ini ternyata perbedaan dalam ketetapan hukum, seperti banyak ditemui dalam berbagai leteratur dan refleksinya dalam kehidupan praktis umat adalah berakar dari perbedaan penentuan ‘illat sebagai dasar atau alasan pensyariatan hukum. Perbedaan ini terlihat -terutama sekali- dalam menentukan sifat ‘illat yang tidak disebutkan oleh nash.
Terhadap hal yang disebut ini, ulama ushul menempuh cara-cara yang mungkin untuk dapat menetapkan dan menentukan ‘illat. Setidak-tidaknya dalam persoalan ini, terdapat dua kelompok pemikiran yang berbeda satu sama lainnya. Kelompok pertama berpendapat bahwa dalam suatu ketentuan hukum yang berpengaruh adalah sifat-sifat (al-aushâf) ‘illat. Oleh sebab itu sifat yang mempengaruhi ketentuan hukum itu harus berupa sifat yang tegas dan jelas  (الأوصاف الظاهرة الجاـية). Terhadap sifat ‘illat yang disebut terakhir ini, sebagaimana dikemukakan oleh al-Jashshas dan  al-Amidi adalah disepakati oleh seluruh ulama ushul.[25]
Akan tetapi pandangan ini akan berhadapan dengan suatu pertanyaan, yaitu bagaimana menentukan sifat yang tegas dan jelas itu? Sebagaimana diketahui bahwa kadang-kadang suatu ketentuan hukum tetap saja tersembunyi sifat ‘illat yang mendasari penetapannya. Oleh sebab itu, penentuan sifat jelas atau tidak jelasnya, hanya berdasarkan dugaan (anggapan) saja. Salah satu, contoh ialah berkenaan dengan ‘illat wajibnya qishâsh bagi pelaku pembunuhan.
Ketentuan hukum wajib qishâsh bagi pembunuhan tidak terdapat indikasi yang tegas sifat apa yang mempengaruhi penetapannya. Dalam menanggapi kasus ini; pertama mengatakan bahwa pembunuhan itu harus dibedakan antara "sengaja" dan "tidak sengaja". Terhadap pembunuhan sengaja (al-qatl al-‘amd) pasti dilatarbelakangi oleh suatu motif yang mempengaruhinya, yaitu permusuhan (al-‘adâwah).[26] Atas dasar ini, yang terlihat dengan jelas dan ada hubungannya dengan perbuatan pembunuhan adalah rasa permusuhan dan inilah sifat yang mempengaruhi adanya penetapan hukum qishâsh pada pembunuhan sengaja. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja tidak demikian halnya.
Pembunuhan tidak sengaja, tidak ada motif permusuhan, melainkan terjadi kesalahan di luar kontrol pelakunya. Oleh karena itu tidak berlaku hukum qishâsh. Jadi penetapan hukum qishâsh itu diberlakukan bagi pembunuhan sengaja, karena dilatarbelakangi oleh permusuhan dan inilah sifat ‘illat yang jelas dalam penetapan hukum qishâsh.
Sebaliknya, pandangan kedua berpegang kepada hikmah. Menurut mereka hikmahlah yang mendorong penetapan suatu ketentuan hukum. Pandangan kedua ini mengatakan bahwa pada hakikatnya ‘illat hukum itu adalah hikmah yaitu suatu keserasian (munâsib) yang mempunyai relevansi terhadap pensyariatan hukum, dimana atas keserasian inilah hukum dibina demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan.[27]
Dalam hubungan ini, al-Ghazâlî mengatakan bahwa sesungguhnya kemaslahatanlah yang mewajibkan adanya hukum, tetapi kadang-kadang hal ini tidak jelas (tersembunyi) dan tidak bisa menentukan ‘illat dengan sifat, kecuali hal tersebut dugaan semata.[28] Dengan kata lain, apa yang menjadi ukuran dan yang melatarbelakangi ketentuan Allah dalam pensyariatan hukum adalah tersembunyi dan kita dituntut untuk mencari persesuaiannya dengan melihat tujuannya yaitu kemaslahatan. Akan tetapi, mungkin esensinya tidak terlihat pada maslahat, namun pada sifat yang diduga mencakup maslahat yang dimaksud.
Artinya, setiap hikmah mengandung kemaslahatan dan inilah ‘illat yang mendorong pensyariatan hukum. Oleh sebab itu, hukum tidak akan mempunyai arti apa-apa, jika tidak mengandung kemaslahatan.
Dengan demikian, jika Allah menetapkan wajib qishâsh bagi pelaku pembunuhan sengaja, ‘illat-nya adalah hikmah, demi terciptanya kemaslahatan bagi umat manusia seluruhnya. Mewajibkan qishâsh berarti akan menjerakan dan menakutkan orang  untuk melakukan pembunuhan. Dengan cara ini akan tercapai maksud syara‘, yaitu tegaknya kemaslahatan dan hilangnya kemudharatan.
Bila dilihat pandangan kedua ini, ternyata yang mendorong terciptanya hukum adalah hikmah dan hikmah ini pula yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Dalam tasyrî‘ hukum, sebagai dijelaskan Ahmad al-Raisani, dalam kitab Nazhriyat al-Maqâshid ‘lnd al-Syâtibî bahwa pembicaraan tentang hikmah dan ‘illat adalah berakar dari pembahasan Maqâshid al-Syar‘îyat ditetapkannya hukum, yaitu untuk kemaslahatan.
Pembicaraan yang disebut terakhir ini dalam kajian Ushul Fiqh menjadi sesuatu yang sangat intens.  Hal ini terlihat tidak saja dalam buku-buku teks klasik tetapi juga dalam buku-buku ushul kontemporer. Para mujtahid dari setiap periode hingga sekarang ini mengaitkan masalah hikmah kepada hampir semua lapangan hukum. Dan tentu saja diakui bahwa perbedaan pandangan antara satu dengan yang lainnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan.
Hal ini terjadi karena sebagian dari hikmah tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dipastikan dalam kenyataannya, karena tidak semua ketetapan hukum bisa dijangkau oleh akal nilai hikmah yang dikandungnya. Aspek inilah yang menjadi perbedaan di kalangan ulama ushul untuk menggunakan hikmah sebagai ‘illat hukum, meskipun semuanya mengatakan bahwa seluruh ketentuan hukum pasti mengandung hikmah, yaitu kemaslahatan baik yang bisa dipahami maupun tidak.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, refleksi pemikiran tentang ‘illat hukum dan perkembangannya sebagai dasar penetapan hukum tasyrî‘, terutama pada abad  kontemporer ini lebih banyak berorientasi pada maslahat sebagai ‘illat-nya. Lebih-lebih lagi berhadapan dengan masalah ijtimâ‘îyah atau lapangan mu‘amalat yang luas dan terus berkembang yang dihajatkan oleh masyarakat demi merealisir dan memudahkan kepentingan hidup mereka.
Tidak terhitung lagi jumlahnya sudah berapa banyak persoalan kontemporer ditetapkan dan diputuskan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan sebagai ‘illat-nya. Untuk menyebut diantaranya, seperti: persoalan yang berkaitan dengan bidang kedokteran dan rekayasa genetik, masalah kependudukan dan keluarga berencana, inseminasi buatan (bayi tabung) dan pencangkokan organ tubuh, bunga bank, asuransi, transaksi perkreditan, perkawinan dan harta bersama, kawin antar agama, masalah pendidikan dan pekerja wanita.[29] Hal ini terjadi, tentu saja, karena dibutuhkan oleh masyarakat.
Jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk mengatasi dan menjawab persoalan ini adalah dengan menggunakan pertimbangan maslahat sebagai ‘illat-nya. Penggunaan pertimbangan maslahat ini didasarkan atas pandangan apakah keberadaan sesuatu yang akan diputuskan itu mengandung manfa‘at yang betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat dan dapat menghindarkan mereka dari kemudharatan atau tidak? Dengan kata lain, penetapan hukum berdasarkan peretimbangan maslahat sebagai ‘illat-nya harus bermuara pada Maqashid al-Syar‘îyah, yaitu terciptanya kebajikan dan manfa‘at bagi kehidupan manusia serta terhindarnya mereka dari kesulitan yang membawa kepada kerusakan.
Yusuf Qardhâwî[30] salah seorang pakar Ushul Fiqh kontemporer menyebutkan --dengan mengutip pandangan Abd al-Wahhâb Khallâf--bahwa maslahat merupakan alat (metode) penetapan hukum syariat yang paling luas digunakan untuk masalah-masalah yang tidak disebutkan di dalam nash.  Penggunaan maslahat memberikan ruang gerak yang luwes yang memungkinkan penetapan hukum berjalan seiring dengan perkembangan maslahat yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Dari pandangan Yusuf Qardhâwî yang disebutkan terakhir ini, meskipun ia menyebutnya sebagai metode, tetapi dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan maslahat sebagai dasar pertimbangan penetapan hukum dan bahkan ia dipandang sebagai sarana yang sangat luas dipakai untuk menetapkan hukum, terutama terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan oleh nash adalah bagian yang lebih dominan dan merupakan bidang garapan yang luas cakupannya.
