PENGANTAR FIQIH BENCANA



PENGANTAR FIQIH BENCANA
Betapa banyak kejadian dan musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini. Sayangnya, sangat sedikit di antara kita yang mau mengambil i'tibar (pelajaran). Terkadang kejadian dan musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa diduga. Sehingga hal ini sering kali membuat manusia bertekuk lutut dan tidak berdaya, bahkan sebagian manusia berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran dalam menghadapinya.
Hanya orang-orang mukmin yang ternyata tetap bersabar dalam menghadapi musibah, ujian, dan cobaan, karena mereka selalu melekatkan kehidupannya dengan iman, dan berpegang teguh pada salah satu rukunnya --yaitu iman kepada qadha dan qadar-Nya. Semua yang menimpa mereka terasa sebagai sesuatu yang ringan, sementara lisan mereka --jika menghadapi musibah-- senantiasa mengucapkan: "sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali".
Begitulah kehidupan dunia yang selalu silih berganti. Kadangkadang manusia tertawa dan merasa lapang dada, tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya. Oleh karenanya tidak ada sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserah diri kepada-Nya, sebagaimana firman Allah SWT berikut:
وَبَشِّرْ الصَّابِرِينَ # الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
"... Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapLan 'Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'un.'" (al-Baqarah: 155-156)
Dalam konteks fiqih, berbagai musibah dan kejadian itu tidak sedikit memunculkan persoalan baru dalam kaitannya dengan fiqih, misalnya karena terjadi bencana alam yang merengut banyak korban kematian, maka muncul beberapa persoalan, antara lain:
a. Bagaimana Pemeliharaan Mayit Korban Bencana
b. Berapa lama masa iddah istri korban bencana, yang tidak diketahui rimbanya, apakah sudah wafat atau belum.
c. jika di antara mereka ada yang mempunyai keturunan, tentu berpengaruh pula terhadap status kewarisannya

Barangkali inilah berbagai persoalan hukum fiqih yang terkait dengan bencana dalam kehidupan ini. Namun karena keterbatasan media, maka yang disoroti secara khusus dalam makalah adalah pemeliharaan mayit korban bencana itu. Sedangkan perkara lainnya akan disampaikan secara lisan, itupun seandainya waktu memungkinkan.

Islam memandang alam dengan sangat serius. Sebagian besar Alquran membahas alam, baik langung maupun tak langsung. Hakikat alam ditentukan oleh 5 prinsip:

1. Profanitas
Bagi Islam alam adalah fana. Dalam dirinya alam itu baik, namun dng rujukan pada apa yang dapat dilakukan manusia terhadap alam, atau bagaimana manusia bersikap alam, maka alam dapat bersikap baik dan jahat.

2. Keterciptaan
Alam dalam Islam adalah makhluk Allah, yang diciptakan dari ketiadaan dengan perintah Allah semata. Langit, bumi, serta semua yang ada didalamya akan mengalami kemusnahan di bawah semua relativitas ruang dan waktu (Q.s. 11:7)

3. Keteraturan
Islam memandang alam sebagai bidang yang teratur. Peristiwa yang terjadi sebagai hasil dari sebabnya. Pada gilirannya, kejadiannya merupakan sebab dari peristiwa lain. Peristiwa serupa menunjuk pada sebab yang sama, dan sebab yang sama menunjuk pada konsekuensi yang sama (Q.s. 65:3; 36:12)
Alam merupakan suatu sistem sebab dan akibat yang lengkap dan integral yang tidak bercacat, tak berjurang, yang dibentuk dengan sempurna oleh penciptanya. (Q.s. 67:3-4)
Kesempurnaan ini akan menyifati alam selama alam ini ada; karena ciptaan Allah akan selalu sama. Alasannya adalah bahwa pola-pola Allah itu bersifat abadi (Q.s. 48:23). Allah tak mengubah cara-Nya karena Dia tidak berubah.

4. Bertujuan
Tiap objek yang membentuk alam ada tujuan yang harus dan akan dipenuhi. Allah menciptakan segala sesuatu dan memberinya kadar, ukuran, takdir, dan peran (Q.s. 25:2; 87:3)
Islam menyatakan manusia sebagai tujuan dari semua rantai finalistik alam. Ini membentuk antar ketergantungan ekologis manusia dengan semua yang ada di alam.

5. Ketundukan
Allam ditundukan Allah terhadap manusia karena ada tujuan yang dilekatkan oleh Allah pada tiap objek akhirnya membawa pada kebaikan bagi manusia, yakni manusia dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan kebahagiaan. Ini juga berarti bahwa Allah menjadikan alam dapat dibentuk, dapat menerima kemampuan kausal manusia. Allah menjadikan Alam dapat menjaga benang-benang kausalnya terbuka untuk penentuan lebih lanjut oleh manusia, sehingga berhasil atau tidak berhasil dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan dari suatu tindakan manusia. Inilah yang diungkap oleh Alquran melalui gagasan taskhir.



