Pendidikan Islam
Membicarakan tema pendidikan Islam, sepanjang pengamatan penulis, akan selalu menemukan kendala-kendala semantis. Hal itu disebabkan istilah “pendidikan” bukan lahir dari tradisi Islam, ia merupakan penerjemahan dari education yang berasal dari bahasa Inggris.[1] Dalam al-Qur`an dan hadits sendiri sulit untuk disepakati apa sebenarnya istilah yang tepat dari “pendidikan” itu sendiri. Hipotesa ini setidaknya dikuatkan oleh beberapa analisa di bawah ini:
Pertama, dalam berbagai kitab turats, khususnya kitab-kitab hadits, belum ditemukan satu term khusus yang merupakan padanan dari istilah education. Yang ditemukan, seperti dalam kutub al-tis’ahadalah term al-‘ilm yang memberikan penekanan pada konsep ilmu dan adab belajar-mengajar.[2] Dalam hal ini bisa ditarik simpulan awal bahwa dalam tradisi Islam kegiatan “mendidik” yang subjeknya pengajar, tidak lebih penting dari kegiatan “belajar” yang subjeknya pelajar. Bahkan bisa dikatakan bahwa kegiatan “belajar” lebih mendapatkan perhatian yang besar berhubung banyaknya ayat al-Qur`an dan hadits yang memerintahkan belajar dan mencari ilmu. Mungkin disebabkan faktor inilah dalam kitab-kitab turats, para ulama lebih menitikberatkan perhatiannya pada proses belajar dan mencari ilmu, daripada membahas dengan panjang lebar tentang proses mendidik.
Kedua, pembahasan term pendidikan dalam Islam baru mengemuka pada First World Conference on Islamic Education yang dilangsungkan di Makkah pada 1977. Konferensi tersebut pun belum menghasilkan sebuah kesepakatan terkait istilah pendidikan dalam Islam. Konferensi hanya menyimpulkan bahwa istilah pendidikan terdapat dalam konotasi istilah tarbiyah, ta’lim dan ta`dib yang dipakai secara bersamaan.[3]
Tujuan Pendidikan
Dalam Encyclopedia of Education yang disunting oleh James W. Guthrie, dijelaskan bahwa pendidikan pada intinya merupakan kegiatan dan proses dalam rangka menumbuh-kembangkan berbagai potensi (kemampuan, keterampilan, pengetahuan, keyakinan, sikap mental dan karakter) manusia dengan cara-cara tertentu. Pendidikan bisa berlangsung secara formal atau informal, diselenggarakan oleh lembaga swasta atau pemerintah, oleh individu atau masyarakat.[4]
Dari pengertian di atas, terlihat bahwa manusia merupakan titik sentral pendidikan. Manusia merupakan objek utama dan satu-satunya dari aktivitas pendidikan. Menurut Ahmad Tafsir, dari sejak zaman Yunani, pendidikan memang sudah diarahkan untuk membantu manusia menjadi manusia. Manusia yang diharapkan dari model pendidikan Yunani itu sendiri adalah (1) memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, (2) cinta tanah air, dan (3) berpengetahuan.[5]
Walaupun titik sentral dari pendidikan itu adalah manusia, tetapi dalam praktiknya, menurut Wan Mohd. Nor Wan Daud, pendidikan sering ditujukan bukan untuk mengembangkan potensi manusia secara murni. Dalam analisa Wan Daud, pada praktiknya terdapat dua pandangan mengenai tujuan pendidikan:
Pertama, berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Dengan kata lain, peserta didik harus mengikuti kemauan penguasa dan sistem yang berlaku di masyarakat.
Kedua, lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar. Terdapat dua model dari pendidikan yang berorientasi individu ini: (1) peserta didik diarahkan untuk meraih kebahagiaan duniawi dalam bentuk kemapanan sosial-ekonomi dan (2) peserta didik diarahkan untuk meningkatkan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwanya sesuai dengan keunikan masing-masing.[6]
Wan Daud menjelaskan, secara umum, sistem pendidikan yang diterapkan di Negara-negara yang ada di dunia ini berorientasi kemasyarakatan. Pandangan ini dianut oleh aliran Perenial atau aliran Transmisi Kebudayaan yang sering dihubung-hubungkan dengan Plato, beberapa sarjana modern, seperti William T. Harris, Roberts Hutchins, dan Adler di Amerika Serikat, serta aliran Rekonstruksi Sosial Modern yang biasanya
dikaitkan dengan George S. Count di Amerika, Paulo Freire di Brasil, dan Jurgen Habermas di Jerman, dan para feminis yang giat meneriakkan prinsip-prinsip kebebasan, meskipun yang terakhir ini memiliki beberapa perbedaan dalam segi-segi tertentu. Sebaliknya, hampir semua agama besar di atas permukaan bumi ini menganut pandangan yang berorientasi kepada individu. Dari kalangan sekuler-modern ada juga seperti Jean-Jacques Rousseau, Abraham Maslow, dan A.S. Neill.[7]
Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan dalam Islam, sudah barang tentu berorientasi kepada individu dengan tujuan menjadikan seseorang memperoleh keberhasilan individu dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Karena konsep seperti inilah yang sesuai dengan pandangan hidup Islam dan sudah dipraktikkan dari sejak awal. Dalam First World Conference on Islamic Education pada 1977 juga ditegaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan seorang manusia yang baik, bukan warganegara yang baik.[8] Adapun rinciannya:
Pendidikan harus bertujuan pada pertumbuhan kepribadian manusia yang utuh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek dan rasio, perasaan dan indera-indera badan manusia. Latihan yang diberikan kepada seorang Muslim yang harus menjadi keyakinan semacam itu disuntikkan ke seluruh kepribadiannya dan menciptakan dalam dirinya kecintaan emosional kepada Islam dan memungkinkannya mengikuti al-Qur`an dan sunnah dan diatur oleh sistem nilai Islam secara ikhlas dan gembira sehingga ia dapat menjalankan kesadaran statusnya sebagai khalifah Tuhan, yang kepadanya Tuhan menjanjikan kekuasaan alam semesta; …Pendidikan harus menumbuhkan dalam diri manusia gerak hati agar mengatur dirinya dan alam semesta sebagai hamba Tuhan yang benar, bukan dengan menentang dan masuk dalam konflik terhadap alam, tetapi dengan memahami hukum-hukumnya dan memandaatkan keuasaan-kekuasaannya bagi pertumbuhan suatu kepribadian yang berada dalam kerukunan dengannya.[9]
Sumber : Pemikiran Islam.Net