Tentu saja, penggunaan pertimbangan maslahat sebagai ‘illat dalam penetapan hukum tetap saja menjadi perdebatan yang tidak dapat dihindari dan tidak habis-habisnya di kalangan ulama dan pakar hukum Islam. Lebih-lebih lagi terhadap persoalan-persoalan baru, sehingga akibatnya produk hukum yang lahir bisa beragam dan bertolak belakang diantara  pendapat yang ada. Namun inilah kenyataan yang tidak dapat dihindari, dimana penetapan hukum tasyrî‘ dan keragaman produk hukum jelas dilatarbelakangi perbedaan pemahaman dan penggunaan ‘illat di kalangan ulama.
Perbedaan ini terlihat tidak saja antara pemikiran ushul klasik dengan kontemporer, tetapi juga di dalam pemikiran ushul klasik sendiri dan begitu pula di kalangan pemikiran Ushul Fiqh kontemporer-pun terdapat perbedaan.
B. Pembagian ‘Illat Hukum.
Di dalam buku-buku Ushul Fiqh, para ulama ushul membagi atau mengklasifikasikan ‘illat kepada beberapa macam, baik dilihat dari segi eksistensi (keberadaannya) maupun segi penerapannya. Menyangkut segi eksistensi atau keberadaan ‘illat, baik di dalam pemikiran ushul klasik maupun kontemporer, ternyata juga berbeda-beda satu sama lainnya. Hal ini terlihat tidak saja pada segi pembagian atau macamnya, tetapi juga terhadap istilah yang dipakai oleh para ulama Ushul Fiqh tersebut.
Pembagian ‘illat dilihat dari segi eksistensi dan penerapannya pada uraian ini, maksudnya adalah untuk melihat bagaimana keberadaan ‘illat dan penerapannya dalam istinbâth hukum. Dalam hubungan ini, Imam al-Ghazâlî (w. 1111 M/505 H)[31] misalnya, di dalam kitabnya al-Mushtasfâ, menyebutkan bahwa ‘illat dilihat dari segi eksistensinya dapat dibedakan kepada dua macam yaitu, ‘illat yang didasarkan kepada dalil naqlî disebut dengan ‘illat  naqlîyah (علة النقلية) dan ‘illat  yang  didasarkan pada tasyrî‘ atau disebut dengan ‘illat mustanbathah (علة المستنبطة).
Yang dimaksud oleh al-Ghazâlî dengan ‘illat naqlî ialah ‘illat yang ditunjukkan atau disebutkan langsung oleh nash secara jelas, dengan ungkapan lafaz tertentu. Adapun yang dimaksud dengan ‘illat tasyrî‘ (‘illat Mustanbathah) ialah ‘illat yang didasarkan pada tasyrî‘, yaitu berdasarkan pemahaman dan ijtihad ulama, karena tidak disebutkan oleh nash secara tekstual.
Pada umumnya dalam pemikiran ahli ushul klasik, bahwa eksistensi ‘illat itu lebih berorientasi pada pemahaman tentang ada atau tidak adanya pengakuan Syâri‘ atas sesuatu ‘illat hukum tersebut. Dalam hubungan ini, Abd al-Kâfî al-Subkî[32] (w. 765 H) dalam bukunya al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj menyebutkan bahwa ‘illat itu dilihat dari segi keberadaannya dibagi kepada dua macam yang disebutnya dengan ungkapan:
مُنَاسِبٌ يَعْتَبِرُهُ الشَّارِعُ وَعَدَمُ اعْتِبَارِهِ
Yang maksud oleh Abd al-Kâfî al-Subkî, adalah bahwa ‘illat itu ada yang ditunjukkan langsung oleh Syâri‘ dalam nash dan ada pula sama sekali tidak dijelaskan oleh nash. Kemudian Imam al-Subkî,[33] dalam kitab  Matan Jâmi‘ al- Jawâmi‘ membagi ’illat kepada dua macam, yang ia sebut dengan istilah al-mansshûshat wa al-mustanbathah                       ( المنصوصة والمستنبطة ).
Adapun yang dimaksud oleh al-Subkî dengan  istilah al-mansshûshat ialah ‘illat yang disebutkan langsung oleh Syâri‘ di dalam nash.  Sementara apa yang disebut dengan Mustanbathah ialah ‘illat yang dipahami berdasarkan tasyrî‘ atau ijtihad. Menurut al-Subkî,[34] ‘illat hukum yang mansshûshat itu sifatnya qath‘î dan ‘illat Mustanbathah itu sifatnya zhannî.
Pemikiran Ushul Fiqh kontemporer nampaknya mengikuti pandangan yang terdapat dalam pemikiran Ushul Fiqh klasik. Muhammad Mushthafâ Syalabî[35] di dalam kitab Ta‘lîl al-Ahkâm, menyebutkan  bahwa ‘illat bila dilihat dari segi eksistensinya  dapat  dibedakan menjadi dua macam, yaitu pertama, disebut dengan ‘illat mansshûshah (علة المنصوصة)  dan kedua disebut dengan ‘illat mustanbathah (علة المستنبطة) .
Menurut Mushthafâ Syalabî, bahwa ‘illat  mansshûshah adalah merupakan ‘illat yang disebutkan langsung oleh nash sebagai dasar pensyariatan hukum.  Mengenai ‘illat mustanbathah, menurut Mushthafâ Syalabî ialah ‘illat yang tidak disebutkan oleh nash, ia diperoleh atau ditetapkan lewat proses tasyrî‘  dengan memperhatikan berbagai indikator atau kemungkinan yang berkaitan dengan pensyariatan suatu ketentuan hukum. Dengan kata lain ‘illat mustanbathah ini, keberadaannya ditetapkan berdasarkan ijtihad, yakni kira-kira apa yang paling pantas -dari berbagai kemungkinan- menjadi ‘illat dari suatu ketentuan hukum yang telah disyariatkan oleh Syâri‘ atau dari sesuatu yang akan ditetapkan hukumnya.
Dalam hubungan ini, Syeikh Khudari Beik[36] dalam melihat ‘illat dari segi eksistensinya ini, membaginya kepada tiga macam yaitu: pertama, disebut dengan ‘illat yang terdapat pengakuan Syâri‘ atas maksudnya, kedua, disebut dengan ‘illat yang membawa atau yang memberitahukan kepada yang dikehendaki oleh Syâri‘ dan ketiga, disebut dengan ‘illat baik yang terdapat pengakuan Syâri‘ atas keberadaannya maupun  tidak.
Selanjutnya, pandangan yang sama juga dikemukakan oleh pakar Ushul Fiqh kontemporer lainnya seperti Muhammad Abû Zahrah, Abd al-Wahhâb Khallâf, dan Abd al-Karîm Zaidân[37]. Seperti halnya Khudari Beik, mereka juga membagi ‘illat kepada tiga macam bila dilihat dari segi ada dan tidaknya pengakuan Syâri‘, yaitu: munâsib mu`asstir (مناسب مؤثر), kedua, munâsib mulâ`im ( مناسب ملائم )  dan  munâsib mursal (مناسب مرسل).
Adapun yang dimaksud dengan munâsib mu`asstir ialah ‘illat yang ditunjukkan oleh Syâri‘ bahwa memang ia yang menjadi dasar pensyari‘atan hukum, baik secara jelas maupun bentuk isyarat saja. Kemudian dimaksud dengan munâsib mulâ`im ialah ‘illat yang tidak disebutkan oleh Syâri‘ sifat dan keadaannya pada satu ketentuan hukum, tetapi disebutkan pada Nash lain yang terdapat kesepadanan atau kesamaannya. Selanjutnya, yang disebut dengan munâsib mursal  ialah ‘illat yang sama sekali tidak dijelaskan oleh Syâri‘ (nash), tetapi ia merupakan suatu sifat yang patut dijadikan sebagai ‘illat dalam rangka untuk merealisir kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.
Di samping hal yang disebutkan ini, Abd al-Wahhâb Khallâf dan Abd al-Karîm Zaidân menambahkan satu macam lagi, yang mereka sebut dengan munâsib mulghât (مناسب ملغاة). Dimaksud dengan istilah ini ialah sesuatu sifat yang terlihat dengan jelas dan bisa dijadikan sebagai ‘illat untuk merealisir kemaslahatan, tetapi berlawanan dengan ketentuan lain yang menolaknya.
Kemudian suatu hal yang sangat perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan ‘illat dari segi eksistensinya ini ialah melihat persesuaian suatu ketetapan hukum dengan ‘illat yang mendasarinya. Muhammad Abû Zahrah[38] menyebutnya dengan al- munâsabah(المناسبة) . Menurut Mushthafâ Syalabî[39], secara bahasa al-munâsabah berarti al-mulâ`im, yakni sesuai, sepadan dan serasi. Dalam konteks ‘illat, sebagaimana disebutkan oleh Mushthafâ Syalabî[40] dengan mengutip pendapat al-Ghazâlî bahwa yang dimaksud dengan al-munâsabah ialah suatu hal yang berhubungan dengan kemaslahatan ketika satu ketetapan hukum didasarkan padanya. Contohnya ialah khamar diharamkan karena dapat merusak akal pikiran manusia.
