Pengertian, Hukum, dan Macam Riba

KRITERIA RIBA

Setiap manusia mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, khususnya kebutuhan yang bersifat kebendaan. Sedangkan batasan kebutuhan pada dasarnya sangat relatif, karena kebutuhan senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan budaya bangsa dan manusia itu sendiri. Karena itu setiap sesuatu yang dianggap menjadi pemuas hasrat atau kebutuhan manusia pastilah akan terbatas, baik jumlah maupun macamnya. Belum lagi keadaan manusia itu sangat dibatasi oleh tempat, waktu, kemampuan, dan kemauan. Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan yang relatif itulah yang banyak menimbulkan masalah bagi dirinya. Menyadari keterbatasan kehidupannya kerapkali manusia menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Dengan perkataan lain, banyak menginginkan cara yang mudah dengan hasil melimpah, tetapi tidak memperhatikan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Salah satu di antara cara yang dipergunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan itu adalah melalui riba.
            Larangan Alquran atas riba sangat jelas dan pasti. Kejelasan hukum riba sebenarnya tidak dipermasalahkan, namun yang menjadi persoalan ialah mengenai persamaan dan perbedaan antara riba dan bunga. Satu pihak menyatakan bahwa yang dilarang oleh Islam itu adalah riba, bukan bunga. Kemudian pihak lainnya menyatakan bahwa bunga itu adalah riba yang haram itu. Bahkan ada pendapat lain yang menyatakan bahwa tidak semua bunga dapat dikategorikan sebagai riba. Dari perbedaan pendapat ini muncul pertanyaan, apakah ada perbedaan antara riba di dalam Alquran dengan bunga dalam dunia kapitalis? Agar dapat memberi jawaban mengenai apakah riba itu sama dengan bunga, terlebih dahulu kita harus memahami maksud riba dalam Alquran dan Sunah serta sejarah munculnya, kemudian berbagai kriteria riba yang ditetapkan para ulama dari masa ke masa.

