Contoh Makalah|Tentang Problem Remaja Masa Kini|Ilmu Kesehatan meliputi Penelitian Agama|

Kali ini saya akan berbagi tentang Makalah Pokok dari Inti Problem Remaja di Tinjau dari Kesehatan Semoga bermanfaat untuk kita semua

Problem Remaja Masa Kini

A. Konsep Dasar Remaja

1. Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Periode ini merupakan tahap yang cukup panjang dan penuh dengan perubahan, baik perubahan fisik maupun psikis.

Menurut definisi WHO (dalam Jurnal Phronesis, 2004, h. 123), remaja memiliki tiga karakteristik, yaitu :

a. Remaja adalah individu yang berkembang dari pertama kali ia menunjukan tanda-tanda sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual.

b. Remaja adalah individu yang mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa

c. Remaja adalah individu yang mengalami peralihan ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri

Istilah remaja identik dengan pengetian pubertas dan adolensi. Monks,dkk (dalam Jurnal Phronesis, 2004, h. 123), membedakan pengertian istilah pubertas dan adolensi. Pubertas menunjukan periode awal dalam kehidupan seseorang yang mampu melaksanakan reproduksi karena terjadi pemaksaan seksual. Pengertian ini lebih menekankan aspek fisik-biologis. Pubertas merupakan tanda biologis yang jelas sebagai akhir masa anak-anak, pubertas berlangsung pada usia 10-14 tahun.






1

Awal masa remaja berlangsung kira-kira usia 13-16 tahun atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum (Hurlock, 1997, h. 206). Sedangkan menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia, batas usia remaja adalah 21 tahun sehingga rentang usia sehingga rentang usia untuk masyarakat indonesia saat ini adalah usia 11-21 tahun. Menurut Calon (dalam Monks, dkk, 1998, h. 260), masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan, karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak. Perubahan-perubahan yang terjadi serta ketidakjelasan posisi remaja menimbulkan banyak sekali konflik dalam diri remaja yang seringkali menimbulkan masalah pada remaja (Sarwono, 2000, h. 12). Oleh karena itu, Hall menyebut masa remaja sebagai masa storm and stress, yaitu masa dimana terjadi perubahan yang sangat signifikan pada fisik, intelektual, dan emosi, yang menimbulkan rasa tertekan dan krisis pada individu, dan konflik antara individu dengan lingkungan. Freud dan Erikson mengatakan bahwa masa remaja adalah masa full of conflict. Permasalahan yang timbul di kalangan remaja sangat kompleks, antara lain permasalahan perubahan fisik dan fungsi seksual. Permasalahan tersebut muncul karena remaja bukan anak-anak lagi tetapi juga belum dewasa dan remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa (Hurlock, 1997, h. 207).

Perkembangan seksual pada remaja ditandai dengan mulai berfungsinya organ-organ seks sekunder, sehingga remaja mengalami perubahan dari makhluk aseksual menjadi makhluk seksual. Salah satu tanda adanya pematangan fisik ini ialah anak perempuan mulai haid dan anak laki-laki mulai mimpi malam atau ejakulasi dan pada saat ini mereka telah mempunyai kemampuan fertilitas.

Pematangan seksual juga terlihat dengan mulai munculnya tanda-tanda kelamin sekunder yang penting pada laki-laki dan perempuan. Menurut Hurlock, pada remaja putra mulai tumbuh rambut kemaluan, kulit menjadi kasar, otot bertambah besar dan kuat, suara, membesar, dan lain-lain. Sedangkan pada remaja putri yaitu mulai melebarnya pinggul, payudara mulai tumbuh, tumbuh rambut kemaluan, dan lain-lain.

