Latar Belakang Penamaan
Qiyamul lail, tahajjud, witir, qiyamur
ramadhan, dan tarawih itu adalah istilah lain untuk shalatul lail, yakni salat
sunat non rawatib yang dilakukan pada waktu malam setelah Isya hingga menjelang
waktu shubuh. Sedangkan munculnya istilah-istilah lain terhadap salat itu
karena dilihat dari dimensi lain, yaitu
(1) waktu
pelaksanaan memunculkan istilah shalatul lail (di luar bulan Ramadhan) dan
qiyamur ramadhan (di bulan Ramadhan);
(2) rakaat memunculkan istilah witir;
(3) kondisi
pelaksananya memunculkan istilah tarawih, yakni istirahat setiap selesai dua
rakaat.
Adapun penggunaan istilah tahajud harus
dilihat dari atau berkaitan erat dengan dimensi lain, yakni perkembangan bahasa
sebagai berikut: Pada awalnya kata hajada dan tahajjada
dipergunakan oleh orang Arab dengan makna tidur di malam hari, dari kata al-hujud
an-naum. Sedangkan tidak tidur
semalaman disebut as-saharu. Namun setelah orang Arab melihat bahwa
dalam syariat Islam orang yang bangun dari tidur pada malam untuk salat disebut
mutahajjid, maka lafal hujud dan tahajjud itu dapat
diartikan sebaliknya, yakni as-saharu, sehingga kata al-hujud
dikategorikan sebagai al-adh-dad (kata berlawanan). Demikian yang
disampaikan oleh Abu Manshur Muhamad al-Azhari dalam kitab Tahdzibul Lughah,
sebagaimana dikutip pula oleh Fakhruddin ar-Razi[1]. Berdasarkan
penjelasan al-Azhari ini dapat diambil kesimpulan bahwa salatul lail disebut
tahajud, karena dilaksanakan setelah bangun dari tidur pada waktu malam.
Tarikh Tasyri' (Sejarah Pensyariatan) dan
Penamaan
Beberapa minggu setelah peristiwa di Gua
Hira, Nabi mendapat perintah shalat malam dengan turunnya surat al-Muzammil ayat
1-11 (di antara ayatnya)
يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ # قُمْ
اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
Hai
orang yang berselimut (Muhammad). bangunlah (untuk salat) di malam hari kecuali
sedikit (daripadanya). Q.s. Al-Muzammil:1-2.
Kata
Aisyah, "Maka beliau dan para sahabatnya melaksanakan perintah itu setiap
malam hingga kaki-kaki mereka bengkak dan Allah menahan (belum menurunkan) ayat
akhir dari surat itu (al-muzammil) selama 12 bulan. Kemudian Allah memberikan
keringanan dengan menurunkan ayat terakhir dari surat itu (ayat 20). (Setelah turunnya ayat ke 20 al-Muzammil)
salat itu hukumnya menjadi sunat (bagi kaum muslimin, namun tetap wajib
hukumnya bagi Nabi saw)"[2] Ibnu Abas menegaskan bahwa
selisih waktu turun antara ayat-ayat pertama dan terakhir pada surat itu selama
1 tahun.[3] Demikian
Nabi melaksanakan salat malam itu selama
13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, yakni sejak tahun ke-40 (dari kelahirannya)
yang bertepatan dengan bulan Agustus 611 M, hingga tahun ke-53 (dari
kelahirannya) yang bertepatan dengan bulan April tahun 623 M. Dan selama itu, istilah shalat malam hanya disebut qiyamul lail
dan tahajjud, walaupun dilakukan di
bulan Ramadhan.