Sementara itu, Imam al-Râzî sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Mushthafâ Syalabî[41] menyebutkan pengertian al-munâsabah sebagai berikut:
اَنَّ المُنَاسِبَ هُوَ الْوَصْفُ المُلاَئِمُ ضَمَّ الحُكْمَ إِلَيْهِ لِأَفْعَالِ الْعُقَلاَءِ فِي الْعَادَاتِ.
Munâsib itu ialah suatu sifat yang pantas/serasi, sebagai dasar/alasan penetapan hukum yang terkait dengan perbuatan manusia dalam adat
Atas dasar ini, maka pemahaman tentang munâsabah ini sangat penting agar dapat menentukan sesuatu yang pantas sebagai ‘illat atau alasan dari suatu ketetapan hukum. Setelah menentukan dan memperkirakan sesuatu yang mendasari ketentuan hukum tersebut serta kuat dugaan bahwa memang ia yang menjadi ‘illat, maka hasil yang telah diperkirakan inilah yang disebut dengan  ‘illat mustanbathah.
Dalam pandangan Mushthafâ Syalabî[42] bahwa eksistensi ‘illat mustanbathah diperoleh melalui kegiatan tasyrî‘ ini, memang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama Ushul Fiqh. Perbedaan ini agaknya lebih berorientasi pada perlu dan tidaknya unsur munâsabah bagi sesuatu yang akan dijadikan sebagai ‘illat tersebut. Sebetulnya, jika dicermati apa yang diperdebatkan ini, menyangkut persyaratan ‘illat yang bukan saja ‘illat mustanbathah, tetapi juga manshûshah.
Bila dicermati secara kritis pembagian ‘illat dilihat dari segi eksistensi atau keberadaannya ini, baik dalam pemikiran ushul klasik maupun kontemporer, sebetulnya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil, kecuali hanya perbedaan istilah yang mereka gunakan. Diantara kalangan ulama ushul klasik dan kontemporer terdapat kesamaan pandangan, dimana keberadaan ‘illat dibedakan kepada ‘illat yang disebutkan langsung oleh   nash yang dinamakan dengan ‘illat manshûshah dan ‘illat yang tidak disebutkan langsung oleh nash yang disebut dengan ‘illat mustanbathah, karena keberadaannya ditetapkan berdasarkan tasyrî‘ ulama.
Terhadap ‘illat yang pertama, oleh Imam al-Ghazâlî, Abd al-Kâfî al-Subkî, Syaikh Khudari Beik dan Abd al-Karîm Zaidân masing-masing menyebutnya dengan istilah ‘illat naqlîyah, munâsib ya‘tabiruh al-Syari’ atau munâsib mu‘tabarah. Istilah-istilah ini kemudian lebih populer dengan ‘illat manshûshah .(علة المنصوصة) Istilah yang disebut terakhir ini merupakan istilah yang dipakai dalam buku-buku klasik diantaranya kitab Matan Jâmi‘ al-Jawâmi‘ karya Ibn al-Subkî[43] dan buku Ushul Fiqh kontemporer, diantaranya dalam kitab Ta‘lîl al-Ahkâm karya Muhammad Mushthafâ Syalabî[44] dan dalam kitab Ushul Fiqh karya Abd al-Wahhâb Khallâf.[45]
Adapun terhadap macam ‘illat kedua masing-masing mereka menyebutnya dengan istilah tasyrî‘ al-‘illat, ‘adam i‘tibârih al-Syâri‘ atau dinamakan dengan ‘illat mustanbathah.  Akan tetapi, macam ‘illat yang disebut terakhir ini -karena ketiadaan pengakuan Syâri‘ atau tidak disebutkan langsung oleh Syâri‘ di dalam nash- oleh Abd al-Wahhâb Khallâf,[46] Abû Zahrah,[47] Abd al-Karîm Zaidân[48] dan Muhammad Mushthafâ Syalabî[49] dibedakan kepada  empat  macam  yang  mereka sebut dengan  istilah  munâsib  mu`astir (مـناسـب مؤثـر), munâsib  mulâ`im  (مناسب ملا ئم),  munâsib  mursal(مناسب مرسل)  ,  munâsib  mulghâh (مناسب ملغاة )
Untuk lebih jelasnya tentang ‘illat dilihat dari segi eksistensinya ini yang dibedakan kepada ‘illat manshûshah dan ‘illat mustanbathah dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.‘Illat dari segi eksistensinya
No
‘Illat
Keberadaan/Penetapannya
Bentuk/Sifatnya
1

Manshûshah
(منصوصة)
Ditetapkan dengan nash
(ثابت بالنص)
Sharîh
Zhahir
Isyarat
2
Mustanbathah
(مستنبطة)
Ditetapkan dengan tasyrî‘ / ijtihad
(ثابت بالإستنباط / الإجتهاد)
Munâsib Mu`asstir
Munâsib Mula`im
Munâsib Mursal
Munâsib Mulghâh
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, agaknya keberadaan ‘illat mustanbathah dalam pandangan ulama ushul kontemporer dijelaskan lebih jelas dan tegas jika dibandingkan dengan apa yang terdapat dalam pemikiran ushul klasik. Paling tidak dalam pemikiran ushul kontemporer terdapat ketegasan bentuk hubungan antara suatu ketentuan hukum dengan ‘illat yang mendasarinya, yaitu dengan melihat munâsabah-nya, sekalipun tidak disebutkan oleh nash.
Selanjutnya, tentang ‘illat mustanbathah -sebagaimana telah disebutkan sebelum ini- diperlukan kejelian dan kecermatan dalam melihat apa yang menjadi alasan ketetapan hukum syara‘, karena nash tidak menyebutkan dan tidak memberi isyarat atau tidak ada tanda yang dapat dijadikan alasan yang melatar-belakangi ketetapan hukum dimaksud.
Dalam hubungan ini, contoh yang dapat diangkat ialah dimana dalam riwayat al-Bukhari[50] diceritakan bahwa ada seorang laki-laki telah menyetubuhi isterinya pada siang hari di bulan Ramadhan. Peristiwa ini dilaporkan kepada Nabi Saw. dan beliau menetapkan hukuman kaffârat bagi laki-laki tersebut dengan memerdekakan seorang budak (hamba sahaya), jika tidak ada budak, diwajibkan puasa dua bulan berturut-turut dan jika tidak sanggup puasa dua bulan, maka hendaklah memberi makan enam puluh orang fakir miskin.
Tidak diragukan lagi bahwa setiap penetapan hukum akan selalu dikaitkan dengan ‘illat yang melatarbelakanginya, tetapi dari kasus yang disebutkan ini tidak tampak dengan jelas apa yang menjadi ‘illat-nya. Oleh karena itu, diperlukan tasyrî‘ dan ijtihad  untuk mencari kira-kira apa yang pantas untuk dijadikan sebagai ‘illat-nya. Setelah diteliti secara cermat, ternyata ‘illat penetapan hukum kaffârat itu adalah “menyetubuhi isteri di siang hari” pada bulan  Ramadhan.[51]
Munculnya penetapan hukum kaffârat bagi orang yang menyetubuhi isteri pada bulan Ramadan adalah karena dilakukan di siang hari.  Sebab, jika tidak demikian tentu tidak ada ketentuan hukuman kaffârat bagi laki-laki yang disebutkan dalam riwayat di atas. Artinya, jika seorang laki-laki menyetubuhi isterinya pada malam hari di bulan Ramadhan tidak dikenakan hukuman kaffârat.
Menurut Muhammad Wafâ[52] -dalam mengomentari kasus ini- bahwa hubungan “menyetubuhi isteri” dengan “siang hari” pada bulan Ramadhan menunjukkan sifat (‘illat) yang dijadikan sebagai alasan penetapan hukum kaffârat tersebut. Dalam kaitan ini, memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Bagi kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, sebagaimana dijelaskan oleh Zakî al-Dîn Sya‘bân,[53] bahwa ‘illat penetapan hukuman kaffârat adalah “sengaja” membatalkan puasa pada bulan Ramadhan baik bersetubuh dengan isteri maupun makan di siang hari, karena hal demikian menghilangkan kemuliaan (kehormatan) bulan Ramadhan.
Akan tetapi, kalangan Syafi‘iyah dan Hanabilah[54] berpendapat bahwa penetapan kaffârat tersebut hanya berlaku bagi yang sengaja menyetubuhi isterinya siang hari bulan Ramadhan saja, sebagaimana telah disebutkan di atas. Karena itu, orang yang batal puasa karena makan dan minum tidak dikenakan kaffârat.
Terlepas dari perbedaan yang disebutkan ini, ternyata dari contoh yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa bagaimana posisi dan keberadaan ‘illat sebagai dasar penetapan hukum baik ‘illat manshûshah maupun ‘illat mustanbathah.
Selanjutnya, mengenai ‘illat dilihat dari segi penggunaannya menurut Alyasa Abubakar[55] dapat dibedakan  menjadi  dua  macam  yaitu: ‘illat  tasyrî‘î   (علة تشريعي) dan  ‘illat qiyâsî (علة قياسي). Adapun istilah ‘illat tasyrî‘î dan ‘illat qiyâsî  tampaknya murni hasil pemahaman dan internalisasi Alyasa Abubakar atas ‘illat hukum dari segi penerapannya. Sebab bila ditelusuri dari berbagai literatur Ushul Fiqh kita tidak menemukan pembagian ‘illat seperti yang dikemukakan oleh Alyasa ini.
