Fiqh
Sosial: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji
KH.
M.A. Sahal mahfudz*
Gelar
doktor, baik yang diperoleh melalui studi formal maupun honoris causa,
merupakan titel akademik yang masih dianggap prestigious. Terlebih lagi di
Indonesia, dimana ratio antara masyarakat yang bergelar doktor dan yang tidak
masih jauh dari ideal, gelar doktor masih terkesan elitis. Karena sifatnya yang
masih prestigious serta elitis-akademik itulah, maka wajar jika banyak yang
menaruh harapan masa depan bangsa yang lebih baik di pundak para doktor. Mereka
menganggap para doktor sebagai manusia-manusia super yang dengan pengalaman
serta ilmu pengetahuannya mampu mengudari dan menyelesaikan segala permasalahan
yang ada.
Mungkin
harapan itu berlebihan jika kita melihat kenyataan. Meskipun demikian, kita
tidak dapat menyalahkan kepolosan sikap masyarakat awam. Jika kita mensikapinya
dengan arif, harapan tersebut sebenarnya sangat bermanfaat guna menumbuhkan
rasa tanggung jawab sosial maupun individual.
Sebagai
bagian masyarakat yang memiliki titel kesarjanaan tertinggi, para doktor
dituntut berperan aktif menyumbangkan ilmu pengetahuannya, sehingga kehadiranya
di tengah-tengah masyarakat benar-benar dirasakan manfaatnya. Akan tetapi
sebagai individu yang menyandang gelar akademik tertinggi, para doktor secara
moral dituntut mempertanggungjawabkan gelar prestigious di hadapan dirinya
sendiri, di samping sudah barang tentu, dihadapan Allah. Sejauh mana kontribusi
kita terhadap perkembangan ilmu pengetahuaan, serta sejauh mana komitmen kita
terhadap kebenaran ilmu pengetahuan yang kita miliki? Inilah pertanyaan yang
selalu menghantui saya sesaat setelah diberitahu akan dipromosikan untuk
mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa.
Sebagai
orang yang sehari-hari hidup di tengah masyarakat, saya telah berbuat sesuatu
yang berkenaan dengan pengembangan masyarakat pedesaan baik menyangkut
pendidikan, ekonomi kerakyatan, kesehatan dan lainnya, meskipun mungkin masih
jauh dari target ideal. Beberapa gagasan pemikiran yang selama ini saya
munculkan, selalu saya kemas dengan bahasa sederhana, sesuai dengan target
utama audiens. Itulah karenanya, gelar doktor yang diberikan kepada saya saat
ini, meskipun dipermukaan terlihat sebagai suatu penghormatan, pada hakekatnya
merupakan tambahan beban sekaligus amanat yang diberikan oleh masyarakat
akademik untuk dijaga sebaik-baiknya. Dengan gelar ini berarti saya harus
mempertahankan dan mengingatkan citra keilmuan di tengah masyarakat akademik,
sementara pada saat yang sama saya harus tinggal di “habitat” masyarakat awam.
Saya
menyadari sepenuhnya bahwa titel doktor yang saya sandang akan tersia-siakan
manakala saya gagal memenuhi harapan masyarakat akademik maupun masyarakat
awam. Saya merasa apa yang telah saya lakukan masih terlalu kecil untuk
dianugerahi gelar doktor. Padahal untuk mendapatkan gelar doktor bukan hal yang
mudah. Kapasitas keilmuan seorang doktor bukan hanya ditentukan oleh kesediaan
masyarakat untuk menerima gagasannya, tetapi juga kontribusi keilmuan yang
bernilai akademis tinggi.
Selama
ini, hampir 90 persen dari kehidupan saya, saya gunakan untuk berkumpul dengan
orang desa yang dalam banyak hal tidak mengerti tentang nilai kesarjanaan
formal akademik. Ini yang kemudian membuat saya lebih suka memikirkan hal-hal
yang sifatnya praktis, applicable (dapat diterapkan) dan bahkan tekadang
memilih jalan pragmatis selama masih ada dalam koridor kebenaran agama. Pilihan
ini didasarkan atas kenyataan yang menunjukkan betapa masyarakat yang belum
mampu menyentuh gagasan-gagasan sophisticated (njlimet) dari para pakar. Lain
dari itu, pesan Nabi saw. untuk menjadi orang yang paling banyak memberikan
manfaat kepada sesamanya turut memotifasi saya untuk lebih concern terhadap
hal-hal yang memang secara langsung dibutuhkan oleh kebanyakan masyarakat.
Inilah yang membuat saya menetapkan Fiqh sebagai pilihan untuk dijadikan
jembatan menuju pengembangan masyarakat.