Menurut Hurlock (1997, h. 209) dalam perkembangan seksualitasnya remaja mempunyai beberapa tugas utama, yaitu memperoleh pengetahuan seksual yang benar, mengembangakan sikap yang menyenangkan terhadap lawan jenis, mengembangkan hubungan dengan lawan jenis yang lebih matang, menetapkan nilai-nilai yang menjamin adanya keputusan yang bijaksana dalam pemilihan pasangan hidup, belajar mengekspresikan cinta, dan belajar memainkan peran jenisnya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang berada pada masa transisi dari masa anak-anak dan dewasa yang diiringi dengan berbagaiperubahan dalam hidupnya, baik perubahan fisik maupun psikis terutama fungsi seksualnya, dan berada di rentang usia 11-21 tahun.





2. Ciri-ciri Masa Remaja

Hurclock (1994) mengemukakan berbagai ciri-ciri dari remaja sebagai berikut:

a. Masa remaja adalah masa peralihan

Yaitu peralihan dari satu tahap perkembangan ke perkembangan berikutnya secara berkesinambungan. Pada masa ini remaja bukan seorang anak juga bukan seorang dewasa. Masa ini merupakan masa sangat strategis, karena memberi waktu kepada remaja untuk membentuk gaya hidup dan menentukan pola perilaku, nilai-nilai, dan sifat-sifat yang sesuai dengan yang diinginkan.

b. Masa remaja adalah masa terjadi perubahan

Sejak awal remaja, perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berkembang. Ada empat perubahan besar yang terjadi pada remaja, yaitu perubahan emosi, peran, minat, pola perilaku (perubahan sikap menjadi ambivalen).

c. Masa remaja adalah masa yang penuh masalah

Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Hal ini terjadi karena remaja belum terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Akibatnya, terkadang terjadi penyelesaian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.





d. Masa remaja adalah masa mencari identitas

Identitas diri yang dicari remaja adalah berupa kejelasan siapa dirinya dan apa peran dirinya di masyarakat. Remaja tidak puas terhadap dirinya dengan kebanyakan orang, ia ingin memperlihatkan dirinya sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia ingin mempertahankan dirinya terhadap kelompok sebaya.

e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan

Ada stigma dari masyarakat bahwa remaja adalah anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak, sehingga menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja. Stigma ini akan membuat masa peralihan remaja ke dewasa menjadi sulit, karena orang tua yang memiliki pandangan seperti ini akan selalu mencurigai remaja, sehingga menimbulkan pertentangan dan membuat jarak antara orang tua dengan remaja.

f. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis

Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca matanya sendiri, baik dalam melihat apa adanya, tetapi menginginkan sebagaimana yang ia harapkan.

g. Masa remaja adalah ambang masa dewasa

Dengan berlalunya usia belasan, remaja yang semakin matang berkembang dan berusaha memberi kesan sebagai seseorang yang hampir dewasa. Ia akan memusatkan dirinya pada perilaku yang dihubungkan dengan status orang dewasa, misalnya dalam berpakaian dan bertindak.

h. Masa remaja sebagai periode yang penting

Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada masa awal remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya menbentuk sikap, nilai dan minat baru.

3. Tahap Perkembangan Masa Remaja

Masa remaja digolongkan menjadi 3 tahap yaitu :

a. Masa pra remaja : 12 – 14 tahun

Yaitu periode sekitar kurang lebih 2 tahun sebelum terjadinya pemasakan seksual yang sesungguhnya tetapi sudah terjadi perkembangan fisiologi yang berhubungan dengan pemasakan beberapa kelenjar endokrin.

b. Masa remaja awal : 14 – 17 tahun

Yaitu periode dalam rentang perkembangan dimana terjadi kematangan alat – alat seksual dan tercapai kemampuan reproduksi.

c. Masa remaja akhir : 17 – 21 tahun

Yaitu masa dimana remaja tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1999 : 206).





4. Perkembangan Fisik

Pada masa remaja, pertumbuhan fisik berlangsung sangat pesat. Dalam perkembangan seksualitas remaja, ditandai dengan dua ciri yaitu ciri-ciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder.

a. Ciri-ciri seks primer

1) Remaja laki-laki

Remaja laki-laki sudah bisa melakukan fungsi reproduksi bila telah mengalami mimpi basah, biasanya terjadi pada remaja usia antara 10-15 tahun.



