PENGANTAR FIQIH
BENCANA
Betapa banyak
kejadian dan musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini. Sayangnya,
sangat sedikit di antara kita yang mau mengambil i'tibar (pelajaran). Terkadang
kejadian dan musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa diduga. Sehingga hal ini
sering kali membuat manusia bertekuk lutut dan tidak berdaya, bahkan sebagian
manusia berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran dalam
menghadapinya.
Hanya orang-orang
mukmin yang ternyata tetap bersabar dalam menghadapi musibah, ujian, dan
cobaan, karena mereka selalu melekatkan kehidupannya dengan iman, dan berpegang
teguh pada salah satu rukunnya --yaitu iman kepada qadha dan qadar-Nya. Semua
yang menimpa mereka terasa sebagai sesuatu yang ringan, sementara lisan mereka
--jika menghadapi musibah-- senantiasa mengucapkan: "sesungguhnya kita
berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali".
Begitulah
kehidupan dunia yang selalu silih berganti. Kadangkadang manusia tertawa dan
merasa lapang dada, tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya. Oleh
karenanya tidak ada sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserah
diri kepada-Nya, sebagaimana firman Allah SWT berikut:
وَبَشِّرْ الصَّابِرِينَ # الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ
مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
"... Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapLan 'Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'un.'"
(al-Baqarah: 155-156)
Dalam konteks
fiqih, berbagai musibah dan kejadian itu tidak sedikit memunculkan persoalan baru
dalam kaitannya dengan fiqih, misalnya karena terjadi bencana alam yang merengut
banyak korban kematian, maka muncul beberapa persoalan, antara lain:
a. Bagaimana
Pemeliharaan Mayit Korban Bencana
b.
Berapa lama masa iddah istri korban bencana, yang tidak diketahui rimbanya,
apakah sudah wafat atau belum.
c. jika di antara mereka ada yang mempunyai
keturunan, tentu berpengaruh pula terhadap status kewarisannya
Barangkali
inilah berbagai persoalan hukum fiqih yang terkait dengan bencana dalam
kehidupan ini. Namun karena keterbatasan media, maka yang disoroti secara
khusus dalam makalah adalah pemeliharaan mayit korban bencana itu. Sedangkan
perkara lainnya akan disampaikan secara lisan, itupun seandainya waktu
memungkinkan.
Islam
memandang alam dengan sangat serius. Sebagian besar Alquran membahas alam, baik
langung maupun tak langsung. Hakikat alam ditentukan oleh 5 prinsip:
1.
Profanitas
Bagi
Islam alam adalah fana. Dalam dirinya alam itu baik, namun dng rujukan pada apa
yang dapat dilakukan manusia terhadap alam, atau bagaimana manusia bersikap
alam, maka alam dapat bersikap baik dan jahat.
2.
Keterciptaan
Alam
dalam Islam adalah makhluk Allah, yang diciptakan dari ketiadaan dengan perintah
Allah semata. Langit, bumi, serta semua yang ada didalamya akan mengalami
kemusnahan di bawah semua relativitas ruang dan waktu (Q.s. 11:7)
3.
Keteraturan
Islam
memandang alam sebagai bidang yang teratur. Peristiwa yang terjadi sebagai
hasil dari sebabnya. Pada gilirannya, kejadiannya merupakan sebab dari
peristiwa lain. Peristiwa serupa menunjuk pada sebab yang sama, dan sebab yang
sama menunjuk pada konsekuensi yang sama (Q.s. 65:3; 36:12)
Alam
merupakan suatu sistem sebab dan akibat yang lengkap dan integral yang tidak
bercacat, tak berjurang, yang dibentuk dengan sempurna oleh penciptanya. (Q.s.
67:3-4)
Kesempurnaan
ini akan menyifati alam selama alam ini ada; karena ciptaan Allah akan selalu
sama. Alasannya adalah bahwa pola-pola Allah itu bersifat abadi (Q.s. 48:23).
Allah tak mengubah cara-Nya karena Dia tidak berubah.
4.
Bertujuan
Tiap
objek yang membentuk alam ada tujuan yang harus dan akan dipenuhi. Allah
menciptakan segala sesuatu dan memberinya kadar, ukuran, takdir, dan peran
(Q.s. 25:2; 87:3)
Islam
menyatakan manusia sebagai tujuan dari semua rantai finalistik alam. Ini
membentuk antar ketergantungan ekologis manusia dengan semua yang ada di alam.
5.
Ketundukan
Allam
ditundukan Allah terhadap manusia karena ada tujuan yang dilekatkan oleh Allah
pada tiap objek akhirnya membawa pada kebaikan bagi manusia, yakni manusia
dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan kebahagiaan. Ini juga berarti bahwa
Allah menjadikan alam dapat dibentuk, dapat menerima kemampuan kausal manusia.
Allah menjadikan Alam dapat menjaga benang-benang kausalnya terbuka untuk
penentuan lebih lanjut oleh manusia, sehingga berhasil atau tidak berhasil
dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan dari suatu tindakan manusia. Inilah
yang diungkap oleh Alquran melalui gagasan taskhir.
Sejarah Gempa Jazirah
Tradisi Arab hidup dengan kenangan bencana dengan
hancurnya bendungan besar di Ma’rib, Kerajaan Saba di Arabia Barat daya pada
abad V masehi, yang menyebabkan kehancuran besar dan malapetaka bagi
penduduknya.
Ketentuan Iddah Umum
Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya 4 bln
10 hari berlaku umum
a. yang sudah haidh, b. yang berhenti haidh, c. yang
tidak pernah haidh, d. yang sudah dukhul, e. yang belum dukhul.
Kecuali bagi yang hamil iddahnya sehabis ia
melahirkan
Al-Baqarah:234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ
فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.
[147]. Berhias, atau bepergian, atau
menerima pinangan
Iddah ditinggal mati
- bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, sudah campur tidak hamil, idahnya empat bulan sepuluh hari (Al-Baqarah:234)
- bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, dalam keadaan hamil, idahnya hingga melahirkan, sabda Nabi kepada Sabi’ah al-Aslamiyyah: Hallalti fankihi ma syi’ti” H.r. Al-Bukhari
- bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, belum campur, ‘iddah sesuai dengan keumuman (Al-Baqarah:234)
Ketentuan Iddah Umum
Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya 4 bln
10 hari berlaku umum
a. yang sudah haidh, b. yang berhenti haidh, c. yang
tidak pernah haidh, d. yang sudah dukhul, e. yang belum dukhul.
Kecuali bagi yang hamil iddahnya sehabis ia
melahirkan
Al-Baqarah:234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ
فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.
[147]. Berhias, atau bepergian, atau
menerima pinangan
Masa Iddah Thalaq
Al-Baqarah:228
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142]. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya[143]. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
[142]. Quru' dapat diartikan
suci atau haidh.
[143]. Hal ini disebabkan karena suami
bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).
At-Thalaq:4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ
مِنْ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنْ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ
أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.
BEBERAPA KETENTUAN ISLAM TENTANG HUKUM PERKAWINAN
Wanita yang diceraikan sebelum dicampuri tidak ada 'iddah dan harus diberi mut'ah
Wanita yang diceraikan sebelum dicampuri tidak ada 'iddah dan harus diberi mut'ah
Al-Ahzab: 49.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[1225]
dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
[1225]. Yang dimaksud dengan mut'ah
di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum
dicampuri
Masa Iddah ditinggal Mati
Al-Baqarah:234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ
فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.
[147]. Berhias, atau bepergian, atau
menerima pinangan
Mafqud
Sedangkan menurut
istilah para fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang, terputus beritanya, dan
tidak diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau sudah mati.
a.
istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan, hartanya tidak boleh diwariskan, dan
hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya
dan jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati
b. Bila orang
yang hilang itu dalam keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti jika
terjadi peperangan, atau menjadi salah seorang penumpang kapal yang tenggelam--
maka hendaknya dicari kejelasannya selama empat tahun. Apabila setelah empat
tahun belum juga diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya
boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh
masa idahnya, dan ia boleh menikah lagi setelah masa idah yang dijalaninya
selesai. Berdasarkan hadis
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ
سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ أَيُّمَا
امْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَا فَلَمْ تَدْرِ أَيْنَ هُوَ فَإِنَّهَا تَنْتَظِرُ
أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ –
رواه مالك -
Setiap istri yang
ditinggalkan pergi oleh suaminya, sedangkan dia tidak mengetahui di mana
suaminya, maka dia menunggu empat tahun, kemudian ia beriddah selama 4 bln 10
hari. Hr. Al-Bukhari
Konsep Maslahat
ISTISHLAH
Istishlah merupakan suatu
konsep dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan mashlahah
(kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi
suatu sumber hukum sekunder. Karenanya
juga konsep ini
lebih dikenal dengan sebutan,
al-mashlah al-mursalah atau al-mashalih
al-mursalah. Konsep
penalaran ini bermula
dikembangkan dalam aliran pemikiran hukum Islam (madzhab) Malikiyah.
Tapi dapat kita catat,
pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan
pertama ahl al-ijtihad di kalangan
sahabat dan tabi'in. Dan
ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam al-Ghazali dari
aliran Syafi'iyah dengan
beberapa penyempurnaan. Tapi perlu
dicatat, konsep ini ditolak oleh
aliran Zhahiriyyah dan Syi'ah.
Dari definisi di atas
menggambarkan bahwa maslahah adalah sesuatu yang mendatangkan kepada kebaikan
dan kemanfaatan bagi manusia baik di dunia dan di akhirat. Dalam konteks ini
berarti maslahah dalam koridor hukum syara’, tidak dikaitkan pada hukum adat
ataupun hukum konvensional lainnya. Jadi kemaslahatan yang dimaksud adalah
kemaslahatan dalam menjaga tujuan syara’ secara primernya ada lima yang akan
kita bahas dalam sub judul berikutnya.
Dalam keterkaitannya dengan maslahah Imam Gazali mengatakan
memang di sana ada perbedaan antara kemaslahatan syara’ dengan kemaslahatan
adat. Dan kadang menimbulkan kontradiksi. Contoh; Adat Arab dalam
menimbun anak perempuan, mengharamkan wanita dari harta warisan, meminum yang
memabukkan, berjudi dan lain sbagainya. Hal itu menurut mereka merupakan adat
yang mendatangkan kemanfatan, maka menurut mereka diperbolehkan. Hukum Amerika
memperbolehkan berwasiat dengan semua harta bendanya. Ini adalah adat mereka
dan mendatangkan manfaat bagi mereka, akan tetapi hal ini semua bertentangan
dengan syari’at Islam.
Dalam konteks maslahah Imam Syatibi memberikan
ketentuan yang harus dijadikan sebagai pertimbangan, diantaranya: pertama, Maslahah itu bersifat rasional dan tidak masuk
ke dalam ibadah mahdhoh. Ke dua, harus sesuai dengan tujuan
syari’ah secara umum. Ke tiga, harus menjaga masalah-masalah primer yang
dilazimkan dalam agama, dan ini masuk dalam bab maa laa
yatimmu al-wajib I’lla bihi fahuwa waajibun.
1.A. Maslahah dan Perubahan Hukum
Dalam membuat putusan hukum itu harus
disesuaikan dengan kemaslahatan secara umum. Karena hukum yang tidak didasarkan
kepada kemaslahatan itu bersifat pemaksaan. Dan sesuatu pemaksaan itu tidak
akan diterima oleh masyarakat dalam tempo yang permanen. Maka segala hukum itu
harus sesuai dengan sebabnya, dalam hal ini sesuai dengan kaidah hukmu yaduru
maa’ I’llatihi wjuudan wa’adaman. Jadi segala hukum itu didasarkan pada illat yang bertujuan untuk
kemaslahatan bersama. Contoh; pada
awal permulaan Islam Nabi SAW melarang untuk menulis hadist dengan dalih
agar tidak tercampur dengan penulisan al-Qur’an, akan tetapi setelah
kehawatiran itu hilang maka Nabi Saw memperbolehkannya. Pada waktu haji
kebanyakan jama’ah memilih haji ifrad, hal ini agar di luar bulan haji
ini bisa menunikan umrah. Dan tidak lain tujuannya adalah Baitul Haram. Dalam
hal ini sesuai dengan perkataan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi : “ Kebijakan
juz’I itu didasarkan pada maslahah, yang akan berubah sesuai dengan perubahan
waktu”11. Contoh diwajibkannya penulisan pernikahan pada KUA ini merupakan salah satu bentuk maslahah
dan ini dijadikan sebagi hukum. Hal ini untuk mengatasi kejadian nikah urfi
ataupun suami mengingkari akad pernikahan tersebut.
1.B. Kontradiksi Antara Masalih dengan
Mafsadah.
Dalam mempertimbangkan maslahah
sebagai satu kesatuan hukum untuk diterapkan dalam kehidupan manusia tentunya
di sana ada terdapat pertentangan baik hal itu pertentangan antar maslahah
sendiri ataupun dengan mafsadah, dalam hal ini dibutuhkan fiqih
muwazanat ( fiqih keseimbangan ).
B.a. Keseimbangan Antar Masalih
Dalam maslahat seperti yang ditetapkan dalam
syara’ itu tidak hanya satu tingkatan akan tetapi ada , hajiyat dan
tahsiiniyat . Dalam fikih perioritas mengatakan bahwa kebutuhan
dzaruriyat lebih didahulukan daripada hajiyat dan tahsiniyat. Maka dalam hal ini, Maslahah yang pasti lebih
didahulukan daripada maslahah yang bersifat dhoni, Didahulukan maslahah
jama’ah daripada maslahah pribadi, Maslahah orang banyak lebih didahulukan
daripada maslahah segelintir orang, maslahah permanen lebih didahuliukan
daripada maslahah temporal, masalahah asasi lebih didahulukan daripada maslahah
syakliyah, maslahah besar yang akan datang lebih didahulukan
daripada maslahah kecil yang dibutuhkan sekarang12.
B.b.
Keseimbangan antar Mafsadah
Bila terjadi dua mafsadah yang bertentangan
maka dalam menyikapi seperti ini harus disandarkan pada fikih keseimbangan.
Dalam hal ini banyak sekali kaidah-kaidah yang menjelaskan masalah ini,
diantaranya adalah: la dzarara wa la dzirara, al-dzararu yuzalu bikadri
al-imkan, al-dzararu la yuzalu bidzararin mislihi au akbar minhu, yurtakabu
akhoffu al-dzararaini wa ahwanu al-syarraini, yatahmmalu al-dzarar adna lidaf’I
al-dzarari al-a’la, Yatahammalu al-dzararu al-Khosh lidaf’I al-dzarari al-A’mm.
Dari kaidah ini merupakan salah satu kesatuan
kaiadah yang mana kerusakan kecil itu dapat diambil untuk menghadapi kerusakan
yang besar. Contoh; Ada sekelompok penjahat datang ke rumah salah
satu penduduk dan dia mengancam akan membunuh
bila tidak diberi uang 10.000 Rupiah. Dan uang tersebut diberikan kepada
penjahat untuk melindungi nyawa keluarganya. Dalam tingkatan dzaruririyat
lima bahwa melindungi nyawa lebih diutamakan daripada harta hal ini sesuai
dengan yatahammalu al-dzarar al-dzai’f lidaf’I al-dzarari al-a’la.
