Contoh Ceramah Agama - Ceramah adalah pidato yang bertujuan memberikan nasehat dan petunjuk-petunjuk sementara ada audiensi yang bertindah sebagai pendengar. Ceramah dapat dilaksanakan kapan saja, tidak ada rukun dan syaratnya, tidak ada mimbar tempat khusus pada pelaksaannya, waktu tidak dibatasi dan siapapun boleh berdakwah, dapat dilakukan dengan cara kreatif dan inovatif seperti (seminar, lokakarya, pelatihan, atau sarasehan).
Macam-macam Ceramah
Ceramah dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Ceramah Umum
Ceramah adalah pesan yang bertujuan memberikan nasehat dan petunjuk-petunjuk sementara ada audiens yang bertindak sebagai pendengar. Sedangkan umum adalah keseluruhan untuk siapa saja, khlayak ramai, masyrakat luas, atau lazim. Jadi ceramah umum adalah pidato yang bertujuan untuk memberikan nasehat kepada khalayak umum atau maysrakat luas. Di dalam ceramah umum ini keseluruhannya bersifat menyeluruh tidak ada batasan-batasan apapun baik dari audiens yang tua muapun muda,materinya juga tidak ditentukan sesuai dengan acara.
2. Ceramah Khusus
Pengertian ceramah sudah dipaparkan seperti yang diatas akan tetapi kali ini akan dipaparkan pengertian dari ceramah khusus itu sendiri yang mana khusus adalah tersendiri,istimewa, takkan ada yang lain, jadi ceramah khusus itu sendiri berarti ceramah yang bertujuan untuk memberikan nasehat-nasehat kepada mad’u atau khalayak tertentu dan juga abersifat khusus baik itu materi maupun yang lainnya. Sedangkan dalam ceramah khusus banyak batasan-batasan yang dibuat mulai dari audiens yang sesuai dengan yang diinginkan dan materi juga yng menyesuaikan dengan keadaan. Contoh: Peringatan hari besar islam (PHBI) seperti Isra’miraj, maulid Nabi Muhammad SAW, bulan puasa dll.
Komponen ceramah
Komponen-komponen atau unsur-unsur ceramah sama saja dengan komponen-komponen dakwah:
Da’i (penceramah)
Seorang da’i atau pencermah harus mengetahui bahwa dirinya adalah seorang da’I atau pencermah, artinya sebelum menjadi penceramah perlu mengetahui apa tugas dari pencermah, modal dan bekal itu sendiri atas apa yang harus dimiliki oleh seorang pencermah.
Mad’u
Mad’u atau audiens merupakan sebagai penerima nasehat-nasehat. Audiens bermacam-macam kelompok manusia yang berbeda mulai dari segi intelektualitas, status ekonomi, status sosial, pendidikan, jenis kelamin dll.
Materi
Agar lebih menggugah pemikiran para audiens untuk mendengarkan materi-materi yang diberikan oleh sang pencermah. Oleh sebab itu, harus dapat memiliki bahan yang tepat atau menarik agar si mad’u tertarik, dan sesuai dengan pokok acara, materi yang akan disampaikan harus betuk-betul dikuasai sehingga penampilan penuh keyakinan, tidak ragu, dan jangan sampai menghilangkan konsentrasi dirinya sendiri. Dengan itu, materi harus disusun secara sisitematis, dengan
artian judul, isi, dan acara tersebut sifatnya betul-betul mempunyai hubungan. Sehingga pembahasan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Metode Ceramah
Metode ceramah yaitu sebuah metode dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada audiens yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Muhibbin Syah, (2000). Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang paling ekonomis untuk menyampaikan informasi, dan paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan paham audiens. Sedangkan metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da’i guna menyampaikan materi. Sumber metode ceramah adalah alquran dan hadis, menunjukkan begitu besar perannya metode dalam berdakwah.