Sejarah Gempa Jazirah
Tradisi Arab hidup dengan kenangan bencana dengan hancurnya bendungan besar di Ma’rib, Kerajaan Saba di Arabia Barat daya pada abad V masehi, yang menyebabkan kehancuran besar dan malapetaka bagi penduduknya.


Ketentuan Iddah Umum
Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya 4 bln 10 hari berlaku umum
a. yang sudah haidh, b. yang berhenti haidh, c. yang tidak pernah haidh, d. yang sudah dukhul, e. yang belum dukhul.
Kecuali bagi yang hamil iddahnya sehabis ia melahirkan
Al-Baqarah:234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
[147]. Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan

Iddah ditinggal mati
  1. bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, sudah campur tidak hamil, idahnya empat bulan sepuluh hari (Al-Baqarah:234)
  2. bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, dalam keadaan hamil, idahnya hingga melahirkan, sabda Nabi kepada Sabi’ah al-Aslamiyyah: Hallalti fankihi ma syi’ti” H.r. Al-Bukhari
  3. bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, belum campur, ‘iddah sesuai dengan keumuman (Al-Baqarah:234)

Ketentuan Iddah Umum
Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya 4 bln 10 hari berlaku umum
a. yang sudah haidh, b. yang berhenti haidh, c. yang tidak pernah haidh, d. yang sudah dukhul, e. yang belum dukhul.
Kecuali bagi yang hamil iddahnya sehabis ia melahirkan
Al-Baqarah:234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
[147]. Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan

Masa Iddah Thalaq
Al-Baqarah:228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142]. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

[142]. Quru' dapat diartikan suci atau haidh.
[143]. Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).

At-Thalaq:4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنْ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنْ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

BEBERAPA KETENTUAN ISLAM TENTANG HUKUM PERKAWINAN
Wanita yang diceraikan sebelum dicampuri tidak ada 'iddah dan harus diberi mut'ah

Al-Ahzab: 49.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[1225] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.

[1225]. Yang dimaksud dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri

Masa Iddah ditinggal Mati

Al-Baqarah:234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
[147]. Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan


Mafqud
Sedangkan menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang, terputus beritanya, dan tidak diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau sudah mati.
a. istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan, hartanya tidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya dan jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati
b. Bila orang yang hilang itu dalam keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti jika terjadi peperangan, atau menjadi salah seorang penumpang kapal yang tenggelam-- maka hendaknya dicari kejelasannya selama empat tahun. Apabila setelah empat tahun belum juga diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh masa idahnya, dan ia boleh menikah lagi setelah masa idah yang dijalaninya selesai. Berdasarkan hadis
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَا فَلَمْ تَدْرِ أَيْنَ هُوَ فَإِنَّهَا تَنْتَظِرُ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ – رواه مالك -
Setiap istri yang ditinggalkan pergi oleh suaminya, sedangkan dia tidak mengetahui di mana suaminya, maka dia menunggu empat tahun, kemudian ia beriddah selama 4 bln 10 hari. Hr. Al-Bukhari

Konsep Maslahat
ISTISHLAH

Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran  hukum  Islam yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu  sumber  hukum sekunder.  Karenanya  juga  konsep  ini  lebih  dikenal dengan sebutan, al-mashlah al-mursalah atau al-mashalih  al-mursalah. Konsep   penalaran   ini  bermula  dikembangkan  dalam  aliran pemikiran hukum Islam (madzhab)  Malikiyah.  Tapi  dapat  kita catat,  pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di kalangan  sahabat  dan tabi'in.  Dan  ternyata  kemudian  diambil alih juga oleh Imam al-Ghazali   dari   aliran    Syafi'iyah    dengan    beberapa penyempurnaan.  Tapi  perlu  dicatat,  konsep ini ditolak oleh aliran Zhahiriyyah dan Syi'ah.
Dari definisi di atas menggambarkan bahwa maslahah adalah sesuatu yang mendatangkan kepada kebaikan dan kemanfaatan bagi manusia baik di dunia dan di akhirat. Dalam konteks ini berarti maslahah dalam koridor hukum syara’, tidak dikaitkan pada hukum adat ataupun hukum konvensional lainnya. Jadi kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan dalam menjaga tujuan syara’ secara primernya ada lima yang akan kita bahas dalam sub judul berikutnya.  Dalam keterkaitannya dengan maslahah Imam Gazali mengatakan memang di sana ada perbedaan antara kemaslahatan syara’ dengan kemaslahatan adat. Dan kadang menimbulkan kontradiksi. Contoh; Adat Arab dalam menimbun anak perempuan, mengharamkan wanita dari harta warisan, meminum yang memabukkan, berjudi dan lain sbagainya. Hal itu menurut mereka merupakan adat yang mendatangkan kemanfatan, maka menurut mereka diperbolehkan. Hukum Amerika memperbolehkan berwasiat dengan semua harta bendanya. Ini adalah adat mereka dan mendatangkan manfaat bagi mereka, akan tetapi hal ini semua bertentangan dengan syari’at Islam.
            Dalam konteks maslahah Imam Syatibi memberikan ketentuan yang harus dijadikan sebagai pertimbangan, diantaranya: pertama,  Maslahah itu bersifat rasional dan tidak masuk ke dalam ibadah mahdhoh. Ke dua, harus sesuai dengan tujuan syari’ah secara umum. Ke tiga, harus menjaga masalah-masalah primer yang dilazimkan dalam agama, dan ini masuk dalam bab maa  laa  yatimmu al-wajib I’lla bihi fahuwa waajibun.

