ABU HURAIRAH
R.A.
Akrab Dengan Kelaparan Tokoh kita ini biasa berpuasa sunah tiga
hari setiap awal bulan Qamariah (bulan
Arab dalam penanggalan Hijri), mengisi
malam harinya dengan membaca Al-Quran
dan salat tahajud. Akrab dengan kemiskinan,
dia sering mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar. Dalam sejarah ia dikenal
paling banyak meriwayatkan hadis. Dialah
Bapak Kucing Kecil (Abu Hurairah),
begitu orang mengenalnya. "Aku sudah dengar pergunjingan kalian.
Kata kalian, Abu Hurairah terlalu banyak
meriwayatkan hadis Nabi. Padahal, para
sahabat muhajirin dan anshar sendiri tak
ada yang meriwayatkan hadis Nabi sebanyak yang
dituturkan Abu Hurairah. Ketahuilah,
saudara-saudaraku dari kaum muhajirin disibukkan dengan perniagaan mereka di pasar.
Sementara saudara-saudaraku dari anshar
disibukkan dengan kegiatan pertanian
mereka. Dan aku seorang papa, termasuk
golongan kaum miskin shuffah (yang tinggal
di pondokan masjid). Aku tinggal dekat Nabi untuk mengisi perutku. Aku hadir (di samping Nabi)
ketika mereka tidak ada, dan aku selalu
mengingat-ingat ketika mereka
melupakan." Abu Hurairah adalah
sahabat yang sangat dekat dengan Nabi.
Ia dikenal sebagai salah seorang ahli shuffah,
yaitu orang-orang papa yang tinggal di pondokan masjid (pondokan ini juga diperuntukkan buat
para musafir yang kemalaman). Begitu
dekatnya dengan Nabi, sehingga beliau
selalu memanggil Abu Hurairah untuk
mengumpulkan ahli shuffah, jika ada makanan
yang hendak dibagikan. Karena
kedekatannya itu, Nabi pernah mempercayainya
menjaga gudang penyimpan hasil zakat. Suatu malam seseorang mengendap-endap hendak mencuri,
tertangkap basah oleh Abu Hurairah.
Orang itu sudah hendak dibawa ke
Rasulullah. "Ampun tuan, kasihani saya," pencuri itu memelas. "Saya mencuri ini
untuk menghidupi keluarga saya yang kelaparan." Abu Hurairah tersentuh hatinya, maka
dilepasnya pencuri itu. "Baik, tapi
jangan kamu ulangi perbuatanmu
ini." Esoknya hal ini dilaporkan
kepada Nabi. Nabi tersenyum. "Lihat
saja, nanti malam pasti ia
kembali." Benar pula, malam
harinya pencuri itu datang lagi.
"Nah, sekarang kamu tidak akan kulepas lagi." Sekali lagi, orang itu memelas, hingga Abu
Hurairah tersentuh hatinya. Tapi, ketika
hal itu dilaporkan kepada Nabi, kembali
beliau mengatakan hal yang sama.
"Lihat saja, orang itu akan kembali nanti
malam." Ternyata pencuri
sialan itu benar-benar kembali.
"Apa pun yang kamu katakan, jangan harap kamu bisa bebas. Sudah dua kali kulepas, kamu tak
kapok-kapok juga." Eh, pencuri itu malah menggurui. "Abu
Hurairah, sebelum kamu tidur, bacalah
ayat kursi agar setan tidak menyatroni
kamu." Merasa mendapat pelajaran
berharga, Abu Hurairah terharu. Ah,
ternyata orang baik-baik, pikirnya.
"Apa yang dikatakan orang itu memang benar," sabda Nabi ketika dilapori pagi harinya. "Tapi
orang itu bukan orang baik-baik. Dia
adalah setan. Dia katakan itu supaya dia
kamu bebaskan." Mengikatkan Batu
ke Perut. Abu Hurairah adalah salah
seorang tokoh kaum fakir miskin. Abu
Hurairah sering lapar ketimbang kenyang.
Ia sosok yang teguh berpegang pada sunah Nabi. Ia kerap menasihati orang agar jangan larut
dengan kehidupan dunia dan hawa nafsu.
Ia tak membedakan antara kaum kaya dan
kaum miskin, petinggi negeri atau rakyat
jelata dalam menyampaikan kebenaran. Ia
pun selalu bersyukur kepada Allah dalam keadaan susah dan senang. Orang yang nama lengkapnya Abdur Rahman
(versi lain: Abdu Syams) ibn Shakhr
Ad-Dausi ini adalah sosok humoris.