Media dakwah
Media adalah alat yang digunakan umtuk menyampaikan materi ceramah kepada audiens. Berdakwah pada zaman sekarang tidak hanya bisa dilakukan oleh para mubaligh di masjid, tetapi bisa dilakukan dengan banyak cara dan banyak tempat banyak media yang bisa digunakan pada zaman sekarang sebagai media dakwah seperti televisi, koran, majalah, buku, lagu dan internet. Hal ini seperti yang dilakukan oleh beberapa grup musik nasyid yang menggunakan lagu sebagai media dakwah
Contoh Ceramah Agama Lengkap
Ceramah IDUL FITRI
SHAUM MENDIDIK PENDENGARAN
Alhamdulillah
merupakan pujian yang paling pantas kita panjatkan kehadirat Allah swt, karena
dengan qudrah dan iradah Allah kita dapat menjalankan saum
Ramadhan dan merasakan nikmatnya idul fitri dalam suasana yang tentram dan
aman, disertai dengan keyakinan yang kuat bahwa tidak ada sesuatu pun yang
terjadi dalam kehidupan manusia kecuali dengan takdir Allah swt. Ada dua takdir
Allah yang saya alami pada pagi ini:
Pertama, sebelum
memasuki tahun 1428 H, Dewan Hisab
PP Persis telah menetapkan bahwa 1 Syawal 1428
H jatuh pada hari Sabtu, bertepatan
dengan 13
Oktober 2007.
Hal itu ditetapkan dengan pertimbangan bahwa pada hari Kamis,
11 Oktober 2007,
bertepatan dengan 29 Ramadhan 1428 H. saat
matahari terbenam Hilal bulan Syawwal ‘adamu imkanir rukyat, hilal tidak
mungkin terlihat di seluruh
Indonesia, dengan perhitungan ketinggiannya kurang dari 1
derajat,
sehingga jumlah hari bulan Ramadhan 1428
H digenapkan menjadi 30 hari dan 1 Syawal 1428
H jatuh pada hari Sabtu, bertepatan
dengan 13
Oktober 2007.
Kesimpulan yang sama di tetapkan pula oleh Pemerintah setelah mendapat laporan
dari Tim Hisab dan Rukyat Kantor Wilayah Departemen Agama di 29 lokasi di
Indonesia, dari Jayapura hingga Banda Aceh yang menyatakan tidak melihat hilal.
Oleh karena itu, pelaksanaan Iedul Fitri hari Sabtu,
13
Oktober 2007 ini kita yakini sebagai takdir Allah yang terbaik.
Kedua, beberapa
panitia iedul fitri sempat meminta saya untuk menjadi imam dan khatib di
tempatnya masing-masing. Keinginan mereka saya tolak, karena saya telah
menyanggupi untuk menjadi khatib di tempat lain. Tak diduga
sebelumnya, 2 bulan sebelum Ramadhan panitia dari Masjid An-Najah
Andir. Kemudian 1
minggu sebelum Ramadhan tiba, saya diminta untuk menjadi khatib di Lapangan SMP 18 Bandung. Namun akhirnya takdir Allah yang menentukan pagi ini saya harus berada
di tempat ini, berdiri di hadapan ikhwatu iman.
Kedua
peristiwa tersebut semakin mempertebal keyakinan kita bahwa apa pun yang terjadi dalam kehidupan manusia, hal itu
merupakan takdir Allah yang terbaik. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bila
pada hari ini kita bertakbir, bertasbih, mengagungkan asma Allah.
ألله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله هو
الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
‘Aidin wal ‘aidat rahimakumullah
Memperhatikan perjalanan hidup kita
sampai saat ini, sungguh banyak nasehat dan khutbah yang telah kita dengar,
namun sebagian besar isi nasehat dan
khutbah itu telah hilang dari ingatan.
Nasihat agama, khutbah id, dan khutbah
Jumat hanya sampai pada telinga, tidak menembus kalbu, tidak menjadi amal, bila
didengar tanpa perhatian, tanpa taffakkur dalam pikiran. Itulah sebabnya,
mendengarkan sesuatu yang wajib didengar sama berat dengan membiarkan sesuatu
yang haram didengarkan. Kedua-duanya memerlukan usaha yang sungguh-sungguh.
Sebab, bila perhatian tercurahkan pada kemaksiatan, maka kemasiatanlah yang
akan sering didengar dan tidak pernah lepas dari ingatan.