Riba menurut Alquran

Kata riba dalam Alquran ditemukan sebanyak tujuh kali, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279, surah Ali Imran ayat 130, surah An-Nisa ayat 161, surah Ar-Rum ayat 39. Perlu diketahui bahwa larangan riba dalam Alquran tidak turun sekaligus, melainkan secara bertahap, yakni dalam empat tahap;
Tahap pertama, turun ayat 39 surat ar-Rum:
وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ-الروم: 39-
Ayat ini turun di Mekah, tidak mengharamkan secara jelas, hanya berupa penolakan terhadap anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai perbuatan taqarrub kepada Allah.
Tahap kedua, turun ayat 160-161, surat an-Nisa:
فَبِظُلْمٍ مِنْ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا # وَأَخْذِهِمْ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Ayat ini turun di Madinah sebelum tahun ke-3 hijriah. Ayat ini pun belum secara tegas mengharamkan riba, namun memberikan gambaran yang buruk sebagai ancaman yang keras terhadap orang Yahudi yang memakan riba.
Tahap ketiga, turun ayat 130 surat Ali Imran:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Ayat ini turun di Madinah pada tahun ke-3 hijriah, untuk memberikan gambaran bahwa pengambilan riba dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut.
Tahap akhir, turun ayat 278-279 surat al-Baqarah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ # فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan tianggalkanlah apa yang tersisa dari riba jika kamu beriman. Jika kamu tidak melakukannya maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasulnya, dan jika kamu bertobat, bagian kamu adalah pokok-pokok harta kamu, kalian tidak aniaya dan tidak dianiaya
Ayat ini turun di Madinah  pada tahun ke-9. Ayat ini dengan jelas dan tegas mengharamkan riba dalam jenis apapun.
Dari ayat ini ada yang beranggapan bahwa hanya riba yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan riba yang wajar dan tidak menzalimi, tidak tercakup oleh ayat tersebut.
Pada anggapan itu ada dua hal yang perlu ditanggapi;
Pertama, kata adhafan bukan syarat dan taqyid (pembatas), namun hal (keadaan) atau sifat (karakter) dari riba. Perbedaannya, berdasarkan logika syarat dan taqyid adalah kalau terjadi pelipatgandaan maka riba, kalau sedikit berarti bukan riba. Sedangkan hal atau sifat senantiasa melekat, baik sedikit maupun banyak. Seperti khamar yang memiliki sifat memabukan, baik sedikit atau banyak, teler atau tidak peminumnya, maka sifat memabukannya tetap melekat. Karena itu, berapa pun kelipatannya, sedikit atau banyak, produktif atau konsumtif, tetap dikategorikan riba dan hukumnya haram.
Kedua, secara bahasa, kata dhafun berarti kelipatan. Sesuatu yang berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula, sedangkan kata adafun adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi, minimal jamak adalah 3. Jadi, adafun berarti 3 x 2 = 6 kali. Adapun mudhaafan dalam ayat itu adalah takid (untuk menguatkan). Dengan demikian, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat keharaman riba, maka minimum harus 6 kali atau 600 %.
Ketiga, surat Ali-Imran ayat 130 itu mengecam sistem riba jahiliyyah, yang biasa disebut riba nasi-ah. Riba nasi-ah ini sudah umum berlaku di zaman jahiliyyah, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Fakruddin ar-Razi sebagai berikut: Adapun riba nasi-ah itu sudah masyhur dan sangat dikenal pada masa jahiliyyah, yaitu seorang memberi hutang pada orang lain dengan syarat adanya tambahan tiap bulan, sedangkan modalnya tetap, jika jatuh tempo pembayaran hutangnya dan yang berhutang tidak dapat membayar hutangnya, maka pemberi hutang mengundurkan pembayarannya dengan tambahan lagi, dan inilah riba yang biasa dilakukan orang jahiliyyah. Tafsir ar-Razie, juz IV, hal. 62        Pada sifat riba nasiah ini jelas sekali makna adaafan mudhaafatan itu adalah dengan transaksi yang tidak berbatas waktu, dan selama si peminjam itu tidak mampu membayar pada waktu yang disanggupi riba itu akan terus bertambah, sesuai dengan bertambahnya waktu. Ini adalah suatu kondisi atau cara transaksi yang sangat lalim dan aniaya. Sedangkan yang islami adalah bila si peminjam tidak membayar pada waktu yang disanggupinya bukan ditambah beban, melainkan diberi kelonggaran sampai si peminjam berkemampuan. Bukan dicekik dengan riba yang tidak berperikemanusiaan dan tidak berujung. Dan jika didapati orang yang sempit keadaan, hendaklah kamu beri waktu hingga ia sanggup membayarnya, kamu bersedekah kepada yang itu lebih baik bagi kamu, jika kamu mengetahuinya Q.s. Albaqarah : 280 
Dengan demikian ayat 130 surat Ali Imran ini menegaskan bahwa sifat (karakteristik) riba secara umum mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu dengan tanpa batas. Hal itu dibuktikan juga oleh kenyataan sejarah bahwa riba pada masa pra Islam adalah tambahan pada modal uang yang dipinjamkan dan harus diterima oleh yang berpiutang sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan persentase yang ditetapkan. Bila tidak mampu membayar pada waktu yang dijanjikan, maka terus bertambah. Maka semakin tidak mampu akan semakin teraniaya.
            Dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa riba bukan haram karena besar atau kecilnya persentase, konsumtif atau produktif, melainkan karena sifat persyaratan atau perjanjian yang ada di dalamnya yang sangat lalim itu. Hanya dalam memahami sifat persyaratan inilah para ulama berbeda pendapat, sehingga melahirkan tarif atau definisi yang beragam.
Definisi Riba
            Riba, secara bahasa adalah الزيادة (kelebihan atau penambahan). Dilihat dari makna bahasa, riba tidak berbeda dengan ar-ribhu (profit, keuntungan), yakni sama-sama            الزيادة على رأس المال  (penambahan atas harta pokok). Dari pengertian bahasa ini akan muncul anggapan bahwa jual-beli  sama dengan riba, karena  keduanya menghasilkan kelebihan dari modal. Karena itu makna secara bahasa tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam pembahasan ini.

