Kali Ini Saya akan Beragi Mengenai Tema Dibawah ini, mudah2n ini menjadi bahan Ilmu Buat antum seklain... Semga bermanfaat
PARADIGMA MANHAJ HARAKI
Ada dua ungkapan yang sederhana dan sarat makna serta
mejadi faktor penentu terbangunnya soliditas dan solidaritas umat Islam. Ungkapan
yang dimaksud adalah ikhwatun dan ikhwanun. Kedua ungkapan ini sering
diterjemahkan dengan “beberapa saudara”, dan tidak salah diterjemahkan seperti
itu. Namun sebenarnya, terdapat perbedaan makna di antara keduanya. Karena
ikhwatun adalah saudara yang disebabkan faktor ansab (nasab, keturunan darah),
sedangkan ikhwanun adalah saudara yang disebabkan faktor ashab (persahabatan,
perkawanan). Tetapi ketika Alquran membicarakan kaum mukmin, ternyata ungkapan
yang digunakan adalah ikhwatun bukan ikhwanun, padahal banyak di antara kaum
mukmin yang tidak satu nasab. Coba kita perhatikan firman Allah dalam surat al-Hujurat:10
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu tiada lain
bersaudara.
Walaupun tidak satu nasab, tidak satu
turunan, tidak seibu sebapak tapi orang mukmin dengan mukmin lainnya dinyatakan
sebagai saudara oleh Alquran. Dengan demikian, apa sebenarnya yang
mengikhwankan antar sesama mukmin. Kita cermati sabda Rasulullah saw. dalam
riwayat Ahmad
إِنَّ الْمُؤْمِنَ
مِنْ أَهْلِ الْإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ يَأْلَمُ
الْمُؤْمِنُ لِأَهْلِ الْإِيمَانِ كَمَا يَأْلَمُ الْجَسَدُ لِمَا فِي الرَّأْسِ
Sesungguhnya seorang mukmin di antara ahli Iman itu sama kedudukannya dengan kepala pada tubuh. Seorang mukmin akan merasakan sakit karena sakitnya ahlu iman, sebagaimana jasad merasakan sakit karena rasa sakit di kepala.
Hadis ini saya kutip dari kitab Musnad Ahmad yang 50 jilid, pada jilid 37, hal. 517, No. hadis 22.877, baris ka-3 tiluhur. Catatan sedikit untuk kehati-hatian.
Dengan kalimat min ahlil iman menunjukkan bahwa kaum mukmin dikatakan ikhwatun karena al-jami’u ikhwatun fid din, mereka saudara seiman, Keadaan mereka sama dengan keadaan orang yang senasab, seketurunan darah.
Dengan sebutan ikhwatun tidak berarti bahwa dalam
pergaulannya, dalam interaksinya tidak terjadi perselisihan, pertikaian, ataupun berbeda pendapat, Hal itu diisyaratkan
dalam sambungan ayat tersebut
فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu
dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat.
Kata “ashlihu” menunjukkan bahwa predikat
ikhwatun tidak menjamin sirnanya ikhtilaf, perbedaan faham dan pendapat. Tetapi
dengan ikhwatun terjamin bahwa setiap perselisihan dan perbedaan paham antar
sesama saudara dengan mudah dapat dihentikan, mudah dicegah, dapat segera
dihindari, karena kaum mukmin mempunyai ibu-bapak yang sama, orang tua sebagai
tempat mengembalikan setiap persoalan, orang tua yang berwibawa yang wajib
ditaati segala perintah dan anjurannya, yakni Alquran dan sunnah.
Di kalangan para sahabat Rasul pun perbedaaan
paham itu sudah terjadi. Namun perbedaaan itu bukan untuk dipelihara dan
diabadikan melainkan untuk diambilkan keputusan setelah dikembalikan kepada
Alquran dan Sunnah.
Dengan demikian, yang meretakkan persatuan dan
memecahbelah ukhuwah itu bukan perbedaan paham atau pendapat, tapi ikut campurnya
hawa nafsu dan kepentingan2 emosional. Karena hawa nafsu turut serta bukan
untuk mengembalikan kepada dalilnya yang sah, tapi turut serta menyamarkan
dalil yang sah tersebut. Bukan masalah fikih yang membawa umat kepada
pertengkaran, tapi nafsu yang membantu untuk mempertahankan.
