I’JAZ LUGHAWI (ASPEK BAHASA) ALQURAN
Kemukjizatan Alquran dari segi bahasa tidak diragukan lagi, terbukti
hingga kini tidak ada seorang pun yang dapat menandingi keindahan ushulubnya.
Kemukjizatan Alquran dari segi bahasa ini dapat dilihat dari beberapa aspek, di
antaranya :
1.
Keindahan susunan ayat-ayatnya
Alquran yang diturunkan selama kurang lebih 23 tahun, dan sebagian
ayat-ayatnya diturunkan berdasarkan peristiwa dan latar belakang tertentu, ternyata
rangkain ayat-ayatnya bisa tersusun rapi secara sitematis, serasi, utuh, dan
tidak terdapat pertentangan. Keteraturan dan kesinambungan susunan membuat
seseorang tidak akan menduga bahwa ayat-ayatnya diturunkan secara
terpisah-pisah dan terpotong-potong. Keindahan susunan Alquran meliputi :
2.
Kesesuaian antara ayat dengan ayat
Setiap ayat dalam Alquran mempunyai korelasi dengan ayat sebelumnya,
seperti muqabalah (kata yang bertolak belakang) antara sifat-sifat orang mukmin dengan sifat-sifat
orang musyik, ancaman bagi mereka dan janji bagi yang lainnya, ayat-ayat yang
berkaitan dengan rahmat disebut setelah ayat-ayat yang berkaitan dengan azab,
dan sebagainya. Contohnya :
a. Allah berfirman :
فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلاُ وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا
كَانُوا يَكْسِبُونَ { التوبة : 82 }
“Maka
hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari
apa yang mereka selalu kerjakan.” (QS. At-Taubah : 82).
b. Allah
berfirman :
000 وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ
الْخَبَائِثَ { الأعراف : 157}
“Menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka apa yang buruk.” (QS.
Al-A’raf : 157).
c. Allah berfirman :
... بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ
الْعَذَابُ { الحديد : 13}
“Di
sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS.
Al-Hadid : 13)
d. Allah
berfirman :
... الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ 0الرَّحْمَانِ الرحِيمِ
“Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Fatihah : 2-3).
Imam Alqurthubi berkata : “Allah swt.” diri-Nya dengan ‘ar-rahman
ar-rahim’ setelah ‘rabbul ‘alamien’, karena di dalam pensifatan diri-Nya dengan
‘rabbul ‘alamien’ terdapat tarhieb (peringatan) yang dihubungkan dengan
‘ar-rahman ar-rahim’ karena terkandung di dalamnya terghieb (anjuran), supaya
bersatu antara peringatan dari Allah dan dorongan kepada-Nya, sehingga lebih membantu dalam
menataati-Nya.” (Tafsir Al-Qurthubi,
1 : 139)
3.
Kesesuaian antara surat dengan surat
Seperti
surat-surat yang mengandung
kata-kata ‘al-hamdu’:
a.
Al-hamdu yang berkaitan dengan zharf makan (tempat). Contonya :
Allah
berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأََرْضَ {
الأنعام : 1}
“Segala
puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi...” (QS. Al-An’am : 1)
Allah
berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الأَرْضِ { سبأ : 1}
‘Segala
puji bagi Allah Yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi...”(QS. Saba : 1)
b.
Al-hamdu sebagai pembuka Alquran. (Tafsir Ibnu Katsir I : 3)
Contohnya
:
Allah
berfirman :
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . الرَّحْمَانِ الرَّحِيمِ . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
{ الفاتحه 2-4 }
“Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha pemurah lagi Maha Penyayang, Yang
menguasai hari pembalasan.” (QS. Al-Fatihah: 2-4)
Allah
berfirman :
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا
{ الكحف : 31 }
“Segala
puji bagi Allah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada hambanya-Nya...
(QS. Al-Kahfi : 1).
3.
Keserasian antara pembuka surat dan penutupnya
Seperti
surat (28) Al-Qashash : Surat ini diawali oleh kisah Nabi Musa yang mengalami
aneka rupa cobaan dalam menghadapi kekejaman Fir’aun. Kemudian diakhiri dengan
hiburan dari Allah kepada Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang selalu
disakiti, diejek, dan diusir oleh orang-orang musyik Mekkah dengan menerangkan
bahwa orang-orang yang beriman
itu akan menerima cobaan atas keimanan kepada nabi mereka, seperti yang dialami
oleh Nabi Musa dan Bani Israil.
4.
Kesesuaian kandungan suatu surat dengan surat yang lain
a. Dalam
surat Quraisy Allah mengatakan bahwa Dia
membebaskan manusia dari kelaparan, maka dalam surat Al-ma’un Allah mencela orang yang tidak
menganjurkan dan tidak memberi maka orang miskin
b. Dalam
surat Quraisy Allah memerintahkan manusia untuk
menyembah hanya kepada-Nya maka dalam surat
Al-ma’un Allah mencela orang yang salat dengan lalai dan riya.
5.
Keserasian bunyi huruf Akhir (bersajak)
a.
Huruf-huruf yang sejenis, seperti :
1. (QS.
Ath-Thur : 1-4)
وَالطُّورِ
. وَكِتَابٍ مَسْطُورٍ . فِي رَقٍّ مَنْشُورٍ . وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِ { الطور
: 1-4}
2. (QS.
An-Nas : 1-6)
قُلْ
أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ . مَلِكِ النَّاسِ . إِلَهِ النَّاسِ . مِنْ شَرِّ
الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ . الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ . مِنْ
الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ { الناس : 1-6}
b.
Huruf-huruf yang saling berdekatan, seperti :
(QS.
Al-Fatihah : 3-4)
الرَّحْمَانِ
الرَّحِيمِ . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ . { الفاتحه : 3-4}
Karena
dekatnya huruf mim dengan nun dalam akhir kata.
c. Dua
kata yang sama dalam wazan dan huruf-huruf sajaknya, seperti
(QS.
Al-Ghasyiah : 13-14)
وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ . وَزَرَابِيُّ مَبْثُوثَةٌ { الغاشية : 15-16}
d. Kata
yang sama dalam penggalan kalimat, seperti ;
(QS.
Al-Ghasyiah 15-16)
وَنَمَارِقُ
مَصْفُوفَةٌ . وَزَرَابِيُّ مَبْثُوثَةٌ { الغاشية 15-16}
2. Ketinggian uslub (gaya
bahasa)nya
Para ulama sepakat bahwa Alquran memiliki uslub yang tinggi.
Uslub Alquran memilki keistimewaan yang tidak akan didapati pada
omongan manusia.
Di antara keistimewaan uslub Alquran ialah :
1. Keteraturan bunyinya yang indah melalui nada
huruf-hurufnya ketika mendengar harakat dan sukunnya, madd dan gunnah-nya,
wahsal dan saktah-nya, sehingga telinganya tidak pernah merasa bosan, bahkan
ingin senantiasa terus mendengarnya.
2. Keragaman khitab-nya (pengungkapan kata-kata
yang ditujukan kepada orang banyak), yang menyebabkan berbagai orang golongan
manusia dengan berbagai tingkat intelektualitas dapat memahami kitab itu sesuai
tingkatan akalnya, sehingga masing-masing dari mereka memandangnya sesuai
dengan keperluannya, baik mereka orang awam maupun kalangan ahli.
3. Memuaskan akal dan menyenangkan perasaan, oleh karena Alquran dapat
memenuhi kebutuhan jiwa manusia, pemikiran maupun perasaan, secara berimbang.
Kekuatan fikir tidak menindas kekuatan rasa dan kekuatan rasa pun tidak
mematikan kekuatan fikir.
4. Memiliki fashahah (ketepatan dalam pilihan kata, baik lafalnya,
intonasi, dan sebagainya), serta mengandung balaghah. (kefasihan lidah).
Fashahah
dan balaghah Alquran ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
a. Majaz
(kiasan), yaitu arti kata yang bukan sebenarnya.
Contohnya
:
- Allah berfirman:
...وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آياتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَا
نًا... { الأنفال : 2}
“Dan
apabila dibacakan ayat-ayat-Nya terhadap mereka, ayat-ayat itu menambah
keimanan mereka.” (QS. Al-Anfal:2).
Dalam
ayat, tersebut, kata ‘tambahan’ dinisbahkan kepada ayat, padahal semestinya dinisbahkan
kepada iman orang mukmin yang bertambah karena mendengar bacaan ayat-ayat
tersebut.
Allah
berfirman :
ثُمَّ
اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا
طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَا ِئينَ
“Kemudian
Dia menuju pada penciptaan langit, padahal (waktu masih berupa) asap (gas),
kemudian Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi ; ‘Datanglah dengan kamu
berdua datang dengan sukarela”.(QS. Fushilat : 11)
Lafazh
qalata (keduanya berkata/menjawab) pada asalnya digunakan untuk yang berakal,
tetapi dalam ayat di atas digunakan untuk yang tidak berakal.
