Biografi Imam
al-Qurtubi
Nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad
bin Abu Bakar Ibn Farrah al-Ansari, al-Khazraji, al-Andalusi, al-Qurtubi
(w.671H), dan populer dengan sebutan Imam Abu Abdillah. Beliau dilahirkan di
Cordova, Spanyol dan ia juga adalah salah satu pengikut madzhab fikih yaitu
Imam Maliki. Metode penafsirannya akan banyak mempengaruhi para mufassir
setelahnya dengan mengikuti gaya penafsirannya, seperti halnya Ibn Katsir yang
menjadikan kitabnya yang terkenal yaitu al jami’ li ahkamil Qur’an atau
kitab al-Qurtubi sebagai rujukan.
Dalam kehidupannya sehari-hari
beliau mempunyai sifat yang unik yang memang tidak semua orang memiliknya
sehingga beliau banyak dikenal akan sikap ketawaduanya, kealimannya,
kezuhudannya, berkarisma dan komited dalam melakukan amal akhirat untuk
dirinya. Seperti yang pernah dikatakan oleh mufassir Adz-Dzaidah bahwa ia
sering terlihat ketika memakai sehelai jubah yang bersih dengan kopiah di atas
kepalanya serta seluruh hidupnya digunakan untuk beribadat kepada Allah. Sisa
dari waktunya dihabiskan untuk menulis dan mengkaji ilmu agama ”Dia adalah
seorang ulama besar yang tawadu dan lebih mementingkan ilmu pengetahuan
terlebih kepada tafsir dan hadits yang menghasilkan karya yang jauh lebih baik
pada masanya” [1]
Namun sayangnya para ulama tidak ada
yang tahu dengan pasti mengenai kapan ia dilahirkan, oleh siapa ia dibesarkan
dan apakah ia seorang anak yatim atau tidak namun yang ditulis dalam sejarah
bahwa ia dilahirkan dan dibesarkan oleh bapaknya yang bermata pencaharian
bercocok tanam yang hidup pada zaman dinasti Muwahidun yang kala itu dipimpin
oleh Muhammad bin Yusuf bin Hud[2]
(625-635 H) dikisahkan pada saat itu ayahnya sedang memanen dan pada waktu itu
pula terjadi sebuah pemberontakan kaum separatis Nashrani Cordova yang menuntut
untuk memerdekakan diri dari Islam.
Terlepas dari itu, al-Qurtubi kecil
mempelajari berbagai disiplin ilmu ditempat ia dilahirkan kepada para gurunya
yang sangat membantunya ialah Ibn Rawwa (seorang Imam hadits), Ibn al-Jumaizi,
al-Hassan al-Bakari dsb. Diantara ilmu-ilmu yang ia pelajari ialah tentang
keagamaan seperti bahasa arab, Hadits, syair, dan al-qur’an. Disamping itu pula
ia banyak belajar dan mendalami ilmu yang menjadi pendukung ilmu Qur’an yakni
dengan belajar nahwu, qira’at, fikih dan juga ia mempelajari ilmu balagh.
Setelah ia tumbuh dewasa dan merasa
kurang dalam mendalami ilmunya itu, kemudian dia pergi ke mesir (yang pada
waktu itu kekuasaan dipegang oleh Dinasti Ayyubiah) dan Ia menetap disana
sampai ajal menjemputnya pada malam senin 9 syawal 671 H/1273 M dan makamnya
sendiri berada di elmania, di timur sungai nil. Berkat pengabdiannya terhadap
ilmu agama dan keinginannya dalam memajukan peradaban Islam, para penduduk
disana sangat menghormati jasa beliau sehingga makamnya-pun sering diziarahi
oleh banyak orang.
