Malam hari raya iedul fitri oleh sebagian kaum muslimin Indonesia disebut “malam walilat”, mungkin berasal dari kata-kata walillahilhamd yang biasa dibaca bersama-sama dalam takbir secara terus menerus semalam suntuk menjelang hari raya iedul fitri yang biasa disebut malam takbiran.
Ada anggapan malam lebaran itu terasa hidup dan hangat dengan gema takbir dan tahlil dari mesjid, surau, dan mushalla. Bahkan ada yang melakukannya dengan cara berkelompok sambil melintasi jalan-jalan tertentu. Sebagian dari mereka meyakini apa yang mereka lakukan itu adalah ibadah, namun tidak sedikit pula yang melakukannya hanya karena senang dan ramai.
Keyakinan tersebut berlandaskan argumen-argumen sebagai berikut:
1. Merupakan penafsiran dari keumumam Surat Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi
Artinya: Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.
2. Ditafsirkan demikian karena ditemukan adanya hadis sebagai berikut,
Artinya: Barang siapa bangkit (bangun) pada malam Fithri dan malam Adha, tidak akan mati hatinya di kala hati orang-orang menjadi mati. H.r. At-Thabrani
Berdasarkan penelitian kami, hadis ini adalah hadis Maudlu (palsu). Artinya hadis ini dibuat atas nama Rasulullah, karena di dalam sanad hadis ini terdapat seorang rawi bernama Umar bin Harun As-Tsaqafi Al-Balkhi. Di bawah ini adalah pendapat para ulama mengenai Umar bin Harun As-Tsaqafi:
Ali bin Al-Husain bin Al-Jundi Ar-Razi mengatakan, "Saya mendengar Yahya bin Main mengatakan, 'Umar bin Harun itu kadzdzab (tukang dusta)’.
Abu Thalib mengatakan, "Saya mendengar Ahmad bin Hanbal berkata,'Umar bin Harun saya tidak meriwayatkan apapun darinya,...maka aku telah meninggalkan hadisnya.
Abu Zakariya mengatakan. 'Umar bin Harun Al-Balkhi kadzdzabun (pendusta) Khabisun (buruk) hadisnya.... Aku telah membakar semua hadis-hadisnya tiada yang tersisa kecuali satu kalimat yang ada pada sampul kitab dan akupun telah membakar semuanya. Tahdzibul Kamal fi Asmair Rijal, XXI : 525-528
Dengan demikian ayat ini tidak tepat untuk dijadikan alasan adanya bertakbiran malam ied. bahkan tidak ada kaitan dengan takbiran malam hari raya semalam suntuk apalagi dengan berkeliling dengan berbagai tetabuhan yang menimbulkan kegaduhan dan kebisingan. Karena hadis yang menerangkan tentang bangun (tidak tidur) semalam suntuk sangat lemah bahkan palsu. Sampai saat ini kami belum menemukan alasan lain yang lebih kuat selain alasan yang telah dipaparkan di atas.
3. Amaliah tabi’in
Ada anggapan malam lebaran itu terasa hidup dan hangat dengan gema takbir dan tahlil dari mesjid, surau, dan mushalla. Bahkan ada yang melakukannya dengan cara berkelompok sambil melintasi jalan-jalan tertentu. Sebagian dari mereka meyakini apa yang mereka lakukan itu adalah ibadah, namun tidak sedikit pula yang melakukannya hanya karena senang dan ramai.
Keyakinan tersebut berlandaskan argumen-argumen sebagai berikut:
1. Merupakan penafsiran dari keumumam Surat Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi
وَلِتُكْمِلُوا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya: Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.
2. Ditafsirkan demikian karena ditemukan adanya hadis sebagai berikut,
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الفِطْرِ وَلَيْلَةَ الأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ القُلُوْبُ.
Artinya: Barang siapa bangkit (bangun) pada malam Fithri dan malam Adha, tidak akan mati hatinya di kala hati orang-orang menjadi mati. H.r. At-Thabrani
Berdasarkan penelitian kami, hadis ini adalah hadis Maudlu (palsu). Artinya hadis ini dibuat atas nama Rasulullah, karena di dalam sanad hadis ini terdapat seorang rawi bernama Umar bin Harun As-Tsaqafi Al-Balkhi. Di bawah ini adalah pendapat para ulama mengenai Umar bin Harun As-Tsaqafi:
Ali bin Al-Husain bin Al-Jundi Ar-Razi mengatakan, "Saya mendengar Yahya bin Main mengatakan, 'Umar bin Harun itu kadzdzab (tukang dusta)’.
Abu Thalib mengatakan, "Saya mendengar Ahmad bin Hanbal berkata,'Umar bin Harun saya tidak meriwayatkan apapun darinya,...maka aku telah meninggalkan hadisnya.