Setelah Nabi hijrah ke Madinah,
dan baru menetap selama 17 bulan di Madinah, sejak Rabi’ul Awwal hingga Sya’ban
2 H, salat malam terus dilakukan oleh Nabi dan istilah salat ini masih qiyamul lail dan tahajjud. Namun setelah turunnya ayat 183-184
al-Baqarah, yang turun pada hari
Kamis tanggal 28 Sya’ban tahun ke-2 H yang bertepatan dengan tanggal 23
Pebruari 624 M, Nabi menyebut Istilah lain bagi shalat tersebut dengan ungkapan
qiyamu ramadhan
من قام رمضان إيمانا واحتسابا
Selain menyebut dengan istilah baru, Nabi pun
menetapkan beberapa aturan pada salat malam di bulan Ramadhan itu yang sebelumnya
tidak dilakukan, antara lain:
a.
dikerjakan
dengan berjama’ah atau munfarid. Hanya berjamaah lebih utama. Hal itu tampak
jelas dari ajakan dan pengumuman yang dilakukan beliau pada sore hari ketika
ba'da ashar, kepada halayak untuk berjamaah salat Tarawih.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ tقَالَ
لَمَّا كَانَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ إِعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ e فِى الْـمَسْجِدِ
فَلَمَّا صَلَّى الـنَّبِيُّ e صَلاَةَ العَصْرِ مِنْ يَوْمِ
اثْـنَـيْنِ وَعِشْرِينَ قَالَ : إِنَّا قَائِمُونَ اللَيْلَةَ إِنْ شَاءَ اللهُ،
مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ وَهِيَ لَيْلَةُ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ
فَصَلاَّهَا الـنَّبِيُّ e جَمَاعَةً
بَعْدَ العَتَمَةِ حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَ انْصَرَفَ، فَلَمَّا كَانَ
لَيْلَةَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا
لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ قَامَ بَعْدَ صَلاَةِ العَصْرِ يَوْمَ أَرْبَعٍ
وَعِشْرِينَ ، فَقَالَ إِنَّا قَائِمُونَ
اللَّـيْلَةَ إِنْ شَاءَ الله ُ يَعْنِى لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ
فَلْيَقُمْ فَصَلَّى بِالنَّاسِ حَتَّي
ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ فَلَمَّا كَانَ لَيْلَةَ سِتٍّ
وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَ عِنْدَ صَلاَةِ
العَصْرِ مِنْ يَوْمِ سِتٍّ وَعِشْرِينَ قَامَ فَقَالَ إِنَّا قَائِمُونَ إِنْ شَاءَ اللهُ يَعْنِى
لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ قَالَ أَبُو
ذَرٍّ فَـتَجَلَّدْنَا لِلْقِيَامِ فَصَلَّى
بِنَا النَّبِيُّ e حَتَّى ذَهَبَ
ثُلُـثَا اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ اِلَى قُـبَّتِهِ فِى الْـمَسْجِدِ فَقُلْتُ
لَهُ إِنْ كُنَّا لَقَدْ طَمِعْنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَنْ تَقُومَ بِنَا حَتَّى
تُصْبِحَ، فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ
إِنَّكَ إِذَا صَلَّيْتَ مَعَ إِمَامِكَ وَانْصَرَفْتَ إِذَا انْصَرَفَ كُتِبَ
لَكَ قُنُوتُ لَيْلَتِكَ رواه احمد
Dari Abu Dzar,
ia berkata, ”Tatlaka sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah saw. itikaf di
masjid, ketika salat ashar pada hari ke
22, ia bersabda, 'Insya Allah kita akan berjamaah malam ini, siapa di antara
kamu yang akan salat pada malam itu silahkan ia salat, yakni malam ke 23,
kemudian Nabi salat malam itu dengan berjamaah setelah salat isya sampai lewat sepertiga
malam. Kemudian beliau pulang. Pada malam ke 24, ia tidak berkata apapun
dan tidak mengimami, pada malam ke 25 beliau berdiri setelah salat ashar, yaitu
pada hari ke 24, kemudian bersabda, 'Kita akan berjamaah malam ini Insya Allah
yakni pada malam ke 25, Siapa pun yang mau ikut berjamaah silahkan’ Kemudian ia
mengimami orang-orang sampai lewat sepertiga malam. Kemudian ia pulang.