Dalam tulisannya berjudul “Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya” dengan salah satu sub bahasan yaitu, “Teori ‘Illat dan Penalaran Ta‘lîlî, Alyasa Abûbakar[56] tidak menyebutkan secara tegas apa dasar pembagian ‘illat seperti dikemukakan di atas. Namun, dapat dipahami bahwa pembagian ‘illat hukum dari segi penerapan ini, agaknya dilatarbelakangi oleh pemahaman dan praktek penggunaan ‘illat hukum di kalangan mujtahid.
Dalam kaitannya dengan penerapan ‘illat hukum, dimana adakalanya ‘illat tersebut hanya berlaku bagi suatu ketentuan hukum saja dan tidak dapat diperluas kepada kasus-kasus lain. Inilah yang kemudian disebut oleh Alyasa Abubakar dengan ‘illat tasyrî‘î. Selanjutnya ‘illat ini digolongkan kepada ‘illat qashîrah. Bila suatu ‘illat hanya berlaku pada satu kasus hukum yang didasarinya saja dan tidak dapat diperluas pada kasus-kasus lain, maka ‘illat tersebut digolongkan kepada ‘illat qashîrah. Amir Syarifuddin[57] menjelaskan bahwa ‘illat qashîrah, ialah ‘illat yang terbatas pada wadah tertentu dan tidak mungkin berlaku ada wadah lain dan tidak dapat dijadikan sebagai ‘illat hukum pokok (ashl). Tegasnya, ‘illat qashîrah  merupakan ‘illat yang terbatas pada satu nash saja, dan tidak dapat diterapkan pada kasus-kasus yang lain.   
Menurut Alyasa Abubakar[58] yang dimaksud dengan ‘illat tasyrî‘î ialah ‘illat yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu ketentuan hukum dapat terus berlaku atau sudah sepantasnya berubah karena ‘illat yang mendasarinya telah berubah. Ketentuan ini telah dirumuskan dalam sebuah kaidah kullîyah; “ada atau tidaknya hukum tergantung (berputar) pada ‘illat-nya”.
Kaidah ini memberikan pengertian bahwa adanya hukum karena adanya ‘illat dan hukum menjadi tidak ada karena tidak ada ‘illat. Begitu pula, bila terjadi perubahan ‘illat maka hukum akan mengalami perubahan.
Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, ternyata kaidah kullîyah dalam aplikasinya telah diterapkan dalam berbagai persoalan hukum. Dalam pandangan Alyasa Abubakar banyak ketentuan Fiqh yang berubah dan berkembang berdasarkan azas ini. Perubahan ini dapat dilihat dari dua segi:
Pertama, pemahaman tentang ‘illat hukum memang telah berubah sesuai dengan perkembangan pemahaman terhadap dalil nash yang menjadi landasannya. Alyasa Abûbakar mengemukakan contoh, misalnya pemahaman tentang ‘illat zakat hasil pertanian. Terhadap kasus ini yang bisa dipahami sebagai ‘illat-nya ialah makanan pokok (الـقـوت) yang dapat disimpan lama dan bisa ditakar. Untuk kasus ini tentu ‘illat-nya hanya bisa berlaku terhadap hasil pertanian yang dikategorikan kepada makanan pokok saja, dan tidak dapat menjangkau hasil-hasil pertanian yang lain yang dalam kenyataannya jauh lebih produktif.
Penetapan ‘illat zakat hasil pertanian berupa makanan pokok yang bisa disimpan lama dan bisa ditakar itu adalah merupakan pemahaman ‘illat yang digunakan dalam praktek tasyrî‘ hukum selama ini. Pemahaman ‘illat seperti ini tentu dilatarbelakangi oleh kondisi dan keadaan yang berkembang pada masa ini. Akan tetapi, sekarang muncul pemahaman dan pendapat baru bahwa ‘illat itu adalah produktif (النماء). Dengan pemahaman ‘illat seperti ini, maka tanaman-tanaman yang produktif -tidak terkecuali hanya tanaman yang menjadi makanan pokok- wajib dikeluarkan zakatnya.
Dengan melihat perubahan pemahaman ‘illat ini, maka jenis tananaman apa saja yang produktif, yang diusahakan dan dikelola oleh petani akan dapat dikenakan zakatnya, karena jangkauan dan sasaran penerapan ‘illat hukum lebih luas dan mencakup. Dengan kata lain, mengubah pemahaman ‘illat dari arti semula kepada pemahaman yang lebih luas, seperti pada kasus yang disebutkan ini, merupakan lompatan dan perkembangan baru dalam pemikiran Ushul Fiqh.
Perubahan pemahaman ‘illat seperti pandangan Alyasa Abubakar di atas, jelas dipengaruhi oleh perkembangan dan pertumbuhan berbagai jenis usaha pertanian yang dikelola oleh manusia pada masa modern sekarang ini, yang tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan kondisi usaha pertanian yang dilakukan oleh masyarakat pada masa lampau.
Apalagi, budidaya berbagai jenis usaha pertanian berkembang dengan pesatnya dan akan terus dikembangkan secara lebih intensif dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dan dalam kenyataannya, justeru model pertanian sekarang ini mampu mendatangkan income (pendapatan) yang lebih besar.
Dapat dibayangkan bahwa, jika pemahaman ‘illat masih seperti semula, bila dihadapkan dengan berbagai jenis usaha pertanian yang berkembang seperti sekarang ini, tentu tidak terkana kewajiban zakat. Hal ini memang menjadi perdebatan di kalangan pakar Ushul Fiqh kontemporer dengan kalangan yang masih tetap berpegang kepada pemahaman ‘illat seperti semula.
Kedua, pemahaman ‘illat tetap seperti semula, tetapi maksud tersebut akan tercapai lebih baik, sekiranya ketentuan hukum yang didasarkan atas ‘illat tersebut yang diubah.[59] Dengan kata lain, yang diubah adalah ketentuan penerapan hukumnya, sedangkan ‘illat-nya tidak diubah.
Misalnya, berkenaan dengan pembagian harta rampasan perang, baik harta bergerak  maupun  tidak   bergerak  berupa tanah dan tanam-tanaman, yang  disebut   dengan al-fay` (الفيئ) dan al-ghanîmah (الغـنيمة) [60] sebagaimana disebutkan dalam surat al-Hasyr ayat 7 dan surat al-Anfâl ayat 41, yang pembagiannya dibagi lima, yaitu:
مَا اَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُوْلِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِيْ الْقُرْبى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ كَيْ لاَيَكُوْنَ دُوْلَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ... (الحشر/۵۹:۷)
Apa saja harta rampasan (al-fay`) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang diperoleh dari berbagai penduduk negeri (kota), maka adalah untuk Allah dan Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu … (QS. Al-Hasyr/59:7)
Dan dalam surat al-Anfâl disebutkan sebagai berikut:
وَاعْلَمُوْا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ لِلَّهِ خُمُسُهُ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ...  (الأنفال/۸۱)
Ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu peroleh dari harta rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan) … (QS. Al-Anfâl/8:14)
Dalam prakteknya, baik al-fay` maupun al-ghanîmah, seperti disebutkan dalam  kedua ayat di atas, oleh Rasulullah selalu dibagi-bagikan. Jika satu suku atau negeri tidak mau damai dan menyerah, tetapi harus bertempur, maka tanah dan harta benda mereka disita sebagai rampasan yang kemudian dibagi-bagikan kepada pasukan muslim. Maksudnya, harta yang dibagi-bagikan kepada pasukan muslim yang bertempur itu adalah empat perlimanya, sedangkan seperlimanya dibagikan kepada Allah dan Rasul-Nya, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibn sabil.
Praktek pembagian seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw. ini dipahami berpijak pada ’illat “agar harta rampasan perang tersebut“ tidak dimonopoli atau hanya bertumpuk dan beredar pada orang-orang kaya saja. Praktek ini oleh kaum Muslimin dipandang sebagai sunnah yang harus diikuti.
Akan tetapi pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khattâb tidak demikian halnya, karena umat Islam sudah tersebar luas dan penaklukan telah melebar ke berbagai daerah yang berada di luar Jazirah Arab yang cakupannya lebih  besar  dan lebih luas, jika dibandingkan dengan masa Nabi dan masa Abû Bakar al-Siddîq.  Pada masa Umar, harta rampasan perang berupa tanah pertanian yang luas dan subur, seperti yang terdapat di Irak tidak dibagi-bagikan kepada para pasukan yang ikut perang, meskipun perang telah selesai.
Dalam pandangan Umar Ibn Khattâb bahwa jika harta rampasan perang tersebut dibagi-bagikan, -sebagaimana praktek pada masa Nabi dan Abû Bakar- justeru akan melahirkan orang-orang kaya baru dan hal seperti inilah yang tidak dibenarkan atau dilarang oleh Alquran. Bagi Umar, seperti dijelaskan Alyasa Abubakar93, tanah harus dikuasai oleh negara, tetapi disewakan kepada penduduk dan yang dibagi adalah hasil sewanya kepada pihak yang tidak mampu dan pihak-pihak yang memerlukan bantuan negara.