Dengan kemampuannya dalam berbahasa
arab yang fasih dan berpengetahuan yang luas tak pelak Karya-karya yang
dilahirkannya pun sepadan dengan pengetahuannya. Namun karya yang paling
termashhur ialah kitab al jami’ li ahkamil Qur’an, bukan berarti bahwa
karya lainnya tidak terkenal seperti :
1. Attadzkirah fi Ahwal Al mauta wa
Umur al Akhirah
2. fi Afdhal ad Adzkar
3. al Asna fi Syarh Asma’ illah
Alhusna
4. Syarh at-Taqashshi
5. Risalah fi Alqam alhadits
6. Kitab al-Aqdhiyyah.
Corak Tafsir
al-Qurtubi
Al-Qur'an ialah kitab suci umat
islam yang diturunkan Allah SWT melalui malaikat Jibril yang ditujukan kepada
Nabi Muhammad saw dan untuk ditaati oleh umat muslim sebagai panduan atau
landasan tindakan dalam kehidupan dunia dan mengharapkan kebahagian akhirat.
Al-Qur’an yang ada sekarang adalah suatu bentukan buku duniawi yang “termuat
diantara kulit muka dan kulit belakang”, Qur’an duniawi ini sebenarnya ungkapan
nyata dari yang asli yang berada pada Allah, tersimpan dalam prasasti terjaga (al-LAuh
al-Mahfuzh) [3]
Karya yang paling monumental dalam
Al-Qur'an ialah mempunyai kandungan yang sangat substansial karena al-Qur’an
ialah sumber inspirasi bagi setiap orang sehingga lahirlah berbagai disiplin
ilmu yang dikemudian hari baru muncul pada saat setelah wafatnya Sang suksesor
Nabi Muhammad saw. yang terpenting dan pertama kali berkembang ialah
karya-karya yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menafsirkan al-Qur’an guna
mendapatkan intisari dari ajaran kitab suci itu sendiri[4]
Dalam sejarahnya, tafsir pada awal
Islam ditransmisikan melalui riwayat secara lisan. Rosulullah menjelaskan
sebagian al-Qur'an kepada para Sahabat, lalu mereka meriwayatkannya kepada
sahabat lainnya, atau mereka meriwayatkannya kepada para tabi'in dan
seterusnya. Periwayatan demikian dapat dikatakan sebagai langkah pertama atau
periode Transmisi lisan, atau dikenal dengan nama tafsiral-Nabiy (tafsir
Nabi) ini dapat dibuktikan pada riwayat-riwayat hadits nabi yang sampai kepada
mereka.
Pada zaman setelah nabi wafat para
sahabat menafsirkan al-Qur’an dan mengajarkan pemahaman mereka atas al-Qur’an
kepada kaum muslimin lainnya. para Sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an dan yang
menjadi sumber utama penafsiran bagi mereka adalah al-Qur’an itu sendiri, yakni
pernyataan al-Qur’an yang ditafisrkan kembali dengan ayat lain yang mempunyai
relevansi atas ayat yang sedang dikaji, metode ini sering dikenal dengan metode
tafsir maudhu’i.[5]
Setelah periode pertama (zaman nabi)
tersebut maka masuk pada periode kedua yaitu periode tafsir tertulis. Ini
agaknya dapat dikemukakan secara pasti baru pada tahun terakhir abad ke-2
H/ke-8 M. periode ini diwakili oleh Muqathil bin Sulaiman dalam karyannya Tafsir
al-Qur'an, Khams Mi'ahAyah Min al-Qur'an (tafsir 500 ayat al-Qur'an) dan Kitab
al-wujuh wa an-Naza'ir (kitab tentang arti dan persamaan-persamaan). [6] Baru pada abad ke-4 H/ke-10 M, literature
tafsir benar-benar lahir secara lengkap.
Setelah bergantinya zaman dan
generasi, ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat yang diiringi dengan meluasnya
wilayah imperium Islam keberbagai negeri seperti Asia kecil, Maghribi (sekarang
Maroko), Andalusia (sekarang Spanyol), sebagian kecil Prancis dst. Maka tafsir
pun semakin berkembang luas-bukan hanya dalam ruang lingkup jazirah Arab-dan
tentunya akan melahirkan para mufassir-mufassir baru dengan ditandai lahirnya
kitab-kitab tafsir yang termashur dikalangan umat islam.