Tatkala malam ke 26 ia tidak berkata apa pun dan tidak mengimami kami, tatkala
malam ke 27, beliau berdiri setelah salat ashar pada hari ke 26, kemudian
berdiri dan bersabda, 'Insya Allah kita akan berjamaah malam ini yakni pada
malam ke 27, siapa yang akan mengikuti berjamaah silahkan ‘Abu Dzar berkata,
'Maka kami berusaha keras untuk ikut salat berjamaah itu, lalu Nabi saw.
mengimami kami sampai lewat dua pertiga malam. Kemudian beliau pergi
menuju Qubahnya di masjid (karena sedang I’tikaf). saya berkata padanya,
'Bagaimana jika kami sangat menginginkan tuan mengimami kami sampai subuh.
Beliau bersabda, 'Wahai Abu Dzar jika engkau salat beserta imammu, dan engkau
selesai (salat) ketika imam itu selesai, telah ditetapkan (pahala) untukmu
karena panjangnya salatmu pada malamku. H.r. Ahmad. [4]
Sikap seperti ini tidak pernah
dilakukan oleh beliau selama 13 tahun di Mekah, termasuk pada bulan Ramadhan.
Demikian pula selama di Madinah di luar bulan Ramadhan sikap ini tidak
dilakukan oleh beliau.
b.
dikerjakan
pada awal, tengah, atau akhir malam. Hal
ini berbeda dengan Ramadhan ketika di Mekah atau di luar bulan Ramadhan ketika
sudah hijrah ke Madinah. Pada riwayat Al-Bukhari, Umar bin Khathab menyatakan:
وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Keterangan
tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan orang-orang melakukannya pada awal malam.
Dari sinilah kita mendapatkan adanya kaifiyat
yang berbeda ketika shalat itu dilaksanakan di luar ramadhan yang populer
dengan sebutan Tahajud dan witir serta yang dilakukan di ramadhan yang popoler
dengan sebutan qiyamu ramadhan dan tarawih.
Adapun istilah taraweh mulai
muncul sejak pertengahan
abad ke-1 H. Hal itu terbukti pada jawaban Abu Hanifah (80 H - 150 H/699 M -767 M) ketika ditanya
oleh muridnya bernama Abu Yusuf tentang fi’il Umar (Lihat, Aujazul Masalik,
II:293). Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa
istilah taraweh baru dikenal sejak abad ke-2 H.
Siapa Yang paling Tahu Shalat Malam Rasul
Yang paling mengetahui salat malam Rasul
adalah Aisyah, dibandingkan dengan para sahabat lainnya, karena Nabi sering melakukannya
waktu bermalam di Aisyah. Ketika Ibnu Abas ditanya oleh Sa’id bin Hisyam, ia
berkata:
..أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَعْلَمِ
أَهْلِ اْلأَرْضِ بِوِتْرِ رَسُولِ اللهِ e قَالَ: مَنْ؟ قَالَ: عَائِشَةُ,
فَأْتِهَا فَاسْأَلْهَا..
Maukah engkau kutunjukkan orang yang paling mengetahui dari antara
penghuni bumi ini pada witir Rasulullah saw.? Saad bertanya,’Siapakah? Ibnu
Abas menjawab,’Aisyah, maka datanglah kepadanya dan bertanyalah... [6]
Sehubungan dengan itu
apabila terjadi perbedaan pendapat pada salat malam Rasulullah saw. dengan para
sahabatnya, maka riwayat Aisyah-lah yang harus didahulukan sebelum yang lainnya
selama kedudukannya shahih, karena ia yang paling mengetahui tentang salat
Malam Rasulullah saw. Karena itu tidak mengherankan bila banyak di
antara tabi’in yang bertanya kepada Aisyah tentang shalat malam Rasul, antara
lain: Abdullah bin Syaqiq, Abdullah bin Abu Qais.
Jumlah dan Formasi Rakaat
Bagaimana bilangan dan format rakaat salat taraweh itu? Mengenai
bilangan dan format rakaat dan ini, Ummul Mukminin Aisyah pernah ditanya oleh
Abu Salamah bin Abdurahman:
كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ e فِى رَمَضَانَ، قَالَتْ
مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ e يَزِيدُ فِى
رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا
فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ
تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً، قَالَتْ
عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَارَسُولَ اللهِ، أَ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ قَالَ يَا
عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامُ وَلَمْ يَنَمْ قَلْبِي
Artinya: “Bagaimana (cara)
salat Rasulullah saw. pada malam bulan Ramadhan ? Ia (Aisyah) menjawab,
’Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang
lainnya, dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat, dan engkau jangan
bertanya tentang baik dan panjangnya, beliau salat (lagi) empat rakaat, dan
jangan (pula) engkau bertanya tentang baik dan panjangnya, kemudian beliau
salat tiga rakaat. Aisyah berkata, ‘Aku bertanya wahai Rasulullah ! Apakah
engkau tidur sebelum witir ? Beliau menjawab, ’Hai Aisyah, sesungguhnya kedua
mataku tidur, tapi hatiku tidak tidur. H.r. Al-Bukhari,
pada bab fadhlu man qama ramadhan.[7]
Hadis ini
oleh Imam al-Bukhari ditempatkan pula pada Kitabut Tahajjud, bab
بَاب قِيَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ
Dalam
riwayat ini Aisyah menerangkan dengan tegas jumlah rakaat salat taraweh
“sebelas”. Kemudian ia memperinci, empat rakaat, empat rakaat dan tiga rakaat.
Tetapi ia tidak menerangkan cara dan bacaan yang dibaca pada setiap rakaat,
karena sudah dimaklumi oleh yang bertanya khususnya tentang arti rakaat dalam
salat.
Yang jadi pokok persoalan, apakah format 4-4-3 yang ditegaskan Aisyah
ini merupakan ta'yin (kemestian) atau takhyir (pilihan). Untuk fi ghairihi (di
luar Ramadhan) format ini bukan ta'yin, karena ditemukan format lain yang
pernah dilakukan oleh Nabi, sebagaimana keterangan Aisyah sendiri juga sahabat
lainnya, antara lain
i)
2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 1 = 11 cara
ini disebut witir dengan 1 rakaat
قَالَتْ عَائِشةُ
كَانَ رَسُولُ اللهِ r يُصَلِّي إِحْدَى
عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ
بِوَاحِدَةٍ رواه مسلم
Artinya: Aisyah ra. Berkata, “Rasulullah saw.
salat sebelas rakaat. Beliau salam setiap dua rakaat dan witir dengan satu
rakaat.” H.r. Muslim
ii) 2 + 2 + 2 + 2
+ 3 = 11 cara ini disebut witir dengan 3 rakaat
عَنْ عَامِرٍ
الشَّعْبِيِّ قَالَ سَأَلْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَعَبْدَ اللهِ بْنَ
عُمَرَ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ r بِاللَّيْلِ فَقَالاَ
ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا ثَمَانٍ وَيُوتِرُ بِثَلاَثٍ وَرَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ الْفَجْرِ رواه ابن ماجة
Artinya: Dari Amir as-Sya’bi, ia
berkata, “Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin ‘Umar ra.
tentang salat malam Rasulullah saw., maka keduanya berkata, ‘Salat Rasulullah
pada malam hari tiga belas rakaat, antara lain delapan rakaat dan witir tiga
rakaat, dan dua rakaat setelah fajar’.” H.r. Ibnu Majah
Sedangkan
untuk fi Ramadhan (di bulan Ramadhan), hemat kami format ini adalah ta'yin,
karena tidak ditemukan format lain yang dilakukan oleh Nabi pada bulan Ramadhan,
selain keterangan Aisyah. Sedangkan Aisyah adalah orang yang lebih tahu keadaan
Nabi waktu malam. Kata Ibnu Hajar:
مَعَ كَوْنِ عَائِشَةَ أَعْلَمَ بِحَالِ
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم لَيْلاً مِنْ غَيْرِهَا
Di samping
Aisyah adalah yang paling tahu keadaan Nabi di waktu malam daripada istri Nabi
lainnya. [9]
Selain
ketegasan Aisyah bahwa Nabi saw. tidak pernah salat Tarawih lebih dari 11 rakaat dengan format 4-4-3, dapat diambil
kesimpulan pula bahwa para
sahabat pun demikian, sebab para sahabat adalah makmum-makmumnya. Oleh karena
itu apabila dikatakan bahwa terdapat sahabat yang berbeda darinya tentulah
harus ditunjukan dalilnya yang kuat. Karena itu Syekh al-Albani menyatakan bahwa keterangan
Aisyah tersebut sesuai dengan keterangan Jabir dan Aisyah sendiri yang
menerangkan peristiwa salat tarawih Nabi secara berjamaah selama tiga malam di
awal Ramadhan. [10]
قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ e فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَأَوْتَرَ فَلَمَّا كَانَتِ الْقَابِلَةُ إِجْتَمَعْنَا فِي
الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُجَ فَلَمْ نَزَلْ فِيهِ حَتَّى أَصْبَحْنَا
ثُمَّ دَخَلْنَا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ إِجْتَمَعْنَا الباَرِحَةَ فِي
الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ تُصَلِّيَ بِنَا فَقَالَ إِنِّي خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ
Artinya: Jabir bin Abdulah telah berkata, ”Rasulullah saw.
Salat mengimami kami delapan rakaat pada malam Ramadhan dan beliau melakukan
witir. Maka ketika malam berikutnya kami berkumpul dan berharap beliau akan
keluar lagi, dan kami terus menerus di situ sampai pagi, kemudian kami masuk
dan kami berkata kepadanya, ’Wahai Rasulullah, kami berkumpul di mesjid malam
tadi dan kami berharap anda mengimami kami, beliau bersabda, Saya khawatir
dianggap wajib atas kalian.’” [11]
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النًّبِيَ r صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ
نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى الثَّانِيَةَ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ
اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ
اللهِ r فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ رَأَيْتُ
الَّذِى صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِى مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي
خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ وَذلِكَ فِي رَمَضَانَ متفق
عليه
Artinya: Dari Aisyah, (ia
berkata), ”Bahwasanya Rasulullah saw. salat di mesjid, dan orang-orang pun ikut
salat berjamaah dengannya. Kemudian beliau salat pada hari kedua (dari
Ramadhan), dan orang-orang pun semakin banyak dan berkumpul pada hari kedua
atau ke empat (untuk ikut berjamaah). Kemudian (hari selanjutnya) Rasulullah
saw. tidak keluar menemui mereka (untuk salat). Ketika masuk waktu subuh beliau
bersabda, ’Aku melihat apa yang telah kamu kerjakan, tidak ada yang
menghalangiku untuk keluar menemui kalian semua selain aku khawatir (salat itu)
diwajibkan atas kamu, dan itu pada bulan ramadan”. Muttafaq
‘Alaih. [12]
Adakah
format lain yang dilakukan oleh Nabi pada bulan Ramadhan selain keterangan
Aisyah yang tegas itu?
Keinginan untuk menulis buku tentang sekelumit
masalah taraweh, witir, dan tahajud, telah lama bersemi di hati kami.
Tampaknya, pengalaman dakwah lapangan menjadi pendorong utama untuk menulis
buku ini. Namun
demikian, usaha ke arah itu merupakan sesuatu yang hampir saja mustahil
dilakukan secara individual, karena terdapat kesenjangan yang sangat jauh. Di
satu pihak, persoalan hadis dan fikih sangat abstrak dan rumit, di samping
terjadi pengembangan pemikiran terhadap keduanya. Sementara di pihak lain, kemampuan
individu sarat dengan berbagai keterbatasan. Keterbatasan dalam memilah dan
memilih data serta informasi yang dapat dihimpun, karena sangat banyak jumlahnya dan bertebaran
dalam beragam dan beratus-ratus jilid kitab; keterbatasan sudut pandang yang digunakan;
Bahkan keterbatasan waktu dan usia yang dapat digunakan.
Sehubungan
dengan itu penyusunan buku ini melalui proses pengembaran intelektual yang
cukup panjang dan melelahkan, disertai kesabaran menanti hasil penelitian
beberapa tahun lamanya. Alhamdulillah dengan inayah Allah buku ini dapat
diterbitkan untuk edisi perdana pada bulan oktober tahun 2004, dan tak
disangka-sangka edisi perdana habis terjual dalam waktu 1 bulan. Pada bulan
yang sama di tahun berikutnya (2005) buku tersebut diterbitkan kembali oleh
penerbit yang berbeda dengan judul Kontroversi Shalat Malam, Witir, dan
Tarawih. Baik edisi perdana maupun kedua ini telah dibedah beberapa kali
diberbagai tempat. Dan pada tahun 2006 ini acara bedah buku tersebut digelar 2
kali: Pertama di Masjid an-Nur PT Inti pada hari Senin 9 Oktober 2006,
sayangnya pembanding tidak hadir. Kedua, hari ini di UIN Sunan Gunung Djati.
