Bid’ah, Akal, dan Otoritas Tuhan;
(Tanggapan terhadap Tulisan Roland Gunawan)
Oleh : Risyan Nur Hakim*
Dalam
tradisi intelektual, siapa pun tidak berhak mengklaim “negatif” terhadap orang
yang memiliki ide dan pemikiran yang berseberangan sekalipun—hanya menanggapi
sebuah ide itu. Tapi, mesti memperhatikan batas-batas objektifitas ilmiah.
Bukan hanya menyudutkan subjeknya saja, atau bertindak subjektif. Maka penulis
kira, pendapat yang dikemukakan oleh Hartono A. Jaiz bahwa, “jika memang ada
bantahan yang berdasarkan argumentasi yang objektif, valid, dan kuat terhadap
hasil analisa saya, maka saya harus taslim terhadap analisa kedua”.
Adalah satu ungkapan seorang intelektual sejati, dengan meminta objektifitas
ilmiah dari analisa pemikirannya (al-Dalil al-Qathi’). Sebab menurutnya,
kita adalah para musafir yang sedang mencari kebenaran yang tentunya
mengharapkan keselarasan dengan dalil-dalil qathi’ (yang kuat). Penulis
kira, mentalitas semacam itu yang mesti kita bina, dalam ruang dan waktu
tradisi intelektual masa kini—sehingga ide ataupun gagasan yang kita gunakan
tidak selalu berbenturan dengan batasan-batasan syari’, mesti adanya
metodologi yang jelas (baca:tidak serampangan). Maka muncul satu pertanyaan,
benarkah bid’ah, sesat, dan kafir—manusia tak berhak untuk menilainya?
Dari
sini, kita akan lebih mendalami artikulasi logika yang dipakai saudara Roland
Gunawan [RG] tentang bid’ah, sesat dan kafir (Informatika, edisi 102,
“Bid’ah dan Kesesatan”). Apakah betul hanya Tuhan yang berhak menilai tentang
hambanya? Maka penulis pun ingin rasanya adu logika dengan [RG] yang dalam
warna tulisannya banyak bernuansa logika.
Re-definisi
Bid’ah–teks
Istilah
bid’ah itu memang bisa diterapkan dalam persoalan ibadah ataupun ‘adah,
tergantung dari arti yang dipakai. Baik dalam definisi secara etimologis maupun
terminologis. Tapi bid’ah dalam persoalan ibadah, tetap tidak dapat dibenarkan
dalam definisi apapun. Karena akan terancam dengan hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud, yang berbunyi, ”Kullu
bid’atin dholalah wa kullu dhalalatin finnar”. Jadi, dalam persoalan
ibadah, bid’ah itu tidak boleh ada. Namun dalam arti etimologis, bid’ah dalam
persoalan duniawi (‘adat) justru dianjurkan. Sebab hal tersebut
ada indikasi yang dekat dengan kemajuan yang positif. Adanya pesawat terbang,
pesawat telepon, hand phone, internet dan lain sebagainya—bid’ah-bid’ah dalam
arti etimologis yang sangat positif bagi kemajuan seluruh manusia. Dalam hal
ini, Islam justru sangat menganjurkan umatnya untuk berkompetisi dalam
menciptakan bid’ah-bid’ah tersebut. Untuk lebih jelasnya, lihat kitab al-I’tishom
karya Imam Asy-Syathibi.
Lebih
sederhana lagi bahwa, antara bid’ah dan syirik itu terletak kesamaan dalam
perspektif terminologis bahwa, keduanya mempunyai substansi yang sama. Jika
bid’ah itu dipakai dalam persoalan ibadah, maka syirik digunakan dalam
persoalan aqidah. Namun, keduanya sama-sama bersifat tambahan (az-Ziyadah)
yang dilarang di dalam agama. Oleh karena itu, mengapa ada sebagian kelompok
yang sangat tegas dalam merespon berbagai upaya penodaan terhadap aqidah Islam (syirik)
termasuk penodaan dalam ibadah (bid’ah)?
Di
samping alasan sinkronisasi, juga adanya sikap furifikatif terhadap kesucian
ajaran Islam. Kenapa, karena jika kesucian sebuah ajaran sudah ternodai, maka
jangan harap ajaran itu akan dapat hidup kekal di permukaan bumi ini. Sebagai
contoh, kita dapat melihat keberadaan agama Kristen yang sebagian besar
ajarannya tengah banyak terkontaminasi dengan perkataan rahib-rahib, dan pengikut
Isa, setelah wafatnya nabi Isa a.s. Yang pada akhirnya kitab suci yang dianggap
sakral, harus ternodai oleh perkataan rahib-rahib. Kenapa, karena banyaknya
tambahan yang disisipkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai pengikut nabi
Isa a.s (baca:sisipan yang bukan sebenarnya). Maka agama Kristen mengalami
kemunduran, stagnasi dalam menerapkan sebuah ajarannya terhadap masyarakat yang
lebih luas—diskomunikasi.
Perebutan
Logika Surga
Penulis
berpikir bahwa, mengharapkan surga dengan amal ibadah kita, bukanlah suatu
masalah. Banyak yang menjadi rajin beribadah karena merasa termotivasi oleh
surga, sehingga ia pun menjauhi larangan-Nya karena takut siksa neraka, ini
tidak ada sedikit pun persoalan. Karena al-Quran sendiri menggunakan metode
deskriptif dalam menyentuh fitrah dan kodrat manusia yang merindukan
kebahagiaan hakiki. Lihat misalnya, al-Quran Surat Muhammad[47] :15, yang
berbunyi, “(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada
orang-orang yang bertaqwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang
tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tiada berubah
rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya
dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka di dalamnya memperoleh
segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang
kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga
memotong-motong ususnya.”
Lebih
konkrit lagi, perhatikan surat Ali ‘Imran[3] :133, yang berbunyi:”Dan
bersegeralah kepada ampunan Tuhanmu dan surga-Nya..”
Deskripsi
semacam itu adalah untuk menggugah fitrah manusia yang cenderung mengharapkan
kebahagiaan hakiki. Dengan begitu, manusia akan tertarik untuk beriman dan
beribadah kepada-Nya sekaligus menjauhi segala larangan-Nya.
Ada
beberapa kekeliruan logika yang perlu penulis kritisi dari tulisan [RG], pertama;
“bahwa bisa jadi ada orang yang masuk surga tetapi tidak dirahmati Tuhan”. Ini
adalah logika yang keliru atau sesuatu yang tidak mungkin—justru tanpa rahmat
Tuhan, siapa pun tidak akan masuk surga. Dan wasilah (sarana) untuk
mendapatkan rahmat-Nya adalah dengan beribadah dalam arti luas, bukan hanya
shalat, shaum, haji serta praktek ritual vertikal saja.
Kedua,
“bisa jadi ada orang yang masuk neraka tapi dirahmati Tuhan”. Inipun merupakan
kesimpulan yang dipaksakan, karena analogi yang digunakan [RG] tidak
berdasarkan struktur logika yang mu’tabar. [RG] melanjutkan, “Lihatlah
nabi Ibrahim tidak merasakan panasnya api ketika dibakar, ia bahkan merasakan
kedamaian”. Pertanyaannya, samakah kekuatan api dunia dengan api neraka? Lalu,
samakah definisi rahmat Allah ketika didunia dengan versi akhirat? Penulis
pikir, antara alam dunia dengan alam akhirat terdapat perbedaan yang
signifikan, alam dunia, bersifat relatif dan serba mungkin, sehingga rahmat dan
kasih sayang-Nya itu bisa dalam corak yang beraneka ragam. Sedangkan alam
akhirat itu bersifat serba pasti, absolut. Sehingga, rahmat-Nya itu sudah
identik dengan surga, dan neraka diidentikan dengan adzab-Nya. Jadi, hal tersebut
sangat tidak pas untuk dianalogikan.
Sebenarnya
semua itu merupakan hal-hal ghaib, yang harus didasarkan pada nash-nash yang
shahih sebagai simbol otentisitas wahyu. Kita tidak boleh mereka-reka seluruh
peristiwa ghaib (futuristik) tanpa dasar wahyu yang valid. Sebab, jika
tanpa dasar yang shahih, orang akan bebas mengatakan apa pun termasuk perkataan
dusta dan mengada-ngada.
