Umar Bin Abdil Aziz
Khalifah Teladan bagi Semua
Pejabat Negara
Umar bin Abdil
Aziz bin Marwan bin Hakam ibnul Ash bin Umayyah bin Abdi Syams, adalah seorang
keturunan bangsawan Bani Umayyah. Ibunya Laila binti Ashim bin Umar bin
Khattab. Jadi dari garis keturunan ibu, ibunya adalah cucu dari khalifah ke-2
Umar bin Khattab.
Ia lahir tahun
61 H dan meninggal tahun 101 H jadi hanya berusia 40 tahun, dalam usia yang
masih muda. Dan ia memerintah juga sangat pendek waktunya, hanya kurang lebih
dua setengah tahun. Walaupun usianya pendek dan memerintah dalam waktu relatif
singkat, tetapi riwayat kehidupan dan pemerintahannya ditulis dengan tinta emas
dalam sejarah Islam. Ayahnya sendiri adalah seorang gubernur/amir di Mesir pada
tahun 65 H.
Ketika Umar bin
Abdil Aziz didaulat dan dibai'at oleh kaum muslimin untuk menjadi khalifah
menggantikan khalifah sebelumnya yang wafat, yaitu Sulaiman bin Abd Malik,
semula ia dengan tegas menolak. Tetapi karena terus didesak oleh kaum muslimin,
terpaksa juga ia menerima sambil mengucap istirja' (mengucap: inna lillahi wa
innaa ilaihi raji'un) seperti orang yang ditimpa musibah, dan bukannya
mengucapkan alhamdulillah seperti layaknya orang yang baru menerima anugerah
satu nikmat atau rahmat.
Ia berpidato:
"Demi Allah, ini sama sekali bukanlah atas permintaanku, baik secara
rahasia ataupun terang-terangan."
Umar bin Abdil
Aziz adalah seorang khalifah dinasti Bani Umayyah yang memerintah negara dengan
jujur dan adil, hidup penuh kesederhanaan, zuhud dan wara. Beliau adalah
seorang kepala negara yang alim, luas ilmunya.
Di antara sikap
hidup dan langkah-langkah yang diambil oleh Umar bin Abdil Aziz sebagai
khalifah ialah:
Pertama,
pembukuan hadis. Menurut Fathul Bary: "Dan awal pertama orang yang
membukukan hadis adalah Ibnu Syihab az-Zuhry pada penghujung tahun 100 H atas
perintah Umar bin Abdil Aziz. Kemudian banyaklah perkembangan dan penulisan
hadis itu, dan hal ini membuahkan hasil yang banyak sekali kegunaannya."
Tersebut pula
dalam matan Al-Bukhariy atas catatan al Fathul Bary dalam Bab Kaifa Yuqbadlul
Ilmu: "Umar bin Abdil Aziz telah menginstruksikan kepada Gubernur Madinah,
Abu Bakar bin Hazmin: Telitilah hadis Rasulullah, kemudian tuliskanlah, karena
saya khawatir terhadap pelajaran ilmu pengetahuan sedang ulama tak ada
lagi."
Dalam Fathul
Bary kisah ini diriwayatkan dengan lafaz: "Umar bin Abdil Aziz telah
mengirim surat ke seluruh pelosok: "Perhatikanlah oleh kamu semua Hadis
Rasulullah saw kemudian himpunkanlah hadis itu."
Kedua, membasmi
feodalisme. Umar bin Abdil Aziz adalah seorang khalifah keturunan kaum feodal
Bani Umayyah, tetapi ia sangat menentang feodalisme itu dalam tindak tanduknya
selama memegang pimpinan negara. Ia tidak setuju cara-cara kaum feodal yang
menguasai banyak tanah luas untuk kepentingan kerabat-kerabat istana.
Dan ia sendiri
membuktikan, bahwa tanah-tanah milik pribadinya sendiri yang luas diberikannya
ke baitul mal untuk kepentingan seluruh kaum muslimin. Ia tidak setuju, bahwa
kaum kerabat istana diberi penghasilan dalam jumlah yang besar yang diambilkan
dari budget mata anggaran negara, walaupun mereka tidak bekerja. Ia menganggap
hal seperti itu tidak adil. Semua cara dan praktik feodalisme gaya lama itu dia
hapus dan akhiri sama sekali.
