IMAM SYAFI'I DAN PEMIKIRAN METODOLOGI
HUKUMNYA
Oleh: Agung Prihatin
Pendahuluan
Boleh dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
penduduknya mayoritas muslim terbesar di muka bumi. Sebagian besar adalah
penganut madzhab Syafi'i, tapi boleh jadi tidak terlalu banyak yang mengetahui
bahwa mereka menganut suatu madzhab yang dibangun oleh seorang yang sangat
besar peranannya dalam merumuskan dan mensistematisasikan metodologi pemahaman
hukum Islam.
Mula-mula adalah Nabi Muhammad sendiri sebagai utusan
Allah yang bertindak dalam memutuskan
dan menyelesaikan suatu perkara yang terjadi di masyarakat. Keputusan yang
beliau tetapkan itu berdasarkan wahyu ataupun merupakan kebijaksanaan beliau
sendiri bahkan tidak jarang melalui musyawarah dengan para shahabat beliau. Dan
para shahabat sendiripun yakin bahwa perkara apapun yang ditetapkan adalah
jalan yang terbaik bagi mereka sekalipun itu merupakan kebijaksanaan Rasulullah
sendiri. Hanya dalam beberapa hal saja Rasulullah mengambil suatu keputusan
tanpa melalui musyawarah, yaitu ketika beliau yakin benar tentang apa yang
terbaik yang harus dilakukan.
Setelah Rasuluillah wafat, estafet beliau dalam kepemimpinan
dilanjutkan oleh Khulafa al-Rasyidin. Pada masa-masa tersebut terjadi berbagai
masalah yang tidak didapati ketika Rasulullah Saw masih berada di tengah-tengah
mereka. Sehingga meskipun sangat terbatas muncul ijtihad shahabat yang pada
akhirnya diteruskan oleh para generasi-generasi selanjutnya setelah mereka.
Dalam hal ini termasuk Imam Syafi'i yang memberikan alternatif dalam memahami
hukum Islam (Fiqh) melalui nash-nash yang terdapat dalam al-Al Quran, al-Sunnah
maupun Ijma' shahabat dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Biodata Imam Syafi'i
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin
al-Abbas bin Utsman bin Syafi'i. Beliau lahir di Ghaza yaitu sebuah kota yang
terletak di utara Sina dan selatan Palestina, pada tahun 150 H dan wafat tahun
204 H. Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau lahir pada hari dimana Imam Abu
Hanifah meninggal Dunia. Kedua orang tua beliau keturunan Arab, ayah beliau
meninggal tatkala beliau masih dalam susuan. Sedangkan ibu beliau dengan susah
payah merawat dan membesarkannya dalam keadaan yang pas-pasan.
Sedang pertumbuhan dan pengembaraan beliau dalam menuntut ilmu
dapat dibagi dalam tiga dekade waktu:
1.
Tumbuh dan berkembang
dengan paman-paman beliau di Mekah. Sejak kecil sudah terlihat kejeniusan
beliau. Pada umur 7 tahun hafal al-Quran 30 juz. Hafal al-Muwatha' Imam Malik
dalam usia 10 tahun kemudian mempelajari Fiqh lewat Syeikh Muslim bin Kholid
azzanjiyi. Selain itu, beliau juga banyak sekali hafal syair-syair Arab. Pada
periode pertama ini berakhir pada saat beliau berumur 15 tahun.
2.
Pada marhalah ini
beliau pindah ke Madinah untuk mendalami al-Muwatha' pada Imam Malik bin Anas
sampai beliau menguasainya. Dari sini terlihat bakat-bakat beliau dalam
masalah-masalah Fiqh. Beliau terus mengikuti Imam Malik sampai Imam Malik
meniggal dunia tahun 179 H.
3.
Periode ini beliau
pindah ke Irak untuk mempelajari Fiqh Hanafi tahun 184 H. Dengan berpindahnya
beliau ini, berarti telah selesai pengembaraan beliau dalam menuntut ilmu adri
Mekah, Madinah dan Irak kemudian aktif berfatwa dan mengajar di Masjid
al-Haram.
