TA’ARUD AL-ADILLAH



TA’ARUD AL-ADILLAH
Secara etimologi, ta’arud ( اَلتَّعَارُضُ ) berasal dari kata aradha mempunyai arti banyak, antara lain: dhahara, ashaba, naha nahwahu, dan ada yang mengartikan dengan pertentangan. Sedangkan adillah ( اَلأَدِلَّةُ ) adalah jamak dari dalil ( اَلدَّلِيْلُ ) yang berarti “alasan, argumentasi, dan dalil”.
Al-Fayumi mengemukakan bahwa kata aradha dalam arti mana’a, untuk menunjukkan bukti-bukti.
تَعَارَضَ البَيِّنَاتُ ِلأَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ تَعْتَرِضُ الأُخْرَى وَتَمْنَعُ نُفُوْذُهُا
Ta’arudh bukti-bukti karena masing-masing menentang yang lain dan mencegah berlakunya.
Muhammad Mansur Asy-Syaikh dalam karyanya yang berjudul Al-Qawa’idul Ushuliyyah, arti ta’arudh dari kata al-urdhu dengan dammah ‘ain dalam arti nahiyah.
كَأّنَّ الكَلاَمَ المُتَعَارِضَ يَقِفُ بَعْضُهُ فِي عَرَضِ بَعْضِ أَىْ لاَحِيَةِ وَجِهَتِهِ فَيَمْنَعُهُ مِنَ النُفُودِ اِلَى حَيْثُ وَجْهِ
Kata-kata yang muta’aridh itu sebagian berdiri di arah yang bertentangan dengan yang lain, yakni arah yang satu pada arah yang lain, sehingga menghalangi/menolak berlakunya ke arah mana saja.
Adapun pengertian ta’arudh al-adillah dalam kajian ilmu ushul fikih adalah:
تَقَابَلَ الدَّلِيْلَيْنِ عَلَى سَبِيْلِ المُمَانَعَةِ
Berhadap-hadapan dua dalil dengan cara yang saling bertentangan.
Adapun menurut pendapat Ali Hasabalah, ta’arudh al-adillah adalah:
اَلتَّعَارُضُ أَنْ يَقْتَضِى اَحَدُ الدَّلِيْلَيْنِ المُتَسَاوِيَيْنِ فِي مَرْتَبَةِ الثًّبُوتِ نَقِيْضِ مَايَقْتَضِيهِ الأَخَرُ
Ta’arudh itu hendaknya satu dari dalil yang sama martabat tsubutnya mengandung ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan dalil yang lain.
Adapun definisi yang lain, dapat dikemukakan:
إِقْتِضَاءُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الدَّلِيْلَيْنِ فِي وَقْتِ وَاحِدٍ حُكْمًا فِي الوَاقِعَةِ يُخَالِفُ مَايَقْتَضِيهِ الدَّلِيْلُ الأُخْرَ فِيْهَا
Masing-masing dalil menghendaki hukum di waktu yang sama terhadap satu kejadian yang menyalahi hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain.
Dari beberapa keterangan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang terkandung dalam pengertian ta’arudh al-adillah adalah
a.      Adanya dua dalil,
b.      Sama martabat keduanya,
c.        Mengandung ketentuan yang berbeda,
d.      Berkenaan dengan masalah yang sama, dan
e.       Menghendaki hukum yang sama dalam satu waktu.
Selanjutnya dalam ta’arudh adillah ada empat jenis, yaitu
a.      Ta’arudh antara Alquran dengan Alquran, sebagaimana firman Allah swt.
وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahui... (Q.s. an-Nahl -16-: 8).
Dalam ayat di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kuda, bagal dan keledai hanya diperuntukan untuk kendaraan saja, sedang ayat berikut bermaksud berbeda.
اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَنْعَامَ لِتَرْكَبُوا مِنْهَا وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
Allah yang menjadikan binatang-binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk kami makan. (Q.s. al-Mu’min -40-: 79).
b.      Ta’arudh antara sunah dengan sunah.
عَنْ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلاَمَةَ ر أَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاٍع ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ. (متفق عليه).
Dari Aisyah dan Ummi Salamah r.a. bahwa Nabi ketika masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena melakukan jima kemudian mandi dan menjalankan puasa.
Hadis ini bertentangan dengan hadis lain yang berbunyi:
إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ صَلاَةَ الصُّبْحِ وَأَحَدُكُمْ جُنُبًا فَلاَيَصُومُ يَوْمَهُ.
Bila telah dipanggil untuk salat subuh, sedang salah satu di antara kamu dalam keadaan junub maka jangan puasa dihari itu. (H.r. Ahmad dan Ibnu Hibban)
c.        Ta’arudh antara sunah dengan qiyas.