B.c. Kontradiksi antara Masalih dan Mafsadah
Dalam permasalahanmaslahah ada kaidah
yang disebut dengan taufik dan taglib watarjih. Bila permasalahan
tersebut sama kuat maslahahnya maka kita memadukan ( taufik ) kalau
tidak bisa berarti memakai taglib dan tarjih. Contoh
dalam permasalahan poligami, Bagaimana hukum poligami dalam Islam? Bila kita
tinjau dari kronologi sejarah syariat, di sana kita jumpai bahwa dalam syari’at
Musa, As. diperbolehkan poligami sebanyak-banyaknya sedangkan dalam syari’at
Isa As, tidak diperbolehkan poligami. Maka untuk menjembatani kontradiksi dari
kedua syari’ah tersebut Syari’ah Muhammad membolehkan poligami akan tetapi
dibatasi hanya empat saja dan ini menjaga kemaslahatan umat seandainya dalam
kondisi tertentu poligami diperlukan.
Dan bila terjadi kontradiksi antara maslahah dengan mafsadah
maka yang diambil sesuai dengan fikih keseimbangan yaitu memakai standart
banyak dan sedikitnya maslahah dan kerusakan yang terjadi. Contoh; Hukum
meminum khomr tidak diperbolehkan karena manfaatnya sedikit dibandingkan
dengan kerusakan yang diderita. Maka dalam menyikapi masalah ini memakai kaidah
Dar’u al-Mafasid Muqaddamun A’la jalbi al-masalihi, anna al-mafsadata
al-sagirah tugtafaru min ajli al-maslahah al-kabirati.
B.d. Kontradiksi Antara Masalih dan Nash
Bila terjadi kontradiksi antaramaslahah dan nash maka yang didahulukan adalah
nash. Ini adalah kesepakatan para fuqaha’. Menurut Najamuddin Al-Thufi
bila terjadi pertentangan antara keduanya sesuai dengan penjelasan hadist la dzarara wala dzirara dalam hadist Arbain nawawiyah, diperbolehkan
mendahulukan maslahah daripada nash. Akan tetapi yang dimaksud
dengan nash itu yang mana? Apakah nash yang qathi’ atau yang dhonny?
Menurut Dr. Yusf Qardawi Yang dimaksud
Al-Thufi di atas adalah nash yang
dhonny bukan nash yang qathi’13.
Dan Al-Thufi menambahkan penjelasannya dalam mendahulukan maslahah terhadap
nash yang dzonny itu memakai sistem tahsis dan al-bayan bukan
ta’thil dan iftiat .
1.C. Dasar-dasar Pembagian Masalih
Dasar yang dipakai dalam pembagian masalih
itu mengikuti standart kemaslahatan kepada masyarakat, dalam hal ini didasarkan
kepada dua asas, yaitu;
1.Tujuan Sosial¸Syari’at
diturunkan supaya masyarakat hidup dengan sejahterta dan bahagia baik dalam
skala personal, kelompok maupun negara. Dalam hal ini bagaimana Islam dapat
menjadi acuan dasar untuk hidup sosial. Standart yang dimaksud adalah bagaimana
sistem yang dpakai oleh masyarakat baik hal itu dari masalah ekonomi, sosial,
politik dan budaya dll. Semuanya sesuai dengan syari’at Islam.
2.Nilai Sosial yang tinggi, Dalam masyarakat islam sangat menjunjung akan arti kehidupan yang
bersfat; adil, rukun, saling membantu, kebebasan, dan kemulyaan. Nilai-nilai
dasar seperti ini telah dirumuskan dalam syari’ah Islam secara penuh.
Dengan adanya dua landasan
yang tersebut di atas merupakan salah
satu kunci keberhasilan masyarakat untuk bisa hidup maju yang tanpa
memperhatikan perbedaan dan kesenjangan sosial seperti yang terjadi pada
masyarakat modern ini.
Perlu
juga kita ketahui, bahwa di zaman Umar bin Al Khathab pertah terjadi wabah
Tha’un.
عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ
سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ
بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ مِنْ سَرْغَ. رواه مسلم
Dan Yang dimaksud Al Waba adalah suatu
musibah yang merengut banyak korban kematian.