Di sini terlihat dan diakui bahwa Umar telah melakukan dan mengambil kebijakan yang berbeda dengan apa yang telah dipraktekkan oleh Nabi dan apa yang  tertulis secara tekstual dalam Alquran. Pembagian harta rampasan perang pada masa Nabi, sebetulnya juga menimbulkan berbagai pandangan bahwa apakah pembagian tersebut merupakan sunnah yang harus diikuti atau merupakan aturan yang berlaku pada masa itu saja.
Dalam hubungan ini, Fazlur Rahman[61] menegaskan bahwa pembagian harta rampasan perang seperti yang dipraktekkan oleh Nabi, mungkin sekali sesuai dengan aturan perang yang berlaku pada masa itu dan terdapat kemungkinan berubah sebagai akibat dari perkembangan masyarakat Islam, seperti apa yang di lakukan oleh Umar ibn al-Khattâb.
Kebijakan Umar dalam pembagian harta rampasan perang dengan aturan baru bukan berarti tidak menimbulkan perdebatan dan tantangan dari sebagian sahabat lain. Mereka mendesak Umar agar tanah rampasan perang dibagi menurut praktek semula seperti berlaku pada masa Nabi dan Abû Bakar. Akan tetapi, masih ada sebagian sahabat lain yang mendukung dan sama pendirian mereka dengan Umar ibn Khattâb.[62]
Berbagai kritik dan pandangan yang muncul, pro dan kontra terhadap kebijakan Umar tentang pembagian harta ini. Menurut Jalaluddin Rahmat[63] paling tidak ada lima pandangan tentang ijtihad Umar. Pertama, Umar tidak meninggalkan nash, apalagi mengganti atau menghapusnya. Kedua, Umar meninggalkan zhahir nash dan berpegang kepada substansi (ruh) nash atau maqâshid al-syarî‘ah.  Ketiga, ijtihad Umar berkenaan pada masalah-masalah qath‘îyah bukan bidang ijtihad, tetapi diperbolehkan khusus untuk Umar. Keempat, Umar telah meninggalkan nash yang sharîh, tetapi ijtihadnya tetap memperoleh satu pahala. Kelima, Umar banyak melakukan pelanggaran terhadap nash yang qath‘î dan ini terjadi karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan yang bersangkutan.
Akan tetapi betulkah Umar meninggalkan nash, melakukan kesalahan dan pelanggaran atau tidak mengerti terhadap persoalan yang ia putuskan, padahal ia salah seorang sahabat yang terkemuka yang cukup lama bergaul dengan Nabi, dimana kemampuan dan pengetahuannya tidak diragukan lagi?
Dari berbagai sumber literatur mengungkapkan bahwa kebijakan Umar tentang pembagian harta rampasan perang itu tetap berpijak pada pemahaman ‘illat seperti semula, yaitu agar harta  rampasan  tidak hanya “beredar di tangan orang-orang kaya saja”, tetapi penerapannya yang diubah, karena menurut Umar cara tersebutlah yang lebih tepat.  Jika demikian halnya, maka Umar tidak dapat dipandang sebagai orang yang telah melakukan kesalahan atau meninggalkan nash yang sharîh, tetapi ia menerapkan ruh syari‘at dengan melihat sasaran maksud syara‘, yaitu dengan mengedepankan kemaslahatan.
Kemudian mengenai ‘illat qiyâsî ialah ‘illat yang digunakan untuk mengetahui apakah ketentuan yang berlaku terhadap sesuatu masalah yang dijelaskan oleh nash dapat diberlakukan pada masalah lain (baru) yang tidak dijelaskan oleh nash karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya.[64]. Hal ini sesungguhnya terkait dengan ‘illat muta‘âdîyah. Yang dimaksud dengan ‘illat muta‘âdîyah ialah ‘illat disamping dapat ditemukan pada wadah yang menjadi tempat bertemunya hukum ashl, juga dapat ditemukan di tempat lain.[65] Artinya, ‘illat ini disamping berlaku pada hukum ashl, tetapi juga dapat diterapkan pada kasus-kasus hukum lainnya.
Dalam teori qiyâsî, salah satu unsur pokok atau rukunnya ialah adanya ‘illat. Pemahaman tentang ‘illat qiyâsî ini ialah usaha mencari persamaan ‘illat yang ada pada persoalan hukum yang disebutkan oleh nash dengan persoalan baru yang tidak terdapat ketentuan hukumnya di dalam nash. Dengan kata lain, untuk menetapkan dua persoalan dalam ketentuan hukum yang sama, di mana yang pertama telah disebutkan oleh nash dan yang kedua tidak disebutkan oleh nash, maka haruslah didasarkan pada kesamaan ‘illat.
Dasar kesamaan ini harus dilihat pada sifat yang menjadi pautan hukum yang disebut oleh nash. Sebab menurut Abd al-Wahhâb Khallâf,[66] bahwa pada hakikatnya ‘illat qiyâsî itu merupakan sifat yang menjadi dasar penetapan hukum di dalam nash dan atas dasar sifat itu pula ditetapkan atau diberlakukan ketentuan hukum yang sama pada persoalan lain (baru) yang tidak disebutkan oleh nash.  Dalam pandangan Imam al-Juwainî[67] (W. 478) disebut dengan istilah qiyâs al-‘illat (قياس العلة) yaitu mencari persamaan ‘illat yang disebutkan oleh nash di tempat lain, yaitu dalam persoalan yang tidak disebutkan oleh nash  (فى غير واقع الـنص).
Dalam ketentuan qiyâs bahwa antara ‘illat yang mendasari ketentuan hukum pada al-ashl (pokok) yang disebutkan nash dan pada al-far‘u (cabang) yang tidak disebutkan oleh nash terdapat kesamaan, sehingga keduanya berlaku ketentuan hukum yang sama.
Menurut Zakî al-Dîn Sya‘bân[68] hal yang paling mendasar tentang ‘illat qiyâs itu ialah ‘illat yang tidak hanya terdapat pada hukum asal (yang disebut oleh nash), tetapi harus juga ditemukan di tempat lain (cabang) sehingga keduanya dapat disamakan ketentuan hukumnya. Sebab, lanjut Zakî al-Dîn Sya‘bân[69]
لأَنَّ الْقِيَاسَ لاَ بُدَّ فِيْهِ مِنِ اشْتِرَاكِ الأَصْلِ وَالْفَرْعِ فِي عِلَّةِ الْحُكْمِ
Maksudnya qiyâs itu antara pokok (al-ashl) dan   cabang (al-far‘u) dapat disatukan karena  kesamaan ‘illat hukum
Oleh karena itu, ‘illat hukum yang terdapat pada pokok (al-ashl) akan menjadi ukuran atau standar bagi cabang (masalah baru), dimana cabang akan mengacu kepada ketentuan hukum yang terdapat pada pokok.
Dalam hubungan ini Abd al-Wahhâb Khallâf[70] memberikan contoh dengan ‘illat iskar  (اسكار), yaitu “memabukkan” yang merupakan sifat yang menjadi dasar pengharaman khamar yang disebutkan di dalam nash. Atas dasar ini, maka diberlakukanlah ketentuan hukum yang sama terhadap jenis minuman yang mengandung sifat atau unsur yang memabukkan tersebut. Dari sini jelas bahwa ‘illat dilihat dari segi penggunaan dan penerapannya tidak saja dipakai untuk kepentingan qiyâs semata, tetapi ia juga untuk                menetapkan   hukum  di luar qiyâs,  yaitu  apa  yang  disebut dengan  istilah  ‘illat  tasyrî‘î (علة تشر يعى).
Selanjutnya sebelum berbicara tentang persyaratan ‘illat maka pada bagian ini dipandang perlu menjelaskan apa yang disebut dengan ‘illat qashîrah dan ‘illat muta‘âdîyah. Menurut Zakî al-Dîn Sya‘bân, bahwa yang dimaksud dengan ‘illat qashîrah ialah ‘illat yang hanya terdapat pada suatu ketetapan hukum syara‘ yang tidak bisa diperluas penerapannya kepada masalah lain yang belum ada ketentuan hukumnya dalam rangka pemberlakuan qiyâs.
Contoh kasus untuk ‘illat qashîrah ini adalah berkenaan dengan kebolehan mengqasar shalat bagi musafir yang sedang dalam perjalanan. Hikmahnya adalah untuk menghilangkan kesulitan dan meringankan beban bagi hamba (manusia). Akan tetapi Syâri‘ (Allah) mengaitkan penetapan hukum (‘illat) dengan safar. Allah berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ... (النساء/٤:۱۰١)
Dan jika kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasar shalat (mu), jika kamu takut di serang oleh orang-orang kafir... (QS. Al-Nisâ`/4:101)
Ayat ini menunjukkan bahwa safar (berpergian) merupakan ‘illat bolehnya meng-qashar shalat, dan safar itu sendiri merupakan ‘illat qashîrah yang tidak dapat diberlakukan kepada kasus lain; mengqiyaskannya kepada orang-orang yang bekerja berat. Kemudian, yang dimaksud dengan ‘illat muta‘âdîyah ialah ‘illat yang terdapat pada hukum ashl dapat direntangkan atau diberlakukan kepada kasus lain.[71]  ‘Illat ini juga  disebut dengan ‘illat qiyâsî. Misalnya, ‘illat “menyakiti” pada ucapan ‘uff”, yaitu berkata kasar kepada orang tua yang haram hukumnya dapat pula ditemukan pada perbuatan atau ucapan lain yang dapat menyakiti orang tua, seperti memukul dan atau menghardik mereka.
