Zakat Hasil Jasa dan Profesi
Pendapatan (income) perorangan yang menonjol
pada abad sekarang ialah hasil-hasil jasa dan profesi (keahlian). Pendapatan
ini tidak kalah besarnya daripada pendapatan perdagangan atau pertanian, bahkan
bisa melebihi. Misalnya, pendapatan jasa pegawai tinggi (negara dan swasta) dan
pendapatan jasa sebagai konsultan, dokter, insinyur, kontraktor, pengarang dan
sebagainya.
Permasalahan yang timbul ialah (1) apakah uang atau
harta yang diperoleh melalui jasa atau profesi ini terkena wajib zakat atau
tidak; (2) kalau kena wajib jakat, berapa nisbah-nya (batas minimalnya);
(3) berapa presentasenya; dan (4) apakah ada persyaratan haul (tahun
takwin). Baik permasalahan pokok yang tersebut pada point (1) maupun
permasalahan berikutnya yang disebut pada (2), (3) dan (4), perlu mendapatkan
jawaban.
Pengertian jasa dibagi menjadi dua bagian: (1) jasa
bebas; tidak ada ikatan (kontrak) dengan negara atau swasta seperti jasa
profesi dokter, insinyur, pengacara, tukang jahit, tukang kayu dan sebagainya;
dan (2) jasa yang ada ikatan (kontrak) dengan negara atau perusahaan sehingga
mendapat imbalan tetap bulanan. Pendapatan dari kedua macam jasa itu dikenal
dengan istilah fiqih dengan al-mal al-mustafad; begitu pula jasa lainnya
seperti jasa angkutan, hasil sewaan, dan sebagainya (Yusuf al-Qardlawi, t.t.:
487: 52; dan Wahbahal-Zuaili, 1985: 865-6). Dalam tulisan ini, saya membatasi
kajian pada jasa dan profesi manusia.
Menurut para ulama, seperti Muhammad Abu Zahrah,
Abdurrahman Hasan Abdula Wahab Khallaf, Yusuf al-Qardlawi dan Wahab al-Zuhaili,
jasa-jasa tersebut di atas tidak terlepas dari kewajiban zakat, berdasarkan
pemahaman kembali terhadap keumuman makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
hadis berikut:
1. Surat
Al-Baqarah ayat 267:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنْ الأَرْضِ…
البقرة: 267.
Wahai
orang-orang yang beriman, nafakahkanlah sebagian dari usahamu yang baik-baik
dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu
… (Q.s. Al-Baqarah : 267)
Telaah Qur’an terhadap ayat di
atas yang dilakukan oleh naikun manyatakan bahwa Syaib Qutub menafsirkan ayat
tersebut meliputi hasil usaha manusia yang diperoleh secara halal yang dikenal
pada setiap kurun waktu (Nasikun, 1989 : 4).
2. Surat At-Taubah ayat : 103 :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ … التوبة : 103.
Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka … (Q.s. At-Taubah ayat : 103)
3. Hadis
riwayat Bukhari:
Setiap muslim wajib mengeluarkan
zakat (shadaqah). Mereka bertanya: “Hai Nabi Allah, bagaimana jika ia tidak
punya?” Nabi menjawab: “Hendak lah ia bekerja dengan tenaganya. Maka akan
memberi manfaat untuk dirinya dan dapat mengeluarkan zakat.” Mereka bertanya
lagi: “Bagaimana jika ia tidak bisa?” Nabi menjawab: “Menolong orang yang
membutuhkan lagi menderita …
“ H.r. Al-Bukhari).
4. Dalil-dalil
atsar para sahabat dab tabi’in yang menyatakan bahwa mereka mengeluarkan zakat;
begitu juga dari gaji (al-‘atha),. Tunjangan (al-‘umalah), hadiah
(al-jizyah), dan harta yang pernah dirampas (al-Mazhalim)
begitulah sebagaimana dijelsakan oleh Al-Qardlawi (liahat al-Qardlawi,
t.t. :500-509).
Setelah
persoalan pokok terjawab, timbul persoalan berikutnya: berapakah nishab
zakat jasa dan profesi itu?
Pada prinsipnya, untuk membedakan
seseorang kaya atau miskin terlihat dari batas minimal wajib zakat, yang
disebut nishab. Namun, karena Al-Qur’an tidak menerangkan nishab
zakat, dalilnya dapat ditelusuri dalama hadis, antara lain sebagai berikut:
Yang kurang dari liam 85 kg emas
murni (uqiyat) tidak
wajib zakat. (H.r. Bukhari; lihat pula al Qardlawi, t.t.: 513)
Tidak wajib zakat kecuali dalam
keculupan; dahulukan orang yang kau wajib urus. (H.r. Bukhari).
Zakat itu diambil dari
orang-orang kaya dan diberikan bagi orang-orang fakir. (H.r. Bukhari).
Patut
pula dipertimbangkan pendapat Syekh Muhammad al-Ghazali, sebagaimana yang
dikutip oleh al-Qaqdlawi, yang menyatakan bahwa nisbah zakat jasa dan
profesi ini tidak diqiaskan kepada uang emas, tetapi kepada hasil pertanian,
yakni sebesar 5 wasaq atau 653 kg hasil tanaman seperti sya’ir
(al-Qardlawi, t.t.:513). Pengqiyasan kepada hasil pertanian ini diikuti pula
oleh anggota Majlis Tarjih Muhammad Sumatera Barat, yakni 5 wasaq atau
750 kg beras, atau nilai uang rupiah sebesar Rp 450.00.00 (1 kg beras = Rp
600.00). dikatakan pula bahwa hasil pengqiyasan ini lebih mudah dicapai dari
pada kepada emas atau perak, yang sebesar Rp. 2 juta _ disamping lebih banyak unsur persamaan (PMW Majelis Tarjih Sumbar, 1989:8).
Penentuan nisbah ini, apakah diqiyaskan kepada emas atau hasil
pertanian, tentu akan mempengaruhi besarnya prosentase zakat itu.
Selain itu, Al- Qardlawi berpendapat
bahwa nisbah zakat jasa profesi ini adalah pendapatan bersih setelah
dikurangi hutang-hutang yang mendesakdan keperluan pokok untuk diri dan
keluarga. Hal ini di dasarkan pada dalil-dalil berikut:
Dan mereka bertanya kepadamu:
Apa yang wajib mereka nafakahkan? Katakanlah: “Selanjutnya” (dari keperluan
untuk membayar hutang dan keperluan hidup.
Dahulukan orang yang wajib kamu
urus. (H.r.
Bukhari)
Tidak wajib zakat kecuali dalam
kecukupan. (H.r.
Bukhari)
Berapa persen yang wajib dikeluarkan
zakatnya dari hasil jasa dan profesi itu? bagi yang mengqiyaskannya kepada
uang, maka zakatnya 2,5% dari hasil bersih, sedangkan bagi yang diqiyaskan
kepada hasil pertanian, zakatnya 10% bagi jasa dan profesi yang tidak
memerlukan biaya, atau 5% bagi yang memerlukan biaya.
Pertanyaan berikutnya, apakah ada
persyaratan haul bagi al-mal al-mustafad? Melalui penelitian yang
mendalam, Al-Qardlawi mengambil kesimpulan berikut:
1. Penelitian
terhadap hadis-hadis mengenai persyaratan atau haul bagi al-mal
al-mustafad menunjukan tidak ada hadis yang bisa dijadikan hujjah, karena
terdapat kelemahan kualitas sanadnya;
2. Karena
alasan di atas, para ulama termasuk sahabat, berselisih pendapat mengenai haul
ini.
3. Dalam
keyakinan seperti itu, persoalan dikembalikan keada pokok, yakni zakat jasa dan
profesi dikeluarkan ketika menerimanya (Al-Qardlawi, t.t.:492-497).
Hikmah
zakat hasil jasa dan profesi sama dengan zakat lainnya, sebagaimana disebut
dalam Al-Qur’an surat At-Taubah:103, yakni membersihkan dan mensucikan pemberi
zakat dari sifat kikir, egois kecintaan yang berlebihan terhadap harta; selain
menyuburkan terhadap hati nurani manusia dan menumbuhkan harta benda. Di
samping itu, hikmah lainnya adalah untuk menanamkan rasa saling mencintai
antara yang kaya dan fakir miskin, sehingga tertanam solidaritas sosial yang
bernilai ibadah.