Allah
berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ
... { المائدة : 3}
“Telah
diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi...” (QS. Al-Maidah : 3)
Kata
“babi” hanya disebut bagiannya saja, yaitu daging. Ini tidak berarti bahwa
bagian-bagian lainnya, seperti kulit, tulangnya, dan lain sebagainya, menjadi
halal, karena yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah seluruh anggota tubuh
yang ada pada babi. Kata “daging” disebut secara khusus bertujuan untuk
memberikan penjelasan bahwa bagian yang menjadi pokok untuk dimakan pada babi
adalah dagingnya.
B.
Isti’arah (pinjaman), yaitu suatu lafazh yang digunakan tidak menurut arti asli.
Contoh :
1.Allah
berfirman :
... وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا ... { مريم : 4}
“Dan
telah penuh uban di kepala (ku)’ (QS. Maryam:4)
Lafazh
“isyta’ala” dalam ayat di atas adalah lafazh isti’arah, karena arti asalnya
“menyala” untuk api bukan untuk uban. Namun karena uban itu terjadi sedikit
demi sedikit, maka tak ubahnya seperti nyala api pada arang.
2.Allah
berfirman :
وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ { التكوير : 18}
“Demi
waktu shubuh apabila fajar mulai menyingsing”. (QS. At-Takwir : 18)
Lafazh
dalam ayat tersebut adalah lafazh isti’arah.Tanaffas terbitnya matahari itu
berangsur-angsur, sedikit demi sedikit, maka tak ubahnya seperti orang yang
sedang bernafas.
3. Allah
berfirman :
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ
كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنْ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ
جَاءَكُمْ مِنْ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ { المائدة : 15}
“Wahai
Ahlul Kitab ! Sungguh telah datang Rasul Kami kepadamu, menerangkan kepadamu
sebagian besar isi kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak yang tidak mereka
pedulikan. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dan kitab yang jelas dari
Allah”. (QS. Al-Maidah : 5)
Lafazh
nur dalam ayat ini adalah isti’arah. Lafazh nur arti asalnya ialah ‘cahaya’.
Adapun yang dimaksud dengan nur dalan ayat tersebut adalah Muhammad saw.karena
beliau membawa hidayah yang dapat menuntun manusia dari kekufuran kepada
keimanan, tak ubahnya seperti cahaya yang menyinari seseorang di tempat yang
gelap.
4. Allah
berfirman :
وَتَرَكْنَا
بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ
جَمْعًا { الكهف : 99}
“Kami
biarkan pada hari itu sebagian mereka bercampur baur dengan sebagian yang lain,
kemudian ditiup sangkakala, lalu kami mengumpilkan mereka itu semuanya.”(QS. Al-Kahfi:99)
Lafazh
“yamuju” dalam ayat ini adalah lafazh isti’arah, sebab arti asalnya
“bergelombang”. Lafazh tersebut asalnya digunakan untuk air laut, tetapi dalam
ayat di atas digunakan untuk gelombang manusia pada hari kiamat.
5. Allah
berfirman :
وَلَمَّا
سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ ... { العراف : 153}
“Dan
ketika kemarahan Musa reda”. (QS. Al-A’raf:154).
Lafazh
“sakata” adalah lafazh isti’arah, sebab arti asalnya ialah “diam” yang
penggunaannya untuk ucapan atau perkataan, bukan untuk marah.
D). Tasybih
(metafora), yaitu menunjukan adanya penyerupaan antara sesuatu dengan sesutu
yang lain dari segi maksudnya.
Contohnya
:
a. Allah
berfirman :
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ
كَمَثَلِ الْعَنكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ
الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ { العنكبوت : 41}
“Perumpamaan orang-orang menjadikan pelindung-pelindung
selain Allah, tak ubahnya seperti labak-labak yang membuat rumah, padahal
sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah labak-labak, jika mereka
mengetahui.” (QS.
Al-Ankabut:41)
Ayat ini
gambaran yang jelas bahwa pegangan orang-orang musyrik dalam beribadah kepada
selain Allah itu adalah pegangan yang paling lemah. Mereka berusaha dengan
mencurahkan tenaga dan pikiran, akan tetapi mereka tidak akan dapat memetik
buah dari hasil usaha itu. Ini tak ubahnya seperti usaha labak-labak yang
membuat rumah atau sarang, padahal yang dibuatnya itu sangat rapuh, tidak
sesuai dengan jerih payah yang telah dikerahkan.
b. Allah
berfirman :
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ
اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لاَ يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا
عَلَى شَيْءٍ ... ابراهيم : 18}
“Perumpamaan
amal-amal orang yang ingkar kepada Tuhan mereka itu seperti debu yang
diterbangkan angin kencang tatkala bertiup badai. Mereka tidak dapat mengambil
manfaat sedikit dari pada yang telah mereka usahakan.” (QS. Ibrahim:18).
Ayat di
atas menceritakan amal usaha orang kafir yang tidak dapat memberi manfaat
sedikit pun. Ini seperti debu yang diterbangkan angin kencang, tidak terdapat
sisa sedikit pun. Maka amal orang kafir, walaupun secara lahiriah dinilai baik
oleh manusia, tetapi di akhirat nanti tidak akan ada manfaatnya sama sekali.
c. Allah
berfirman:
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ... { البقرة :
187}
“Mereka
(istri-istri) itu (seperti) pakaian untuk kamu (suami-suami), dan kamu
(seperti) pakaian untuk mereka.” (QS. Al-Baqarah : 187).
Ayat
menyerupakan wanita dan pria seperti bagi masing-masing. Kita tahu bahwa
pakaian merupakan kebutuhan pokok atau primer. Setiap manusia menghajatkan
pakaian. Demikian pula setiap orang membutuhkan pasangan dari jenis lainnya. Di
samping itu bentuk model pun sesuai dengan selera orang yang akan memakainya.
Karena itu, dalam memilih dan menentukan jodoh tidak boleh dipaksakan selama
tidak bertentangan dengan hukum Allah swt. Ditinjau dari sudut saling
membutuhkan inilah Allah mengumpamakan pria dan wanita itu seperti pakaian.
Ayat-ayat
di atas diungkapkan dengan menggunakan tasybih, tiada lain bertujuan agar dapat
memberikan gambaran yang jelas disamping untuk memberikan kesanyang memdalam di
dalam jiwa pendengar atau pembacanya.
d.
Al-I’jaz, yaitu menggunakan lafaz ringkas yang memilki banyak makna.
Contohnya
:
Allah berfirman
:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ ... { البقرة : 179}
“Dan
dalam qishah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu...” (QS. Al-Baqarah :
179).
Ayat
tersebut diungkap dengan lafazh yang ringkas, tapi mengandung makna yang luas,
karena yang dimaksud oleh ayat di atas ialah apabila seseorang membunuh maka ia
mengetahui kapan ia akan dibunuh. Ayat di atas menyuruh seseorang untuk
menghindarkan diri dari pembunuhan. Karena pembunuhan akan menghilangkan
kehidupan bagi dirinya (pembunuh) dan bagi orang lain (yang dibunuh). Dengan
cara itu dia akan opanjang umur dan banyak turunan, sehingga masing-masing akan
memperolah manfaat dari kehidupannya.
e.
Al-Ithnab, yaitu menambah lafazh pada suatu makna untuk memberi tambahan
kaidah, seperti
1.
Menyebutkan sesuatu yang khusus setelah yang umum
Contohnya
:
Allah
berfirman :
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى ... {
البقرة :238 }
“Peliharalah
segala salat (mu), dan (peliharalah) salat wustha”. (QS. Al-Baqarah : 238).
Lafazh
“salat wustha (ashar)” secara khusus disebut setelah salat-salat lainnya. Hal
ini untuk menunjukan bahwa salat ashar memiliki keutamaan yang lebih dari satu
segi bila dibandingkan dengan salat-salat lainnya.
2.
Menyebutkan kembali lafazh yang telah disebut
Contohnya
:
Allah berfirman
:
كَلاَّ
سَوْفَ تَعْلَمُونَ . ثُمَّ كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُونَ { التكاثر : 3-4 }
“Jangan
lah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu) dan jangan lah
begitu, kelak kamu akan mengetahui. (QS. At-Takasur : 3-4).
Lafazh
saupa “ta’lamun” disebut kembali setelah yang pertama, dengan maksud untuk
memberikan rasa takut yang berlebihan terhadap kesalahan yang mereka lakukan.
f.
At-Taqdim (mendahulukan penyebutan suatu lafazh) dan At-Takhir (mengakhirkan
penyebutan suatu lafazh).
Contohnya
:
Allah
berfirman :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ { الفاتحه : 5 }
“Hanya
kepada engkau lah kami beribadah dan hanya kepada engkau lah kami memohon
pertolongan (QS. Al-Fatihah : 5).
Pada
ayat di atas lafazh “iyyaka” didahulukan penyebutannya dari pada “na’budu” dan
”nastian”, hal ini bertujuan untuk mengagungkan Allah serta agar menjadi
perhatian. Disamping itu untuk menekankan bahwa ibadah dan isti’anah itu
khususnya hanya kepada Allah, karena Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak
terhadapnya.