MENGENAL PARADIGMA MANHAJ HARAKI | ARTIKEL

Kali Ini Saya akan Beragi Mengenai Tema Dibawah ini, mudah2n ini menjadi bahan Ilmu Buat antum seklain... Semga bermanfaat 

PARADIGMA MANHAJ HARAKI

Ada dua ungkapan yang sederhana dan sarat makna serta mejadi faktor penentu terbangunnya soliditas dan solidaritas umat Islam. Ungkapan yang dimaksud adalah ikhwatun dan ikhwanun. Kedua ungkapan ini sering diterjemahkan dengan “beberapa saudara”, dan tidak salah diterjemahkan seperti itu. Namun sebenarnya, terdapat perbedaan makna di antara keduanya. Karena ikhwatun adalah saudara yang disebabkan faktor ansab (nasab, keturunan darah), sedangkan ikhwanun adalah saudara yang disebabkan faktor ashab (persahabatan, perkawanan). Tetapi ketika Alquran membicarakan kaum mukmin, ternyata ungkapan yang digunakan adalah ikhwatun bukan ikhwanun, padahal banyak di antara kaum mukmin yang tidak satu nasab. Coba kita perhatikan firman Allah dalam surat al-Hujurat:10

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu tiada lain bersaudara.
Walaupun tidak satu nasab, tidak satu turunan, tidak seibu sebapak tapi orang mukmin dengan mukmin lainnya dinyatakan sebagai saudara oleh Alquran. Dengan demikian, apa sebenarnya yang mengikhwankan antar sesama mukmin. Kita cermati sabda Rasulullah saw. dalam riwayat Ahmad
إِنَّ الْمُؤْمِنَ مِنْ أَهْلِ الْإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ يَأْلَمُ الْمُؤْمِنُ لِأَهْلِ الْإِيمَانِ كَمَا يَأْلَمُ الْجَسَدُ لِمَا فِي الرَّأْسِ

Sesungguhnya seorang mukmin di antara ahli Iman itu sama kedudukannya dengan kepala pada tubuh. Seorang mukmin akan merasakan sakit karena sakitnya ahlu iman, sebagaimana jasad merasakan sakit karena rasa sakit di kepala.

Hadis ini saya kutip dari kitab Musnad Ahmad yang 50 jilid, pada jilid 37, hal. 517, No. hadis 22.877, baris ka-3 tiluhur. Catatan sedikit untuk kehati-hatian.

Dengan kalimat min ahlil iman menunjukkan bahwa kaum mukmin dikatakan ikhwatun karena al-jami’u ikhwatun fid din, mereka saudara seiman, Keadaan mereka sama dengan keadaan orang yang senasab, seketurunan darah.

Dengan sebutan ikhwatun tidak berarti bahwa dalam pergaulannya, dalam interaksinya tidak terjadi perselisihan, pertikaian,  ataupun berbeda pendapat, Hal itu diisyaratkan dalam sambungan ayat tersebut
فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan  bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Kata “ashlihu” menunjukkan bahwa predikat ikhwatun tidak menjamin sirnanya ikhtilaf, perbedaan faham dan pendapat. Tetapi dengan ikhwatun terjamin bahwa setiap perselisihan dan perbedaan paham antar sesama saudara dengan mudah dapat dihentikan, mudah dicegah, dapat segera dihindari, karena kaum mukmin mempunyai ibu-bapak yang sama, orang tua sebagai tempat mengembalikan setiap persoalan, orang tua yang berwibawa yang wajib ditaati segala perintah dan anjurannya, yakni Alquran dan sunnah.
Di kalangan para sahabat Rasul pun perbedaaan paham itu sudah terjadi. Namun perbedaaan itu bukan untuk dipelihara dan diabadikan melainkan untuk diambilkan keputusan setelah dikembalikan kepada Alquran dan Sunnah.
Dengan demikian, yang meretakkan persatuan dan memecahbelah ukhuwah itu bukan perbedaan paham atau pendapat, tapi ikut campurnya hawa nafsu dan kepentingan2 emosional. Karena hawa nafsu turut serta bukan untuk mengembalikan kepada dalilnya yang sah, tapi turut serta menyamarkan dalil yang sah tersebut. Bukan masalah fikih yang membawa umat kepada pertengkaran, tapi nafsu yang membantu untuk mempertahankan.
Keadaan seperti ini akan terjadi dalam persoalan hidup. Perbedaan pendapat dalam kehidupan bagaimana pun tajamnya tidak akan membawa kepada perpecahan bila nafsu pribadi-pribadi itu dikekang dan ditahan oleh kendali dalil yang sahih dan sharih, Alquran dan Sunnah. Karena itu apabila Alquran dan Sunnah sudah tidak dijadikan kendali, maka sehebat apapun aturan bermasyarakat tidak akan mampu meredam perpecahan itu, karena kehidupan bermasyarakat sudah dikendalikan oleh rasa hasud dan dengki. Merasa hina karena dibelakang sebagai makmum, dan merasa mulia karena di depan sebagai imam.
Maka demi terciptanya ukhuwah yang utuh dan terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, sudah seharusnya apabila setiap anggota dan aparat pimpinan menjalankan keislaman serta mewujudkan akhlakul karimah yang dapat merekatkan kita sebagai ikhwatun dan ikhwanun, sehingga akan terwujud al-wihdah (kesatuan) dalam aqidah (keyakinan), fikriyyah (pemikiran), qauliyyah (ucapan), dan amaliah (perbuatan). Dengan ikhwatun dan ikhwanun senantiasa akan tercipta satu suara, satu rasa, dan satu usaha. Untuk itu, marilah kita padukan suara, rasa, dan usaha kita seirama dengan Quran dan sunnah.
Dalam konteks managemen kita harus melakukan perubahan paradigma manajemen. Perubahan itu harus diawali oleh suatu keyakinan bahwa setiap perubahan yang terjadi hendaknya berawal dari kekuatan internal (diri sendiri) dan bukan berawal dari kekuatan eksternal (pihak luar). Kekuatan dari dalam dirilah yang akan mendorong kita menuju perbaikan. Oleh karena itu, seluruh  komponen jam’iyyah harus segera membersihkan hati dan jiwa agar dapat menghilangkan  ketergantungan kepada kekuatan luar. Allah swt. pun tidak akan pernah mengubah nasib sebuah kaum apabila mereka ssendiri tidak berusaha mengubah dirinya (ar-Ra’d:11).
“Sesugguhnya Alah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum  sehingga mereka mengubah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung  dari mereka selain dia.” ( ar-Ra’d: 11)
            Tidak akan mungkin terjadi perubahan yang signifikan selama jam’iyyah ini didukung oleh sikap mental yang tidak percaya terhadap kekuatan sendiri. Bantuan dari pihak luar bukanlah segala-galanya. Bantuan luar bukan merupakan faktor utama keberhasilan pembangunan jam’iyyah. Tidak pernah ada dalam kamus sejarah, suatu bangsa akan maju hanya dengan mengandalkan bantuan pihak asing. Bahkan, bila suatu masyarakat senang berutang dan mengandalkan utang luar negeri semata sebagai modal pembangunannya, maka masyarakat tersebut akan selalu diintervensi dan dikendalikan kekuatan luar, sehingga Rasulullah saw. pun sangat menghawatirkan berjangkitnya penyakit senang berutang. Dalam salah satu do’a, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah memohon kepada Allah,
            “ya Allah, aku berlindung kepadamu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan aku berlindung kepadau dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika) hidup dan mati.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
            Perubahan paradigma juga harus ditopang oleh kesadaran untuk membangun kekuatan tim atau jama’ah. Sebuah masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan kekuatan orang per orang. Kita tidak membutuhkan super man, tapi kita membutuhkan super tim, team work yang kuat, dimana semua potensi yang ada dapat dipadukan dan disinergikan sehingga siap tempur and babak belur
            “dan orang-orang yang beriman, lalaki dan perempuan, sebagian merka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yamg makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 71)
            “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”  (ash-Shaff:4)
            Team work yang kuat ini akan muncul  ketika diikat oleh koridor-koridor sebagai berikut.
            Pertama, harus ada sikap tafahum, yaitu sikap saling memahami kelemahan dan kekuatan serta corak pemikiran dan perbedaan cara pandang masing-masing. Hendaknya kelemahan yang satu dilengkapi oleh kekuatan yang lain, sehingga masing-masing akan saling melengkapi dan saling memperkuat, bukannya justru saling melemahkan dan menjatuhkan. Juga corak pemikiran dan perbedaan cara pandang bukan untuk dibenturkan tapi disinergikan. Di sini pentingnya kita menumbuhkan kembali budaya dialog and ngawangkong.
            Kedua, harus ada tadh-hiyyah (semangat untuk berkorban) terutama bagi kepentingan umat. Tanpa ada pengorbanan yang sungguh-sungguh, maka upaya perbaikan hanya akan menjadi suatu yang sia-sia saja. Pengorbanan ini terutama harus dicontohkan oleh para pemimpin dan kaum elit jam’iyyah  dengan mempraktikan pola dan perilaku hidup.
            Ketiga, harus ada taushiyah (upaya saling menasehati). Nasihat ini sangat penting  agar proses perbaikan dan perubahan yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rel yang dicita-citakan. Taushiyah dilakukan dalam kontek kebenaran, keadilan, dan kejujuran, yang dilandasi oleh kesabaran dan kesungguhan untuk mau berubah. Budaya taushiyah ini merupakan bentuk kontrol terhadap perilaku kita. Tanpa ada kontrol, kita akan terjebak pada perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri. Taushiyah pun harus dilaksanakan dengan penuh kasih sayang (taushiyah bil marhamah, perhatikan al-Balad: 17 dan al-Ashr: 3), bukan diliputi dengan penyakit kebencian dan balas dendam.
            “ Dan dialah orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (Q.s. al-Balad: 17)
            “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kebenaran.” (Q.s. al-Ashr:3)
            Keempat adalah dikembangkannya budaya ishlah, yaitu saling mendamaikan dan memberi maaf ketika terjadi berbagai konflik yang mengarah kepada pertentangan dan perpecahan yang merugikan.
Empat koridor inilah yang sebenarnya akan menopang kebersamaan sejati, bukan hanya kamuflase. Tanpa keempat koridor ini kebersamaan itu tidak akan indah, karena semu dan bukan lahir dari lubuk hati yang paling dalam.
           


Paradigma
Perubahan paradigma manajemen harus diawali oleh suatu keyakinan bahwa setiap perubahan yang terjadi hendaknya berawal dari kekuatan diri sendiri dan bukan berawal dari kekutan dunia luar. Kekuatan dari dalam dirilah yang akan mendorong kita menuju perbaikan. Oleh karena itu, seluruh  komponen bangsa harus segera membersihkan hati dan jiwa agar dapat menghilangkan  ketergantungan kepada kekuatan luar. Allah swt. pun tidak akan pernah mengubah nasib sebuah kaum apabila mereka ssendiri tidak berusaha mengubah dirinya (ar-Ra’d:11).
“Sesugguhnya Alah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum  sehingga mereka mengubah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung  dari mereka selain dia.” ( ar-Ra’d: 11)
            tidak akan mungkin terjadi perubahan yang signifikan selama bangsa ini didukung oleh sikap mental yang tidak percaya terhadap kekuatan sendiri. Bantuan dari pihak luar bukanlah segala-galanya. Bantuan luar bukan merupakan faktor utama kebarhasilan pembangunan. Tidak pernah ada dalam kamus sejarah, suatu bangsa akan maju hanya dengan mengandalkan bantuan pihak asing. Bahkan, bila suatu masyrakat senang berutang dan mengandalkan utang luar negri semata sebagai modal pembangunannya, maka masyarakat tersebut akan selalu di intervensi dan dikendalikan kekuatan luar, sehingga Rasulullah saw. pun sangat menghawatirkan berjangkitnya penyakit senang berutang. Dalam salah satu do’a, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah memohon kepada Allah,
            “ya Allah, aku berlindung kepadamu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan aku berlindung kepadau dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika) hidup dan mati.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
            perubahan paradigma juga harus ditopang oleh kesadaran untuk membangun kekuatan tim atau jama’ah. Sebuah masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan kekuatan orang per orang. Kita membutuhkan team work yang kuat, dimana semua potensi yang ada dapat dipadukan dan disinergikan.
            “dan orang-orang yang beriman, lalaki dan perempuan, sebagian merka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yamg makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 71)
            “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”  (ash-Shaff:4)
            team work yng kuat ini akan muncul  ketika diikat oleh koridor-koridor sebagai berikut.
            Pertama, harus ada sikap tafahum, yaitu sikap saling memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hendaknya kelemahan yang satu ditutupi oleh kekuatan yang lain, sehingga masing-masing akan saling melengkapi dan saling memperkuat, bukannya justru saling melemahkan dan menjatuhkan.
            Kedua, harus ada semangat untuk berkorban (tadh-hiyyah) terutama bagi kepentingan umat. Tanpa ada pengorbanan yang sungguh-sungguh, maka upaya perbaikan hanya akan menjadi suatu yang sia-sia saja. Pengorbanan ini terutama harus dicontohkan oleh para pemimpin dan kaum elit bangsa dengan mempraktikan perilaku hidup sederhana dan bersih dari unsur korupsi.
            Ketiga, harus ada upaya saling menasehati (taushiyah). Nasihat ini sangat penting  agar proses perbaikan dan perubahan yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rel yang dicita-citakan. Taushiyah dilakukan dalam kontek kebenaran, keadilan, dan kejujuran, yang dilandasi oleh kesabaran dan kesungguhan untuk mau berubah. Budaya taushiyah ini merupakan bentuk kontrol terhadap perilaku kita. Tanpa ada kontrol, kita akan terjebak pada perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri. Taushiyah pun harus dilaksanakan dengan penuh kasih sayang (taushiyah bil marhamah, perhatikan al-Balad: 17 dan al-Ashr: 3), bukan diliputi dengan penyakit kebencian dan balas dendam.
            “ Dan dialah orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (al-Balad: 17)
            “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kebenaran.” (al-Ashr:3)
            keepat adalah dikembangkannya budaya ishlah, yaitu saling mendamaikan dan memberi maaf ketika terjadi berbagai konflik yang mengarah kepada pertentangan dan perpecahan yang merugikan.


Kitab Musnad Imam Ahmad yang telah terbit sekarang ada 4 versi
[a] Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal
Kitab ini pertama kali dicetak oleh al-Mathba’ah al-Maimuniyyah, Mesir, tahun 1313 H/1895 M. Kemudian dicopy oleh Maktabah al-Islami dan Dar Shadir, Beirut, dan diterbitkan bersama kitab Muntakhab Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al pada hamisy (pinggir halaman kitab) sebanyak enam jilid. Pada jilid pertama disertakan fahras rawi-rawi kitab musnad susunan Syekh Nashir al-Din al-Albani.
[b] Al-Musnad li al-Imam Ahmad Muhammad bin Hanbal
Kitab ini dicetak oleh Maktabah Dar al-Kutub al-Islami tahun 1949 M dengan syarh (komentar) dan tahqiq (editing) oleh Ahmad Muhammad Syakir sebanyak sepuluh jilid, masing-masing 2 juz. Namun beliau tidak sempat menyelesaikannya karena beliau lebih dahulu meninggal dunia. Jumlah hadis yang sempat ditahqiq dalam kitab tersebut sebanyak 10.637.
 [c] Al-Musnad li al-Imam Ahmad bin Hanbal
Kitab ini dicetak pertama kali tahun 1991 oleh Dar el-Fikr, Beirut, dengan tahqiq (editing) oleh Abdullah Muhammad al-Darwisyi, sebanyak 10 jilid dengan jumlah hadis 27.718. Pada jilid terakhir disertakan kitab al-Qaul al-Musaddad fi al-Dzabbi ‘an Musnad al-Imam Ahmad, karya Ibn Hajar al-Asqalani.
[d] Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal
                Kitab ini dicetak pertama kali tahun 1995 oleh Muassasah al-Risalah, Beirut, dengan tahqiq (editing) oleh al-Syekh al-Muhaddits Dr. Syu’aib al-Arnauth dan kawan-kawan (empat orang dibantu tujuh orang asisten), sebanyak 50 jilid (plus fahras/indeks 5 jilid/jilid ke-46 s/d ke-50) dengan jumlah hadis 27.647.

agar
            team work yng kuat ini akan muncul  ketika diikat oleh koridor-koridor sebagai berikut.
            Pertama, harus ada sikap tafahum, yaitu sikap saling memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hendaknya kelemahan yang satu ditutupi oleh kekuatan yang lain, sehingga masing-masing akan saling melengkapi dan saling memperkuat, bukannya justru saling melemahkan dan menjatuhkan.
            Kedua, harus ada semangat untuk berkorban (tadh-hiyyah) terutama bagi kepentingan umat. Tanpa ada pengorbanan yang sungguh-sungguh, maka upaya perbaikan hanya akan menjadi suatu yang sia-sia saja. Pengorbanan ini terutama harus dicontohkan oleh para pemimpin dan kaum elit bangsa dengan mempraktikan perilaku hidup sederhana dan bersih dari unsur korupsi.
            Ketiga, harus ada upaya saling menasehati (taushiyah). Nasihat ini sangat penting  agar proses perbaikan dan perubahan yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rel yang dicita-citakan. Taushiyah dilakukan dalam kontek kebenaran, keadilan, dan kejujuran, yang dilandasi oleh kesabaran dan kesungguhan untuk mau berubah. Budaya taushiyah ini merupakan bentuk kontrol terhadap perilaku kita. Tanpa ada kontrol, kita akan terjebak pada perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri. Taushiyah pun harus dilaksanakan dengan penuh kasih sayang (taushiyah bil marhamah, perhatikan al-Balad: 17 dan al-Ashr: 3), bukan diliputi dengan penyakit kebencian dan balas dendam.
            “ Dan dialah orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (al-Balad: 17)
            “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kebenaran.” (al-Ashr:3)
            keepat adalah dikembangkannya budaya ishlah, yaitu saling mendamaikan dan memberi maaf ketika terjadi berbagai konflik yang mengarah kepada pertentangan dan perpecahan yang merugikan.


patut kita renungkan, apabila dalam jam’iyyah terjadi ada tempat untuk berpijak, qaidah dan ukuran yang sama.
 untuk mempertahankan perbedaan itu. ikut camp

De

أي الجميع إخوة في الدين كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "المسلم أخو المسلم لا

يظلمه ولا يسلمه" وفي الصحيح "والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه" وفي الصحيح أيضا "إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك آمين ولك بمثله" والأحاديث في هذا كثيرة وفي الصحيح "مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتواصلهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر" وفي الصحيح أيضا "المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا" وشبك بين أصابعه صلى الله عليه وسلم وقال أحمد حدثنا أحمد بن الحجاج حدثنا عبدالله أخبرنا مصعب بن ثابت حدثني أبو حازم قال: سمعت سهل بن سعد الساعدي رضي الله عنه يحدث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "إن المؤمن من أهل الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد يألم المؤمن لأهل الإيمان كما يألم الجسد لما في الرأس" تفرد به أحمد ولا بأس بإسناده وقوله تعالى "فأصلحوا بين أخويكم" يعني الفئتين المقتتلتين "واتقوا الله" أي في جميع أموركم "لعلكم ترحمون" وهذا تحقيق منه تعالى للرحمة لمن اتقاه.
Paradigma
Perubahan paradigma manajemen harus diawalli oleh suatu keyakinan bahwa setiap perubahan yang terjadi hendaknya berawal dari kekuatan diri sendiri dan bukan berawal dari kekutan dunia luar. Kekuatan dari dalam dirilah yang akan mendorong kita menuju perbaikan. Oleh karena itu, seluruh  komponen bangsa harus segera membersihkan hati dan jiwa agar dapat menghilangkan  ketergantungan kepada kekuatan luar. Allah swt. pun tidak akan pernah mengubah nasib sebuah kaum apabila mereka ssendiri tidak berusaha mengubah dirinya (ar-Ra’d:11).
“Sesugguhnya Alah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum  sehingga mereka mengubah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung  dari mereka selain dia.” ( ar-Ra’d: 11)
            tidak akan mungkin terjadi perubahan yang signifikan selama bangsa ini didukung oleh sikap mental yang tidak percaya terhadap kekuatan sendiri. Bantuan dari pihak luar bukanlah segala-galanya. Bantuan luar bukan merupakan faktor utama kebarhasilan pembangunan. Tidak pernah ada dalam kamus sejarah, suatu bangsa akan maju hanya dengan mengandalkan bantuan pihak asing. Bahkan, bila suatu masyrakat senang berutang dan mengandalkan utang luar negri semata sebagai modal pembangunannya, maka masyarakat tersebut akan selalu di intervensi dan dikendalikan kekuatan luar, sehingga Rasulullah saw. pun sangat menghawatirkan berjangkitnya penyakit senang berutang. Dalam salah satu do’a, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah memohon kepada Allah,
            “ya Allah, aku berlindung kepadamu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan aku berlindung kepadau dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika) hidup dan mati.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
            perubahan paradigma juga harus ditopang oleh kesadaran untuk membangun kekuatan tim atau jama’ah. Sebuah masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan kekuatan orang per orang. Kita membutuhkan team work yang kuat, dimana semua potensi yang ada dapat dipadukan dan disinergikan.
            “dan orang-orang yang beriman, lalaki dan perempuan, sebagian merka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yamg makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 71)
            “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”  (ash-Shaff:4)


Pengunjung