Dari ketiga dekade waktu diatas, dari mulai menuntut ilmu
sampai memberikan fatwa, itu semua merupakan permulaan dari tumbuh dan
berkembangnya Madzhab Syafi'i. Dengan lahirnya madzhab baru ini merupakan
keberhasilan ijtihad pada abad ke-2 H. Madzhab ini semakin berkembang pesat
terutama pada saat Imam Syafi'i menulis karyanya terbesar dalam ilmu Ushul
Fiqh. Tatkala beliau datang ke Irak untuk kedua kalinya tahun 195 H,
orang-orang berbondong-bondong datang kepadanya untuk berguru, mulailah Imam
Syafi'i menyiarkan madzhabnya. Dalam pengajaran-pengajarannya terlihat bahwa
ijtihad-ijtihad beliau berbeda dengan Imam Abu Hanifah maupun Imam Malik.
Semuanya itu terus berlanjut sampai beliau menuangkan ijtihad-ijtihad lamanya
ke dalam sebuah buku "al-Kitab al-Baghdadi". Karena
ijtihad-ijtihadnya tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada
ketika itu, beliau kemudian berfikir untuk melakukan perjalanan ke negara lain.
Tahun 199 H, Kairo menjadi tujuan perjalanan beliau dalam usaha mendirikan
sekolah yang menitik-beratkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan
Fiqh. Dan mengajarkan madzhab 'baru' beliau. Dikatakan baru, karena banyak
mengganti ijtihad-ijtihad lama (qadim) yang beliau sampaikan waktu di Irak. Hal
tersebut disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada (Mesir). Kemudian
beliau mengumumkan bahwa yang barupun termasuk dalam madzhab beliau yaitu Madzhab
Syafi'i.
Imam Syafi'i dan Perumusan Hadits
Yang pertama kali muncul sebagai sistem pemikiran tentang
hukum Islam adalah aliran al-ra'y. Aliran ini berkembang di lembah Mesopotamia
yang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban Islam pada saat itu yaitu
Baghdad. Aliran ini diwakili oleh Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi yang oleh
sebagian kalangan –sarjana-sarjana Hijaz- diklaim tidak memperdulikan Hadits,
ternyata tanpa dasar. Karena diketahui Abu Hanifah sendiri mempunyai koleksi
Hadits, namun secara umum dapat dikatakan bahwa madzhab Hanafi menggunakan
metode pemahaman hukum yang lebih rasionalistik, sehingga banyak yang
memasukkannya ke dalam kelomok al-ra'y.
Tapi hampir bersamaan dengan itu, perhatian besar terhadap
al-Sunnah ditunjukkan oleh penduduk Madinah lewat seorang sarjana Madinah
sendiri -Malik bin Anas- meskipun banyak bersandar pada hadits, ternyata Imam
Malik sendiri pernah berguru pada Rabi'ah bin Farukh yang menganut aliran
al-ra'y. Namun Malik bin Anas lebih banyak mengambil ilmu yang berkenaan dengan
hadits, bukan aliran ra'yunya.
Imam Syafi'i seolah-olah tampil diantara keduanya, Hanafi dan
Maliki. Beliau pernah berguru kepada Imam Malik-pendiri Madzhab Maliki- dan
pernah juga menuntut ilmu pada Imam as-Syaibani-penganut Madzhab hanafi-.
Pengalaman berguru itu memberikan warna tersendiri dalam perkembangan madzhab
beliau selanjutnya.
Dari Imam Malik, Imam Syafi'i mengambil ilmu tentangsunnah,
akan tetapi justru Imam Syafi'i-lah yang memberi perumusan sistematik dan tegas
bahwa tidak semua bentuk sunnah yang harus dipegang, akan tetapi yang
benar-benar dari Nabi saw. Konsekwensinya ialah bahwa kritik terhadap sunnah
dalam bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi terdahulu harus
dilakukan, dengan penyaringan mana yang benar-benar dari Nabi dan mana yang
bukan. Semua laporan mengenai hadits harus dikenakan pengujian secara teliti
menurut standar ilmiah tertentu yang pada akhirnya akan melahirkan disiplin
ilmu baru yaitu Musthalah Hadits yang juga disebut ilmu Dirayah al-Hadits.
