TAFAQQUH FIDDIN
Untuk berbicara seperti yang tercantum dalan judul ‘TAFAQQUH FIDDIN’ M. Natsir, mengenal lebih dahulu mengenal A. Hassan dan Ir. Sukarno persiden RI pertama.
Bila menengok ke belakang dua ribu tahun berlalu, keadaan Islam dan Muslimin tak ubahnya semacam antrian kendaraan yang macet total, antrian yang sangat panjang dan hampir tidak ada kepastian kapan akan mulai melaju kapan akan sampai di tujuan. Dr. Lothrop Stoddar melukiskan keadaan seperti ini dalam bukunya “DUNIA BARU ISLAM” (hal. 29-30)
“Dan agama juga membeku seperti hal-hal lain, Ketauhidan yang diajarkan oleh Muhamad saw. telah diselubungi khurafat dan faham kesupian. Mesjid-mesjid ditinggalkan oleh golongan besar yang awam. Mereka menghias diri dengan azimat, penangkal penyakit dan tasbih. Mereka belajar pada fakir atau Darwis dan menjiarahi kuburan orang-orang keramat. Mereka memuji orang-orang itu sebagai manusia suci dan perantara dengan Allah, karena menganggap Dia begitu jauh bagi manusia biasa untuk pengabdian langsung. Orang sudah awam akan akhlak yang diajarkan oleh Quran atau tak menghiraukannya. Minum arak dan mengisap candu menjadi umum. Pelacuran menjalar. Akhlak merosot dan rusaklah kehormatan diri. Semua langsung tanpa rasa takut dan malu.
Kota-kota suci Makkah dan Madinah pun jadi tempat penuh kejahatan, sedangkan ibadah haji yang diwajibkan oleh Nabi saw. menjadi amalan yang leceh disalahgunakan. Pendek kata, kehidupan Islam telah lenyap, meninggalkan ritus tak berjiwa dan kemunduran merata. Andai kata Muhamad saw. hidup kembali dan mempersaksikan apa yang terjadi pada Islam pasti murkalah beliau, dan melontarkan kutuk kepada pengikut-pengikutnya yang murtad dan menyembah berhala itu”.
Pada awal abad kesembilan belas muncullah Repormis yang mensejalankan umat Islam dengan Islamnya yang berdasarkan Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Muhamad bin Abdul Wahab, beliau mengutamakan repormasi Tauhid memurnikan Tauhid itu dari daki-daki Khurafat, Takhayyul, dan Bidah (TBC) tak ditinggalkan pula membersihkannya yang tak jarang sulit dipaham dan menyesatkan itu dari pikiran-pikiran ahli ilmu kalam Filsafat dan Tasawuwuf.
Bila kita membatasi penglihatan kita, dalam membicarakan Islam dan Muslimin di Indonesia, tak kurang banyak yang mengetahui Islam itu hanya namanya, mengucapkan dua kalimah Syahadat tanpa mengetahui maknanya, menghitan anak dengan kenduri yang sering kali dicampur dengan berbagai macam ketakhayulan, demikian pula mengurus jenazah sekedar menghadapkan mayit kea rah kiblat dan memisahkan dari penguburan kapir-kapir, tak kurang pula dicampur dengan macam-macam upacara-upacara agama lain terutama sisa-sisa agama nenek moyang mereka, masuk pula upacara Nasrani menuliskan nama jenazah, membangun bagunan di atas kubur, menabur bunga diakhiri dengan bacaan surat Yasin, Fahitah, du’a-du’a yang tidak pernah diajarkan oleh Islam, maka jdilah upacara penguburan ini jadi syari’at gado-gado.
Pada akhir abad kedelapan belas awal abad kesembilan belas, dalam situasi dan kondisi yang telah disampaikan dengan amat singkat itu, kemudian Allah melahirkan para Mujaddid, yang ternyata demikian besar pengaruh Muhamad bin Abdul Wahab yang mengutamakan pembersihan Aqidah dan Ibadah Ummat Islam “Ar-Ruju’ ilal Quran was Sunnah”.