Banyak anekdot yang berasal darinya. Ia pun
suka menghibur anak-anak kecil. Ia pecinta kucing kecil. Ke mana-mana dibawanya binatang ini,
sehingga julukan Abu Hurairah (bapak kucing
kecil) pun melekat padanya. Dibanding Nabi, umurnya lebih muda sekitar
30 tahun. Dia lahir di Daus, sebuah desa
miskin di padang pasir Yaman. Hidup di
tengah kabilah Azad, ia sudah yatim
sejak kecil, yang membantu ibunya menjadi
penggembala kambing. Dia masuk
Islam tak lama setelah pindah ke Madinah
pada tahun ketujuh hijriah, bersamaan dengan rencana keberangkatan Nabi ke Perang Khaibar. Tapi
ibundanya belum mau masuk Islam. Malah
sang ibu pernah menghina Nabi. Ini
membuatnya sedih. Untuk itu, ia memohon
Nabi berdoa agar ibunya masuk Islam.
Kemudian Abu Hurairah kembali menemui ibunya, mengajaknya masuk Islam. Ternyata sang ibu
telah berubah, bersedia mengucapkan dua
kalimat syahadat. Buruh Kasar. Akan halnya kepindahannya ke Madinah adalah
untuk mengadu nasib. Di sana ia bekerja
serabutan, menjadi buruh kasar bagi
siapa pun yang membutuhkan tenaganya.
Acap kali dia harus mengikatkan batu ke
perutnya, guna menahan lapar yang amat sangat. Menurut shahibul hikayat, ia pernah
kedapatan berbaring di dekat mimbar
masjid. Gara-gara perbuatan aneh itu,
orang mengiranya agak kurang waras.
Mendengar kasak-kusuk di kalangan sahabat
ini, Nabi segera menemui Abu Hurairah. Abu Hurairah bilang, ia tidak gila, hanya ia lapar. Nabi
pun segera memberinya makanan. Suatu kali, dengan masih mengikatkan batu
ke perutnya, dia duduk di pinggir jalan,
tempat orang biasanya berlalu lalang.
Dilihatnya Abu Bakr melintas. Lalu dia
minta dibacakan satu ayat Al-Quran.
"Aku bertanya begitu supaya dia mengajakku
ikut, memberiku pekerjaan," tutur Abu Hurairah. Tapi Abu Bakr cuma membacakan ayat, lantas
berlalu. Dilihatnya Umar ibn Khattab.
"Tolong ajari aku ayat
Al-Quran," kata Abu Hurairah. Kembali ia harus menelan ludah kekecewaan karena Umar berbuat
hal yang sama. Tak lama kemudian Nabi lewat. Nabi
tersenyum. "Beliau tahu apa isi
hati saya. Beliau bisa membaca raut muka
saya secara tepat," tutur Abu Hurairah.
"Ya Aba Hurairah!" panggil Nabi. "Labbaik, ya Rasulullah!" "Ikutlah aku!" Beliau mengajak Abu Hurairah ke rumahnya. Di
dalam rumah didapati sebaskom susu.
"Dari mana susu ini?" tanya
Rasulullah. Beliau diberi tahu bahwa seseorang
telah memberikan susu itu.
"Ya Aba Hurairah!"
"Labbaik, Ya Rasulullah!"
"Tolong panggilkan ahli shuffah," kata Nabi. Susu tadi lalu dibagikan kepada ahli shuffah,
termasuk Abu Hurairah. Sejak itulah, Abu
Hurairah mengabdi kepada Rasulullah,
bergabung dengan ahli shuffah di
pondokan masjid. Sepulang dari
Perang Khaibar, Nabi melakukan perluasan
terhadap Masjid Nabawi, yaitu ke arah
barat dengan menambah tiga pilar lagi. Abu Hurairah terlibat pula dalam renovasi ini. Ketika
dilihatnya Nabi turut mengangkat batu,
ia meminta agar beliau menyerahkan batu
itu kepadanya. Nabi menolak seraya bersabda,
"Tiada kehidupan sebenarnya, melainkan
kehidupan akhirat." Abu
Hurairah sangat mencintai Nabi. Sampai-sampai
dia memilih dipukul Nabi karena melakukan kekeliruan ketimbang mendapatkan makanan yang enak.
"Karena Nabi menjanjikan akan memberi
syafaat kepada orang yang pernah merasa
disakitinya secara sengaja atau
tidak," katanya. Begitu
cintanya kepada Rasulullah sehingga siapa pun
yang dicintai Nabi, ia ikut mencintainya. Misalnya, ia suka mencium Hasan dan Husain, karena
melihat Rasulullah mencium kedua cucunya
itu. Ada cerita menarik menyangkut
kehidupan Abu Hurairah dan masyarakat
Islam zaman itu. Meski Abu Hurairah
seorang papa, boleh dibilang tuna wisma, salah seorang majikannya yang lumayan kaya
menikahkan putrinya, Bisrah binti
Gazwan, dengan lelaki itu. Ini
menunjukkan betapa Islam telah mengubah persepsi orang dari membedakan kelas kepada persamaan.
Abu Hurairah dipandang mulia karena
kealiman dan kesalihannya. Perilaku
islami telah memuliakannya, lebih dari
kemuliaan pada masa jahiliah yang
memandang kebangsawanan dan kekayaan sebagai ukuran kemuliaan.
Sejak menikah, Abu Hurairah membagi malamnya atas tiga bagian: untuk membaca Al-Quran, untuk
tidur dan keluarga, dan untuk
mengulang-ulang hadis. Ia dan keluarganya
meskipun kemudian menjadi orang berada
tetap hidup sederhana. Ia suka bersedekah, menjamu tamu, bahkan menyedekahkan rumahnya di
Madinah untuk pembantu-pembantunya. Tugas penting pernah diembannya dari
Rasulullah. Yaitu ketika ia bersama
Al-Ala ibn Abdillah Al-Hadrami diutus
berdakwah ke Bahrain. Belakangan, ia
juga bersama Quddamah diutus menarik
jizyah (pajak) ke Bahrain, sambil membawa surat ke Amir Al-Munzir ibn Sawa At-Tamimi. Menolak Jabatan. Mungkin karena itu, ketika Umar menjadi
amirul mukminin, Abu Hurairah diangkat
menjadi gubernur Bahrain. Tapi pada 23
Hijri Umar memecatnya gara-gara sang
gubernur kedapatan menyimpan banyak uang
(menurut satu versi, sampai 10.000 dinar).
Dalam proses pengusutan, ia mengemukakan upaya pembuktian terbalik, bahwa harta itu
diperolehnya dari beternak kuda dan
pemberian orang. Khalifah menerima
penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu ia
diminta menduduki jabatan gubernur lagi, tapi ia menolak.
Penolakan itu diiringi lima alasan. "Aku takut berkata tanpa pengetahuan; aku takut
memutuskan perkara bertentangan dengan
hukum (agama); aku ogah dicambuk; aku
tak mau harta benda hasil jerih payahku
disita; dan aku takut nama baikku tercemar," kilahnya. Ia memilih tinggal di Madinah,
menjadi warga biasa yang memperlihatkan
kesetiaan kepada Umar, dan para pemimpin
sesudahnya. Tatkala kediaman Amirul
Mukminin Ustman ibn Affan dikepung
pemberontak, dalam peristiwa yang dikenal
sebagai al-fitnatul kubra (bencana besar), Abu Hurairah bersama 700 orang Muhajirin dan
Anshar tampil mengawal rumah tersebut.
Meski dalam posisi siap tempur, Khalifah
melarang pengikut setianya itu memerangi
kaum pemberontak. Pada masa Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib, Abu
Hurairah ditawari menjadi gubernur di Madinah. Ia menolak. Ketika terjadi pertemuan antara
Khalifah Ali dan lawannya, Muawiyah ibn
Abi Sufyan, ia bersikap netral dan
menghindari fitnah. Sampai kemudian
Muawiyah berkuasa, Abu Hurairah bersedia
menjadi gubernur di Madinah. Tapi versi lain mengatakan, Marwan ibn Hakamlah yang menunjuk
Abu Hurairah sebagai pembantunya di
kantor gebernuran Madinah. Di Kota Penuh
Cahaya (Al-Madinatul Munawwarah) ini
pula ia mengembuskan nafas terakhir pada
57 atau 58 H. (676-678 M.) dalam usia 78 tahun.
Meninggalkan warisan yang sangat berharga, yakni hadis-hadis Nabi, bak butiran-butiran ratna
mutu manikam, yang jumlahnya 5.374
hadis.