C. Syarat-syarat‘Illat hukum
Yang dimaksud dengan syarat-syarat disini ialah ketentuan-ketentuan yang mengikat keabsahan suatu ‘illat hukum. Dengan kata lain, suatu ‘illat dapat diterima atau dijadikan sebagai dasar atau pijakan dalam penetapan hukum bila telah memenuhi sejumlah persyaratan dan kriteria yang sudah ditentukan. Syarat-syarat ‘illat yang ditetapkan ini, sesungguhnya, akan terkait dengan kepentingan pelaksanaan qiyâs.
Demikian pula, penetapan persyaratan ‘illat ini akan berhubungan pula dengan keabsahan dan eksistensinya sebagai dasar dalam penetapan hukum syara‘. Bila suatu ‘illat tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, maka ia tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam penetapan hukum qiyâs.
Atas dasar ini para ulama ushul[72] berpendapat bahwa penetapan syarat bagi ‘illat hukum merupakan sesuatu yang mutlaq. Dalam penentuan syarat-syarat bagi ‘illat hukum ini, di kalangan ulama ushul, baik klasik maupun kontemporer terdapat keragaman satu sama lainnya.  Keragaman perbedaan ini terlihat bukan saja diantara pemikiran Ushul Fiqh klasik dan kontemporer, tetapi juga dalam pemikiran ushul klasik terdapat perbedaan.
Imam al-Ghazâlî[73] misalnya, dalam kitab al-Mustashfâ menetapkan delapan syarat bagi suatu ‘illat hukum, Imam ibn al-Subkî[74] dalam kitab Matan Jâmi‘ al-Jawâmi‘ menyebutkan sepuluh, dan Imam al-Syaukânî ((W. 1255 H)[75] dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl menyebutkan dua puluh empat syarat.
Kemudian, dalam pemikiran Ushul Fiqh kontemporer, penetapan syarat ‘illat lebih sederhana, simple dan lebih aplikatif. Para pakar Ushul Fiqh kontemporer, seperti, Abd al-Wahhâb Khallâf, Zakî al-Dîn Sya‘bân dan Ali Hasaballah menyebutkan empat syarat bagi suatu ‘illat hukum.[76] Akan tetapi, Imam Abû Zahrah, Abd al-Karîm Zaidân dan Mushthafâ Syalabî[77] yang juga pakar Ushul Fiqh kontemporer masing-masing menetapkan lima syarat ‘illat dan Syekh Khudari Beik[78] menetapkan delapan syarat.
Dari perbedaan dan keragaman  syarat ‘illat yang ditetapkan para ulama ushul baik klasik maupun kontemporer, ada sejumlah syarat yang mereka sepakati. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, ‘Illat hendaklah berupa sifat yang jelas, dapat ditangkap oleh indera dan akal pikiran. Artinya dapat diterima secara logis. Misalnya ‘illat memabukkan (iskâr) yang dapat diketahui dengan jelas pada khamar. Jika dalam hubungannya dengan qiyâs, maka ‘illat “memabukkan” pada khamar sebagai pokok (al-ashl) harus dapat dipastikan secara jelas keberadaannya pada persoalan lain sebagai cabang. Menurut ibn al-Subkî[79] sifat yang jelas di sini maksudnya ialah dapat dipastikan wujudnya. Sifat yang jelas ini oleh Abd al-Wahhâb Khallâf[80] disebut dengan ungkapan:
أَنْ تَكُوْنَ الْعِلَّةُ وَصْفًا ظَاهِرًا
Kedua, ‘Illat hendaklah berupa sifat yang pasti (dhâbith). Zakî al-Dîn Sya‘bân menyebutnya dengan istilah:
أَنْ تَكُوْنَ الْعِلَّةُ وَصْفًا مُنْضَبِطًا
Sifat ‘illat yang pasti dan akurat di sini maksudnya, ialah relatif dapat diukur dan kepastiannya dapat dilihat pada cabang. Karena prinsip pokok dalam qiyâs adalah menyamakan cabang (al-far‘u) dengan pokok (al-ashl). Sebagai contoh, tidak boleh menjadikan masyaqqat  (kesulitan) sebagai ‘illat atas bolehnya berbuka  (افطار) bagi musafir pada bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan masyaqqat merupakan perkara yang tidak dapat dipastikan dan tidak sama antara satu dengan yang lainnya diantara musafir. Oleh karena itu ‘illat boleh berbuka bagi  musafir pada bulan Ramadhan adalah safar (berpergian) itu sendiri. Sebab kalau bukan karena safar tentu tidak boleh (dilarang) berbuka puasa pada bulan Ramadhan.
Ketiga,
أَنْ تَكُوْنَ الْعِلَّةُ وَصْفًا مُنَاسِبًا
‘Illat hendaklah berupa sifat yang serasi dan pantas
Maksudnya bahwa ‘illat itu tidak hanya sesuatu yang pantas dan cocok untuk mewujudkan hikmah yang terkandung dari segi tujuan penetapan hukum, tetapi juga dari segi wujudnya memang pantas sebagai alasan penetapan hukum (مناسبا للحكم) sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Syâri‘, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Sebagai contoh, ‘illat memabukkan (iskâr) adalah merupakan ‘illat yang pantas untuk pengharaman khamar. Sebab memabukkan itu dapat merusak akal manusia. Oleh karena itu, pengharaman khamar itu tujuannya tidak lain adalah untuk memelihara akal manusia.
Keempat,
أَنْ لاَ تَكُوْنَ الْعِلَّةُ وَصْفًا قَاصِرًا عَلَى الأَصْلِ
’Illat tidak hanya terdapat pada pokok (al-ashl),  tetapi  juga  terdapat  pada  cabang
Maksudnya, bahwa ‘illat pada pokok dapat diberlakukan pada persoalan lain. Jika sekiranya ‘illat itu hanya ada pada pokok saja, maka tidak dapat dijadikan sebagai tempat untuk menyamakan persoalan lain.
Kelima, ‘Illat tidak boleh berlawanan atau menyalahi ketentuan hukum yang ditetapkan oleh nash. Maksudnya ialah dalam penetapan suatu ‘illat hukum tidak boleh menyalahi atau berlawanan dengan sesuatu ketentuan hukum yang pasti di dalam nash. Contohnya, pandangan sebagian orang masa sekarang yang menyamakan derajat laki-laki dan perempuan dijadikan ‘illat untuk menyamakan hak kewarisan laki-laki dan perempuan.[81]
Keenam, ‘Illat tidak boleh membatalkan hukum pokok. Maksudnya, penetapan suatu ‘illat hukum tidak boleh mengubah dan membatalkan suatu ketentuan yang sudah pasti.
Ketujuh,‘Illat dalam penetapannya tidak boleh sesudah hukum pokok. Maksudnya ‘illat merupakan suatu sifat yang mendorong adanya  hukum,  maka  keberadaannya  tidak boleh  sesudah  hukum.  Imam Ibn al-Subkî[82]  menyebutnya  dengan  istilah  berikut   ini:
 أَنْ لاَ يَكُوْنَ ثُبُوْتُهَا مُتَأَخِّرًا عَنْ ثُبُوْتِ الْحُكْمِ الأَصْلِى
Tujuh syarat ‘illat yang dikemukakan di atas merupakan syarat-syarat yang disepakati oleh ulama ushul baik klasik maupun komtemporer. Dengan kata lain, bila ditelusuri secara mendalam persyaratan ‘illat yang telah ditetapkan oleh ulama ushul baik klasik maupun kontemporer maka setidaknya terdapat tujuh macam syarat yang disepakati oleh mereka.
Kemudian, menyangkut tentang persyaratan ‘illat yang tidak disepakati dimana antara ulama ushul baik klasik maupun komtemporer terdapat perbedaan. Dalam pemikiran ushul fiqh klasik sendiri berbeda-beda. Perbedaan persyaratan ‘illat ini terlihat dari segi jumlah persyaratan yang ditetapkan.
Dikalangan ulama ushul klasik penetapan persyaratan ‘illat lebih ketat. Bila dicermati secara kritis sebagian dari syarat-syarat itu sifatnya penegasan saja, sehingga terkesan sangat ketat. Sebagai  contoh,  tiga dari delapan syarat ‘illat  yang  ditetapkan al-Ghazâlî[83] yaitu: ‘illat yang tidak didukung dalil nash maka keabsahannya tidak diterima, ‘illat yang hanya berdasarkan dalil akal tidak sah, dan ‘illat tidak boleh menyalahi ijmâ‘, pada dasarnya mengandung esensi yang sama. Demikian juga persyaratan ‘illat yang ditetapkan oleh ibn al-Subkî dalam kitab Matan Jâmi‘ al-Jawâmi‘ dan al-Syaukânî dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl yang boleh dikatakan sifatnya penegasan.