2) Remaja perempuan

Remaja perempuan sudah mengalami menarche (menstruasi). Mentruasi adalah peristiwa keluarnya cairan darah dari alat kelamin perempuan berupa luruhnya lapisan dinding dalam rahin yang banyak mengandung darah.



b. Ciri-ciri sekunder

1) Remaja laki-laki

(a) Bahu melebar, pinggul menyempit

(b) Pertumbuhan rambut disekitar alat kelamin, ketiak, dada, tangan, dan kaki

(c) Kulit menjadi lebih kasar dan tebal

(d) Produksi keringat menjadi lebih banyak

2) Remaja perempuan

(a) Pinggul lebar, bulat, dan membesar, puting susu membesar dan menonjol, serta berkembangnya kelenjar susu, payudara menjadi lebih besar dan lebih bulat

(b) Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat, lubang pori-pori bertambah besar, kelenjar lemak dan kelenjar keringat menjadi lebih aktif.

(c) Otot semakin besar dan semakin kuat, terutama pertengahan dan menjelang akhir masa puber, sehingga memberikan bentuk pada bahu, lengan dan tungkai.

(d) Suara menjadi lebih penuh dan merdu.



5. Perilaku Seksual Remaja yang Berpacaran

1. Pengertian Remaja yang Berpacaran

Salah satu tugas perkembangan remaja yang berhubungan dengan seks yang harus dikuasai adalah pembentukan hubungan baru dan yang lebih matang dengan lawan jenis (Hurlock, 1997, h. 227). Berkaitan dengan tugas perkembangan tersebut, individu remaja terdorong untuk mewujudkan hubungan intim dengan orang lain. Sebagian hubungan intim tersebut adalah hubungan romantis dan berpacaran adalah salah satu konteks dimana hubungan-hubungan ini dibuat dan dipertahankan (Thomas,dalam Jurnal Phronesis, 2005, h. 72).

Menurut Loevinger (dalam Jurnal Phronesis, 2005, h. 72), awal dari hubungan pacaran adalah adanya rasa tertaik pada orang yang ingin dijadikan sebagai pasangan. Berdasarkan perasaan tertarik tersebut, kemudian dilakukan usaha pendekatan untuk mengenal lebih jauh orang yang ingin dijadikan pasangan, yaitu dengan cara berkencan (dating relationship). Pada saat berkencan, sepasang remaja akan melakukan kegiatan bersama atau proses pendekatan, seperti menonton ke bioskop, makan bersama, atau melakukan perilaku seksual bersama (bergandengan tangan, berpelukan, berciuman).

Berpacaran berarti upaya untuk mencari seseorang teman dekat dan di dalamnya terdapat hubungan belajar mengkomunikasikan kepada pasangan, membangun kedekatan emosi, dan proses pendewasaan kepribadian. Berpacaran juga berarti suatu tahap dimana individu dapat melakukan proses pendekatan atau penjajakan melalui kegiatan yang dilakukan berdua seperti menonton bioskop atau makan bersama (Rice, dalam Idayanti, 2005, h. 72). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pacar berarti teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih (Alwi, 2005). Hadi (1998, h. 1) menyatakan bahwa pacaran adalah sebuah upaya untuk saling mengenal antara laki-laki dan perempuan yang saling mencintai sebelum keduanya terikat dalam tali perkawinan. Satu sama lain saling mengenal, memahami, menyayangi, dan saling mencari kecocokan. Melalui hubungan pacaran, individu dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik mengenai sikap dan tingkah laku orang lain. Masing-masing pasangan memiliki kesempatan untuk belajar bagaimana cara menjaga kebersamaan dan bagaimana cara mendiskusikan serta memecahkan masalah yang dihadapinya.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa remaja yang berpacaran adalah remaja yang sedang melakukan proses pendekatan dan membangun kedekatan emosi dengan teman dekatnya, satu sama lain saling mengenal, memahami, dan menyayangi dan saling mencari kecocokan.

i. Pengertian Perilaku Seksual Remaja yang Berpacaran

Berdasarkan ilmu psikologi, perilaku diartikan sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun kompleks serta mempunyai sifat diferensial, artinya satu stimulus dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda dapat saja menimbulkan satu respon yang sama (Azwar, 1998, h. 34). Sedangkan pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara intim antara laki-laki dan perempuan. Jadi, perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis (Sarwono, 2000, h. 137). Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.