Mendengar adalah fitrah manusia dan di
luar usaha manusia, namun yang menyebabkan manusia dapat mendengarkan dan tidak
mendengarkan adalah usaha manusia itu sendiri, karena manusia telah diberi
kemampuan untuk mendengarkan sesuatu yang seharusnya didengarkan.
Di dalam surat Al-Anfal ayat 20 – 23,
Allah swt. berfirman:
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ
أَمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلاَ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ
تَسْمَعُوْنَ (20) وَلاَتَكُوْنُوْا
كَالَّذِيْنَ قَالُوْا سَمِعْنَا وَهُمْ لاَيَسْمَعُوْنَ (21) إِنَّ شَرَّ
الدَّوَابِ عِنْدَ اللهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِيْنَ لاَيَعْقِلُوْنَ (22)
وَلَوْ عَلِمَ اللهُ فِيْهِمْ خَيْرًا لأَسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ
لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُوْنَ (23)
Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya
dan janganlah kamu berpaling padahal kamu mendengar. Dan janganlah kamu
seperti orang-orang yang berkata, “Kami mendengarkan” padahal mereka
tidak mendengarkan. sesungguhnya sejahat-jahat makhluk di sisi Allah
adalah yang tuli, bisu yang tidak menggunakan akal (tidak mengerti apa-apa).
Andaikan kiranya Allah Mengetahui ada kebaikan pada mereka, tentu Allah akan
menjadikan mereka mendengar, dan andaikan Allah menjadikan mereka bisa mendengar
tetap saja mereka berpaling, mereka berpaling (dari kebenaran yang mereka
dengar). Q.s. Al-Anfal : 20-23
Pada firman Allah tersebut ada empat hal
yang perlu kita perhatikan; Namun karena keterbatasan waktu, dua hal saja yang
hendak disampaikan.
Pertama, ayat-ayat tersebut di mulai dengan satu pendahuluan
yang mendorong umat Islam untuk mencurahkan perhatiannya, yaitu panggilan ya
ayyuhal ladzina amanu yang biasa kita terjemah dengan wahai
orang-orang yang beriman. Panggilan yang sama digunakan pula oleh Allah
ketika menguraikan tentang shaum Ramadhan dalam surat al-Baqarah:183. Panggilan
seperti ini digunakan Alquran sebanyak 89 kali.
Ya ayyuhal ladzina amanu
merupakan panggilan khusus, panggilan akidah, panggilan yang penuh dengan kasih
sayang. Tidak sembarang manusia bisa merasakan betapa indah dan tingginya nilai
panggilan itu. Walaupun panggilan itu disuarakan dengan suara yang keras agar
bisa membangkitkan yang sedang tidur, atau dengan suara yang lembut agar
menyentuh hati yang keras, namun bagi yang tuli dan bisu suara itu tidak ada
artinya. Panggilan itu seakan angin lalu saja, tanpa makna tanpa hikmah untuk
kemaslahatan dirinya dan dunia pada umumnya.
Dalam merasakan panggilan itu, orang-orang yang
mengaku beriman pun tidak sama tingkatannya; Ada yang bisa merasakannya dengan
sempurna, ada yang kurang sempurna, bahkan ada yang selintas saja. Hal itu
menunjukkan kadar keimanan masing-masing. Karena itu, Allah dan Rasul-Nya
berulang kali memerintahkan kepada orang yang beriman agar senantiasa
memelihara keimanan yang ada.
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَمِنُوْا بِاللهِ
وَرَسُوْلِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيْ نَزَّلَ
عَلَى رَسُوْلهِِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ
يَكْفُرْ بِاللهِ وَمَلئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيْدًا
Wahai orang-orang yang beriman ! Imanlah kamu
kepada Allah dan kepada Rasul-Nya dan kepada kitab yang telah diturunkan kepada
Rasul-Nya dan kepada kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Dan barang siapa
yang kufur kepada Allah dan kepada malaikat-Nya, dan kepada kitab-kitab-Nya dan
kepada rasul-rasul-Nya dan kepada hari akhir, sungguh ia telah sesat dengan
kesesatan yang jauh. Q.s. An-Nisa : 136
Jika ayat ini kita perhatikan dengan seksama, maka
akan timbul pertanyaan ‘Mengapa orang yang telah beriman diperintahkan beriman,
bukankah tepatnya kepada orang yang belum beriman atau kafir’ ?
Ungkapan pada ayat tersebut bukan suatu kebetulan,
bukan ketidaksengajaan, atau terjadi kesalahan redaksional. Justru dengan
redaksi seperti itu Allah mendorong kita untuk menggali makna-makna yang
terkandung dalam ayat tersebut. Menurut para ulama, setidak-tidaknya ayat ini mengandung tiga makna;
1. lil istimrar, yaitu agar keimanan
tetap terpelihara, jangan sampai hilang.
2. lit taqrir, yaitu untuk mengokohkan agar keimanan itu tetap kuat jangan
sampai lemah.
3. lil istikmal, yaitu agar keimanan tetap sempurna.
Dengan
demikian, ayat itu mengandung makna “Wahai orang-orang yang beriman peliharalah
keimananmu, kuatkan dan tingkatkanlah sampai kepada tingkat kesempurnaan”.
Kedua, pada
ayat-ayat tersebut kata “mendengar” disebut sebanyak lima kali. Berulangnya
kata ‘mendengar’ bukan berarti
penghamburan atau penghias kata semata, melainkan untuk memberikan pengertian
betapa pentingnya pendengaran itu bagi kehidupan manusia. Bagi orang yang
beriman, pendengaran bukan saja sebagai instrumen utama belajar melainkan
sebagai instrumen ibadah, seperti seseorang yang mendengar azan, dan akan solat
dengan adzan itu, ia harus mengucapkan sebagaimana yang diucapkan mu’azzin.
إِذَا
سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ
“Jika kamu mendengar azan (panggilan),
ucapkanlah seperti perkataan mu’azzin”
Muttafaq Alaih
Demikian pula seseorang yang bermakmum harus
mendengarkan dengan perhatian bacaan imam di saat imam membaca dengan jahar
pada rakaat pertama dan kedua dalam salat wajib, atau bacaan jahar dalam salat
sunat.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْانُ
فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Jika dibacakan Alquran, maka dengarkanlah dan perhatikanlah, agar kamu
mendapat rahmat”. Q.s. Al-A’raf : 204
Dengan demikian,
pengulangan kata itu menunjukkan bahwa
pendengaran bisa mengubah perasaan, pola pikir, niat, dan tindakan seseorang.
Seseorang yang pada mulanya benci kepada Si Polan, berubah menjadi cinta karena
di antaranya sering mendengar pujian orang lain kepada si polan itu, atau cinta
bisa berubah menjadi benci setelah sering mendengar cacian orang lain kepada Si
Polan tadi.
Demikian pula seseorang yang sedang nikmat makan
bisa saja berubah menjadi tidak nikmat, karena mendengar suara yang mengagetkan
atau suara yang menakutkan, atau karena mendengar berita duka yang jadi musibah
bagi dirinya.
Begitu pula terhadap suatu paham atau ajaran,
setelah seseorang sering mendengar penjelasan tentang suatu ajaran, bisa
berubah dari penganut setia menjadi pembangkang, atau dari pembenci kepada
pecinta dan jadi penganut yang setia terhadap ajaran itu. Karena itu,
memanfaatkan pendengaran dijadikan salah satu strategi perang untuk membentuk
opini publik, pendapat masyarakat melalui berita. Walaupun adakalanya harus
merekayasa berita dengan berbagai kebohongan, agar masyarakat atau umat menjadi
cinta dan membantu perjuangan suatu kelompok atau sebaliknya, yaitu menjadi
benci dan menghalangi kepada perjuangan seseorang atau kelompok. Maka dalam
situasi seperti ini tidak mengherankan apabila kawan menjadi lawan dan lawan
menjadi kawan. Dari sini tampak jelas hikmahnya mengapa kata as-sam’a
(mendengar) lebih didahulukan penyebutannya daripa kata al-bashar (melihat).