Berbeda halnya dengan persyaratan ‘illat yang ditetapkan ulama ushul kontemporer yang tampak lebih sederhana dan jumlahnya relatif lebih sedikit, tidak ketat dan lebih aplikatif jika dibandingkan dengan  persyaratan ‘illat yang terdapat dalam pemikiran ushul klasik.
Kemudian, dilihat sari segi urutannya, persyaratan ‘illat dalam pemikiran Ushul kontemporer bersifat kumulatif dan tidak parsial. Kecuali, hanya Syaikh Khuduri Beik yang menetapkan delapan syarat yang ternyata sebagian dari syarat-syarat itu juga bersifat penjelasan dan penegasan dari syarat yang lainnya.
Adanya usaha penyederhanaan bagi persyaratan ‘illat yang relatif jumlahnya lebih sedikit, dan lebih aplikatif seperti terlihat dalam pemikiran ushul kontemporer, menunjukkan adanya perkembangan baru, yang sedikit banyaknya akan berpengaruh pada tasyrî‘ dan penetapan hukumnya. Paling tidak, dengan penyederhanaan ini akan lebih memudahkan bagi seorang peneliti atau orang yang akan menggali hukum Islam dalam menentukan ‘illat dari suatu ketentuan hukum. Di samping itu, coraknya lebih operasional dan tata urutannya saling terkait antara satu dengan lain.
Penyederhanaan syarat ‘illat seperti terlihat dalam pemikiran ushul kontemporer dirumuskan menjadi empat syarat, yaitu:
1.‘Illat hendaklah merupakan sifat yang jelas (washfan zhâhiran).
2. ‘Illat hendaklah merupakan sifat pasti dan akurat (washfan mundhabithan).
3. ‘Illat merupakan sifat yang serasi dan ada relevansinya dengan hukum yang ditetapkan (washfan munâsiban).
4. ‘Illat bukan hanya sifat yang dapat berlaku pada pokok tetapi juga dapat diberlakukan pada cabang (washfan muta‘âdîyan) serta ‘illat tidak boleh bertentangan dengan nash adalah menggambarkan tata urutan persyaratan yang sistematis.
Kemudian, apakah persyaratan ini mencakup untuk ‘illat manshûshah dan mustanbathah? Kelihatannya, baik pemikiran ushul klasik maupun kontemporer tidak menyatakan dengan tegas. Akan tetapi dapat dipahami bahwa semua syarat ‘illat yang telah ditetapkan itu mencakup untuk keduanya yaitu manshûshah dan  mustanbathah. Begitu pula dari segi penerapannya, syarat-syarat ini berlaku pula bagi ‘illat qiyâsî dan ‘illat tasyrî‘î. Hanya saja khusus bagi ‘illat qiyâsî harus terlihat dan dapat dibuktikan secara kongkrit unsur persamaan yang dapat mempertautkan antara pokok dengan cabang.  Dengan kata lain, ‘illat yang terdapat pada hukum pokok harus berupa sifat muta‘âdîyah dan bukan qashîrah.
Demikian juga halnya dengan ‘illat tasyrî‘î yang pemahamannya ada atau tidak adanya ‘illat serta apakah sudah sepantasnya ‘illat tersebut dirubah.  Dan untuk aspek ini, akan terkait dengan syarat-syarat ‘illat, berupa sifat yang jelas, akurat dan munâsabahnya. Artinya aspek ini   lebih   berorientasi  dan   mengacu   kepada  maqâshid al-syarî‘ah (مــقاصــد الشـريعـة ) yaitu tujuan hukum. Hal inilah yang diungkapkan oleh Imam al-Ghazâlî[84] dalam kitab al-Mushtasfâ sebagai berikut:
اِنْتِفَاءُ الْعِلَّةِ يُوْجِبُ انْتِفَاءَ الْحُكْمِ بَلْ لِأَنَّ الْحُكْمَ لاَ بُدَّ لَهُ مِنْ عِلَّةٍ, فَإِذَا اتَّحَدَتِ الْعِلَّةُ وَانْتَفَتْ فَلَوْ بَقِيَ الْحُكْمُ لَكَانَ ثَابِتًا بِغَيْرِ سَبَبٍ مَا حَيْثُ تَعَـدَّدَتِ الْعِلَّةُ فَلاَ يَلْزَمُ انْتِفَاءُ الْحُكْمِ عِنْدَ انْتِفَاءِ بَعْضِ الْعِلَلِ بَلْ عِنْدَ انْتِفَاءِ جَمِيْعِهَا
Pandangan al-Ghazâlî ini menunjukkan bahwa ‘illat-lah yang memastikan adanya hukum, tetapi jika ‘illat terbatas, tidak ada atau terjadi perubahan padanya, meskipun hukum ada, maka ketetapan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dipahami alasannya. Adapun ketika terdapat sejumlah ‘illat (ada ‘illat), maka tidak mesti ketiadaan hukum disebabkan ketiadaan ‘illat baik sebagian maupun seluruhnya.
Pernyataan al-Ghazâlî di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa adanya hukum karena adanya ‘illat dan sebaliknya ketiadaan ‘illat maka hukum menjadi tidak ada. Hal ini adalah suatu hal yang dapat dipahami secara logika. Akan tetapi ketika dihadapkan dengan kenyataan suatu ketetapan hukum yang pasti tetapi ‘illat dan sebabnya tidak dapat dipahami alasannya. Begitu pula bahwa tidak ada hukum karena  tidak ada ‘illat, baik sebagian maupun seluruhnya.
Oleh karena itu, penetapan syarat-syarat bagi suatu ‘illat sebagaimana telah diungkapkan di atas bertujuan agar tidak menimbulkan ketidak-pastian dalam hukum dan yang lebih penting lagi adalah tidak ada halangan yang menyebabkan ‘illat pada suatu persoalan dalam nash tidak dapat diberlakukan pada persoalan baru.[85] 
Dari uraian di atas, ternyata antara pemikiran ushul klasik dan kontemporer tentang persyaratan ini, dilihat dari segi jumlahnya terdapat perbedaan. Namun demikian terdapat kesamaan pandangan bahwa penetapan syarat-syarat  bagi ‘illat sesuatu yang penting dan tidak dapat diabaikan. Hanya bedanya, kalangan pemikiran ushul klasik lebih ketat dan terkesan kaku sedangkan pemikiran ushul kontemporer lebih sederhana dan tidak ketat dan malah lebih aplikatif dan akomodatif.




1 Luis Ma`lûf, al-Munjid fî al-Lughat wa al-Adâb wa al-Ulûm (Beirut: al-Matba‘at al-Katsûlikîyah, 1956), h. 523.
2 Muhammad al-Jurjânî,  Kitâb al-Ta‘rîfât, ( Singapore-Jeddah: tt),  h. 154.
3 Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîst terj. H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Lansyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. 363-364
4  Al-Ghazâlî, Al-Mustasfâ, h. 395.
5  Al-Ghazali, al-Mustasfâ, h. 395.
6 Muhammad Abd al-Ghanî al-Bajiqânî, Al-Madkhal Ilâ Ushûl al-Fiqh al-Mâlikî, h. 112. 
7 Abd al-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj, h. 39-40.
8 Abd l-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj Fî ¡yarh al-Minhâj, h, 39-40.
9 Abd al-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj Fî Syarh al-Minhâj, h, 39-40.
10 Ibn al-Subkî, Syarh Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘, jil. II, (Indonesia: Maktabat Dâr Ihyâ`, t.t), h. 231.
11 Ibn al-Subkî, Syarh Matn Jam’I al-Jawâmi’, jil. II. H. 231.
12 Lihat: Abû Hâmid al-Ghazâlî, Al-Mushtasfâ, h. 399, 433, dan Muhammad Mushthafâ Syalabî,  Ta‘lîl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Nahdhat al-Arabîyah, 1981), h. 115.
13 Ibn al-Subkî, Syarh Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘,h. 231.
14  Al-Ghazâlî, Al-Mushtasfâ, h. 436. Perintah untuk mengulangi wuduk karena menyentuh kemaluan ini didasarkan pada hadis yang berasal dari Burrah.  Hadis ini menjelaskan: barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwuduk kembali " من مـسّ ذ كره قـلـيـتوضـأ ".  Hadis ini dan penjelasannya dapat dilihat dalam: al-San‘ânî, Subul al-Salâm, h. 67-68.
15 Muhammad Mushthafâ Syalabî,  Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 117.
16 Abû Yahyâ Zakarîya al-Anshârî, Ghâyat al-Wushûl: Syarh Lubb al-Uhul (Surabaya: t.pn, t.t), h. 144.
17 Muhammad al-Jurjânî,  Kitâb al-Ta‘rîfât, h. 154.
18 Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 63-64
19 Shâdiq Hasan Khan, Mukhtashar Hushûl al-Ma‘mûl Min ‘Ilm al-Ushûl (Kairo: Dâr al- Shahwah, 1403), h. 106-108.
20 Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 237.