            Kajian terhadap masalah ini telah dilakukan oleh para ulama dari masa ke masa, sehingga kriteria riba yang ditetapkan pun mengalami perkembangan sebagai berikut:

a)      Pandangan ulama mutaqaddimin (abad I V H)
Zaid bin Aslam berkata:
إِنَّمَا كَانَ الرِّبَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فِي التَّضْعِيْفِ وَفِي السِّنِّ يَكُوْنُ لِلرَّجُلِ فَضْلُ دَيْنٍ فَيَأْتِيْهِ إِذَا حَلَّ الأَجَلُ فَيَقُوْلُ لَهُ تَقْضِيْنِيْ أَوْ تَزِيْدُنِي – تفسير الطبري 4: 90 –
Yang dimaksud dengan riba jahiliyyah dalam pelipatgandaan dan usia (waktu) adalah seseorang  yang memiliki piutang (atas mitranya). Pada saat jatuh tempo, ia mendatanginya lalu berkata, Lunasi sekarang atau tambah pembayaran. Tafsir at-Thabari, IV:90.
Mujahid berkata:
كَانُوْا يَبِيْعُوْنَ البَيْعَ إِلَى أَجَلٍ فَإِذَا حَلَّ الأَجَلُ  زَادُوْا فِي الثَّمَنِ عَلَى أَنْ يُؤَخِّرُوْا - تفسير القرطبي 4: 202
 Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu membayar), mereka (si pembeli) memberikan tambahan harga atas tambahan waktu Tafsir al- Qurthubi, IV:202
Namun dalam versi lain, beliau berkata:
كَانُوْا فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَكُوْنُ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الدَّيْنُ فَيَقُوْلُ لَكَ كَذَا وَكَذَا وَتُؤَخِّرُ عَنِّيْ فُيُؤَخَّرُ عَنْهُ
 (Riba yang diharamkan pada masa jahiliyyah) adalah seseorang berutang pada orang lain, lalu si peminjam berkata, Bagimu (tambahan) sekian dan sekian, dan berilah aku tempo. Maka dia diberi tempo Tafsir at-Thabari, III:101
Qatadah berkata:
أَنَّ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ يَبِيْعُ الرَّجُلُ الْبَيْعَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا حَلَّ الأَجَلُ وَلَمْ يَكُنْ عِنْدَ صَاحِبِهِ قَضَاءٌ زَادَهُ وَأَخَّرَ عَنْهُ – تفسير الطبري 3: 101 –
Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo (kredit) hingga waktu tertentu. Apabila telah jatuh tempo dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran atas penangguhan Tafsir at-Thabari, III:101
Ketika Imam Ahmad ditanya tentang riba, ia menjawab:

وَهُوَ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ دَيْنٌ فَيَقُوْلُ لَهُ أَتَقْضِيْ أَمْ تُرَبِّي فَإِنْ لَمْ يَقْضِهِ زَادَهُ فِي الْمَالِ وَزَادَهُ هذَا فِي الأَجَلِ

Riba itu adalah seseorang memiliki utang, lalu dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah pada harta (pinjaman) itu atas penambahan waktu.
b)     Pandangan ulama mutawasithin (abad VI X H)
Imam as-Sarkhasi (W. 483 H)

الرِّبَا هُوَ الْفَضْلُ الْخَالِي عَنِ الْعِوَضِ الْمَشْرُوْطُ فِي الْبَيْعِ

Riba adalah tambahan tanpa adanya iwadh (transaksi pengganti atau penyeimbang) yang disyaratkan dalam jual-beli Al-Mabsuth, XII:109
Ibnul Arabi (W. 543 H)