Dalam kawasan Spanyol banyak sekali
tokoh-tokoh Islam, namun ada satu tokoh di bidang tafsir yang pernah dilahirkan
oleh Islam yang sangat masyhur dengan kitab tafsirnya yang banyak memuat
ayat-ayat hukum yang berjudul al-jami’ li ahkamil Qur’an (Ensiklopedi
Hukum-hukum al-Qur’an) atau lebih dikenal dengan tafsir al Qurtubi.
Imam al-Qurtubi telah menjelaskan latar
belakang penamaan kitab itu sebagai berikut: “Adapun, al-Quran ini merupakan
satu kitab yang penting bagi melaksanakan hukum syara’, selain sunnah dan juga
kewajiban yang lain. Ia diturunkan oleh pembawa amanah dari langit (Jibril)
kepada pemegang amanah di muka bumi (Rasulullah SAW). Oleh itu, aku merasakan
aku ‘patut’ untuk berkhidmat dengannya sepanjang hidupku, meluangkan masa dari
segala kesibukanku terhadap dunia ini. Aku berusaha untuk menulis ulasan dan
uraian secara ringkas dalam al-Quran itu berdasarkan uraian dan tafsiran ulama,
dari aspek bahasa, I’rab, hukum qiraat selain turut menempelak golongan yang
sesat dan menyeleweng. Begitu juga, aku membentangkan beberapa hadis yang
menjadi penguat dari aspek hukum dan sebab-sebab penurunan sebuah ayat tersebut
dengan gabungan di antara maknanya yang tersirat. Selain itu, turut diterangkan
segala isu permasalahan yang timbul berdasarkan pendapat ulama salaf dan
generasi yang mengikuti jejak langkah mereka dari kalangan ulama khalaf
(terkemudian)…dan aku meletakkan dua syarat di dalam kitabku ini, yaitu [1]
menyandarkan setiap perkataan kepada orang yang menyebutnya dan [2]
menyatakan hadis dari sumbernya yang asal. Kerana para ulama menyatakan bahwa keberkatan
ilmu itu didapati daripada setiap komentar yang disandarkan kepada orang
yang mengatakannya dan juga setiap hadis itu di sebutkan sumber asalnya. Keberkatan
ilmu itu didapati daripada setiap komentar yang di’sandar’kan kepada orang
yang mengeluarkan kenyataan itu. Ini kerana terlalu banyak hadis yang
dikutip dari kitab fiqh dan tafsir yang diragukan kesahihannya (mubham). Tidak
akan diketahui siapakah yang mengatakannya kecuali apabila dirujuk semula ke
dalam kitab-kitab hadis. Jika keadaan ini tidak dinyatakan, pastilah orang yang
tidak punya keahlian akan terus dalam ‘ketidaktahuan’ disebabkan tidak
mengetahuai antara hadis yang sahih dan hadis yang ‘lemah’. Apa yang
mereka ketahui hanyalah ilmu kulit saja (tanpa kebenaran yang sahih).
Keadaan seperti
itu, sebenarnya tidak diterima sebagai hujah dan pendalilan sehingga mereka
mengeluarkannya dengan ’sandaran’ kepada seseorang tokoh ulama yang terkenal,
dipercayai dan disegani di kalangan ulama Islam. Maka, inilah yang kami
(penulis) syaratkan di dalam kupasan kitab ini, semoga Allah menunjukkan
jalannya yang benar!
Aku menghindari
dari memasukkan terlalu banyak kisah-kisah para mufassir dan juga sejarawan
melainkan yang benar-benar penting bagi sesuatu hal yang sememangnya perlukan
penjelasan berkaitan sesebuah hukum, atau memberikan panduan kepada pengkaji
untuk mendapatkan keputusannya. Aku turut meletakkan bagi setiap ayat sandaran
padanya cuma satu hukum fiqh ataupun dua hukum sahaja, malah sesetengahnya
ditambah dengan keterangan yang bersangkutan dengan ayat tersebut seperti
sebab-sebab penurunan ayat, tafsiran, kalimah pelik (gharib) dan juga hukum.
Jika tidak disebutkan hukum fiqh, aku akan menyebutkan padanya tafsiran dan
takwilan… dan seterusnya hingga akhir pendahuluannya. Lalu aku namakan kitab
ini sebagai “al-Jami’ li Ahkam al-Quran wa al-Mubayyin lima Tadhammanahu min
al-Sunnah wa Ahkam al-Furqan”. [7]
Di dalam karyanya itu al Qurtubi
mempunyai metode penafsiran yang sama seperti halnya at-Thabari, karena al
Qurtubi sangat terpengaruh dengan penafsiran at-Thabari. Akan tetapi ia sendiri
mempunyai ciri khas dalam menafsirkan al-Qur’an.
Di dalam kitab ini ia menggunakan
metode tafsir bil ma’tsur yakni metode tafsir untuk menafsirkan ayat al
Qur’an dengan riwayat-riwayat lainnya dari para ulama sebelumnya. Kemudian
dimana letak ke unikan dalam kitab tersebut?.
Dalam kitab tersebut kita akan
melihat bahwa tafsir-tafsir yang beliau gunakan dengan cara memuat hukum-hukum
yang terdapat dalam al Qur’an dengan pembahasan yang lebih luas yang menyatukan
hadits dengan masalah-masalah ibadah, hukum, dan linguistik. Tidak hanya
samapai disana, hadits-hadits yang digunakannya yang ada dalam tafsirnya itu
sudah ditakhrij dan disandarkan langsung kepada orang yang meriwayatkannya.
Lebih dari itu, kitab tafsir yang
memuat banyak hukum itu tidak memuat kisah-kisah Israiliyat seperti yang ada
dalam tafsir at-Thabari. Dalam hal ini al Qurtubi tidak terpengaruh oleh
at-Thabari walaupun ia sedikit banyak telah terpengaruh oleh metode tafsir
at-Thabari.
Disini saya akan memberikan sebagian
dari contoh tafsir al Jami’ li Ahkamil Qur’an. Dalam kitab tafsir al Qurtubi
pada bab fadhail al Qur’an (jil.I-2):
Di dalam sebuah surah Qur’an yang
paling awal, Rasul ditegur dengan kalimat: ’kami akan menurunkan kepadamu sabda
yang berat (Qur’an)’ [8].
Karena itu Qur’an dianggap sebagai beban yang agung, dan mereka yang
membacanya, mempelajarinya, dan mengajarkannya disebut para pendukung (halamah)
Qur’an. Tugas ini sama terhormatnya dengan balasannya bagi mereka. Qurtubi
memberikan indikasi mereka sebagai :”merekalah para pembawa misteri-misteri
tersembunyi dari Allah dan para pemelihara pengetahuan-Nya. Mereka para penerus
(Khulafa) bagi rasul-rasul-Nya dan orang-orang kepercayaan-Nya. Mereka
itu adalah pengikut-Nya dan yang terpilih di antara makhluk-makhluk-Nya.
Qurtubi kemudian mengutip sebuah
hadits yang memuat pernyataan Rasul tentang umat Qur’an (yaitu mereka yang
menyibukkan dirinya dengan membaca dan mengkajinya) sebagai umat Allah dan
pilihan-Nya.[9]
pekerjaan mereka dianggap lebih baik dari ibadah mana pun, dimata Allah.