Pada
hakikatnya, surga itu adalah puncak kebahagiaan di akhirat. Sehingga dapat
lebih klimaks lagi ketika—melihat wajah Tuhan (QS:10:26). Surga dan neraka
merupakan konsekuensi yang diperuntukkan bagi hamba-Nya sebagai bukti keadilan
Tuhan. Jika ia mukmin, surga sebagai balasannya (QS:4:57), (QS:18:107). Tetapi
jika kafir, maka neraka itu konsekuensinya (QS:4:56). Dan keduanya merupakan
simbol substantif—yang pertama, sebagai simbol kebahagiaan yang kekal. Dan yang
kedua, adalah sebagai simbol kesengsaraan yang abadi.
Harga
Sebuah Penilaian–akal
Penulis
akan mengakhiri pemaparan ini—dengan sebuah penilaian terhadap pernyataan bahwa,
kita sebagai manusia tidak berhak untuk memberikan penilaian, ia sesat, ia
kafir dan ia mubtadi’. Kenapa, karena yang berhak untuk memberikan penilaian
adalah Tuhan semata. (RG, Informatika, edisi, 102, “Bid’ah dan
Kesesatan”)
Betul,
penulis sepakat dengan statemen [RG] di atas. Tapi penulis kira, akal yang
Tuhan berikan terhadap manusia adalah—untuk dapat menilai, membedakan, dan
menentukan. Penulis khawatir, di saat [RG] menyerahkan semuanya terhadap
otoritas Tuhan semata dalam menilai, maka anugerah Tuhan (akal) itu tidak
mendapat porsi sebagaimana mestinya. Bukankah [RG] mengagung-agungkan akal
dalam menempatkan agama sebagai upaya kesadaran umat, tapi akal [RG] sendiri
tidak dapat menjelaskan arti sebuah penilaian dari manusia yang sangat erat kaitannya
dengan pemakaian akal itu sendiri?
Maka
suatu hal yang wajar bila manusia mempunyai sebuah penilaian, baik secara
objektif maupun subjektif. Yang jelas, otoritas manusia dan Tuhan tidak selalu
mesti disatukan atau dipisahkan, tapi keduanya adakalanya disatukan, terkadang
pula dipisahkan. Semisal pemisahan dalam penilaian—penulis sepakat bahwa
penilaian dalam ruang lingkup manusia itu ada, tidak hanya bagi Tuhan. Dan
standar penilaian baik bagi Tuhan itu adalah—yang siapa pun melaksanakan semua
ajaran-Nya sesuai dengan segala tuntunan-Nya (al-Quran dan al-Sunnah). Begitu
juga sebaliknya.
Bagaimana
standar penilaian bagi manusia? Hal ini yang dijadikan alasan bahwa—manusia tak
mempunyai hak untuk menilai. Penulis kira, manusia pun berhak untuk menilai—baik
dalam menilai hal yang bid’ah, sesat maupun kafir. Kenapa, karena eksistensi
fungsi akal manusia itu sendiri, yang mempunyai proses dalam pembelajaran. Toh
manusia yang berakal, bagaimana mungkin tidak dapat menilai, mana yang sesat,
mana yang bid’ah dan mana yang kafir!
Maka
penulis, selalu memberikan sebuah penilaian terhadap segala sesuatu sebagai
upaya optimalisasi fungsi akal, termasuk ide atau gagasan pemikiran [RG] yang
dilemparkan kepada khalayak banyak dalam bentuk tulisan artikel kecil. Tulisan
itu menjadikan orang mengerenyitkan kening—karena tidak terstrukturnya logika
pemikiran [RG] yang dituangkan dalam tulisan tersebut. Tapi penulis masih
sangat menghargai tulisan [RG] dengan berusaha menanggapi beberapa kekeliruan
logika yang [RG] pakai. Dan penulis juga bertanya, apakah warna tulisan [RG]
itu hanya sekedar wacana? Ataukah tengah menjadi ideologi [RG] sendiri dalam
menafsirkan ajaran agama (teks al-Quran dan al-Sunnah) melalui logika? Karena
penulis, akan selalu mengkritisi dan menganalisa pemikiran siapa pun, dan
bentuk bagaimana pun (bila sedikit melenceng dari syara) dalam upaya
membangun tradisi dialog di alam kemajemukan (baca:seputar kita)—tidak hanya
dapat saling mengklaim tanpa ada klarifikasi dan kritik analisis terhadap yang
bersangkutan terlebih dahulu. Wallâhu’alam bi ashshawâb!