Ta’arudh antara sunah dengan qiyas, dapat dilihat tentang contoh ukuran hewan untuk aqiqah berdasarkan sunah, satu kambing untuk putri dan dua kambing untuk putra, berdasarkan hadis:
اَلْعَقِيْقَةُ حَقٌّ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافَئَتَانِ وَعَنْ الجَارِيَةِ شَاةٌ.
Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing. (H.r. Asma binti Yazid).
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh hewan yang lebih besar, unta lebih daripada sapi dan sapi lebih daripada kambing, ini hampir pendapat sebagian besar fuqaha. Sedangkan yang berpegang pada bunyi hadis di atas adalah Imam Malik, bahwa aqiqah itu dilakukan dengan menyembelih kambing.
d.      Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas.
Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi Muhammad saw. terhadap Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: تَزَوَجْنِي رَسُولُ اللهِ ص لِسَتِّ وَبَنِىَ بِى وَأَنَابِنْتُ تِسْعِ سِنِيْنَ. (رواه مسلم عن عائشة).
Dari Aisyah beliau berkataL Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika saya gadis yang telah berumur sembilan tahun. (H.r. Muslim dari Aisyah).
Berdasarkan hadis di atas, dapat diambil sebuah hukum kebolehan mengawin-kan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin yang bersangkutan yang masih di bawah umur, demikian pendapat Hanafiyah. Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya.
Menurut Abdul Wahhab Khalaf, jika terjadi ta’arudh jalan keluarnya adalah sebagai berikut.
a.      Bila terjadi ta’arudh wajib diadakan ijtihad dengan mengadakan jama’ dan taufiq di antara keduanya.
b.      Bila tidak bisa dilakukan demikian, maka dilaksanakan tarjih menurut jalan-jalan yang ditetapkan.
c.        Bila tidak juga bisa dilakukan tarjih, maka dicari mana yang lebih dahulu dan yang kemudian wurud-nya, dinyatakan nasikh mansuh.
d.      Bila tidak juga bisa dilakukan, maka di-tawaquf-kan keduanya. Atau kaidahnya menurut Abdul Wahhab Khalaf adalah:
إِذَا تَعَارَضَ النَّصَّانِ ظَاهِرًا وَجَبَ البَحْثُ وَالإِجْتِهَادُ فِي الجَمْعِ وَالتَّوْفِيْقِ بَيْنَهُمَا بِطَرِيْقٍ صَحِيْحٍ مِنْ طُرُقِ الجَمْعِ وَالتَّوْفِيقِ. فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ وَجَبَ البَحْثُ وَالإِجْتِهَادُ فِي تَرْجِيْحِ أَحَدِهِمَا بِطَرِيْقٍ مِنْ طُرُقِ التَرْجِيْحِ. فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ هَذَا وَلاَ ذَلِكَ وَعْلَمْ تَارِيْخُ وُرُوْدِهِمَا كَانَ الأَحِقُ مِنْهُمَا نَاسِخًا لِلسَّابِقِ. وَإِنْ لَمْ يُعْلَمُ تَارِيْخُ وُرُوْدِهِمَا تَوَقَّفَ عَنِ العَمَلِ بِهِمَا. وَإِذَا تَعَارَضَ قِيَاسَانِ أَوْ دَلِيْلاَنِ مِنْ غَيْرِ النُّصُوصِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَرْجِيْحُ أَحَدِهِمَا عُدِلَ عَنِ الإِسْتِدْلاَلِ بِهِمَا.
Apabila kedua nash bertentangan menurut lahiriyyahnya maka wajib dilakukan pembahasan dan ijtihad dalam rangka menggabungkan dan menyesuaikan antara keduanya melalui cara yang sahih dari berbagai cara penggabungan dan penyesuaian. Jika hal tersebut tidak mungkin dilakukan, wajib dilakukan pengkajian dan ijtihad dalam rangka mentarjihkan salah satu dari kedua nash itu dengan salah satu cara tarjih. Kemudian jika hal ini tidak mungkin dan itu juga tidak mungkin, sedangkan sejarah kedatangan kedua nash itu diketahui, nash yang menyusul menasakhkan yang terdahulu. Dan jika sejarah kedatangan kedua nash itu tidak diketahui maka pemberlakuan terhadap kedua nash itu ditangguhkan. Apabila dua qiyas atau dua dalil selain nash bertentangan, dan tidak mungkin mentarjih salah satu dari keduanya maka istidlal dengan kedua qiyas atau dua dalil itu dikesampingkan.

Pengunjung