Abu Zakariya mengatakan. 'Umar bin Harun Al-Balkhi kadzdzabun (pendusta) Khabisun (buruk) hadisnya.... Aku telah membakar semua hadis-hadisnya tiada yang tersisa kecuali satu kalimat yang ada pada sampul kitab dan akupun telah membakar semuanya. Tahdzibul Kamal fi Asmair Rijal, XXI : 525-528
Dengan demikian ayat ini tidak tepat untuk dijadikan alasan adanya bertakbiran malam ied. bahkan tidak ada kaitan dengan takbiran malam hari raya semalam suntuk apalagi dengan berkeliling dengan berbagai tetabuhan yang menimbulkan kegaduhan dan kebisingan. Karena hadis yang menerangkan tentang bangun (tidak tidur) semalam suntuk sangat lemah bahkan palsu. Sampai saat ini kami belum menemukan alasan lain yang lebih kuat selain alasan yang telah dipaparkan di atas.
3. Amaliah tabi’in
قَالَ أَخْبَرْنَا إِبْرَاهِيْمُ قَالَ حَدَّثَنِي صَالِحُ بْنُ مُحَمَّدٍ إِبْنُ زَائِدَةَ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ الْمُسَيَّبِ وَعُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ وَأَبَا سَلَمَةَ وَأَبَا بَكْرِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمنِ يُكَبِّرُوْنَ لَيْلَةَ الْفِطْرِ فِي الْمَسْجِدِ يَجْهَرُوْنَ بِالتَّكْبِيْرِ
As-Syafi’I berkata, “Ibrahim telah menghabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Shalih bin Muhamad Ibnu Zaidah telah menceritakan kepadaku sesungguhnya ia mendengar Ibnul Musayyab, Urwah bin az-Zuber, Abu Salamah, dan Abu Bakar bin Abdurrahman, mereka takbir di masjid pada malam fitri dengan menjaharkan takbir itu’.” Al-Umm, juz 1, hal. 231.
Namun keterangan ini pun daif karena bersumber dari Shalih bin Muhamad bin Zaidah. Menurut al-Bukhari, “Dia munkarul hadits (hadisnya tidak halal diriwayatkan)” Tahdzibul Kamal, XIII:87.
Dengan demikian tidak benar bahwa mereka (para tabi’in itu) bertakbir pada malam iedul fitri. Hal itu dibuktikan dalam keterangan lain bahwa Urwah bin az-Zuber dan Abu Salamah bin Abdurrahman mulai bertakbir ketika berangkat ke lapang. Al-Umm, juz 1, hal. 231.
Dengan demikian takbiran pada malam ied yang biasa dilakukan oleh sebagian kaum muslimin itu tidak diperintahkan dan tidak pula dicontohkan oleh Nabi. Yang dicontohkan oleh Nabi adalah bertakbir sejak dari rumah menuju dan di tanah lapang tempat salat ied hingga imam memulai salat.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وآله وسلم كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ وَالتَّهْلِيْلِ حَالَ خُرُوْجِهِ إِلَى الْعِيْدِ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى
عَنِ الزُّهْرِي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى
Az-Zuhri berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. keluar pada hari iedul fitri dengan bertakbir hingga sampai di lapang” H.r. Ibnu Abu Syibah, al-Mushannaf, I:487
Sedangkan bertakbir pada iedul adha dilakukan sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga ashar 13 dzulhijjah. Membacanya tidak terus menerus, melainkan bila ada kesempatan, baik ketika berkumpul di masjid atau di rumah masing-masing.
عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارِ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم… وَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ بَعْدَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ وَيَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ
Dari Ali dan Ammar sesungguhnya Nabi saw… dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah salat shubuh dan menghentikannya pada salat Ashar di akhir hari tasyriq. H.r. Al-Hakim, al-Mustadrak, I:439; al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, III:312
من فعل عمر وعلي وعبد الله بن عباس وعبد الله بن سعيد فصحيح عنهم التكبير من غداة عرفة إلى آخر أيام التشريق
Di antarana riwayat Ibnu Abu Syaibah, namung hadisna daraif.
Aya katerangan ti ngawitan lohor oge Ashar 9 Dzulhijjah hingga ashar 13 Dzulhijjah
Sunah Rasul pada iedul adha ini tampaknya mulai ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia ? Tulisan : Ustad. Amin Muchtar
Demikianlah Ulasan Mengenai Hari Raya Idul Fitri, Semoga bermanfaat dan sedikitnya bisa menambah keilmuan yang anda miliki, sekian dan terimakasih