ألرِّبَا فِي اللُّغَةِ هُوَ الزِّيَادَةُ وَالْمُرَادُ بِهِ فِي الأَيَةِ كُلُّ زِيَادَةٍ لَمْ يُقَابِلْهَا عِوَضٌ

Riba secara bahasa adalah kelebihan atau penambahan, dan yang dimaksud dengan riba dalam ayat (Alquran) itu adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang. Ahkamul Quran,
Fakruddin ar-Razi (W. 604 H)
أَنَّهُمْ كَانُوْا يَدْفَعُوْنَ الْمَالَ عَلَى أَنْ يَأْخُذُوْا كُلَّ شَهْرٍ قَدْرًا مُعَيَّنًا وَيَكُوْنُ رَأْسُ الْمَالِ بَاقِيًا, ثُمَّ إِذَا حَلَّ الدَّيْنُ طَالَبُوْا الْمَدِيْنَ بِرَأْسِ الْمَالِ فَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ الأَدَاءُ زَادُوْا فِي الْحَقِّ وَالأَجَلِ. فَهذَا هُوَ الرِّبَا الَّذِيْ كَانُوْا فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَتَعَامَلُوْنَ بِهِ
Sesungguhnya mereka menyerahkan/meminjamkan dana (dengan syarat) mereka akan mengambil setiap bulannya besaran tertentu (tambahan), sedangkan harta pokoknya tetap. Apabila telah jatuh tempo, mereka menuntut pengembalian harta pokok itu. Jika si peminjam kesulitan membayar, mereka menambah hak dan tempo (pembayaran). Inilah riba yang dilakukan kaum jahiliyah Mafatihul Ghaib, V:

Imam an-Nawawi (W 676 H)

طَلَب الزِّيَادَةِ فِي الْمَالِ بِزِيَادَةِ الأَجَلِ

Menuntut tambahan atas harta pokok karena penambahan waktu al-Majmu Syarh Muhadzdzab, IX:442
Badruddin al-Aini (W. 855 H)
الزِّيَادَةُ عَلَى أَصْلِ مَالٍ مِنْ غَيْرِ عَقْدِ تَبَايُعٍ
Riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya akad jual-beli Umdatul Qari, juz V, h. 436

c)      Pandangan ulama mutaakhirin (abad XI XV)
Ali as-Shabuni

زِيَادَةٌ يَأْخُذُهَا الْمُقْرِضُ مِنَ الْمُسْتَقْرِضِ مُقَابِلَ الأَجَلِ

Riba adalah kelebihan atau penambahan yang diambil oleh kreditor (pemberi pinjaman) dari debitor (peminjam) sebagai pengganti waktu Rawa-iul Bayan, I:383

Muhamad al-Qadhuri berkata:

الْفَائِدَةُ أَوِ الزِّيَادَةُ تُؤْخَذُ عَنِ الْقَرْضِ وَهُوَ نَوْعَانِ : رِبَا الْفَضْلِ وَرِبَا النَّسِيْئَةِ