Ketiga, hidup
sederhana dan antikorupsi. Kalau banyak kepala negara lain berusaha bagaimana
caranya memperkaya diri dan keluarganya setelah menjadi kepala negara, maka
Umar bin Abdil Aziz berpikir dan berusaha agar dirinya bersih lahir dan batin,
dengan cara hidup sederhana, zuhud dan wara.
Harta
kekayaannya sebelum menjadi khalifah berlimpah-limpah. Ia memiliki tanah
perkebunan di Hijaz, Syam, Mesir dan Bahrain. Dari sana ia berolah penghasilan
yang besar, sebanyak tidak kurang dari 40.000 dinar setiap tahun. Belum lagi
penghasilan/gajinya sebagai khalifah. Semuanya itu diserahkannya ke Baitul Mal
untuk kepentingan kaum muslimin, dan ia hanya menggunakan 2 dirham saja dari
kekayaannya itu.
Keteladanan
Suatu hari,
khalifah Umar datang terlambat ke mesjid, padahal hari itu ia harus menjadi
khatib Jumat di mesjid. Orang banyak menjadi gelisah menanti beliau di mesjid.
Berceritera Na'im, saya berjalan dan mendatangi Umar bin Abdil Aziz di rumahnya
dan bertanya kepadanya yang sedang duduk di dekat jemuran kainnya: "Kenapa
engkau duduk di sini?" Jawab Umar: "Saya duduk di sini menanti kainku
yang dicuci dan belum kering untuk dipakai naik mimbar berkhutbah." Aku
bertanya: kain apakah itu? Beliau menjawab: Baju gamis, sarung dan selendang
yang harganya 14 dirham.
Bayangkanlah,
seorang kepala negara, tidak mempunyai pakaian reserve untuk dipakainya
berkhutbah, ia mencuci sendiri pakaiannya karena tidak mempunyai pembantu! Dan
1 set pakaiannya itu berharga tidak sampai 1 dinar.
Beliau sangat
antikorupsi dan jalan-jalan yang tidak lurus dalam memperoleh nafkah.
Keempat, pemaaf
dan penyantun. Walaupun sebagai kepala negara yang berkuasa, Umar bin Abdil
Aziz senantiasa bersikap rendah hati, pemaaf dan penyantun terhadap sesamanya.
Pada suatu ketika ia masuk ke mesjid diiringi pengawal pribadinya. Di dalam
mesjid pada bagian yang agak gelap, tiba-tiba kakinya tertarung/terkait kaki
seorang laki-laki yang sedang tiduran di mesjid.
Orang tersebut
yang tidak mengetahui bahwa yang lewat itu adalah khalifah, menjadi marah-marah
dan berkata kasar: "Apakah engkau gila?" Umar langsung menjawab:
"tidak." Mendengar khalifah di katakan gila oleh laki-laki itu, maka
pengawal khalifah menjadi marah dan bergerak untuk memukul laki-laki itu,
tetapi Umar mencegahnya. "Orang itu tidak berbuat apa-apa, dia cuma
bertanya: "apakah engkau gila?" dan telah saya jawab:
"tidak."
Kelima, memecat
para pejabat yang zalim. Langkah pertama yang sangat prinsip yang dilakukan
oleh Umar bin Abdil Aziz adalah memulihkan keadilan dan kebenaran dengan jalan
memecat para pejabat yang zalim dan korup dan menggantinya dengan pejabat baru
yang adil dan benar, walaupun bukan dari golongan keluarganya atau keluarga
Bani Umayyah.
"Engkau
telah memperdayakan saya dengan sorban hitammy," demikian antara lain
bunyi surat Khalifah Umar kepada Gubernur Basrah yang dipecatnya, yaitu 'Ady
bin Arthaah. Dipecatnya juga Yazid ibnu Abi Muslim, Gubernur Afrika Utara,
Shalih ibnu Abdirrahman, Gubernur Irak dan As Tsaqafi, Gubernur Andalus. Umar
tidak kompromi dengan kezaliman dan ketidak jujuran.
Benarlah apa
yang pernah dikatakan oleh sejarawan dan moralis Inggris, Lord Acton:
"Kekuasaan cenderung untuk korup, dan kekuasaan mutlak, korup secara
mutlak pula."
Negarawan dan
diplomat besar Perancis, menlu, pernah menjadi dubes di London, Talleyrand
berkata: "Segala kekuasaan bisa dicapai dengan ujung bayonet, tetapi
tidaklah mungkin orang selamanya duduk di ujung bayonet itu."
Keenam,
menghadap hakim pengadilan. Untuk memberi contoh kepada rakyatnya bagaimana
seseorang harus menghormati hukum dan keadilan, maka beliau tidak segan
menghadap hakim di pengadilan.
Waktu beliau melakukan perjalanan dinas ke Mesir,
tiba-tiba seorang penduduknya yang berasal dari Hulwan (kurang lebih 25 km dari
Kairo) datang menuntut khalifah supaya hartanya berupa tanah yang diambil oleh
ayah Umar ketika ayahnya itu menjadi gubernur di Mesir untuk pembangunan daerah
itu, diganti harganya. Umar menjawab, seyogianya hal itu diselesaikan lewat
pengadilan.
Di depan hakim
pengadilan, setelah perkara itu diproses dengan cara yang benar oleh hakim,
Umar tunduk untuk memberikan ganti rugi sebesar 1 juta dirham. Umar berkata,
semoga Allah memberkahi engkau wahai tuan hakim! Dan kemudian si penggugat pun
berkata: "semoga Allah memberi berkah kepada engkau wahai khalifah, dan
juga kepada seluruh rakyat engkau. Semoga ke negeri Mesir ini berpindah pula
keadilan sebagaimana keadilan yang engkau miliki, dan keimanan agung yang
engkau punyai."
Sederhana
Timbul
pertanyaan kita sekarang, apakah seorang pejabat tinggi mau dengan penuh
kesadaran datang ke pengadilan memenuhi panggilan hakim, duduk setara dengan
lawannya berperkara?
Khalifah Umar
bin Abdil Aziz meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 101 H di rumahnya yang
sederhana di ibukota kerajaan Islam, Damaskus, dalam usia 40 tahun, usia yang
masih sangat muda.
Sebelum
meninggal, terdengar beliau membaca firman Allah surah Alqashash 83:
"Surga akhirat itu Kami (Allah) peruntukkan bagi orang-orang yang tidak
menginginkan kemegahan di muka bumi ini dan tidak pula membuat kebinasaan. Dan
kemenangan akhir itu adalah bagi orang-orang yang takwa."
Mungkin di
antara kita ada yang bertanya, berapa banyak harta benda yang ditinggalkannya
sebagai warisan buat kaum keluarganya? Umar bin Abdil Aziz adalah anak
keturunan bangsawan yang kaya raya, dan sebelum menjadi khalifah ia telah
memiliki harta yang berlimpah ruah.
Tetapi sebagai
seorang khalifah yang zuhud, semua hartanya yang banyak itu diserahkannya
kepada baitul mal/negara untuk kepentingan umum, dan ia hanya berbelanja harian
sebanyak 2 dirham bagaikan orang miskin layaknya.
Pada waktu
meninggal dunia, Umar bin Abdil Azis hartanya cuma 17 dinar yang kemudian
dibagi-bagi untuk kepentingan penyelenggaraan pemakamannya sebagai berikut: 5
dinar untuk kain kafan, 2 dinar untuk tanah pekuburannya, dan sisanya 10 dinar
untuk dibagikan kepada anaknya yang berjumlah 11 orang.
Sehingga setiap
orang anak beroleh bagian 19 dirham saja. Sungguh sangat mengharukan sekali,
apalagi kalau dibandingkan dengan anak-anak khalifah lain yang ditinggalkan
oleh ayahnya seperti putera khalifah Hisyam bin Abdil Malik yang juga
meninggalkan anak 11 orang. Setiap anak Hisyam mendapat bagian warisan 1 juta
dinar (lebih dari 10 miliar?)
Demikianlah
kehidupan pribadi kepala negara teladan, Umar bin Abdil Aziz yang patut ditiru
dan diteladani oleh setiap orang yang ingin menjadi pemimpin yang menunaikan
amanah yang terpikul di atas pundaknya.
Berbagai
sanjungan dan pujian ditujukan kepadanya. Sebagai contoh, Sufyan as-Tsaury dan
muridnya Iman Stafi'i berkata: "Para khalifah itu sebenarnya hanya 5 orang
saja: Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan Umar bin Abdil Aziz. Yang lainnya adalah
para pelawak belaka." Wallahu a'lam. ibnu