1.A. Maslahah dan Perubahan Hukum
Dalam membuat putusan hukum itu harus disesuaikan dengan kemaslahatan secara umum. Karena hukum yang tidak didasarkan kepada kemaslahatan itu bersifat pemaksaan. Dan sesuatu pemaksaan itu tidak akan diterima oleh masyarakat dalam tempo yang permanen. Maka segala hukum itu harus sesuai dengan sebabnya, dalam hal ini sesuai dengan kaidah hukmu yaduru maa’ I’llatihi wjuudan wa’adaman. Jadi segala hukum itu didasarkan pada illat yang bertujuan untuk kemaslahatan bersama. Contoh; pada  awal permulaan Islam Nabi SAW melarang untuk menulis hadist dengan dalih agar tidak tercampur dengan penulisan al-Qur’an, akan tetapi setelah kehawatiran itu hilang maka Nabi Saw memperbolehkannya. Pada waktu haji kebanyakan jama’ah memilih haji ifrad, hal ini agar di luar bulan haji ini bisa menunikan umrah. Dan tidak lain tujuannya adalah Baitul Haram. Dalam hal ini sesuai dengan perkataan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi : “ Kebijakan juz’I itu didasarkan pada maslahah, yang akan berubah sesuai dengan perubahan waktu”11. Contoh diwajibkannya penulisan pernikahan pada  KUA ini merupakan salah satu bentuk maslahah dan ini dijadikan sebagi hukum. Hal ini untuk mengatasi kejadian nikah urfi ataupun suami mengingkari akad pernikahan tersebut.   
1.B. Kontradiksi Antara Masalih dengan Mafsadah.
Dalam mempertimbangkan maslahah sebagai satu kesatuan hukum untuk diterapkan dalam kehidupan manusia tentunya di sana ada terdapat pertentangan baik hal itu pertentangan antar maslahah sendiri ataupun dengan mafsadah, dalam hal ini dibutuhkan fiqih muwazanat ( fiqih keseimbangan ). 
B.a. Keseimbangan Antar Masalih
Dalam maslahat seperti yang ditetapkan dalam syara’ itu tidak hanya satu tingkatan akan tetapi ada , hajiyat dan tahsiiniyat . Dalam fikih perioritas mengatakan bahwa kebutuhan dzaruriyat lebih didahulukan daripada hajiyat dan tahsiniyat.  Maka dalam hal ini, Maslahah yang pasti lebih didahulukan daripada maslahah yang bersifat dhoni, Didahulukan maslahah jama’ah daripada maslahah pribadi, Maslahah orang banyak lebih didahulukan daripada maslahah segelintir orang, maslahah permanen lebih didahuliukan daripada maslahah temporal, masalahah asasi lebih didahulukan daripada maslahah syakliyah, maslahah besar yang akan datang lebih didahulukan daripada maslahah kecil yang dibutuhkan sekarang12.
B.b.  Keseimbangan antar Mafsadah
Bila terjadi dua mafsadah yang bertentangan maka dalam menyikapi seperti ini harus disandarkan pada fikih keseimbangan. Dalam hal ini banyak sekali kaidah-kaidah yang menjelaskan masalah ini, diantaranya adalah: la dzarara wa la dzirara, al-dzararu yuzalu bikadri al-imkan, al-dzararu la yuzalu bidzararin mislihi au akbar minhu, yurtakabu akhoffu al-dzararaini wa ahwanu al-syarraini, yatahmmalu al-dzarar adna lidaf’I al-dzarari al-a’la, Yatahammalu al-dzararu al-Khosh lidaf’I al-dzarari al-A’mm.  Dari kaidah ini merupakan salah satu kesatuan kaiadah yang mana kerusakan kecil itu dapat diambil untuk menghadapi kerusakan yang besar. Contoh; Ada sekelompok penjahat datang ke rumah salah satu penduduk dan dia mengancam akan membunuh  bila tidak diberi uang 10.000 Rupiah. Dan uang tersebut diberikan kepada penjahat untuk melindungi nyawa keluarganya. Dalam tingkatan dzaruririyat lima bahwa melindungi nyawa lebih diutamakan daripada harta hal ini sesuai dengan yatahammalu al-dzarar al-dzai’f lidaf’I al-dzarari al-a’la.
