DOA BUKA PUASA

Doa Buka Puasa. Sahabat Warna kali ini admin akan sedikit membahas mengenai Bacaan Doa Buka Puasa (shaum). Ada beberapi referensi terkait doa berbuka puasa, Untuk lebih jelasnya dan menjadi sedikit tahu  mengingatkan agar tidak lupa lagi dan salah melafalkan doa buka puasa tersebut. doa Buka Puasa yang admin akan sajikan buat anda semuanya mudah-mudah bermanfaat.


Keutamaan Berdoa 

Seperti yang dijelaskan Dalam Alquran, Allah swt berfirman :

وَإِذَاسَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّىفَإِنِّىقِرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَالدَّاعِى إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبوُالِى وَلْيُؤْمِنُوابِىلَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ


"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah) bahwa Aku ini Maha Dekat. Aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi segala perintah-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka mendapat petunjuk." Q.s. Al-Baqarah:186

Ayat tersebut ditempatkan di antara ayat-ayat shaum, namun ia tidak berbicara tentang shaum. Penempatan atau penyisipan ayat itu pada pembahasan tentang shaum tentu bukan suatu kebetulan ataupun ketidaksengajaan, namun mempunyai rahasia atau maksud tersendiri. Hemat kami ayat tersebut menjadi dilalatul isyarah (keterangan berbentuk isyarat) bahwa kaum mukminin sangat dianjurkan berdoa di bulan Ramadhan, karena bulan Ramadhan adalah saat diijabahnya doa, terutama saat berbuka shaum.. Hal itu sebagaimana diterangkan oleh Abdullah bin Amr bin al-Ash bahwa Rasulullah saw. bersabda 


إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَاتُرَّدُ

"Sesungguhnya bagi orang yang shaum, ketika ia berbuka, ada satu doa yang pasti diijabah " H.r. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II:350.
Hadis tersebut diriwayatkan pula oleh al-Hakim, al-Mustadrak I:583, al-Baihaqi, Syu’abul Iman III:407, al-Mundziri, at-Targhib wat Tarhib II:53, Abu Daud at-Thayalisi, Musnad at-Thayalisi, hal. 229, dengan sedikit perbedaan redaksi.
 
Hadis di atas menunjukkan bahwa pada bulan Ramadhan itu ada waktu yang lebih dianjuran untuk berdoa, yakni saat berbuka shaum. Namun yang sering menjadi pertanyaan, apakah redaksi doa pada waktu itu manshush (ditentukan) ataukah ghair manshush (tidak ditentukan). Inilah permasalahan yang perlu dikaji secara mendalam.
Redaksi Doa Berbuka Shaum


Berdasarkan penelitian kami, hadis-hadis tentang berdoa ketika berbuka shaum diriwayatkan oleh sekitar 12 mukharrij (pencatat hadis) dengan redaksi sebagai berikut:


أَنَّ النَّبِيَ r كانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ.

Sesungguhnya Nabi saw. apabila berbuka, beliau mengucapkan, “Ya Allah, hanya karena Engkaulah aku shaum dan atas rezeki Engkaulah aku berbuka"


Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Sunan Abu Daud, I: 529, Al Baihaqi, As-Sunanul Kubra, IV: 239, dan Syu’abul Iman, III : 407, dari Muadz bin Zuhrah. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushanaf, II : 344 dari Abu Hurairah, dan Ad-Daraqutni, Sunan Ad-Daraquthni, II : 185 dari Ibnu Abas. Namun pada riwayat At-Thabrani, al Mu’jamul Kabir XII : 146, dari Ibnu Abas terdapat tambahan fataqabbal minni innaka antas sami’ul ‘aliim, dari Abu Zuhrah. Sedangkan pada riwayat At-Thabrani lainnya (Al-Mu’jamu As Shaqir, II : 133, Al Mu’jamu Al Ausat, VIII : 270) dari Anas bin Malik, terdapat tambahan “bismillah” di awalnya.