Sehubungan dengan hal itu, layak dan pantas bila
kita cermati sebuah nasehat dari orang bijak
تَعَلَّمُوْا
حُسْنَ الإِسْتِمَاعِ كَمَا تَعَلَّمُوْا حُسْنَ الْكَلاَمِ
“Belajarlah menyimak dengan
baik, seperti belajarlah berbicara dengan baik”
Nasehat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa
mendengarkan dengan baik, penuh perhatian, disertai hati yang ikhlas, akan
mampu menyimak dan memilah-milah, mana yang layak dipercaya dan mana yang tidak
layak, mana yang cocok untuk dijadikan pegangan dan mana yang tidak.
Dan dalam konteks inilah, kita dapat memahami sekaligus mendapatkan nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah shaum sebagaimana dinyatakan
oleh Jabir bin Abdullah
إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ
“Apabila anda saum, hendaklah pendengaranmu ikut
shaum” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf II:271, No. 8.880
Perkataan
ini menunjukkan bahwa shaum itu bukan sekedar menahan diri dari lapar dan
dahaga tetapi harus mampu menahan pendengaran kita dari segala ucapan dan
informasi yang tidak akan menuntun kita kepada kemaslahatan, dan hal itu harus
terwujud dalam kehidupan sehari-hari setelah usai Ramadhan.
‘Aidin wal
‘aidat rahimakumullah
Keterangan-keterangan
yang baru saja kita dengar sangat besar faidahnya bila kita dengar dengan penuh
perhatian, dan sangat tinggi dorongannya kepada kita untuk bertafakkur, apakah pendengaran kita telah mendorong kepada kemaslahatan ? Apakah
pendengaran kita telah mampu menjadikan lawan sebagai kawan ? Sejak kapan pendengaran telah mengubah
perasaan, pola pikir, niat, dan tindakan kita masing-masing ?
Mudah-mudahan
saum Ramadhan yang telah kita laksanakan dapat menuntun pendengaran kita untuk
mendengar sesuatu yang layak dijadikan pegangan, sehingga berbagai nasehat yang
pernah kita dengar tetap melekat dalam ingatan dan terlihat dalam perbuatan.
تقبل
الله منا ومنكم
أَقُوْلُ
قَوْلِي هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
* Iedul Fitri 1424 H di Lapangan Masjid an-Nur Jl. Bahagia
* Iedul Fitri 1425 H di Lapangan Masjid al-Amin Pasir Koja
* Iedul Fitri 1426 H di lapangan Masjid Uswatun Hasanah Bojong Loa Kaler
* Iedul Fitri 1427 H di lapangan masjid Istiqamah
Lembang
* Iedul Fitri 1428 H di lapangan masjid an-Najah Andir
Kedua, pada ayat tersebut, Allah menyuruh kaum mukmin
agar taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya dalam memenuhi panggilan keduanya,
untuk menjalankan segala perintah, di antaranya jihad di jalan Allah dengan
pengorbanan harta dan jiwa, serta melarang berpaling setelah mendengar seruan
dari para penyeru. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan sima’
(mendengar) di sini ialah sima’ fahmin (mendengarkan dengan faham) dan tasdiq
(membenarkan) apa yang ia dengar. Sima’ seperti ini akan disambut dengan
pengakuan
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
Ketiga, pada ayat itu pula Allah melarang kaum mukmin
menyerupai mereka, yaitu orang-
orang yang berkata sami’na (kami mendengar), padahal mereka tidak
mendengar. Mereka punya telinga, tidak tuli, namun mereka tidak memperhatikan
apa yang mereka dengar. Keadaan mereka diserupakan dengan yang tidak mendengar, bahkan lebih hina lagi,
karena ditambah dengan bisu. Dalam perumpamaan itu Allah menggunakan lafadz ‘dabbah’
yaitu binatang yang merayap. Semua binatang yang merayap itu tunduk kepada
ketetapan Allah, tetapi orang-orang kafir dan musyrik selalu berpaling dan
membantah kepada keputusan Allah, karena itulah dinyatakan sejahat-jahat
makhluk dan sehina-hina makhluk yang merayap di bumi. Perumpaan ini merupakan tahqir
(menunjukkan penghinaan) bagi kaum kafir atau musyrik.
Demikianlah Kajian Mengenai Contoh Ceramah Agama, Mudah-mudahan bisa jadikan refersnsi untuk anda dalam hal mempersiapkan metode ceramah yang akan kita sajikan. Terimakasih