Nugraha (2000, h. 63) mengemukakan bahwa perilaku seksual adalah suatu bentuk kegiatan yang dilakukan untuk mencapai kepuasan diri atau kenikmatan seksual. Sedangkan menurut Masland (1997, h. 77) perilaku seksual adalah tindakan fisik atau mental yang menstimulasi, merangsang, dan memuaskan secara jasmaniah, dimana tindakan tersebut dilakukan sebagai suatu cara untuk mengekspresikan daya tarik dan perasaan kepada lawan jenis.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual untuk mencari kenikmatan seksual yang dilakukan terhadap objek seksualnya atau pasangannya. Jadi, perilaku sesksual remaja yang berpacaran adalah segala tingkan laku yang didorong oleh hasrat seksual untuk mencari kenikmatan seksual yang dilakukan oleh remaja yang sedang melakukan pendekatan terhadap pasangannya.

j. Bentuk-Bentuk Perilaku Seksual

Sarwono (2000, h. 137) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk perilaku seksual bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Menurut Hurlock (1997, h. 256) tahap perilaku seksual adalah berciuman, bercumbu berat, berakhir pada hubungan seksual. Sedangkan menurut Alex Pangkahila (dalam Masland, 2004, h. 36) menyebutkan bahwa perilaku seksual sering dijumpai pada remaja adalah sentuhan seksual, membangkitkan gairah, seksual, seks oral, seks anal, mastrubasi, dan hubungan seksual.

Menurut Hurlock (1973), bentuk-bentuk perilaku seksual berupa: mastrubation, necking, petting dan premarital intercourse.
Mastrubation

Mastrubation adalah aktivitas seksual dengan cara merangsang bagian seksual yang sensitif dan bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual dalam diri, baik dilakukan sendiri maupun dengan pasangan

b. Necking

Necking adalah keintiman fisik yang dicirikan oleh causal kissing yang dibatasi pada daerah sekitar leher ke atas. Dalam bentuk spesifiknya, necking meliputi mencium kening, pipi, bibir, leher dan telinga.

c. Petting

Petting merupakan sebagai kontak fisik yang tidak melibatkan perpaduan alat kelamin, tetapi digunakan untuk memepengaruhi timbulnya erotic (nafsu birahi) dan memberikan pelepasan seksual. Bentuk-bentuk petting meliputi meraba buah dada atau dada, meraba paha, memegang alat kelamin, dan menempelkan kedua alat kelamin tanpa memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan.

d. premarital intercourse

Premarital intercourse adalah kontak fisik berupa masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita, yang dalam bentuk spesifiknya dapat menggunakan alat kontrasepsi ataupun tanpa alat kontrasepsi.



i. Dampak Perilaku Seksual Pada Remaja

Perilaku seksual remaja dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja yaitu dampak fisiologis dan dampak sosio-fisiologis, Dampak fisiologis dari perilaku seksual remaja diantaranya KTD (kehamilan yang tidak diingankan), aborsi, resiko terkena penyakit menular seksual (PMS) dan resiko tertular HIV/AIDS jika remaja melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan (Suntrock, 2003).

KTD pada remaja dapat meningkatkan resiko kesehatan bagi ibu dan anaknya. Salah satu faktor yang paling penting dalam kehamilan adalah umur ibu waktu hamil. Usia remaja (di bawah 20 tahun) dianggap sangat berbahaya untuk kehamilan sebab secara fisik tubuh ibu sendiri masih dalam masa pertumbuhan, organ-organ reproduksi masih belum matang. Bayi yang dilahirkan remaja cenderung mempunyai berat badan yang lebih rendah dan kematian pada bayi.