Hadis tersebut diriwayatkan pula oleh Al-Harits bin Abu Usamah dan Al-Haitsami dari Ali bin Abu Thalib, dengan redaksi

قَالَ لِيْ رَسُولُ اللهِ r يا عَلِيُ … إِذَا كُنْتَ صَاِئمًا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَقُلْ بَعْدَ اِفْطَارِكَ اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَلْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ تُكْتَبُ لَكَ مِثْلَ مَنْ كَانَ صَاِئمًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْئًا…


“Rasulullah saw. berkata kepadaku, ‘Ya Ali… Apabila engkau shaum pada bulan Ramadhan maka ucapkanlah (berdoalah) setelah kamu berbuka, ’ Ya Allah, hanya karena Mu aku shaum, hanya kepada-Mu aku bertawakal, dan atas rezeki-Mu aku berbuka,’ maka akan dicatat bagimu pahala seperti pahala yang shaum tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka…” (Musnad al- Harits [Zawaid Al Haitsami] I : 526/CD al-Maktabah al-Alfiyah)

b) كَانَ رَسُولُ الله r إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: الحَمْدُ للهِ الَّذي أَعَانَنِي فَصَمْتُ، وَرَزَقَنِي فأفْطَرْتُ.‏



Rasulullah saw. apabila berbuka, beliau berdoa, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepadaku, maka aku shaum, dan telah memberi rezeki kepadaku, maka aku berbuka’.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul Iman, III : 407. Dari Muadz bin Zuhrah.

Berdasarkan penelitian kami, hadis-hadis tentang berbuka shaum dengan redaksi di atas tidak ada satu pun yang sahih, karena itu tidak dapat diyakini sebagai redaksi doa yang diucapkan oleh Nabi saw. Adapun keterangan tentang kedaifan hadis-hadis di atas telah diterangkan oleh Tim Hadis Daif, pada al Qudwah No. 43, rubrik Hadits Dhaif, hal. 33-36. Sementara doa yang memakai tambahan kalimat wabika amantu

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ اَمَنْتُ وَعَلَىرِزْ قِكَ أَفْطَرْتُ


tidak didapatkan satu riwayat pun walaupun yang da'if.


Kemudian kami temukan pula hadis lain dengan redaksi sebagai berikut:



Sedangkan tentang berdoa ketika berbuka shaum dengan redaksi
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ اِنْ شَاءَ اللهُ


Diriwayatkan oleh Abu Daud, Sunan Abu Daud, II : 529, Al-Hakim, al-Mustadrak, I : 422, Al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, II : 255, Ad-Daraqutni, Sunan ad-Daraquthni, II : 185, An Nasai, as-Sunanul Kubra, II:255, An-Nasai, Amalul Yaumi wal Lailah, I: 268/CD al-Maktabah al-Alfiyah, dan Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, III : 407, secara mualaq.


Walaupun hadis di atas dicatat pada tujuh kitab, namun semuanya melalui rawi bernama Marwan bin Salim al-Muqaffa. Ibnu Hajar, pada kitab Taqribut Tahdzib (terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995, II:171, No. biografi: 6590) menulis al-Muqaffa - biqaf, tsumma fa tsaqilah -; Lihat juga Lisan al-Mizan, VII:382 dan Tahdzibut Tahdzib, X : 93. Demikian pula menurut Al-Bukhari pada at-Tarikhul Kabir, VII:374; Al-Mizzi pada Tahdzibul Kamal, XXVII :390-392; Adz-Dzahabi pada Mizanul I’tidal, IV : 91 dan al-Kasyif, III : 142; Ibrahim bin Muhamad al-Halbi pada al-Kasyful Hatsits, 1987:255; Ibnu Hiban, pada Kitab ats-Tsiqat III:54. Namun pada Taqribut Tahdzib, terbitan Dar al-Fikr, Beirut, 1995, II:577, No. biografi: 6841 dan Dar al-Rasyid, Syria, 1986, hal. 526, No. biografi 6569, tertulis al-Mufaqqa (bifa, tsumma qaf tsaqilah). Sedangkan pada Faidhul Qadir II:172, Abdurrauf al-Manawi menyebut al-Muqni’i. menyebut Marwan bin al-Muqaffa.


Marwan memiliki seorang guru bernama Abdullah bin Umar (sahabat Nabi) dan dua orang murid bernama (a) al-Husain bin Waqid dan (b) ‘Azrah bin Tsabit al-Anshari. Sejauh penelitian kami, rawi ini tidak dikenal kecuali pada hadis ini saja. Meskipun dimuat pada berbagai kitab rijalul hadits, namun tidak ada seorang ulama pun yang men-ta’dil dan men-jarh-nya. Kami tidak habis pikir, kenapa ulama setingkat Al-Bukhari, Al-Mizzi, dan Adz-Dzahabi, tidak berkomentar apapun terhadap rawi ini, padahal rawi ini dicatat pada kitab mereka.


Kemudian kami berusaha untuk mengetahui sikap Ibnu Hajar, sebagai seorang ahli hadis abad XII, terhadap Marwan dan periwayatannya. Pada berbagai kitab rijal hadis yang disusunnya, beliau tidak berkomentar. Namun hanya menerangkan sikap Ibnu Hiban pada rawi tersebut. Pada kitabnya Lisanul Mizan II:382, beliau menyatakan, “Wawatsaqqahubnu Hiban (dia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hiban)” Sedangkan pada kitabnya Tahdzibut Tahdzib, X : 93, beliau menyatakan, “Dzakarahubnu Hibana fis Tsiqat (Ibnu Hiban menerangkannya pada kitab at-Tsiqat)”.


Sebagaimana telah kami kemukakan pada al Qudwah No. 39, bahwa untuk menetapkan status rawi yang majhul, Ibnu Hiban memiliki kaidah atau standar tersendiri yang tidak sesuai dengan standar umum para ulama, yaitu dengan memperhatikan siapa guru atau muridnya. Apabila murid atau gurunya da’if, maka orang tersebut benar-benar majhul menurut beliau. Sedangkan apabila murid atau gurunya itu tsiqat, maka orang tersebut tidak majhul. kaidah atau standar Ibnu Hiban, justru ditolak oleh Ibnu Hajar dengan menyatakan “Pendapat Ibnu Hiban ini –yaitu seorang rawi bila dinafikan majhul ain-nya maka rawi itu termasuk adil, selama tidak jelas jarh-nya- adalah pendapat yang mengherankan, berbeda dengan madzhab jumhur. Dan ini metode Ibnu Hiban pada kitab-nya at-Tsiqat. Dengan demikian, apabila ada keterangan bahwa seorang rawi watsaqahub hiban atau wadzakarahubnu hibban fikitabi at-tsiqat itu menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pendapat di antara ulama dalam menilai rawi seperti itu, yakni Ibnu Hiban menerimanya sedangkan imam yang lain menolaknya. (lihat, Muqaddimah al Majruhin, I:huruf lam)


Namun dalam menyikapi Marwan yang majhul, Ibnu Hajar yang dikenal sangat kritis terhadap Ibnu Hiban, justru meruju’ pada sikap Ibnu Hiban sendiri.


Sedangkan pada kitabnya Taqribut Tahdzib (II:171, No. biografi: 6590), Ibnu Hajar menyatakan maqbul


Adapun tentang ungkapan maqbul Ibnu Hajar ditujukan terhadap rawi yang sedikit hadisnya serta tidak ada yang men-jarh (mencela) juga yang men-ta’dil. Jika ada mutabi’ (periwayatan rawi lain sebagai penguat), rawi itu dinilai maqbul. Namun jika tidak ada, rawi itu dikategorikan layyinul hadits (tidak dapat dipakai hujjah bila meriwayatkan hadis sendirian) oleh Ibnu Hajar (lihat, Taqribut Tahdzib, I:8; Syifa-ul ‘Alil, I:301). Dengan demikian, pernyataan maqbul Ibnu Hajar itu menunjukkan bahwa Marwan tidak maqbul, karena sampai saat ini kami tidak menemukan jalur periwayatan lain, sebagai mutabi’ atau syahid bagi Marwan. Kemudian dengan memperhatikan jumlah murid Marwan hanya dua orang, menurut kaidah Ibnu Hajar, Marwan dikategorikan sebagai rawi mastur atau majhul hal. Dan apabila hadis dari rawi mastur ini diriwayatkan pula oleh rawi lainnya, maka derajatnya menjadi hasan lighairi (Lihat, Taqribut Tahdzib, I:8; Nuzhatun Nazhar, hal. 24/Manhaj Dirasah al-Asanid wal Hukmu ‘alaiha, 1997:44)


Kemudian dalam menyikapi hadis di atas, Ibnu Hajar mengutip pernyataan Ad-Daraquthni bahwa sanad hadis itu hasan. Sedangkan dalam menyikapi doa lainnya, beliau bersikap tegas dengan menyatakan kedaifannya (Lihat, Talkhisul Habir, II:802). Sikap Ibnu Hajar terhadap pernyataan Ad-Daraquthni ini diterangkan oleh Al-Albani dengan ungkapan Waaqarrahul hafizh fit talkhis (Pernyataan Ad-Daraquthni diakui oleh al-Hafizh pada kitab at-Talkhis) (Lihat, Irwa-ul Ghalil, IV:39). Setelah sekian lama mempelajari kaidah sahih dan hasan versi Ibnu Hajar, kami menjadi tidak paham ketika Ibnu Hajar menyetuji pernyataan hasan Ad-Darquthni. Padahal Ibnu Hajar sendiri mensyaratkan bahwa periwayatan rawi mastur terangkat derajatnya menjadi hasan jika ada mutabi’. Dalam hal ini beliau dan Ad-Daraquthni tidak mengemukakan satu pun mutabi’ bagi periwayatan Marwan di atas.


Sikap Ad-Daraquthni dan Ibnu Hajar terhadap periwayatan Marwan di atas dijadikan rujukan oleh para ulama generasi selanjutnya seperti As-Syaukani dalam Nailul Authar, Muhamad Syamsul Haq dalam Aunul Ma’bud, Abdurrauf al-Manawi dalam Faidhul Qadir, Muhamad bin ‘Alan as-Shidiqi dalam al-Futuhatur Rabbaniyyah Syarah Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi, Syekh Manshur Ali Nashief dalam at-Taj lijami’ al-Ushul, Syekh Nashirudin al-Albani dalam Irwaul Ghalil, Dr. Syu’aib al-Arnauth dalam tahqiq Zadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim, Syu’abul Iman, Jami’ul Ushul karya Ibnul Atsir, Syarhus Sunnah karya al-Baghawi, dan Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu.


Sikap yang paling mengagumkan terhadap periwayatan Marwan di atas justru ditunjukan oleh Imam As-Suyuthi pada kitabnya al-Jami’us Shaghir dengan menulis rumus صح , yang berarti hadis dzahabad zhama adalah sahih menurut beliau. Padahal kriteria shahih yang ditetapkan oleh beliau sendiri rawi-rawinya harus ‘adil dan tammud dhabti (Lihat, Tadribur Rawi, hal. 31; Alfiyah as-Suyuthi, hal. 3) Sedangkan pada kitab al-jami’ li Ahaditsil Kabir-nya, beliau tidak berkomentar apapun.