21 Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 237.
22 Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, h. 131-132.
[1] Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 49-50.
[2] Abd al-Wahab Khalaf, Mashâdir alTasyrî’ al-Islâmi, h. 49-50.
[3] Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 65.
[4] Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, h. 201-202.
[5] Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 67-68.
[6] Ahmad Hasan, Analogical Reasoning In Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute Press, 1986), h. 175-176.
[7] Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 67-68.
[8] Contoh ini termuat dalam QS. al-Baqarah/2:185.
[9] Abd al-Wahâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 68.
[10] Abd al-Wahâb Khalaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh. h. 68.
[11] Abd al-Wahâb Khalaf.’Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 68.
[12] Abd al-Wahâb Khalaf.’Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 37-38.
[13] Abd al-Wahâb Khalaf.’Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 73.
[14] Lihat: QS. al-Nisâ`/4:135
[15] Abd al-Fattâh Muhammad Abû al-‘Inain, al-Qadhâ wa al-Istbât fî al-Fiqh al-Islâmî (Kairo: t.pn, 1983), h. 121
[16] Muhammad Mustafâ Syalabî,  Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 75.
[17] Muhammad Mustafâ Syalabî, Ta’lîl al-Ahkâm, h. 75.
[18] Teks hadis tersebut berbunyi:
وعن عبا دة بن الصا مت رضى الله عـنه قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الذ هب بالذ هب والفـضة با لفضة والبربالبر والـشـعـيـر با لشعير والتـمربالتمروالملح بالملح مثلا بمـثـل سواء يدا بيد فاذا اخـتـلـفـت هـذه الاصنا ف فـبـيعـوا كيف شـئـتـم  اذا كا ن يدا بيد (رواه مسلم)   .
Lihat, Sahih Muslim Juz III, (Indonesia: Maktabah Dahlan,tt), h. 1211; Lihat pula dalam al-Shan‘ânî, Subul al-Salâm, 37-38.
[19] Mushthafâ Said al-Khind, Asr al-Ikhtilâf, h. 493-494.
[20] Musthafa Said al-Khind,  Asr al-Ikhtilâf, h.493-494.
[21] Musthafa Said al-Khind,  Asr al-Ikhtilâf,   h. 496-497.
[22] Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Dalam Islam (Bandung: CV Diponegoro, 1984), h. 176-180.
[23] Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah jil. III (Beirut: Dâar al-Kitâb al-Arabî, 1973), h. 378.
[24] Al-Sya‘rânî, al-Mizân al-Qubrâ jil. II (Kairo: Dâr al-Fikr li al-Tibâ‘ah wa al-Nasyr, t.t), h. 170.
[25] Mushthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 130.
[26] Musthafa Syalabi, Ta’lîl al-Ahkâm,  h. 131.
[27] Musthafa Syalabi, Ta’lîl al-Ahkâm,   h. 133.
[28] Musthafa Syalabi, Ta’lîl al-Ahkâm, h. 133.
[29] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih,  h. 79-140. Lihat pula: Johanes den Heyer, Islam, Negara dan Hukum, terj. Syamsul Anwar (Jakarta: INIS, 1993), h. 20-33, Yûsuf al-Qardhâwî, Masalah–masalah Islam Kontemporer, terj. Muhammad Ichsan (Jakarta: Megah Press, 1994), h. 162-186, Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Presindo, 1992), h. 113-172.
[30] Yûsuf al-Qardhâwî, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, terj. Said Agil Husen al-Munawar (Semarang: Bina Utama, 1993), h. 9-10.
[31] Al-Ghazâlî, Al-Mushtasfâ, h. 425-435.
[32] Abd al-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj, h. 60.
[33] Ibn al-Subkî, Syarh Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘, h. 245-253.
[34] Ibn al-Subkî, Syarh Matan Jam’î al-Jawâmi, h. 245252.
[35] Muhammad Mushthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 64-65
[36] Syekh Khudari Beik memberi komentar terhadap ketiga macam ‘illat ini. Menurutnya, ‘illat yang disebut dalam kategori pertama adalah berkaitan dengan tujuan Syâri‘ dalam pensyariatan hukum; yaitu akan bermuara pada tiga kepentingan yakni kepentingan yang sifatnya dharûrî, hajjiyi dan takmîlî. Adapun yang kedua, seperti ditegaskan oleh Khudari Beik adalah bahwa hukum dibina berdasarkan ‘illat agar dapat membawa kepada kemaslahatan, terhindar dari kerusakan. Ketiga ialah ‘illat yang terlihat adanya sifat yang dijelaskan Syari’  bersamaan dengan suatu ketetapan hukum, baik secara sharîh maupun tidak. Lihat: Muhammad Khudharî Beik, Ushûl al-Fiqh, h. 299-309.
[37] Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 241-243, Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 52-56, Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, h. 207-210.
[38] Abu Zahrah menjelaskan, jika nash tidak menyebutkan suatu ‘illat secara jelas dan telah pula terikat adanya syarat atau indikator yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum, maka jalan yang harus ditempuh ialah lewat ijtihad atau istinbâth dengan mencari dan mengalisa berbagai kemungkinan  sifat yang paling pantas terdapat  keserasian untuk dijelaskan ‘illat bagi suatu ketentuan hokum. Lihat: Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 245.
[39] Musthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 240.
[40] Musthafa Syalabi, Ta’lîl al-Ahkâm,  h. 230.
[41] Musthafa Syalabi, Ta’lîl al-Ahkâm, h. 230.
[42] Musthafa Ayalabi. Ta’lîl al-Ahkâm  h. 230.,
[43] Ibn al-Subkî, Matan Jâmi‘ al-Jawâmi‘, h. 231.
[44] Muhammad Mushthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 189-198.
[45] Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 75.
[46] Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 71-75
[47] Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 241-243
[48] Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, h. 207-210.
[49] Muhammad Mushthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 250
[50] Dalam versi lain laki-laki itu sendiri yang melapor dan menghadap Nabi bahwa ia telah menyetubuhi isterinya di siang hari pada bulan Ramadhan, lalu Nabi menyuruhnya memerdekakan budak (hamba sahaya) dan seterusnya. Lihat, Muhammad Wafâ, Dilâlat al-Khithâb al-Syar‘î ‘ala Hukm al-Manthûq wa al-Mafhûm (Kairo: Dâr al-Tibâ‘ah al-Muhammadîyah, 1981), h. 6; Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 245.
[51] Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, h. 152
[52] Muhammad Wafâ, Dilâlat al-Khithâb al-Syar‘î, h. 6.
[53] Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, h. 152
[54] Zakî al-Dîn Sya’bân. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, h. 152.
[55]Lihat: Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h. 180-183 dan tesisnya "Metode Istinbath Fiqih di Indonesia", h. 44-50.
[56] Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h. 179
[57] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, h. 176.
[58] Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h. 179.
[59] Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h.172.
[60] Al-fay dengan al-ghanimah berbeda dari segi memperolehnya; Al-fay’ diperoleh dari musuh tanpa perang, sedangkan al-ghanimah diperoleh setelah terjadi peperangan. Dalam prakteknya, keadaan pembagiannya adalah sama.
93 Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h. 181-183.
[61] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1884), h. 271-272.
[62] Amir Nuruddin, Ijtihad Umar al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum Dalam Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 157.
[63] Jalaluddin Rahmat, “Kontroversi Reaktualisasi Ijtihad Umar” dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 44-46.
[64] Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h. 181-183.
[65] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, h. 176.
[66] Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 63.
[67] Imam al-Haramain al-Juwaini, al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh jil. II (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmîyah, 1997), h. 23.
[68] Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, h. 143.
[69] Zakî al-Dîn Sya’bân,  Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, h. 143.
[70] Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh h. 63.
[71] Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, h. 143-144.
[72] Abû Hâmid al-Ghazâlî, Syifâ` al-Ghalîl fî Bayân wa Masâlik al-Ta‘lîl (Baghdad: Matba‘ah al-Irsyad, 1971), h. 547-550.
[73] Al-Ghazâlî, Al-Mushtasfâ, h. 463-477.
[74] Ibn al-Subkî, Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘, h. 234-253.
[75] Muhammad al-Syaukanî, Irsyâd al- Fuhûl, h. 207-209
[76] Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 68-70, Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, h. 141-143, dan Ali Hasab Allah, Ushûl al-Tasyrî‘ al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1976), h. 147-151.
[77] Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 188-190, Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, h. 203-206 dan Muşthafâ Syallâbî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 154-199.
[78] Muhammad Khudari Beik, Ushûl al-Fiqh, h. 319-325.
[79] Ibn al-Subkî, Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘, h. 234-253.
[80] Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 68-70
[81] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, h. 176-177.
[82] Ibn al-Subkî, Matan Jam’i  al–Jawâmi‘, h. 234-253.
[83] Romli  SA, “Eksistensi Qiyâs Menurut Al-Ghazali: Kajian Terhadap Kitab al-Mustashfâ” (Banda Aceh: tesis, 1994), h. 79.
[84] Al-Ghazâlî, Al-Mustasfâ, h. 463-477.
[85] Alyasa Abubakar, “Beberapa Teori Penalaran Fiqih dan Penerapannya” dalam Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung: PT. Rosdakarya, 1991), h. 184.

Pengunjung