KRITERIA
HADIS NABI
Kata hadis sudah dikenal sejak
masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya, bahkan Rasul sendiri yang memberikan
nama hadis bagi perkataannya. Diterangkan di dalam riwayat Al Bukhari bahwa Abu
Hurairah datang kepada Nabi saw., lalu bertanya tentang manusia yang paling
berbahagia dengan safaat Rasul. Maka beliau menjawab,
لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ
لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ
حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Wahai Abu Huraerah sungguh aku mengetahui
bahwa tidak ada seorang pun yang bertanya kepadaku tentang hadis ini sebelum
kamu, karena aku lihat begitu besarnya perhatianmu pada hadis. Manusia yang
paling berbahagia dengan syafa'atku pada hari kiamat ialah yang mengucapkan laa
ilaaha illallah dengan ikhlas”
Dengan penamaan al-hadits ini Rasul
hendak memisahkan sesuatu yang dinisbahkan kepada beliau dengan sesuatu dari
yang lainnya. Disamping itu seolah-olah beliau hendak menetapkan dasar-dasar
bagi sesuatu yang akan dijadikan istilah oleh orang-orang setelah beliau wafat.
Kemudian pada riwayat Al Bukhari
diterangkan pula bahwa Abu Hurairah pernah mengadu kepada Rasulullah : “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar banyak hadis darimu yang aku telah melupakannya...”
Sedangkan pada riwayat Abu Daud, Rasul bersabda, “Allah membaguskan wajah
seseorang yang mendengar ucapanku , memeliharanya, kemudian
menyampaikanya sebagaimana yang telah ia dengar”
Keterangan-keterangan ini
menunjukkan bahwa kata hadis yang dikenal pada masa Rasulullah dan para
sahabatnya itu mengandung makna al qaul (perkataan). Dan makna ini lebih
khusus daripada makna secara bahasa. Namun pada perkembangan selanjutnya kata
hadis ini dipergunakan sebagai nama/istilah bagi ucapan, perbuatan, dan taqrir
(persetujuan) yang dinisbahkan kepada Nabi saw. Kata hadis dengan pengertian
ini tentu saja belum dikenal oleh seorang pun
pada masa Rasul dan para sahabatnya. Oleh karena itu, sejak kapan kata
hadis dijadikan istilah untuk itu ? Untuk menjawab hal itu, ada empat aspek
yang harus kita kaji;
Pertama, Pengertian Bahasa
Kata al hadits adalah bentuk mufrad
(tunggal). Secara bahasa mengandung dua makna, yaitu al khobar (berita)
dan al jadid (yang baru). Adapun bentuk jamaknya ada lima macam, yaitu al-hidtsan
(اَلْحِدْثَانُ) dan al-hudtsan (اَلْحُدْثَانُ) bila artinya al- khobar (اَلْخَبَرَ), serta al hidats (اَلْحِدَاثُ ) dan al-hudatsa (اَلْحُدَثَاءُ) bila artinya al-jadid (اَلْجَدِيدُ).
Kata al hadits dengan makna
al khobar sudah dikenal oleh orang Arab pada masa jahiliyyah sejak
mereka memberi nama al ahadits ( اَلْأَحَادِيثُ) bagi hari-hari besar mereka. Dan kata al ahadits ini
bentuk jamak bagi al uhdutsah (اَلْأُحْدُوثَةُ) yang maknanya buah
pembicaraan. Namun kemudian kata ini dijadikan bentuk jamak bagi al hadits.
Sedangkan kata al hadits
dengan makna al jadid belum dikenal pada masa jahiliyyah, bahkan pada
masa Rasul dan para sahabatnya, karena makna itu diberikan oleh sebagian ulama
pada masa selanjutnya setelah melihat hadis Nabi saw., yaitu mereka
mempergunakan kata hadits dengan makna al jadid bagi sesuatu yang
berbeda dengan al qadim. Al qadim yang dimaksud oleh mereka
adalah Alquran, sedangkan al jadid ialah sesuatu yang dinisbahkan kepada
Rasulullah saw.
Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut,
maka kata al ahadits sebagai bentuk jamak bagi al hadits, baik
dengan makna al khabar ataupun al jadid itu menyalahi wazan (pola
bahasa). Meskipun demikian bentuk jamak yang terkenal bagi al hadits
adalah al ahadits.
Kedua, Pengertian Istilah
Setelah mengkaji berbagai ta'rif
atau definisi yang dikemukakan oleh para ahli hadis, maka kami berkesimpulan bahwa
hadis menurut istilah maknanya sama dengan sunnah, khabar, dan atsar. Yaitu
“perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat-sifat yang dihubungkan pada Nabi
Muhamad, baik sebelum diutus menjadi Rasul maupun sesudahnya dan terlepas
apakah penyandaran itu benar ataupun tidak.”
Perkataan “dihubungkan kepada Nabi”
menunjukkan bahwa hadis itu tidak mutlak pasti dari Nabi. Hadis yang menurut penelitian
dapat dipastikan bersumber dari Nabi dinamakan hadis sahih, dan hadis
yang tidak benar atau diragukan sumbernya dari Nabi dinamakan hadis dho’if
(lemah). Jadi, yang dho’if itu bukan sabda Nabi, tetapi penyandaran orang lain
yang menyatakan bahwa itu sabda Nabi saw.
Dengan memperhatikan istilah hadis
tersebut, maka kandungan hadis itu terbagi kepada empat macam : qauli,
fi’li, taqriri, dan sifati.
a. Qauli, ialah perkataan yang
disampaikan oleh Nabi saw. dalam berbagai kesempatan dan berkaitan dengan
berbagai hal. Seperti ;
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا
وَيَقُولُ تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ
الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. -رواه احمد-
Dari Anas r.a. ia berkata, “Rasulullah
saw.memerintahkan kepada kami untuk menikah dan melarang dari membujang dengan
larangan yang sangat keras dan beliau bersabda, “Nikahilah oleh kalian
(perempuan) yang subur lagi dicintai. Maka sesungguhnya aku membanggakan
(jumlah) kalian dengan (umat) para Nabi di hari kiamat”. -H.R. Ahmad-
b. Fi’li,
yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi saw. mengenai berbagai perkara ibadah dan
yang lainnya. Seperti :
أَنَّ
وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ أَخْبَرَهُ قَالَ قُلْتُ لاَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ
... ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا -سنن
النسائى-
Dari Wail bin Hujrin ia berkata, “Sungguh aku benar-benar telah melihat
bagaimana Rasul salat ... Kemudian beliau mengangkat telunjuknya, maka aku melihatnya
menggerak-gerakkan telunjuk itu. -H.R. An Nasai-
c. Taqriri,
yaitu persetujuan yang di berikan oleh Nabi saw. terhadap berbagai perbuatan
sebagian sahabat dengan tidak menegurnya atau memperlihatkan keridhaan beliau
bahkan terkadang memberikan pujian dan dukungan. Seperti :
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا
لَمَّا رَجَعَ مِنَ الْأَحْزَابِ لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ
بَعْضَهُمُ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ نُصَلِّي حَتَّى
نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ -رواه البخارى-
Dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah saw.bersabda
sekembalinya dari perang Ahzab, ‘Janganlah seseorang (diantara kalian) salat
Asar kecuali setibanya di Bani Quraidhah’. Maka sebagian sahabat mendapatkan
Asar diperjalanan, lalu berkata sebagian diantara mereka, ‘Kami tidak akan
salat hingga kami sampai ke sana. Dan berkata sebagian yang lain, “Kami akan
salat (di jalan), kemudian tidak disetujui perbutan kami, lalu beritahukan
kepada Nabi saw.maka beliau tidak mencela seorangpun di antara mereka (yang
melakukan salat di perjalanan).
d. Sifati. Sifat-sifat beliau yang termasuk
kandungan hadis ada dua macam :
1. Sifat Jasmaniah ( خِلْقِيَّةٌ), seperti :
قاَلَ
اَبُو عَامِرٍ كُنْتُ أَرَى رَسُولَ اللهِ ص يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ
يَسَارِهِ حَتَّى أَرَى بَياَضَ خَذِّهِ. -رواه مسلم-
Berkata Abu Amir, “Saya pernah lihat Rasulullah
saw. salam ke kanan dan ke kiri, hingga saya lihat putih pipinya.”
2. Sifat Perilaku (خُلُقِيَّةٌ), seperti :
قَالَتْ
عَائِشَةُ : كَانَ النَّبِيُّ يُعْجِبُهُ الْتَيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ
وَتَرَجُّلِهِ وَ طَهُورِهِ وَ فِى
شَأْنِهِ – البخاري -
Telah
berkata Aisyah, “Nabi saw. itu suka mendahulukan yang kanan tentang memakai
kasut, tentang bersisir, tentang bersuci, dan tentang sekalian urusannya”.
-H.R. Al Bukhari-
Ketiga, Latar Belakang Penamaan
Setelah memperhatikan makna bahasa
dan istilah tersebut, kami berpendapat bahwa penamaan Hadis, Sunnah, Khabar,
dan Atsar itu memiliki latar belakang sebagai berikut :
a. Dinamai
Hadis karena ditinjau dari segi wurud (kedatangan) yang terkemudian dibandingkan dengan Alquran yang qadim
(lebih dulu).
b. Dinamai
Sunnah karena ditinjau dari segi isi periwayatan, yaitu perikehidupan Rasul
sebelum bi’tsah (diutus menjadi Rasul) dan sesudahnya.
c.
Dinamai Khabar
karena ditinjau dari segi sifatnya sebagai berita yaitu bisa benar dari Nabi
dan bisa juga tidak.
d. Dinamai
Atsar karena ditinjau dari segi periwayatan (penyampaian), di mana kata itu
diambil dari kalimat.
Keempat, Penggunaan Istilah
Meskipun istilah hadis, sunnah,
khabar, dan atsar secara prinsipil maknanya sama, namun bila dikembalikan
kepada akar sejarah ternyata ada sedikit perbedaan dari segi penggunaannya.
Sunnah menurut sejarah tidak sama
dengan hadis, karena penamaan Sunnah lebih mengikuti makna bahasa, yaitu ath-thariqah
yang berarti jalan. Karena itu kata Sunnah yang dikenal pada masa Rasul dan
para sahabatnya mengandung makna,
اَلطَّرِيقَةُ الْمُتَّبَعَةُ فِي الدِّينِ
“Jalan yang diikuti dalam agama
“
Kemudian Sunnah secara istilah
mulai dipergunakan pada masa permulaan tadwin (kodifikasi hadis) sekitar tahun
99 H, dengan cakupan yang lebih umum dari pada hadis, yaitu sebelum dan sesudah
bi’tsah.
Sedangkan penamaan hadis tidak
mengikuti makna bahasa, bahkan berbeda dengan makna bahasa. Istilah hadis
dipergunakan bagi sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saja, dan pada umumnya
setelah bi’tsah. Dan istilah hadis ini mulai dikenal atau dipergunakan
pada awa abad 2 H / 8 M. Kemudian apabila istilah hadis hendak dipergunakan
untuk selain Nabi, seperti sahabat atau tabi’in, maka harus menggunakan taqyid
(pembeda), seperti mauquf bila bersumber dari sahabat dan maqthu’
bila bersumber dari tabi’in. Sedangkan kata marfu’ hanya dipakai untuk
membatasi perkataan atau perbuatan Nabi semata.
Selanjutnya istilah khabar dan
atsar dipakai untuk sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi, juga kepada sahabat
dan tabi’in tanpa perlu di taqyid dengan kalimat lain seperti halnya hadis.
Penulis, Staf Pengajar dan Ketua Laboratorium Hadis
Pesantren Tahdzibul Washiyyah Jl. Gumuruh, No. 69 Bandung.