Dalam bidang kajian ilmiah mengenai hadits tersebut Imam
Syafi'i sebenarnya berperan lebih banyak sebagai peletak dasar. Berbagai
pandangan dan teori beliau tentang hadits memerlukan waktu sekitar setengah
abad untuk bisa terlaksana dengan baik. Pelaksaan penelitian terhadap hadits
tersebut memperoleh bentuknya setelah munculnya sarjana hadits dari Bukhara
yaitu Imam Bukhari yang pada fase selanjutnya dilanjutkan oleh murid beliau
keturunan Nisaphur yaitu Imam Muslim.
Tapi hasil karya kedua sarjana hadits tersebut masih jauh
meliputi keseluruhan dari khabar/sunnah nabawiyah. Hal ini mendorong beberapa
ahli untuk meneruskan kajian dan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi saw.
Dari hasil penelitian tersebut terkumpul enam buah buku hadits yang di kalangan
kaum sunni dianggap standar –meskipun dalam otoritas yang berbeda-beda- selain
Shahihain, yaitu Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzi dan Sunan
Nasa'i. Jadi kini setidaknya secara tertulis umat Islam (baca: kaum sunni)
dalam upaya memahami agamanya harus berpegang terhadap Quran dan kumpulan
hadits "al-Kutub al-Sittah".
Merintis Ushul Fiqh
Al-Quran dan al-Sunnah adalah pegangan tekstual umat Islam
yang obyektif. Namun keobyektifan dalil tersebut tidak menutup sama sekali
kemungkinan adanya kesubyektifan dalam pemahaman dan pandangan. Oleh karena itu
diperlukan ketentuan-ketentuan yang tegas, bagaimana bukti-bukti tekstual
tersebut dipahami, lebih dari itu jika pesan itu terlaksana dalam kehidupan
nyata yang senantiasa berubah dan berkembang ini, maka usaha memahaminya
haruslah didekati dengan suatu metodologi penalaran tertentu. Metode penalaran
tersebut –sebagaimana telah dikenal dalam disiplin ilmu tentang hukum Islam-
adalah qiyas (qiyas tamtsili).
Sebagaimana ijma' ide mengenai pemakaian metode qiyas dalam
memahami nash –khususnya dari segi legalnya- bukanlah tanpa persoalan dan
kontroversi, karena adanya unsur intelektualism dalam qiyas tersebut. Maka tak
heran jika ia –qiyas- dicurigai sebagai bentuk lain dari aliran ra'y. Sekalipun
begitu, metode qiyas tersebut diambil oleh Imam Syafi'i, lebih penting lagi,
beliau juga memberikan kerangka teoritis dan metodologi yang canggih dalam
bentuk kaidah-kaidah rasional, namun tetap praktis---yang selanjutnya lebih dikenal
dengan ilmu Ushul Fiqh.
Penutup
Selain dasar-dasar konseptual tentang hadits, ilmu Ushul Fiqh
juga merupakan sumbangan Imam Syafi'i yang besar dan penting dalam sejarah
intelektual Islam. Dengan al- Al Qur-an, sunnah Nabi dan teori Imam Syafi'i tentang
Ushul Fiqh, penjabaran hukum Islam dapat diawasi keotentikannya. Karena rumusan
teoritisnya tentang hadits dan jasanya dalam merintis Ushul Fiqh, maka Imam
Syafi'i diakui sebagai peletak utama dasar metodologi pemahaman hukum dalam
Islam. Sebab teori dan rumusannya tidak saja diikuti oleh kita-pengikut madzhab
Syafi'i- namun juga diikuti oleh madzhab lain. Dan bahkan jasa beliau tersebut
oleh dunia kesarjanaan Islam sangat dihargai dan dikagumi sebagai intelektual
besar yang pernah dilahirkan oleh sejarah.
Demikianlah uraian singkat mengenai peran Imam Syafi'i dan
metodologi hukumnya. Semoga bermanfaat.....!
Maraji'
- Imam Syafi'i, al-Risalah, Muassasah al-Akram, hal. 29.
- Ahmad Nahrawi Abdus Salam, DR, Imam Syafi'i fi Madzhabihi al-Qadim wa al-Jadid, Kairo.
- Nur Cholis Madjid, DR, Kaki Langit Peradaban Islam, Paramadina hal. 67.
--------------------------------------
Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi dwi mingguan KSW
oleh Agung Prihatin, tanggal 8 September 1998.