Dampak yang berikutnya adalah aborsi, tidak sedikit remaja yang mengalami KTD mengambil jalan pintas dengan melakukan aborsi, padahal aborsi sangat berbahaya seperti infeksi alat repsroduksi karena melakukan kuretase yang dilakukan dengan cara yang tidak steril. Hal ini dapat membuat remaja mengalami kemandulan di kemudian hari setelah menikah. Perdarahan, sehingga remaja dapat mengalami shock akibat perdarahan dengan gangguan neurologis. Selain itu juga perdarahan juga bisa mengakibatkan kematian ibu dan anak atau bahkan keduanya.

Dampak yang selanjutnya adalah PMS yaitu merupakan penyakit atau infeksi yang ditularkan melalui seks. PMS berbahaya karena dapat menimbulkan kemandulan, kanker rahim, merusak penglihatan, merusak otak, dan dapat menular pada bayi, dapat menyebabkan seseorang rentan terhadap HIV/AIDS, serta beberapa PMS yang tidak dapat disembuhkan yaitu Gonorhea, Sifilis, Chlamydia, Hipergenitalis.

Dampak yang terakhir adalah HIV/AIDS. AIDS adalah sekelompok gejala penyakit yang timbul akibat turunnya kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh virus HIV yang berada dalam tubuh, virus ini hidup dalam cairan tubuh yaitu darah, sperma, cairan vagina, air susu ibu. Kebanyakan remaja yang terinfeksi HIV tidak merasa sakit sampai mereka dewasa karena waktu laten yang terjadi sejak terinfeksi untuk kali pertama sampai munculnya penyakit sekitar 5-7 tahun.

Menurut Sarwono (2003) dampak psiko-sosial dari perilaku seksual pranikah diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, dan merasa berdosa. Dampak sosial perilaku seksual remaja diantaranya dikucilkan, dicemooh masyarakat, putus sekolah pada remaja perempuan yang hamil dan perubahan peran ibu.

j.Faktonr-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja

Menurut Sarwono (2000, h. 141-149), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual antara lain:

a. Perubahan Biologis

Ditandai dengan mulai berfungsinya hormon yang meningkatkan dorongan seksual remaja. Pada masa puber, hormon-hormon seksualitas mulai meningkat dan hal ini merangsang individu untuk melakukan akrivitas seksual.

b. Agama

Rendahnya nilai agama di masyarakat yang besangkutan serta komitmen religiusitas yang kian menipis dipandang mempengaruhi remaja dalam berperilaku seksual. Agama mungkin tidak berpengaruh langsung terhadap perilaku seksual tetapi bila agama diberlakukan sebagai sistem norma masyarakat maka ada semacam mekanisme kontrol sosial yang mengurangi kemungkinan seseorang melakukan tindakan seksual di luar batas ketentuan agama.

c. Keluarga

Beragam situasi dalam keluarga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi perilau seksual remaja. Sikap orang tua yang masih menabukan pembicaraan mengenai seks kepada anak atau karena ketidaktahuannya, menyebabkan anak mencari informasi dari sumber lain yang sering kurang akurat.

d. Budaya Masyarakat

Pergaulan yang bebas antara remaja perempuan dan laki-laki semakin mudah disaksikan dalam kehidupan sehari-hari.

e. Jenis Kelamin

Adanya perbedaan antara remaja laki-laki dan perempuan dalam perngalaman seksual mereka. Di setiap negara, remaja putra selalu menunjukkan angka lebih tinggi daripada remaja purti. Hal ini mungkin sekali berkaitan dengan norma-norma yang lebih longgar bagi kaum wanita di hampur seluruh dunia dan sehubungan dengan itu, lebih besar pula kemungkinannya bagi kaum pria untuk melakukan berbagai hal di bandingan dengan wanita.

