MEMAHAMI
BAHASA QURAN-SUNNAH
(Bagian ke-2)
Oleh:
Ibnu Muchtar
Nash-nash[1] Alquran
dan Sunah adalah berbahasa Arab. Untuk memahami hukum-hukum dari kedua nash
tersebut secara sempurna lagi benar, haruslah memperhatikan uslub-uslub (gaya
bahasa) bahasa Arab dan kaifiyat dilalah (cara penunjukkan) lafal nash itu
kepada artinya. Karena itu, para ahli ushul fikih (metode penetapan hukum mengarahkan penelitian mereka
terhadap uslub-uslub dan ibarah-ibarah bahasa Arab yang lazim dipergunakan oleh
sastrawan-sastrawan Arab dalam menggubah sya’ir dan prosa. Dari penelitian ini mereka menyusun
kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk memahami nash-nash Alquran dan
Sunah secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab sendiri. Kaidah-kaidah
tersebut kemudian dikenal dengan istilah qawaid al-lughawiyyah al-ushuliyyah
(kaidah-kaidah ushul fikih yang dipetik dari bahasa).
Pada umumnya ulama ushul fikih memulai pembahasan tentang
maudhu’ (topik) ini dengan membicarakan makna-makna dari suatu lafal yang
diciptakan untuk menyatakan makna-makna tertentu.
Pembagian
Lafal ditinjau dari Segi Makna
Ulama ushul
fikih menetapkan bahwa perhubungan lafal dengan makna memiliki berbagai aspek
yang harus dibahas. Mereka membagi lafal dalam hubungannya dengan makna kepada
beberapa bagian sebagai berikut:
Pertama, ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuk lafal, lafal itu
dibagi menjadi 4 bagian, yakni
[1]
al-Khash, yaitu
lafal yang diciptakan untuk memberi pengertian satuan-satuan tertentu. Lafal Khash mencakup
(a)
mutlaq (yang tidak diterangkan pembatasnya),
seperti lafal dam (darah) dalam Alquran, surat al-Maidah:3.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ...
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi...”
(b)
muqayyad (yang diterangkan pembatasnya), seperti lafal dam masfuhan
(darah yang mengalir) dalam Alquran, surat al-An’am:145.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا
عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ
لَحْمَ خِنْزِيرٍ...
Artinya: “Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi...’.”
(c)
amr (lafal yang menunjukkan makna perintah), seperti lafal aqimu
(dirikanlah) dan aatu (tunaikan) dalam Alquran, surat al-Baqarah:43
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا
مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan
dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”
(d)
nahyu (lafal yang menunjukkan makna larangan), seperti lafal la
taqrabu (jangan mendekati) dalam Alquran, surat an-Nisa:43.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا
الصَّلَاةَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
salat”
[2] al-Amm, yaitu suatu lafal yang sengaja diciptakan oleh
bahasa untuk menunjukkan satu makna yang dapat mencakup seluruh satuan tanpa
dibatasi jumlah tertentu, seperti lafal jami’an (seluruh) pada Alquran, surat
al-Baqarah:29
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan seluruh yang ada
di bumi untuk kamu”
[3]
al-musytarak, yaitu
lafal yang memiliki makna lebih dari satu yang berbeda-beda, Dan untuk menentukan salah satu maknanya diperlukan qarinah (keterangan pendukung), seperti kata yad dalam Alquran surat al-Maidah:38.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا
كَسَبَا
Artinya: “Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”
Kata yad di atas adalah musytarak dapat bermakna (a)
hasta (dari ujung jari hingga bahu), (b) lengan bawah (dari ujung
jari hingga sikut), dan (c) telapak tangan (dari ujung jari sampai
pergelangan tangan), baik yang kanan maupun kiri. Namun berdasarkan perbuatan
Rasul bahwa tangan yang dimaksud adalah telapak tangan yang kanan. Maka perbuatan Rasul itu
merupakan qarinah kepada makna yang diamksud.
Kedua, ditinjau dari segi makna yang dipergunakan untuk lafal, maka lafal
itu dibagi menjadi 4 bagian;
[1]
al-haqiqah, yaitu
lafal yang digunakan untuk arti hakiki atau sebenarnya. Jika pemakaian arti itu
sesuai dengan istilah bahasa dinamai haqiqah lughawiyyah, seperti lafal insan
yang arti haikinya secara bahasa adalah hayawanun natiqun (binatang yang
berakal). Jika pemakiannya itu sesuai dengan istilah syara’ dinamai haqiqah syari’iyyah,
seperti lafal shalat yang arti hakikinya menurut syara’ adalah ucapan-ucapan
dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Jika
pemakainnya itu sesuai dengan istilah adat atau kebiasaan umum disebut haqiqah
‘urfiyyah ‘ammah, seperti lafal dabbah yang dipakai untuk semua binatang yang
berkaki empat.
[2]
al-majaz, yaitu
lafal yang digunakan untuk arti kiasan (pinjaman, bukan sebenarnya).
Sebagaimana halnya lafal haqiqi, lafal majazi terbagi pula kepada (a) majaz
lughawi, seperti lafal asad (singa) yang arti majazinya adalah seorang
pemberani, (b) majaz syar’i, seperti lafal la mastum dalam surat
al-Maidah:6 yang arti majazinya adalah bersetubuh, dan (c) majaz ‘urfi, seperti
lafal dabbah yang arti majazinya adalah
setiap binatang yang melata di atas permukaan bumi.
[3]sharih,
yaitu lafal yang jelas
maksudnya karena sudah termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi
maupun majazi. Seperti lafal isytara (membeli) dan ba’a (menjual) adalah lafal
sharih, karena jelas sekali maksudnya.
[4]
al-kinayah, yaitu
lafal yang tersembunyi maksudnya karena tidak termasyhur dalam penggunaannya,
baik secara haqiqi maupun majazi. Dan untuk memahaminya diperlukan qarinah
(keterangan pendukung), misalnya
أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
Artinya: “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati?” Q.s.Al-Hujurat:12
memakan daging saudaranya pada ayat ini maksudnya Ghibah
Ketiga, ditinjau dari segi kaifiyat
atau cara-cara penunjukkan lafal kepada makna menurut kehendak pembicara, maka
lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni
[1]
dilalah ibarah,
yaitu petunjuk yang diperoleh dari makna yang tersurat dalam nash. Disebut pula ibaratun nash.
[2]
dilalah isyarah,
yaitu petunjuk yang diperoleh dari makna yang tersirat dalam nash.
[3]
dilalah ad-dilalah,
yaitu penunjukkan suatu lafal bahwa hukum yang diambil dari nash yang
disebutkan berlaku pula bagi perbuatan yang tidak disebutkan dalam nash, karena
adanya persamaan illat (sebab) antara kedua macam perbuatan tersebut. Dilalah ad-dilalah disebut pula
dilalatun nash, fahwal khitab atau lahnal khitab. Sedangkan ulama syafi’iyyah
menamainya mafhum muwafaqah, karena adanya persamaan hukum antara yang tidak
disebutkan dengan yang disebutkan dalam nash. Misalnya kata uf dalam firman
Allah
فَلَا
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka
janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan uf..Q.s.
Al-Isra:23
Hukum yang
dipahamkan dari ayat ini menurut dilalatun nash ialah larangan menyebut uf (ah)
kepada kedua orang tua. Setiap ahli bahasa mengetahui bahwa ‘illat (sebab) larangan tersebut ialah menyakitkan hati kedua
orang tua. Karena itu ketentuan ini berlaku kepada setiap perbuatan atau perkataan yang
menyakiti hati orang tua,
[4]
dilalah iqtidha,
yaitu penunjukkan lafal kepada sesuatu yang tidak disebut oleh nash. Namun
pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut itu
dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Misalnya firman Allah
وَاسْأَلْ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا
فِيهَا
“Dan tanyalah negeri yang kami
tadi berada di situ..” Q.s. Yusuf:82.
Ayat ini tidak benar maknanya
apabila tidak dibubuhkan lafal ahlu (penduduk) sebelum qaryah (negeri). Dengan
demikian ayat itu dapat dipahami demikian: “Dan tanyakanlah kepada penduduk
negeri..”
1- تقسيم اللفظ باعتبار المعنى الموضوع له
1.
Ditinjau
dari segi makna yang diciptakan untuknya, lafal itu dibagi menjadi 4 bagian,
yakni [a] al-Khas, yang mencakup lafal mutlaq, muqayyad, amr, dan nahyu. [b]
al-Amm, [c] al-musytarak, [d] al-muawwal.
2- تقسيم اللفظ باعتبار استعماله في المعنى
الذي وضع له
2.
Ditinjau
dari segi makna yang dipergunakan untuknya, maka lafal itu dibagi menjadi 4
bagian, yakni [a] al-haqiqah, [b] al-majaz, [c] sharih, [d] al-kinayah.
3- تقسيم اللفظ باعتبار وضوح المعنى المقصود
له
3.
Ditinjau dari segi kejelasan makna, maka lafal
itu dibagi menjadi 2 bagian, yakni [a] zhahir, [b] khafi.
4- تقسيم اللفظ باعتبار كيفية دلالة اللفظ
على معناه
4.
Ditinjau dari segi kaifiyat atau cara-cara
penunjukkan lafal kepada makna menurut kehendak pembicara, maka lafal itu
dibagi menjadi 4 bagian, yakni [a] dilalah ibarah, [b] dilalah isyarah, [c]
dilalah ad-dilalah, [d] dilalah iqtidha.
Adapun pengklasifikasian hukum
syariat menjadi beberapa macam aspek
dalam kehidupan manusia, hal itu
berdasarkan perbedaan kondisi
manusia itu sendiri.
[1] Perkataan atau kalimat
dari Alquran atau hadis yang dipakai sebagai alasan atau dasar untuk memutuskan
suatu masalah