Riba adalah faidah atau tambahan yang diambil dari pinjaman Dan riba itu ada dua jenis: Riba al-Fadhl dan Riba an-Nasi-ah. Dalilul Musthalahatil Fiqhiyyah:70.
Al-Jurjani berkata:
الرِّبَا هُوَ  فِي اللُّغَةِ الزِّيَادَةُ وَفِي الشَّرْعِ هُوَ فَضْلٌ خَالٍ عَنْ عِوَضٍ شُرِطَ لأَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ
Riba menurut bahasa artinya penambahan, dan menurut syari adalah tambahan tanpa adanya iwadh (transaksi pengganti atau penyeimbang) yang disyaratkan kepada salah satu pihak yang berakad At-Tarifat:146
Syah Waliyullah ad-Dahlawi menyatakan bahwa unsur riba terdapat pada hutang yang diberikan dengan syarat si peminjam bersedia membayarnya lebih banyak dari apa yang telah diterimanya (Lihat, Encyclopedia of Seerah [alih bahasa oleh Dewi Nurjulianti] 1997:310)
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa dikalangan para ulama terjadi pengembangan pemikiran dalam memaknai riba. Hal ini sejalan dengan perkembangan situasi ekonomi dan perdagangan pada masa masing-masing.
Dengan memperhatikan sistem riba yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, ulama mutaqaddimin memaknai riba secar khusus (lebih spesifik), namun terbagi kepada dua jenis. Zaid bin Aslam, Mujahid (pada salah satu pendapatnya), dan Imam Ahmad cenderung melihat bahwa unsur riba terdapat pada hutang yang diberikan dengan syarat si peminjam bersedia membayar tambahan atas harta pokok sebagai imbalan perpanjangan waktu. Dalam dunia perbankan konvesional, hal tersebut dikenal dengan istilah bunga kredit sesuai lama waktu peminjaman (lihat, Mengenal Dunia Perbankan, 1994: 111; Undang-undang No. 14/1967 mengenai Pokok-pokok Perbankan, Bab I pasal 1 (c)).
Sedangkan Qatadah dan Mujahid (pada pendapatnya yang lain) cenderung melihat bahwa unsur riba terdapat pada jual-beli secara tempo/kredit dengan syarat si pembeli bersedia membayar tambahan atas harga pokok sebagai imbalan perpanjangan waktu. Secara praktik, kedua jenis riba ini ditetapkan setelah jatuh tempo, yakni  ketika debitur (si peminjam) dan si pembeli tidak dapat membayarnya. Sehubungan dengan itu, Ar-Raghib al-Ashfahani (W. 502 H) menyatakan bahwa dalam Islam riba secara khusus menunjuk pada kelebihan (yang diminta) dengan cara yang khusus (Lihat, al-Mufradat fi Gharibil Quran, I:245)
        Dua kecenderungan ulama mutaqaddimin di atas dipegang teguh oleh sebagian kecil ulama pada periode selanjutnya (mutawasithin), antara lain Fakhruddin ar-Razi (W. 604 H). Sedangkan mayoritas ulama pada periode ini memaknai riba secara umum (lebih luas), sehingga melahirkan tarif versi Ibnul Arabi (W. 543 H) sebagai berikut:

ألرِّبَا فِي اللُّغَةِ هُوَ الزِّيَادَةُ وَالْمُرَادُ بِهِ فِي الأَيَةِ كُلُّ زِيَادَةٍ لَمْ يُقَابِلْهَا عِوَضٌ

Riba secara bahasa adalah kelebihan atau penambahan, dan yang dimaksud dengan riba dalam ayat (Alquran) itu adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya iwadh (satu transaksi pengganti atau penyeimbang)

            Pada periode selanjutnya (mutaakhirin), kencendrungan ulama mutaqaddimin dan mutawasithin masih dipegang teguh oleh sebagian ulama, namun tidak sedikit di antara ulama pada periode ini yang memandang perlu untuk dilakukan reinterpretasi (penafsiran) baru dan pemikiran ulang tentang riba, terutama setelah terjadinya dominasi pasar finansial dunia oleh sistem barat yang berbasis bunga, seperti Abdullah Yusuf Ali (The Holy Quran) dan Muhamad Asad ketika menafsirkan riba sebagai usury (bunga yang tinggi) dan bukan interest (bunga yang rendah)
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa para ulama berbeda kecenderungan dalam memahami maksud riba yang diharamkan Alquran dan Sunah. Keadaan ini memunculkan berbagai fatwa  yang berbeda ketika menetapkan status hukum bunga (dengan berbagai bentuknya) dalam dunia perbankan dan lembaga keuangan non bank.
Kami cenderung kepada pendapat ulama mutaqaddimin yang memaknai riba itu secara khusus (lebih spesifik), yakni riba adalah tambahan pada modal (pokok harta) yang dipinjamkan dan harus diterima oleh yang berpiutang sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan persentase yang ditetapkan. Bila tidak mampu membayar pada waktu yang dijanjikan, maka terus bertambah.


 Oleh : Ibnu Muchtar

Pengunjung