Menurut Hurlock (1997, h. 226) beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah :

a. Orang tua

Faktor perkembangan yang terjadi dalam diri remaja berasal dari keluarga di mana anak mulai tumbuh dan berkembang. Hubungan cinta kasih orang tua dalam suatu keluarga merupakan dasar bagi pendidikan selanjutnya.

b. Lingkungan Sekolah

Di sekolah, remaja dihadapkan dengan pemikiran dan pandangan serta penilaian yang lebih obyektif, termasuk dalam soal seksualitas. Namun sayang, relaitasnya kebanyakan sekolah kurang berani dan belum menangani secara serius.

c. Masyarakat

Meliputi adat kebiasaan, pergaulan, dan perkembangan di segala bidang, khususnya teknologi yang dicapai manusia pada dewasa ini. Bagi remaja desa, di mana masyarakat masih menjaga dan melindungi secara ketat, sedikit sekali anak yang berperilaku berandalan. Lingkungan masyarakat yang baik akan mempengaruhi orang yang baik dan kuat.

Faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi menurut Hurlock (1997, h. 226) adalah media massa dan teman sebaya. Penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui buku bacaan, tontonan porno media massa berteknologi canggih yang sudah tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat dan didengarnya dari media, khususnya karena remaja pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dan benar. Diskusi dengan teman sebaya serta standar teman sebaya memberikan pengaruh terhadap remaja. Mengingat remaja lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah bersama teman sebayanya.

Salah satu faktor yang ikut mempengaruhi perilaku seksual yang dilakukan seseorang adalah agama. Agama yang dimiliki seseorang akan menjadi suatu mekanisme kontrol diri yang dapat mengendalikan dorongan seksual yang muncul. Ajaran-ajaran serta larangan-larangan yang mengatur kehidupan seseorang, apa yang boleh atau tidak boeh dilakukan terdapat di dalam agama. Orang yang beragama berarti memiliki keyakinan terhadap sang penciptanya. Keyakinan tersebut disebut sebagai religiusitas.

Jenis kelamin juga ikut mempengaruhi perilaku seksual yang dilakukan. Perbedaan perilaku seksual yang dilakukan diakibatkan karena adanya perbedaan karakteristik yang dimilki oleh remaja laki-laki dengan perempuan. Perempuan memiliki sifat feminin, seperti : cenderung sangat pasif, tidak terus terang, tidak percaya diri, segan membicarakan seksual, dan cenderung lemah lembut. Laki-laki memiliki sifat maskulin seperti : sangat agresif, sangat dominan, sering menggunakan logika, sangat percaya diri, dan bebas berbicara seksual (Gunarsa, 1998, h. 53). Remaja perempuan tidak kreatif dalam hal nafsu seksual, berbeda dengan remaja laki-laki yang lebih cepat bernafsu dan agresif. Oleh karena iru, remaja perempuan kurang berminat untuk berperilaku seksual (Gunarsa, 1998, h. 53).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah perubahan biologis, religiusitas, keluarga, budaya, jenis kelamin, lingkungan sekolah.

B. Religiusitas

1. Pengertian Religiusitas

Menurut etimologi kuno, kata rekigi berasal dari bahasa latin “religio” yang akar katanya adalah “re” dan “ligare” yang berarti mengikat kembali. Hal ini berarti di dalam religi terdapat aturan dan kewajiban yang harus dipenuhi dan berfungsi untuk mengikat seseorang dalam hubungannya dengan sesama dan Tuhan (Dister, 1990, h. 6). Manusia mempunyai kerinduan untuk mengikatkan dirinya kembali dengan Tuhan. Manusia rindu berhubungan secara dekat dengan Tuhan. Sedangkan “religiusitas” berasal dari kata “religiosity” yang pada Kamus Lengkap Inggris-Indonesia diartikan sebagai ketaatan yang besar pada agama yang dianutnya.

Secara gamblang, Dister (1990,h.6) mengatakan bahwa religiusitas merupakan suatu keadaan di mana seseoang merasakan dan mengakui adanya kekuatan yang menaungi kehidupan manusia merasa tergantung dan berserah diri.