Setelah kami meneliti dengan cukup susah payah, lalu dengan menghargai dan menghormati jerih payah para ulama seperti sukut (diam)-nya Abu Daud, pernyataan hasan dari Ad-Daraquthni, bahkan pernyataan sahih dari as-Suyuthi, serta dimasukkannya Marwan oleh Ibnu Hiban pada kitab-nya al-Tsiqat, kami berkesimpulan redaksi doa inilah yang paling baik untuk diucapkan pada saat berbuka saum.

Dalam hal ini ada beberapa riwayat yang menerangkan lafazh-lafazh doa ketika berbuka shaum, seperti

Abu Daud meriwayatkan dari Muadz bin Zuhrah bahwa Rasulullah saw. apabila berbuka shaum mengucapkan :

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَىرِزْقِكَ أَ فْطَرْتُ

Artinya: "Ya Allah, hanya karena Engkaulah aku shaum dan atas rezeki Engkaulah aku berbuka," (Sunan Abu Daud II:528)

Kemudian dalam riwayat Thabrani disebutkan :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَلِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ص إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: بِسْمِ اللهِ اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ



"Dari Anas bin Malik, ia mengatakan, 'Rasulullah saw. apabila berbuka shaum mengucapkan, Dengan nama Allah, ya Allah, hanya karena Engkaulah aku shaum dan atas rezeki Engkaulah aku berbuka, " (Al-Mu'jamul Ausath VIII:270).


Masih menurut riwayat Ath-Thabrani, Ibnu Abbas mengatakan :
كَانَ النَّبِىُّص إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْ قِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّ إِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيمُ


"Nabi saw. apabila berbuka mengucapkan : Hanya karena Engkaulah aku shaum dan atas rezeki Engkau aku berbuka. Maka terimalah dariku karena sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui," (Al-Mu'jamul Kabir XII:146).

Keterangan :

Pada sanad hadis Abu Daud terdapat kelemahan, yaitu Muadz bin Zuhrah. Ia bukan seorang sahabat melainkan seorang tabi'in. Dengan cara periwayatannya ia disangka seorang sahabat. Karena itu hadis itu dhaif mursal.

Hadis At-Thabrani I juga dhaif, bahkan dikategorikan sebagai hadis maudhu'. Dan kalaupun tidak termasuk hadis maudhu', hadis matruk sudah tentu. Pada sanadnya terdapat seorang rawi bernama Daud bin Az-Zibirqan. Menurut Ya'qub bin Syu'bah dan Abu Zur'ah, "ia itu matruk (tertuduh dusta)". Sedangkan Ibrahim bin Ya'qub al-Jurjani mengatakan, "Kadzdzab (pendusta" (Tahdzibul Kamal XIII:394-395).

Hadis At-Thabrani II juga dhaif bahkan palsu, karena terdapat seorang rawi bernama Abdul Malik bin Harun. Abu Hatim berkata, "Ia itu matruk, menghilangkan hadis". Yahya bin Main mengatakan, "Ia itu kadzdzab". Ibnu Hiban mengatakan, "Ia itu membuat hadis palsu". (Lisanul Mizan IV:71).

Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa ada beberapa lafazh doa berbuka shaum yang konon diucapkan oleh Nabi, namun sejauh penelitian kami berdasarkan kaidah kesahihan hadis, maka semua hadis tentang doa shaum dengan redaksi di atas tidak ada satupun yang shahih, bahkan terdapat hadis yang disinyalir sebagai hadis maudhu' (palsu).

Karena semua hadis tentang doa-doa di atas mengandung kelemahan, artinya tidak dapat dipastikan dari Nabi, maka ketika kita hendak mempergunakan doa itu untuk berbuka shaum, hendaknya kita tidak meyakini sebagai doa Nabi. Adapun redaksi doa yang pernah diucapkan oleh Nabi adalah sebagai berikut.

Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw. apabila berbuka mengucapkan : 

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ اِنْ شَاءَ اللهُ


"Telah hilang dahaga, terbasahi tenggorokan, dan telah ditetapkan pahala insya Allah,"
(Aunul Ma'bud VI:482).