Fiqh,
dalam pengertian ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang bersifat praktis
(amaliyah), telah menjadi warna dasar budaya muslim. Sejak awal pertumbuhannya,
Fiqh telah berkembang sedemikian cepat sehingga melampaui cabang-cabang ilmu
lainnya. Jika dalam tradisi Kristen Theologi terlihat begitu dominan, maka
dalam Islam Fiqhlah yang sangat dominan mewarnai pola kehidupan. Inilah yang
kemudian memunculkan citra bahwa kehidupan masyarakat Islam itu sangat
legalistik. Karenanya tidak salah jika kita ingin melihat perilaku budaya
masyarakat Islam, Fiqh adalah “jendela” yang tepat untuk digunakan.
Fiqh
memang tumbuh dan berkembang begitu cepat serta memberikan pengaruh yang sangat
dominan dalam kehidupan umat Islam. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah,
pada fase Madinah, Islam lahir bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai
negara. Karena lahir sebagai negara, sudah barang tentu ia memerlukan
perangkat-perangkat sosial seperti politik dan hukum. Karena itulah kita
dapatkan hampir keseluruhan ayat ahkam turun paska Hijrah atau pada periode
Madinah.
Meskipun
dalam banyak kasus ayat-ayat Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara detail, saat
Nabi masih hidup, mayarakat Islam tidak banyak mendapatkan kesulitan dalam
menentukan status hukum yang terkait dengan masalah-masalah praktis kehidupan.
Sebagai penerima wahyu, sangat logis jika Nabi diyakini sebagi orang yang
perilaku serta ucapannya (sunnahnya) bersifat otoritatif. Karena logika inilah,
wajar jika sunnah Nabi dianggap sebagai penjelas (tabyin) terahadap Al-Qur’an.
Secara sederhana dapat diungkapkan Al-Qur’an turun, Nabi berbuat sesuai dengan
kehendak Al-Qur’an kemudian masyarakat menirukannya. Namun, setelah Nabi wafat,
“tafsir hidup” itu tidak ada lagi, sementara permasalahan sosial terus
berkembang. Dengan demikian, kebutuhan yang paling mendesak adalah bagaimana
permasalahan baru yang muncul dari daerah taklukan baru mendapatkan legalitas
keagamaan. Karena Islam lahir sebagai agama dan negara, penyebaran Islam pada
masa-masa Nabi pun masih diwarnai dengan watak politik. Akibatnya, sangat wajar
jika lebih banyak permasalahan sosial keagamaan yang bersifat praktis muncul ke
permukaan daripada permasalahan sosial keagamaan yang bersifat theologis. Atas
dasar alasan inilah mengapa kebutuhan terhadap hukum terlihat begitu dominan.
Gambaran
di atas merupakan penyederhanaan argumen mengapa Fiqh berkembang begitu cepat.
Namun sayang, pada akhirnya Fiqh berkembang menjadi salah satu cabang ilmu
ke-Islam-an yang formalistik. Dalam proses pengembangan kerangka teoritiknya,
Fiqh menjadi terpisah dari etika. Inilah yang kemudian dikritik oleh Imam
al-Ghazali bahwa Fiqh telah berkembang menjadi “Ilmu Dunia”.
Karena
pandangan Fiqh yang sangat formalistik itulah dalam konteks sosial yang ada,
ajaran syari’at yang tertuang dalam Fiqh terkadang terlihat tidak searah dengan
bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Zakat misalnya, sebenarnya merupakan ajaran
Islam yang semangatnya adalah menciptakan keadilan sosial ekonomi. Namun dalam
Fiqh, zakat sering dipahami sebagai ibadah formal yang hanya menjelaskan
kewajiban muzzaki untuk mengeluarkan zakat dalam nishab tertentu.
Watak
Fiqh yang formalistik memang sering mengundang orang untuk melakukan manipulasi
(hilah) terhadapnya. Al-Ghazali (Ihya vol. I:19) menceritakan bahwa suatu
ketika Abu Yusuf memberikan seluruh harta kekayaanya kepada isterinya sendiri
pada akhir khaul untuk maksud menggugurkan kewajiban zakat. Ketika Abu Hanifah
menerima cerita itu beliau berkomentar, “Itu adalah pemahaman Fiqhnya,
penglihatan Fiqh dunia akan membenarkan tindakan itu”. Namun dia berkomentar
lebih jauh, “Perbuatan itu akan mendatangkan petaka yang lebih berat dari tindakan
kriminal apapun di akhirat kelak”.
Pengembalian
Fiqh agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip etik dapat dilakukan dengan cara
mengintegrasikan maqasid al-Syari’ah ke dalam proses pengembangan kerangka
teoritik Fiqh. Dalah konteks ini, berarti hikmah hukum harus diintegrasikan ke
dalam ‘illat hukum sehingga diperoleh suatu produk hukum yang bermuara pada
kemaslahatan umum.