B.c. Kontradiksi antara Masalih dan Mafsadah
Dalam permasalahanmaslahah ada kaidah yang disebut dengan taufik dan taglib watarjih. Bila permasalahan tersebut sama kuat maslahahnya maka kita memadukan ( taufik ) kalau tidak bisa berarti memakai taglib dan tarjih. Contoh dalam permasalahan poligami, Bagaimana hukum poligami dalam Islam? Bila kita tinjau dari kronologi sejarah syariat, di sana kita jumpai bahwa dalam syari’at Musa, As. diperbolehkan poligami sebanyak-banyaknya sedangkan dalam syari’at Isa As, tidak diperbolehkan poligami. Maka untuk menjembatani kontradiksi dari kedua syari’ah tersebut Syari’ah Muhammad membolehkan poligami akan tetapi dibatasi hanya empat saja dan ini menjaga kemaslahatan umat seandainya dalam kondisi tertentu poligami diperlukan.  Dan bila terjadi kontradiksi antara maslahah dengan mafsadah maka yang diambil sesuai dengan fikih keseimbangan yaitu memakai standart banyak dan sedikitnya maslahah dan kerusakan yang terjadi. Contoh; Hukum meminum khomr tidak diperbolehkan karena manfaatnya sedikit dibandingkan dengan kerusakan yang diderita. Maka dalam menyikapi masalah ini memakai kaidah Dar’u al-Mafasid Muqaddamun A’la jalbi al-masalihi, anna al-mafsadata al-sagirah tugtafaru min ajli al-maslahah al-kabirati.
B.d. Kontradiksi Antara Masalih dan Nash
Bila terjadi kontradiksi antaramaslahah dan nash maka yang didahulukan adalah nash. Ini adalah kesepakatan para fuqaha’. Menurut Najamuddin Al-Thufi bila terjadi pertentangan antara keduanya sesuai dengan penjelasan hadist  la dzarara wala dzirara  dalam hadist Arbain nawawiyah, diperbolehkan mendahulukan maslahah daripada nash. Akan tetapi yang dimaksud dengan nash itu yang mana? Apakah nash yang qathi’ atau yang dhonny? Menurut Dr. Yusf Qardawi  Yang dimaksud Al-Thufi di atas adalah  nash yang dhonny  bukan nash yang qathi’13. Dan Al-Thufi menambahkan penjelasannya dalam mendahulukan maslahah terhadap nash yang dzonny itu memakai sistem tahsis dan al-bayan bukan ta’thil dan iftiat .
1.C. Dasar-dasar Pembagian Masalih         
Dasar yang dipakai dalam pembagian masalih itu mengikuti standart kemaslahatan kepada masyarakat, dalam hal ini didasarkan kepada dua asas, yaitu;
1.Tujuan Sosial¸Syari’at diturunkan supaya masyarakat hidup dengan sejahterta dan bahagia baik dalam skala personal, kelompok maupun negara. Dalam hal ini bagaimana Islam dapat menjadi acuan dasar untuk hidup sosial. Standart yang dimaksud adalah bagaimana sistem yang dpakai oleh masyarakat baik hal itu dari masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya dll. Semuanya sesuai dengan syari’at Islam.
2.Nilai Sosial yang tinggi, Dalam masyarakat islam sangat menjunjung akan arti kehidupan yang bersfat; adil, rukun, saling membantu, kebebasan, dan kemulyaan. Nilai-nilai dasar seperti ini telah dirumuskan dalam syari’ah Islam secara penuh. 
Dengan adanya dua landasan yang tersebut di atas  merupakan salah satu kunci keberhasilan masyarakat untuk bisa hidup maju yang tanpa memperhatikan perbedaan dan kesenjangan sosial seperti yang terjadi pada masyarakat modern ini.

Perlu juga kita ketahui, bahwa di zaman Umar bin Al Khathab pertah terjadi wabah Tha’un.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ سَرْغَ. رواه مسلم
Dan Yang dimaksud Al Waba adalah suatu musibah yang merengut banyak korban kematian.

Pengunjung