Sejauh penelitian kami hanya hadis inilah yang benar-benar sahih. Karena itu apabila hendak berdoa ketika berbuka shaum, maka redaksi doa ini yang lebih afdhal atau sangat dianjurkan untuk diucapkan. Wallahu A'lam.

Hemat kami redaksi (lafazh) doa pada waktu berbuka shaum itu ghair manshush, artinya pada saat berbuka kita boleh berdoa dengan apa saja yang kita kehendaki. Namun bila dilihat dari segi afdhaliyat (keutamaan), maka redaksi doa yang dipergunakan oleh Nabi tentu lebih utama kita amalkan.

وجدت الكلمات في الحديث رقم:
1/480 روينا في سنن أبي داود والنسائي، عن ابن عمر رضي اللّه عنهما قال:
كان النبيّ صلى اللّه عليه وسلم إذا أفطر قال: "ذَهَبَ الظَّمأُ، وابْتَلَّتِ العُرُوقُ، وَثَبَتَ الأجْرُ إِنْ شاءَ اللَّهُ تَعالى".
قلت: الظمأ مهموز الآخر مقصور: وهو العطش. قال اللّه تعالى: {ذلكَ بأنهُمْ لا يُصِيبُهُمْ ظَمأُ} [التوبة:120] وإنما ذكرت هذا وإن كان ظاهراً لأني رأيتُ مَن اشتبه عليه فتوهمه ممدود
2/481 وروينا في سنن أبي داود، عن معاذ بن زهرة أنه بلغه؛
أن النبيّ صلى اللّه عليه وسلم كان إذا أفطر قال:"اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ" هكذا رواه مرسَلا
3/482 وروينا في كتاب ابن السني، عن معاذ بن زهرة قال:
كان رسولُ اللّه صلى اللّه عليه وسلم إذا أفطر قال: "الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذي أعانَنِي فَصَمْتُ، وَرَزَقَنِي فأفْطَرْتُ"
4/483 وروينا في كتاب ابن السني، عن ابن عباس رضي اللّه عنهما قال:
كان النبيّ صلى اللّه عليه وسلم إذا أفطر قال: "اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنا، وَعلى رِزْقِكَ أَفْطَرْنا، فَتَقَبَّلْ مِنَّا إنَّكَ أنْتَ السَّمِيعُ العَلِيمُ"
5/484 وروينا في كتابي ابن ماجه وابن السني، عن عبد اللّه بن أبي مليكة عن عبد اللّه بن عمرو بن العاص رضي اللّه عنهما قال:
سمعت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يقول: "إنَّ للصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً ما تُرَدُّ" قال ابن أبي مُليكة: سمعتُ عبد اللّه بن عمرو إذا أفطرَ يقول:"اللَّهُمَّ إني أسألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْء أنْ تَغْفِرَ لي".

(480) أبو داود (2357) وإسناده حسن.

(481) أبو داود (2358) وله شاهدان عند الدارقطني والطبراني يقوى بهما.

(482) ابن السني (480) قال الحافظ: وهو محقق الإرسال، وفي زيادة الرجل الذي لم يسمِّه ما يُعَلُّ به.

(483) ابن السني (481) وقال الحافظ: هذا حديث غريب وسنده واهٍ جداً. الفتوحات 4/341.

(484) ابن ماجه (1753) ، وابن السني (482) وإسناده حسن.