Dengan
gambaran di atas, jelas upaya apa pun yang dilakukan untuk tujuan pengembangan
Fiqh menurut kita (para pengembang) memiliki wawasan tentang dimensi etik dan
formal legalistik Fiqh. Penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara
proporsional agar pengembangan Fiqh benar-benar sejalan dengan fungsinya, yakni
sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas permasalahan kehidupan
praktis, baik bersifat individual maupun sosial. Dengan perkataan lain, Fiqh
harus dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Inilah yang
selama ini telah mendorong saya untuk mengembangkan Fiqh yang bernuansa sosial,
tidak hanya bicara halal-haram yang kental dengan nuansa individual atau pun
menghadirkan Fiqh sebagai hukum positif negara.
Sebagaimana
rumusan yang dihasilkan dari halaqah P3M, Fiqh sosial memiliki lima ciri pokok
yang menonjol: Pertama, Interpretasi teks-teks Fiqh secara kontekstual; Kedua,
perubahan pola bermazhab dari bermazhab secara tekstual (mazhab qauli) ke
bermazhab secara metodologis (mazhab manhaji); Ketiga, Verifikasi mendasar mana
ajaran yang pokok dan mana (ushul) dan mana yang cabang (furu’); Keempat, Fiqh
dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara; dan Kelima,
pengenalan metodologi pemikiran filosofi, terutama dalam masalah budaya dan
sosial.
Fiqh
sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks
dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam. Pemecahan problem sosial
berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang
konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum
(al-maslahah al-‘ammah). Kemaslahatan umum secara sederhana dapat dirumuskan
sebagai kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang
kesejahteraan lahiriyahnya. Kebutuhan itu bisa berdimensi dlaluriyah atau
kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan
agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun
kebutuhan hajiyah (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi takmiliyah atau
pelengkap (suplementer).
Untuk
tujuan pengembangan Fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah cukup
menyediakan landasan kokoh sebagaimana tergambar dalam kaidah-kaidah ushuliyah
maupun fiqhiyah. Hingga kini, nampaknya belum ada suatu metodologi (manhaj)
memahami Syari’at yang sudah teruji (mujarrab) keberhasilannya dalam mengatasi
berbagai permasalahan sosial selain apa yang telah dirumuskan oleh para ulama
terdahulu. Bahkan Fiqh dalam pengertian kompendium yurisprudensi pun banyak
yang masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai
permasalahan aktual. Terdorong oleh keyakinan inilah, dalam upaya mengembangkan
Fiqh, penulis akan berangkat dari hasil rumusan para ulama terdahulu baik dalam
konteks metodologis (manhaji) maupun kumpulan hukum yang dihasilkan (qauli).
Secara
qauli pengembangan Fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan kontekstualisasi kitab
kuning atau dengan cara pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah-kaidah Ushul
al-Fiqh maupun Qawa’id al-Fiqhiyah. Sedangkan secara manhaji, bisa dilakukan
dengan cara pengembangan teori masalik al-‘illat agar Fiqh yang dihasilkan sesuai
dengan maslahat al-‘amanah. Atas dasar dua pola inilah, dalam kesempatan yang
berharga ini, penulis ingin mencoba meramaikan wacana akademik dengan topik
bahasan “Fiqh Sosial, Suatu Upaya Pengembangan Madzab Qauli dan Manhaji”. Bagi
para akademisi seperti di UIN Syarif Hidayatullah, Topik ini mungkin klise,
namun untuk dunia pondok pesantren “salafi” atau untuk kebanyakan komunitas NU,
topik tersebut masih relevan untuk dibahas.
Itulah
yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan baik ini. Saya menyadari sepenuhnya,
apa yang telah saya lakukan masih terlalu kecil untuk sebuah imbalan Doctor
Honoris Causa. Harapan saya, semoga Allah selalu memberi kekuatan untuk dapat
menjaga amanat dari masyarakat akademik ini.
Terakhir,
saya ingin mengingatkan diri saya sendiri dan juga kita sekalian bahwa rusaknya
bangsa ini bukan karena kekurangan para doktor dan orang-orang pintar, tetapi
kekurangan orang jujur yang committed terhadap kebenaran ilmu pengetahuan yang
dimilikinya. Untuk itu, marilah kita senantiasa memohon kepada Allah SWT agar
diberi kejelasan penglihatan bahwa yang benar itu benar, dan diberi kemampuan
serta kemauan untuk mengikutinya. Juga, diberi kejelasan penglihatan bahwa yang
salah itu salah, dan diberi kemampuan serta kemauan untuk menjauhinya.
*Disampaikan
oleh KH. M.A. Sahal Mahfudz Dalam Pidato Promovendus Pengukuhan Gelar Doktor
Honoris Causa Di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta