PENGANTAR ULUM AL-HADITS | Artikel Islam|Tentang Hadis|


PENGANTAR ULUM AL-HADITS.


Imam Ahmad bin Ali bin Tsabit, yang terkenal dengan sebutan Al-Khatib Al-Baghdadi, meriwayatkan “Ketika Imran bin Hushain berada di satu majelis dengan para sahabatnya, tiba-tiba seseorang dari suatu kaum  berkata, ‘Kalian jangan memberitahukan atau mengajarkan kepada kami kecuali Alquran.’ Imran berkata kepada orang itu, ‘Mendekatlah !’ Lalu orang itu mendekat. Kemudian Imran berkata, ‘Tidakkah kamu pikirkan, kalau kamu dan sahabatmu hanya berpegang kepada Alquran, apakah kamu dapati pada Alquran itu Salat Zuhur empat rakaat, salat Ashar empat rakaat, Salat Maghrib tiga rakaat …? Tidakkah kamu pikirkan, kalau kamu hanya berpegang kepada Alquran, apakah kamu dapati pada Alquran itu thawaf di Baitullah 7 putaran dan sa’i antara Shafa dan Marwah 7 kali.’ Kemudian Imran berkata, ‘Wahai semua kaum, ambilah dari kami, demi Allah jika kalian tidak melakukan hal itu pasti tersesat’.”[1]
Riwayat di atas mununjukkan bahwa Alquran dan sunah merupakan sumber ajaran Islam yang tidak dapat dipisahkan. Umat Islam mustahil dapat memahami, apalagi mengamalkan syariat Islam, bila tidak merujuk kepada keduanya. Karena itu, mengamalkan Islam tanpa hadis adalah kesesatan.
Begitu pentingnya keberadaan Sunah di samping Alquran, maka kemurnian Sunah tersebut harus benar-benar terpelihara, agar fungsinya sebagai bayan (penjelas) Alquran dapat dipertanggungjawaban secara ilmu.
Untuk itu, Allah swt. telah memilih orang-orang yang siap berikhtiar mencurahkan segenap kemampuan, dengan tanpa mengenal lelah mengajarkan ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah saw. sehingga dengan washilah (perantaraan) mereka kita dapat merasakan nikmatnya hidup menjadi makmum Rasulullah saw.
Memperhatikan jerih payah para ulama dalam memelihara keabadian sunah Rasulullah saw, setidak-tidaknya ada tiga bentuk amal shaleh yang telah diupayakan oleh mereka:
Pertama, melakukan rihlah ilmiah, yakni perjalanan jauh dari kota ke kota, guna memastikan kebenaran dan keaslian hadis yang telah diterima. Terutama setelah kepalsuan yang menodai ajaran Islam berkecamuk pada masa sahabat dan tabi’in.[2]
                        Dalam kitab Al-Adab al-Mufrad, Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Jabir bin Abdullah berkata, “Telah sampai kepadaku satu hadis dari seseorang yang tidak jelas identitasnya, yang diterimanya dari Nabi saw. Untuk itu aku membeli unta, lalu aku persiapkan bekal, kemudian berangkat untuk menemuinya dengan menempuh perjalanan selama satu bulan, hingga aku sampai di Syam, Ternyata orang itu adalah Abdullah bin Unais. Aku berkata kepada penjaga pintu, ‘Katakan kepada tuanmu Jabir menunggu di pintu’ Penjaga itu balik bertanya, ‘Jabir bin Abdullah’ Aku jawab, ‘benar’ Kemudian Abdullah bin Unais datang  dan memeluk aku. Aku berkata, ‘Satu hadis darimu telah sampai kepadaku, aku khawatir meninggal sebelum mendengarnya. Ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
يَحْشُرُ اللهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عُرَاةً
Allah akan mengumpulkan manusia pada hari kiamat dalam keadaan telanjang
Kisah perjalanan Jabir bin Abdullah ini dimuat oleh Imam Al-Bukhari secara ringkas dalam kitab Shahih-nya [3], pada
كِتَابُ الْعِلْمِ بَابُ الْخُرُوْجِ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ
                        Kedua, Menelusuri silsilah atau mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadis. Silsilah inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan sanad.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
أَلإِسْنَادُ عِنْدِيْ مِنَ الدِّيْنِ لَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَاشَاءَ فَإِذَا قِيْلَ لَهُ : مَنْ حَدَّثَكَ ؟ بَقِيَ
Menurut saya sanad bagian dari agama, kalau tidak ada sanad siapa saja akan mengatakan apa saja (dalam urusan agama).[4]
            Pernyataan ini merupakan sikap ihtiyati (kehati-hatian) para ulama dalam menerima dan menyampaikan hadis. Terutama setelah terjadinya suatu “musibah” besar dalam sejarah periwayatan hadis, yakni pemalsuan hadis, dan latar belakang orang-orang yang memalsukan hadis bermacam-macam motivasi dan tujuannya. [5]
                        Ketiga, menilai dan menetapkan kualitas orang-orang yang meriwayatkan hadis, siapa yang boleh dipercaya dan tidak bisa dipercaya. Para ulama sangat teliti dalam menerima khabar, sehingga tidak mau menerima satu hadis pun kecuali setelah diketahui keadaan orang yang menyampaikannya.
Abu Bakar bin Khalad berkata kepada Yahya bin Said Al-Qathan: “Apakah kamu tidak khawatir orang-orang yang tidak kau percayai hadisnya  itu akan menjadi musuh-musuhmu di depan Allah pada hari kiamat ?” Ia menjawab, ‘Mereka jadi musuhku lebih aku senangi daripada Rasul memusuhiku dengan sabdanya, ‘Mengapa tidak kau singkirkan kebohongan/kepalsuan dari hadisku’.”[6]
Dengan terwujudnya amal shaleh para ulama diatas, maka kaum muslimin memiliki “kekayaan” yang amat berharga, yaitu
a.      Kitab-kitab hadis
b.       Rumusan-rumusan metode untuk menyeleksi  berita yang bersumber dari Nabi saw. dan mana yang bersumber dari orang-orang yang mengatasnamakan Nabi saw. Rumusan-rumusan itu kini sudah menjadi sebuah disiplin ilmu yang bernama ulum al-hadits.
Meskipun demikian, namun dilihat dari proses penerimaan dan penulisannya ternyata hadis berbeda dengan Alquran. Ketika Nabi wafat ayat-ayat Alquran sudah tertulis dan tersusun seluruhnya walaupun belum termushafkan. Sementara bagi hadis, berdasarkan kenyataan sejarah pada masa itu, belum tercatat secara resmi seperti tercatatnya Alquran.
Salah satu alasan tidak tertulisnya hadis secara resmi, karena periwayatan hadis pada masa itu lebih banyak mengandalkan hapalan daripada tulisan. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat itu hapalan masih merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan. Selain itu para penghapal hadis, banyak yang berpendapat, bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan. (Dr. Ajaj al-Khathib, Usul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 1989, h. 147; Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Syari, 1996. h. 6; Ibnu Muchtar, dkk, Tadwinul Hadis (Bandung: al Qudwah, 2000, No. 4,  h. 37-38).
Sebelum di bukukan, telah terjadi suatu “musibah” besar dalam sejarah periwayatan hadis, yakni telah terjadi pemalsuan hadis, dan latar belakang orang-orang yang memalsukan hadis bermacam-macam motivasi dan tujuannya. (lihat Dr. Musthafa Assiba’i, al-Sunah wa makanatuhaa fii tasyri’ al-Islam, (        ); Dr. Ajaj al-Khatib, Al-Sunah Qabla al-Tadwin (Beirut: Dar el-Fikr, 1993), h. 185 – 218. Untuk menyelamatkan hadis dari “noda-noda” yang merusak dan menyesatkan itu, para ulama bekerja keras dalam menghimpun hadis, dan mengembangkan berbagai pengetahuan serta membuat berbagai kaidah dan metode penulisan serta penelitian hadis.

Oleh : Ibnu Muhtar

[1] . Dr. Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits (Beirut: Dar el-Fikr, 1985), h. 22
[2]  Dr. Ajaj  al-Khatib, Al-Sunah Qabla al-Tadwin (Beirut: Dar el-Fikr, 1993), h. 185 – 218.
[3] Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar el-Fikr, 1981), h. 27.
[4]  Shahih Muslim (Beirut: Dar el-Fikr, 1992), h. 11
[5]   Dr. Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islam (Kairo: al-Dar al-Qaumiyyah,  1960), h. 79-88
[6]  Dr. Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits (Beirut: Dar el-Fikr, 1989), h. 264
 

Pengunjung