Pada keterangan lain Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ


“Ada tiga golongan yang tidak tertolak doanya; orang shaum sampai berbuka, imam yang adil, dan orang yang dizhalimi..” H.r. Ibnu Majah, At-Tirmidzi, dan Ahmad

فصل 1469 عن عبد الله يعني ابن أبي مليكة عن عبد الله يعني ابن عمرو بن العاصي رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن للصائم عند فطره لدعوة ما ترد قال وسمعت عبد الله يقول عند فطره اللهم إني أسألك برحمتك التي وسعت كل شيء أن تغفر لي - رواه المنذري , الترغيب والترهيب 2: 53 - زاد في رواية ذنوبي رواه البيهقي عن إسحاق بن عبيد الله عنه وإسحاق هذا مدني لا يعرف والله أعلم

1743 حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمَدَنِيُّ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي – رواه ابن ماجة –

3522 حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ عَنْ سَعْدَانَ الْقُمِّيِّ عَنْ أَبِي مُجَاهِدٍ عَنْ أَبِي مُدِلَّةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ فَوْقَ الْغَمَامِ وَيَفْتَحُ لَهَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ قَالَ أَبمو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَسَعْدَانُ الْقُمِّيُّ هُوَ سَعْدَانُ بْنُ بِشْرٍ وَقَدْ رَوَى عَنْهُ عِيسَى بْنُ يُونُسَ وَأَبُو عَاصِمٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ كِبَارِ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَأَبُو مُجَاهِدٍ هُوَ سَعْدٌ الطَّائِيُّ وَأَبُو مُدِلَّةَ هُوَ مَوْلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ وَإِنَّمَا نَعْرِفُهُ بِهَذَا الْحَدِيثِ وَيُرْوَى عَنْهُ هَذَا الْحَدِيثُ أَتَمَّ مِنْ هَذَا وَأَطْوَلَ * - الترمذي –


1742 حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سَعْدَانَ الْجُهَنِيِّ عَنْ سَعْدٍ أَبِي مُجَاهِدٍ الطَّائِيِّ وَكَانَ ثِقَةً عَنْ أَبِي مُدِلَّةَ وَكَانَ ثِقَةً عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ دُونَ الْغَمَامِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَتُفْتَحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَيَقُولُ بِعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ * - إبن ماجة –


120 كان إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله د ك عن ابن عمر كان إذا أفطر قال ذهب الظمأ مهموز الآخر مقصور العطش قال تعالى ذلك بأنهم لا يصيبهم ظمأ ذكره في الأذكار قال وإنما ذكرته وإن كان ظاهرا لأني رأيت من اشتبه عليه فتوهمه ممدودا وابتلت العروق لم يقل ذهب الجوع أيضا لأن أرض الحجاز حارة فكانوا يصبرون على قلة الطعام لا العطش وكانوا يتمدحون بقلة الأكل لا بقلة الشرب وثبت الأجر قال القاضي هذا تحريض على العبادة يعني زال التعب وبقي الأجر إن شاء الله ثبوته بأن يقبل الصوم ويتولى جزاءه بنفسه كما وعد إن الله لا يخلف الميعاد وقال الطيبي قوله ثبت الأجر بعد قوله ذهب الظمأ استبشار منه لأنه من فاز

Tata Cara Berdoa

Ditinjau dari segi jenis doa itu ada dua macam. Pertama, tsanain/hamdin (puji-pujian atau sanjungan). Kedua, sualin (permintaan). Kemudian ditinjau dari segi waktu/tempat dan redaksinya ada manshush dan Ghair manshush. Manshush dalam istilah penulis berarti berdoa dengan lafazh-lafazh tertentu pada waktu/tempat yang telah ditentukan. Seperti subhana rabbiyal azhiem ketika ruku dan subhana rabbiyal a'laa ketika sujud. Sementara ghair manshush berarti berdoa dengan lafazh bebas sesuai dengan keinginan orang yang mengucapkannya pada tempat-tempat yang tidak ditentukan. Atau lafazh bebas pada waktu/tempat yang telah ditentukan. Seperti ketika sujud setelah doa diatas.

Demikianlah ulasan mengenai Bacaan Doa Buka Puasa dan Artinya. mudah-mudah bermanfaat terimakasih

Pengunjung