Keadaan seperti ini akan terjadi dalam persoalan
hidup. Perbedaan pendapat dalam kehidupan bagaimana pun tajamnya tidak akan
membawa kepada perpecahan bila nafsu pribadi-pribadi itu dikekang dan ditahan
oleh kendali dalil yang sahih dan sharih, Alquran dan Sunnah. Karena itu
apabila Alquran dan Sunnah sudah tidak dijadikan kendali, maka sehebat apapun
aturan bermasyarakat tidak akan mampu meredam perpecahan itu, karena kehidupan
bermasyarakat sudah dikendalikan oleh rasa hasud dan dengki. Merasa hina karena
dibelakang sebagai makmum, dan merasa mulia karena di depan sebagai imam.
Maka demi terciptanya
ukhuwah yang utuh dan terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, sudah
seharusnya apabila setiap anggota dan aparat pimpinan menjalankan keislaman
serta mewujudkan akhlakul karimah yang dapat merekatkan kita sebagai ikhwatun
dan ikhwanun, sehingga akan terwujud al-wihdah (kesatuan) dalam aqidah
(keyakinan), fikriyyah (pemikiran), qauliyyah (ucapan), dan amaliah
(perbuatan). Dengan ikhwatun dan ikhwanun senantiasa akan tercipta satu suara,
satu rasa, dan satu usaha. Untuk itu, marilah kita padukan suara, rasa, dan
usaha kita seirama dengan Quran dan sunnah.
Dalam
konteks managemen kita harus melakukan perubahan paradigma manajemen. Perubahan
itu harus diawali oleh suatu keyakinan bahwa setiap perubahan yang terjadi
hendaknya berawal dari kekuatan internal (diri sendiri) dan bukan berawal dari
kekuatan eksternal (pihak luar). Kekuatan dari dalam dirilah yang akan
mendorong kita menuju perbaikan. Oleh karena itu, seluruh komponen jam’iyyah harus segera membersihkan
hati dan jiwa agar dapat menghilangkan
ketergantungan kepada kekuatan luar. Allah swt. pun tidak akan pernah
mengubah nasib sebuah kaum apabila mereka ssendiri tidak berusaha mengubah
dirinya (ar-Ra’d:11).
“Sesugguhnya
Alah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung
dari mereka selain dia.” ( ar-Ra’d: 11)
Tidak
akan mungkin terjadi perubahan yang signifikan selama jam’iyyah ini didukung
oleh sikap mental yang tidak percaya terhadap kekuatan sendiri. Bantuan dari
pihak luar bukanlah segala-galanya. Bantuan luar bukan merupakan faktor utama
keberhasilan pembangunan jam’iyyah. Tidak pernah ada dalam kamus sejarah, suatu
bangsa akan maju hanya dengan mengandalkan bantuan pihak asing. Bahkan, bila
suatu masyarakat senang berutang dan mengandalkan utang luar negeri semata
sebagai modal pembangunannya, maka masyarakat tersebut akan selalu diintervensi
dan dikendalikan kekuatan luar, sehingga Rasulullah saw. pun sangat
menghawatirkan berjangkitnya penyakit senang berutang. Dalam salah satu do’a, sebagaimana
diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah memohon kepada Allah,
“ya Allah, aku berlindung
kepadamu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya
kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan aku berlindung kepadau
dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika) hidup dan mati.” ( HR.
Bukhari dan Muslim)
Perubahan
paradigma juga harus ditopang oleh kesadaran untuk membangun kekuatan tim atau
jama’ah. Sebuah masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan kekuatan
orang per orang. Kita tidak membutuhkan super man, tapi kita membutuhkan super
tim, team work yang kuat, dimana semua potensi yang ada dapat dipadukan
dan disinergikan sehingga siap tempur and babak belur
“dan orang-orang yang beriman,
lalaki dan perempuan, sebagian merka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yamg makruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Maha perkasa
lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 71)
“sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan
mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff:4)
Team work yang kuat ini akan
muncul ketika diikat oleh
koridor-koridor sebagai berikut.
Pertama, harus ada sikap tafahum,
yaitu sikap saling memahami kelemahan dan kekuatan serta corak pemikiran dan
perbedaan cara pandang masing-masing. Hendaknya kelemahan yang satu dilengkapi
oleh kekuatan yang lain, sehingga masing-masing akan saling melengkapi dan
saling memperkuat, bukannya justru saling melemahkan dan menjatuhkan. Juga
corak pemikiran dan perbedaan cara pandang bukan untuk dibenturkan tapi
disinergikan. Di sini pentingnya kita menumbuhkan kembali budaya dialog and
ngawangkong.
Kedua, harus ada tadh-hiyyah
(semangat untuk berkorban) terutama bagi kepentingan umat. Tanpa ada
pengorbanan yang sungguh-sungguh, maka upaya perbaikan hanya akan menjadi suatu
yang sia-sia saja. Pengorbanan ini terutama harus dicontohkan oleh para pemimpin
dan kaum elit jam’iyyah dengan
mempraktikan pola dan perilaku hidup.
Ketiga, harus ada taushiyah
(upaya saling menasehati). Nasihat ini sangat penting agar proses perbaikan dan perubahan yang
dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rel yang dicita-citakan. Taushiyah
dilakukan dalam kontek kebenaran, keadilan, dan kejujuran, yang dilandasi oleh
kesabaran dan kesungguhan untuk mau berubah. Budaya taushiyah ini
merupakan bentuk kontrol terhadap perilaku kita. Tanpa ada kontrol, kita akan
terjebak pada perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Taushiyah pun harus dilaksanakan dengan penuh kasih sayang (taushiyah
bil marhamah, perhatikan al-Balad: 17 dan al-Ashr: 3), bukan diliputi
dengan penyakit kebencian dan balas dendam.
“ Dan dialah orang-orang yang
beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih
sayang.” (Q.s. al-Balad: 17)
“Kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi kebenaran.” (Q.s. al-Ashr:3)
Keempat adalah
dikembangkannya budaya ishlah, yaitu saling mendamaikan dan memberi maaf
ketika terjadi berbagai konflik yang mengarah kepada pertentangan dan
perpecahan yang merugikan.
Empat
koridor inilah yang sebenarnya akan menopang kebersamaan sejati, bukan hanya
kamuflase. Tanpa keempat koridor ini kebersamaan itu tidak akan indah, karena
semu dan bukan lahir dari lubuk hati yang paling dalam.
Paradigma
Perubahan
paradigma manajemen harus diawali oleh suatu keyakinan bahwa setiap perubahan
yang terjadi hendaknya berawal dari kekuatan diri sendiri dan bukan berawal
dari kekutan dunia luar. Kekuatan dari dalam dirilah yang akan mendorong kita
menuju perbaikan. Oleh karena itu, seluruh
komponen bangsa harus segera membersihkan hati dan jiwa agar dapat
menghilangkan ketergantungan kepada
kekuatan luar. Allah swt. pun tidak akan pernah mengubah nasib sebuah kaum
apabila mereka ssendiri tidak berusaha mengubah dirinya (ar-Ra’d:11).
“Sesugguhnya
Alah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung
dari mereka selain dia.” ( ar-Ra’d: 11)
tidak
akan mungkin terjadi perubahan yang signifikan selama bangsa ini didukung oleh
sikap mental yang tidak percaya terhadap kekuatan sendiri. Bantuan dari pihak
luar bukanlah segala-galanya. Bantuan luar bukan merupakan faktor utama kebarhasilan
pembangunan. Tidak pernah ada dalam kamus sejarah, suatu bangsa akan maju hanya
dengan mengandalkan bantuan pihak asing. Bahkan, bila suatu masyrakat senang
berutang dan mengandalkan utang luar negri semata sebagai modal pembangunannya,
maka masyarakat tersebut akan selalu di intervensi dan dikendalikan kekuatan
luar, sehingga Rasulullah saw. pun sangat menghawatirkan berjangkitnya penyakit
senang berutang. Dalam salah satu do’a, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari
dan Muslim, Rasulullah memohon kepada Allah,
“ya Allah, aku berlindung
kepadamu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya
kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan aku berlindung
kepadau dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika) hidup dan mati.” (
HR. Bukhari dan Muslim)
perubahan
paradigma juga harus ditopang oleh kesadaran untuk membangun kekuatan tim atau
jama’ah. Sebuah masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan
kekuatan orang per orang. Kita membutuhkan team work yang kuat, dimana
semua potensi yang ada dapat dipadukan dan disinergikan.
“dan orang-orang yang beriman,
lalaki dan perempuan, sebagian merka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yamg makruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Maha perkasa
lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 71)
“sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan
mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff:4)
team work yng kuat ini akan
muncul ketika diikat oleh
koridor-koridor sebagai berikut.
Pertama, harus ada sikap tafahum,
yaitu sikap saling memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hendaknya
kelemahan yang satu ditutupi oleh kekuatan yang lain, sehingga masing-masing
akan saling melengkapi dan saling memperkuat, bukannya justru saling melemahkan
dan menjatuhkan.
Kedua, harus ada semangat
untuk berkorban (tadh-hiyyah) terutama bagi kepentingan umat. Tanpa ada
pengorbanan yang sungguh-sungguh, maka upaya perbaikan hanya akan menjadi suatu
yang sia-sia saja. Pengorbanan ini terutama harus dicontohkan oleh para
pemimpin dan kaum elit bangsa dengan mempraktikan perilaku hidup sederhana dan
bersih dari unsur korupsi.
Ketiga, harus ada upaya
saling menasehati (taushiyah). Nasihat ini sangat penting agar proses perbaikan dan perubahan yang
dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rel yang dicita-citakan. Taushiyah
dilakukan dalam kontek kebenaran, keadilan, dan kejujuran, yang dilandasi oleh
kesabaran dan kesungguhan untuk mau berubah. Budaya taushiyah ini
merupakan bentuk kontrol terhadap perilaku kita. Tanpa ada kontrol, kita akan
terjebak pada perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Taushiyah pun harus dilaksanakan dengan penuh kasih sayang (taushiyah
bil marhamah, perhatikan al-Balad: 17 dan al-Ashr: 3), bukan diliputi
dengan penyakit kebencian dan balas dendam.
“ Dan dialah orang-orang yang
beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih
sayang.” (al-Balad: 17)
“Kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi kebenaran.” (al-Ashr:3)
keepat adalah dikembangkannya
budaya ishlah, yaitu saling mendamaikan dan memberi maaf ketika terjadi
berbagai konflik yang mengarah kepada pertentangan dan perpecahan yang
merugikan.
Kitab Musnad Imam Ahmad yang telah terbit sekarang ada
4 versi
[a] Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal
Kitab ini pertama kali dicetak oleh al-Mathba’ah
al-Maimuniyyah, Mesir, tahun 1313 H/1895 M. Kemudian dicopy oleh Maktabah
al-Islami dan Dar Shadir, Beirut, dan diterbitkan bersama kitab Muntakhab
Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al pada hamisy (pinggir
halaman kitab) sebanyak enam jilid. Pada jilid pertama disertakan fahras
rawi-rawi kitab musnad susunan Syekh Nashir al-Din al-Albani.
[b] Al-Musnad li al-Imam Ahmad Muhammad
bin Hanbal
Kitab ini dicetak oleh Maktabah Dar al-Kutub al-Islami tahun
1949 M dengan syarh (komentar) dan tahqiq (editing) oleh Ahmad
Muhammad Syakir sebanyak sepuluh jilid, masing-masing 2 juz. Namun beliau tidak
sempat menyelesaikannya karena beliau lebih dahulu meninggal dunia. Jumlah
hadis yang sempat ditahqiq dalam kitab tersebut sebanyak 10.637.
[c] Al-Musnad li al-Imam Ahmad bin Hanbal
Kitab ini dicetak pertama kali tahun 1991 oleh Dar el-Fikr,
Beirut, dengan tahqiq (editing) oleh Abdullah Muhammad al-Darwisyi,
sebanyak 10 jilid dengan jumlah hadis 27.718. Pada jilid terakhir disertakan
kitab al-Qaul al-Musaddad fi al-Dzabbi ‘an Musnad al-Imam Ahmad, karya
Ibn Hajar al-Asqalani.
[d] Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal
Kitab ini dicetak pertama kali
tahun 1995 oleh Muassasah al-Risalah, Beirut, dengan tahqiq (editing)
oleh al-Syekh al-Muhaddits Dr. Syu’aib al-Arnauth dan kawan-kawan (empat
orang dibantu tujuh orang asisten), sebanyak 50 jilid (plus fahras/indeks 5
jilid/jilid ke-46 s/d ke-50) dengan jumlah hadis 27.647.
agar
team work yng kuat ini akan
muncul ketika diikat oleh
koridor-koridor sebagai berikut.
Pertama, harus ada sikap tafahum,
yaitu sikap saling memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hendaknya
kelemahan yang satu ditutupi oleh kekuatan yang lain, sehingga masing-masing
akan saling melengkapi dan saling memperkuat, bukannya justru saling melemahkan
dan menjatuhkan.
Kedua, harus ada semangat
untuk berkorban (tadh-hiyyah) terutama bagi kepentingan umat. Tanpa ada
pengorbanan yang sungguh-sungguh, maka upaya perbaikan hanya akan menjadi suatu
yang sia-sia saja. Pengorbanan ini terutama harus dicontohkan oleh para
pemimpin dan kaum elit bangsa dengan mempraktikan perilaku hidup sederhana dan
bersih dari unsur korupsi.
Ketiga, harus ada upaya
saling menasehati (taushiyah). Nasihat ini sangat penting agar proses perbaikan dan perubahan yang
dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rel yang dicita-citakan. Taushiyah
dilakukan dalam kontek kebenaran, keadilan, dan kejujuran, yang dilandasi oleh
kesabaran dan kesungguhan untuk mau berubah. Budaya taushiyah ini
merupakan bentuk kontrol terhadap perilaku kita. Tanpa ada kontrol, kita akan
terjebak pada perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Taushiyah pun harus dilaksanakan dengan penuh kasih sayang (taushiyah
bil marhamah, perhatikan al-Balad: 17 dan al-Ashr: 3), bukan diliputi
dengan penyakit kebencian dan balas dendam.
“ Dan dialah orang-orang yang
beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih
sayang.” (al-Balad: 17)
“Kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi kebenaran.” (al-Ashr:3)
keepat adalah dikembangkannya
budaya ishlah, yaitu saling mendamaikan dan memberi maaf ketika terjadi
berbagai konflik yang mengarah kepada pertentangan dan perpecahan yang
merugikan.
patut kita renungkan, apabila dalam jam’iyyah
terjadi ada tempat untuk berpijak, qaidah dan ukuran yang sama.
untuk
mempertahankan perbedaan itu. ikut camp
De
أي الجميع إخوة في الدين كما قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم "المسلم أخو المسلم لا
يظلمه ولا
يسلمه" وفي الصحيح "والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه"
وفي الصحيح أيضا "إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك آمين ولك
بمثله" والأحاديث في هذا كثيرة وفي الصحيح "مثل المؤمنين في توادهم
وتراحمهم وتواصلهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد
بالحمى والسهر" وفي الصحيح أيضا "المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه
بعضا" وشبك بين أصابعه صلى الله عليه وسلم وقال أحمد حدثنا أحمد بن الحجاج
حدثنا عبدالله أخبرنا مصعب بن ثابت حدثني أبو حازم قال: سمعت سهل بن سعد الساعدي
رضي الله عنه يحدث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "إن المؤمن من أهل
الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد يألم المؤمن لأهل الإيمان كما يألم الجسد لما في
الرأس" تفرد به أحمد ولا بأس بإسناده وقوله تعالى "فأصلحوا بين
أخويكم" يعني الفئتين المقتتلتين "واتقوا الله" أي في جميع أموركم
"لعلكم ترحمون" وهذا تحقيق منه تعالى للرحمة لمن اتقاه.
Paradigma
Perubahan
paradigma manajemen harus diawalli oleh suatu keyakinan bahwa setiap perubahan
yang terjadi hendaknya berawal dari kekuatan diri sendiri dan bukan berawal
dari kekutan dunia luar. Kekuatan dari dalam dirilah yang akan mendorong kita
menuju perbaikan. Oleh karena itu, seluruh
komponen bangsa harus segera membersihkan hati dan jiwa agar dapat
menghilangkan ketergantungan kepada
kekuatan luar. Allah swt. pun tidak akan pernah mengubah nasib sebuah kaum
apabila mereka ssendiri tidak berusaha mengubah dirinya (ar-Ra’d:11).
“Sesugguhnya
Alah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung
dari mereka selain dia.” ( ar-Ra’d: 11)
tidak
akan mungkin terjadi perubahan yang signifikan selama bangsa ini didukung oleh
sikap mental yang tidak percaya terhadap kekuatan sendiri. Bantuan dari pihak
luar bukanlah segala-galanya. Bantuan luar bukan merupakan faktor utama
kebarhasilan pembangunan. Tidak pernah ada dalam kamus sejarah, suatu bangsa
akan maju hanya dengan mengandalkan bantuan pihak asing. Bahkan, bila suatu
masyrakat senang berutang dan mengandalkan utang luar negri semata sebagai
modal pembangunannya, maka masyarakat tersebut akan selalu di intervensi dan
dikendalikan kekuatan luar, sehingga Rasulullah saw. pun sangat menghawatirkan
berjangkitnya penyakit senang berutang. Dalam salah satu do’a, sebagaimana
diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah memohon kepada Allah,
“ya Allah, aku berlindung
kepadamu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran,
terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan aku berlindung kepadau dari
siksa kubur, dan dari fitnah (ketika) hidup dan mati.” ( HR. Bukhari dan
Muslim)
perubahan
paradigma juga harus ditopang oleh kesadaran untuk membangun kekuatan tim atau
jama’ah. Sebuah masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan
kekuatan orang per orang. Kita membutuhkan team work yang kuat, dimana
semua potensi yang ada dapat dipadukan dan disinergikan.
“dan orang-orang yang beriman,
lalaki dan perempuan, sebagian merka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yamg makruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Maha perkasa
lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 71)
“sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan
mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff:4)