Maka dalam hadits Qudsi, yang
dikisahkan dari Rasul berdasarkan penuturan Abu Sa’id al Khudri, Allah
menyataka, “Barangsiapa yang menyibukkan dirinya dengan Qur’an, dan dengan
mengingatKu dari berdo’a kepada-Ku untuk kebutuhan-kebutuhannya, maka kepadanya
akan Aku berikan yang terbaik dari semua yang Aku kabulkan kepada mereka yang
berdo’a” [10]
Kehidupan Rasul, ucapan beliau dan
tindakan beliau (Sunnah) telah menjadi contoh teladan bagi laku moral
dan ketaatan untuk kaum muslim dari semua masa, karena watak moral dan
spiritual Rasul telah dibentuk oleh Al-Qur’an. Watak kenabian ini menjadi
tujuan ideal bagi mereka yang mengabdi, tetapi juga merupakan hal yang diterima
oleh umat Qur’an (yaitu mereka yang menyibukkan dirinya dengan membaca dan
mengkajinya). Diriwayatkan, berdasarkan penuturan Abu Umamah, bahwa Rasul
mengatakan :”Dia yang diberi sepertiga dari Qur’an diberi juga sepertiga
kenabian. Dia yang diberi duapertiga dair Qur’an diberi dua pertiga kenabian.
Dia yang membaca (lewat hafalan) seluruh Qur’an diberi kenabian lengkap-kecuali
bahwa tidak ada yang diturunkan kepadannya.” Hadits kemudian menjelaskan status
orang seperti itu pada hari kiamat. “Akan dikatakan kepadanya…’Bacalah dan bangkitlah’.
Maka dia akan membaca sebuah ayat, dan bangkit satu tingkat, sampai dia membaca
yang dia ketahuinya mengenai Qur’an. Kemudian akan dikatakan kepadanya,
‘Datanglah ke sini…tahukah apa yang ditanganmu? Pada tangannya adalah kehidupan
yang abadi, dan pada tangan kirinya ada kenikmatan (na’im) surgawi’[11]
Al Qurtubi adalah salah satu
mufassir muslim yang dilahirkan Islam dengan mempunyai pengetahuan luas yang
selalu memperjuangkan Islam dibelahan barat dunia. Dengan segenap kemampuannya
ia mengumpulkan, dan menghafal hadits untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan
dengan hukum baik itu hukum fikih, ibadah dsb.
Dalam setiap kitab tafisr tentu ada
kelebihan dan kekurangannya. Tetapi itu bukan menjadi permasalahan yang
signifikan dibanding dengan mempelajari dan mengetahui secara mendalam metode
yang ditafsirkannya, kalaupun memang ada sebuah kritikan yang memang perlu
diungkapkan maka baginya itu lebih baik.
Berkata Ibn Farhun: “Hasil karyanya
ini adalah yang paling baik pernah aku baca dan dia (al-Qurtubi) menulis banyak
kitab lain yang sangat bernilai dan bermutu tinggi.” Tafsir al-Qurthubi ini oleh Penerbit Dar Ihya
wa at-Turats, Beirut dicetak dalam 20 jilid.
[1]Terjemahan
tafsir al-Qurtubi, pustaka azzam anggota IKAPI DKI Jakarta, agustus 2007
[2]Dr.Qasbi
Mahmud, Al-Qurtubi wa manhajuhu fi at-Tafsir, 1979
[3]Q.s Al-Buruj
:22
[4]Ihsan Ali
Fauzi, kaum muslimin dan tafisr al-Qur’an, Islamia, 1990
[5]Ensiklopedi
tematis Dunia Islam jilid 4
[6]Janne I. Smith,
awal perkembangan tafsir, Islamia 1989
[7]Mukadimah
Terjemahan tafsir al-Qurtubi, pustaka azzam anggota IKAPI DKI Jakarta, agustus
2007
[8]Mukadimah
Terjemahan tafsir al-Qurtubi, pustaka azzam anggota IKAPI DKI Jakarta, agustus
2007
[9]Tafsir
Qurtubi, I, h.I
[10]Tafsir
Qurtubi, I, h 4