Sehubungan dengan itu kami haturkan terima kasih teriring doa jazakumullah
khairan katsira atas inisiatif dan ide kreatif dari para mahasiswa jurusan
tafsir-hadis dalam menggelar acara ini, sehingga ide dan pemikiran kami dapat
dikaji pula oleh kalangan akademis, dan tak lupa ucapan terima kasih kami
haturkan pula kepada Bapak Ketua Jurusan Tafsir-Hadis UIN Sunan Gunung Djati
Bandung dan Pembanding Bapak Mudjio M.Ag yang telah meluangkan waktu
disela-sela kesibukannya dan diharapkan dapat memberikan beberapa catatan
penting sebagai pelengkap buku ini.
Ikhwatu iman
rahimakumullah
Sebagaimana
yang kita ma’lumi bahwa masalah shalat tarawih ini kalau
diteliti secara ilmiah dalam berbagai kitab yang telah disusun para ulama mutaqaddimin
bukanlah masalah baru, tetapi persoalannya sudah berkembang sejak lama. Bahkan
masalah ini telah dibahas oleh para ulama sejak
pertengahan abad ke-1 H. Polemik dan perdebatan yang terjadi pada
umumnya diseputar istilah, waktu pelaksanaan, dan jumlah rakaat. Karena itu,
masalah yang diangkat dalam buku ini pun tidak keluar dari persoalan di seputar
itu. Namun karena acara ini digelar oleh mahasiswa jurusan tafsir-hadis, maka
kami mengajak semua pihak untuk melakukan telaah kritis atas hadis-hadis
tentang hal itu, khususnya hadis tentang salat tarawih lebih dari 11 rakaat,
apakah absah atau tidak? Sehubungan dengan hal itu ada beberapa hal yang hendak
kami sampaikan sebagai bahan perbandingan
Pertama, bi’tibari
qaailih (dilihat dari aspek pembicara), hadis tentang tarawih lebih dari 11
rakaat, terdiri atas 2 macam: Ada
yang marfu, dan ada pula yang mauquf.
A. Yang
marfu, yakni konon Nabi saw. salat pada bulan
Ramadan sebanyak dua puluh rakaat dan (ditambah) witir. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi, As Sunanul Kubra, II:496, Ath
Thabrani, Al Mu’jamul Kabir XI:393, Al Ausat I: 444 & VI: 210; Dan Ibnu
Abi Syaibah, Al Mushannaf II:285-286. Semuanya bersumber dari Ibnu Abbas
r.a.
B. Yang
mauquf, yakni konon Orang-orang salat malam
pada masa Umar bin Khatab r.a di bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat,,
sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, II:496. Riwayat ini bersumber dari
As-Saib bin Yazid.
Kedua, bi’tibaril
qabul war radd (dilihat dari aspek derajat hadis),
Oleh: Ibnu Muchtar
[2]Lihat, H.r. Abdurrazaq,
al-Mushannaf, III:39; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, II:499;
Ishaq bin Rahawaih, al-Musnad, III:711
[11]
Hadis
ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Mu’jamus Shagir,
I:190. Selain riwayat di atas masih
terdapat riwayat-riwayat lain yang semakna tetapi terdapat sedikit perbedaan
lapal, yaitu dua riwayat Ibnu Hiban di dalam Shahih Ibnu Hibban, IV: 110
dan 111, No 2.540 dan No.2.541; Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la al-Mushili,
III:336,337, No 1.801 dan 1.802; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah,
II:138, No. 1.070; ath-Thabrani, al-Mu’jamul Ausath, IV: 440-441,
No.3743 dan 3745, dan Ahmad, Fathur Rabani, V:15