Berawal di Sumatra, muncul Mujahid Mujaddid yang tidak sedikit yang mati syahid dalam perang Fadri, namun semangat mereka tetap hidup boleh dikatakan mati satu muncul seribu. Ini mudah-mudahan sebagaimana firman Allah;
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Dan janganlah engkau menyangka orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan (mereka itu) hidup di sisi Tuhan mereka diberi rezeki (terus-terus ditulis amal mereka sebagaimana orang-orang hidup). Q.s. Ali Imran : 169.
Hampir di seluruh Indonesia bermunculan penyiaran-penyiaran pesantren-pesantren yang senada, yaitu kembali kepada Quran dan Sunnah.
Di Bandung Persatuan Islam yang sangat identik dengan A. Hassan sebagai sentral pigur dengan ilmu dan keahlian yang mumpuni, selain menerbitkan majalah terkenal ‘Pembela Islam’ yang walaupun umurnya tidak lama, tapi cukup membangunkan ummat Islam yang sedang tidur nyenyak dengan taklid buta kepada Habib-habib, Kiai-kiai yang hanya menuntun umat Islam kepada madzhab tertentu.
Kemumpunan A. Hassan bukan hanya dalam hal fiqih dengan keterbatasan ibdah Mahdoh, tetapi juga menyangkut bidang-bidang social, ekonomi, politik dan lain-lain terutama menghadapi gerakan-gerakan kebangsaan yang disemarakan untuk mencapai kemerdekaan. Tentu saja dalam implementasinya bermunculan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi dan ajaran-ajaran yang tidak sejalan dengan Islam yang berdasarkan Quran dan Hadits.
A. Hassan dengan Persisnya enerbitkan buku-buku, brosur-brosur, majalah-majalah, selebaran, juga tidak kurang terkenal debat-debat dengan pera ulama Ahmadiyah yang terkenal sampai sekarang buku debat itu akurat untuk dipelajari juga.
Di bidang politik surat menyurat dengan Ir. Sukarno perdebatan mengenai kebangsaan sampai dengan bantahan-bantahan tentang sukalarisme yang dibanggakan Sukarno penerapan sukalarisme di Turki.
Barangkali sampai di sini saya merasa cukupkan, sekedar seukuran telunjuk tercelup dilautan luas karena dikemukakan bukan untuk menjelaskan secara keseluruhan, tapi bagaimana semua kemumpunan A. Hassan mewarnai dan mensibgoh M. Natsir sampai menjadi orang besar yang diakui dunia Internasional.
Dalam membahas masalah agama M. Natsir mencantumkan sebuah hadis tatkala Rasulullah saw. mengutus Mu’adz bin Jabal ke negri Yaman
كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ
Dengan apa engkau memjatuhkan hukum?
قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ.
Dengan kitab Allah.
قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ
Kalau kamu tidak dapat (keterangan dari kitab Allah?)
قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Dengan Sunnah Rasulullah.
قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللهِ.
Kalau kamu tidak dapat (dari keterangan Sunnah Rasulullah?)
قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو
Saya berijtihad dengan akal saya dan saya tidak berputus asa”. H.r. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ad-Darimi.
Selanjutnya beliau menulis; “Pembagian lapangan akal dan agama.
Kita mau ada batas? Akal merdeka 1000/tidak menggariskan batas buat dirinya. Semua ia mau labrak, semua ia mau atur, akal merdeka ini selain daripada dengan peraturan AGAMA?
Bagaimanakan kita hendak menjaga supaya akal merdeka itu tetap menjadi lampu yang bersinar petunjuk jalan, jangan sampai berkobar menyiar membakar semua yang ada. Kalau ia tidak ditundukkan kepada garisan-garisan yang telah diberikan oleh Allah swt., tidak kita ajar dia tunduk dan menghormati garis-garis wahyu di waktu ia harus tunduk kepada wahyu dan ajaran agama, yang tidak bisa ia atur, dan tidak boleh ia sendiri mengaturnya.
Kita kembali kepada pendirian mereka yang tidak mau menukar tanah dengan kreolin dan memerlukan menggosok gigi dengan “Siwak”, akar kayu, dengan alasan masalah ini masalah “Ubudiyyah” setelah mereka berijtihad sehabis-habis ijtihad. (M.Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal : 264).
Oleh : Ibnu Muchtar