Religiusitas sendiri oleh Wulf (dalam Lestari, 2002, h. 53) dirumuskan sebagai perasaan keagamaan, yaitu segala perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan. Vergote (dalam Dister,1990,h.18-19) mengungkapkan bahwa hasrat dan keinginan untuk menyatu dengan Illahi disebut dengan religiusitas. Otto (dalam Dister,1990,h.27) menyebut religiusitas sebagai keinsyafan beragama, yaitu kepekaan terhadap Tuhan.

Religiusitas berbeda dengan agama. Mangunwijaya (1991, h.17) mengatakan bahwa ada perbedaan pokok antara religi (agama) dengan religiustitas. Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban sedangkan religiusitas menunjuk pada segi segi agama yang dihayati oleh ndividu di dalam hati. Agama diturunkan dari bahasa Sansekerta “gam”, yang artinya macam, jenis, aliran. Agama menunjuk pada aneka macam institusionalisasi pengalaman religius.

Selanjutnya Mangunwijaya (1991, h3) mengemukakan bahwa religiusitas memiliki pengertian yang lebih dalam dan lebih bersifat personal. Hubungan antara perasaan, keinginan, harapan, keyakinan manusia terhadap hukum yang ditujukkan dengan ketaatan dalam melaksanakan ajaran agamanya. Dister (1990, menjelaskan bahwa religiusitas adalah suatu keadaan dimana individu merasakan dan mengakui adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia dan hanya kepada Tuhan saja manusia bergantung dan berserah diri. Semakin seseorang mengakui adanya Tuhan maka semakin tinggi religiusitasnya. Glork dan Stark (dalam Roberston, 1988, h.291) mengatakan bahwa religiusitas adalah keberagamaan yang menunjukkan pada ketaatan dan komitmen seseorang terhadap agamanya. Adapun ciri-ciri individu yang mempunyai religiusitas tinggi dapat dilihat dari tindak-tanduk, dikap dan perkataan, serta seluruh jalan hidupnya mengikuti aturan-aturan yang diajarkan oleh agama (Lestari, 2002, h.54).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah keterikatan, ketaatan, kesalehan, kepekaan, kepada Tuhan, dilaksanakan dengan penuh perasaan, keinginan, harapan, dan keyakinan, yang kemudian diwujudkan dengan ketaatan dalam menjalankan agamanya.

2. Aspek-aspek Religiusitas

Religiusitas merupakan sesuatu yang tunggal, akan tetapi juga merupakan suatu kesatuan yang utuh dari keseluruhan aspek kehidupan.

Glock dan Stark (1988) mengemukakan ada lima macam dimensi religius, yaitu :

a. Ritual Involvement (dimensi praktek peribadatan atau agama) adalah tingkat sejauh mana individu mengerjakan kewajiban ritual agama, seperti sembahyang, puasa, berdoa, dan menghadiri perayaan agama dan lain-lain.

b. Ideological Involvement (dimensi keyakinan) adalah tingkatan sejauh mana individu menerima hal-hal yang bersifat dogmatic di dalam agama masing-masing. Misalnya apakah seseorang mempercayai adanya setan, malaikat, surga, neraka, dan lain-lain.

c. Intellectual Involvement (dimensi pengentahuan agama) adalah mengetahui seberapa jauh individu mengetahui tentang ajaran agamanya dan seberapa jauh aktivitas di dalam menambah pengetahuan agmanya. Dimensi ini menyangkut pengetahuan tentang kitab suci, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan.

d. Experiential Involvement (dimensi pengalaman) berisikan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan sebagai keajaiban yang datang dari Tuhan. Hal ini terwujud dalam perasaan bersyukur kepada Tuhan, perasaan bahwa doanya sering terkabul, perasaan dekat dengan Tuhan pada saat berdoa.

e. Consequential Involvement (dimensi pengalaman ajaran agama dalam tindakan nyata) untuk mengukur sejauh mana perilaku individu dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial, misalnya suka menolong, tidak mencuri,tidak berbohong, suka memaafkan kesalahan orang lain, dan lain-lain.








Pengunjung