Pengertian Qiyas

Pengertian Qiyas. Pada bulan maret 2006 sudah saya sampaikan salah satu di antara thuruqul istinbath, metode pengambilan hukum Islam, yaitu urf. Pada malam ini kita akan bahasa metode yang lain yang dikenal dengan istilah qiyas. Ada tiga sub masalah yang perlu untuk dikaji ketika kita berbicara 
qiyas
a. Kriteria Qiyas
b. Kehujjahan qiyas
c. Ruang lingkup keberlakuan qiyas

Pengertian Qiyas

Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, Qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Misalnya hukum minum bir (disebut far’un) sama dengan hukum minum khamar (disebut aslun), yaitu haram (disebut hukum asal), karena keduanya sama-sama muskirun (memabukan) (disebut ilat hukum).

Paradigma Qiyas
Berdasarkan paradigma (kerangka pemikiran) qiyas
a. Mnum bir disebut far’un
b. Minum khamar disebut aslun
c. Haram disebut hukum asal
d. muskirun (memabukan) disebut ilat hukum.
Jadi qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas karena ada kesamaan 'illat di antara kedua peristiwa itu

Dasar Hukum Qiyas

Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum. Ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun mereka semua akan mempergunakan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Meskipun demikian ada sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya salah satu aliran dari Madzhab Zhahiri dan Madzhab Syi'ah.

Argumentasi Jumhur
A. Alquran
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisâ': 59)

Dari ayat tersebut dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadis. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan al-Hadis hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur'an dan al-Hadis. Kata fain tanaza’tum menunjukkan bahwa hukum sesuatu itu tidak ditegaskan dalam Alquran dan sunah. Buktinya terjadi perbedaan pendapat. Sedangkan kata farudduhu ilallah war rasul menunjukkan salah satu metode penetapan hukum yang tidak ada nashnya, yaitu dengan cara menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadis. Cara seperti ini oleh para ahli fiqih dan ushul fiqih disebut qiyas.


هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنْ اللَّهِ فَأَتَاهُمْ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمْ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي الْأَبْصَارِ

"Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam." (al-Hasyr: 2)
Pada ayat ini terdapat perkataan fa'tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara' dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.

b. Sunah Rasul
Secara praktik, metode qiyas sudah digunakan oleh Nabi saw. dalam menetapkan hukum secara taufiqi, yakni proses pembentukan syariat melalui ijtihad Nabi, bila salah akan turun teguran dari Allah Misalnya,

2. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti: "Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada hadis tersebut Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah, yaitu nazar, dengan hutang kepada manusia. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.
beliau melakukan qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khattab RA, sebagai berikut.

"Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar; saya mencium isteri saya, padahal saya sedang saum. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu berkumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa? Lalu saya jawab: tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Maka tetaplah kamu berpuasa!" (I'lamul Muwaqqi'in, Juz: I, hal: 199).
Pada hadis di atas Rasulullah saw. menetapkan tidak batal saum karena mencium isterinya dengan mengqiyaskan kepada tidak batal puasa seseorang karena berkumur-kumur.
Juga seperti hadis Rasulullah SAW :

2. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
"Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)


Dari hadis ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadis yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.


قَالَ الْخَطَابِيُّ: يُرِيْدُ الإِجْتِهَادَ فِيْ رَدِّ الْقَضِيَّةِ مِنْ طَرِيْقِ الْقِيَاسِ إِلَى مَعْنَى الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَلَمْ يُرِدِ الرَّأْيَ الَّذِيْ يَسْنَحُ لَهُ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ أَوْ يَخْطُرُ بِبَالِهِ مِنْ غَيْرِ أَصْلٍ مِنْ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ.

Al-Khatabi berkata: “Ijtihad yang dimaksud oleh Mu’adz ialah akan mengenbalikan suatu perkara dengan jalan Qiyas kepada makna Quran dan Sunnah, dan ia tidak bermaksud dengan semata-mata pikiran yang terlintas di hatinya tanpa bersandar kepada Alquran atau Sunnah.” A.Hasan,1984:38, ‘Aunul Ma’bud IX:369


c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.

Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:

"kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran…"


Sehubungan dengan itu Ibnul Qayyim berkata


قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ: فَالصَّحَابَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ مَثَّلُوْا الْوَقَائِعَ بِنَظَائِرِهَا وَشَبَّهُوْهَا بِأَمْثَالِهَا وَرَدُّوْا بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ فِيْ أَحْكَامِهَا


Ibnul Qayyim berkata: “Para Shahabat Nabi saw. membandingkan peristiwa-peristiwa dengan peristiwa yang sama, dan mereka mempersamakan dengan perkara-perkara yang serupa dengannya, dan mereka mengembalikan sebagiannya kepada sebagian yang lain tentang hukum-hukumnya.” A.Hasan,1984:40


وذلك يدل على أن الصحابة مثلوا الوقائع بنظائرها وشبهوها بأمثالها وردوا بعضها إلى بعض في أحكامها وأنه ما من واحد من أهل النظر والاجتهاد منهم إلا وقد قال بالرأي والقياس


Al-Ihkam li al-Amidi IV:46
d. Akal

Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.

Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Qur'an dan al-Hadis ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari'at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam al-Qur'an dan Hadis. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan.
Agar qiyas itu dapat digunakan dengan benar, maka para ulama telah menetapkan rukun dan syarat qiyas sebagai berikut:


A. Rukun qiyas.
1. Asal (yang hendak dijadikan tempat qiyas)
2. far’un (yang hendak diqiyaskan)
3. Hukum asal (ketetapan yang ada pada asal).
4. Illat ( yaitu sebab atau sifat yang sama antara asal dan far’un).


B. Syarat qiyas
1. Asal dan hukum asal harus ditetapkan berdasarkan Alquran dan Sunnah.
2. Asal merupakan perkara keduniaan atau dapat dipikirkan sebab-sebabnya. Dan tidak ada qiyas dalam urusan ibadah.
3. Illat itu ma’ qulul ma’na (dapat diketahui sebab-sebabnya).
4. Illat ditetapkan berdasarkan syariat.

Rukun dan syarat tersebut menunjukkan bahwa qiyas bukan sumber hukum yang mandiri.

Contoh kasus Zakat profesi yang ditetapkan berdasarkan qiyas

1. tidak semua harta an-Namai wajib zakat, ternyata kuda tidak wajib zakat padahal sama an-Nami seperti kambing, sapi atau unta.

2. Harta yang tidak an-Nami ada yang wajib dikeluarkan zakatnya seperti emas atau perak. Dengan demikian illah an-nami-nya tidak mutharadiah (merata) dalam segala hal padahal dalam qaidah ushul fiqih (yurisprudensi hukum Islam) dinyatakan
أَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Hukum itu beredar bersama illatnya, ada dan tidak adanya

Dengan pengertian ada illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum.

3. An-Nama’u itu bukan illat tetapi arti zakatnya itu sendiri menurut lughah, jika itu dianggap illat maka akan terjadi ungkapan “an-Nama’u” (zakat) itu wajib, karena ada illat an-Nama’u.

4. Kemudian kalau pada zakat itu berlaku hukum qiyas, berarti ada ashlu, far’u, hukmul ashal, dan illah hukum ashal. Kalau mau menetapkan wajib zakat profesi, mana yang mau dianggap ashlu?

a. kalau diqiyaskan kepada pertanian berarti berlaku hukum musim dan penyiraman, yakni zakat pertanian itu dikeluarkan pada waktu memanennya (sedangkan masa panennya juga tidak sama tergantung jenis tanamannya, ada yang setahun sekali, ada yang enam bulan sekali, dan ada juga yang dua bulan sekali atau bahkan satu bulan sekali) dan bila disirami air hujan zakatnya 10 % sedangkan bila disiram dengan menggunakan lagi tenaga manusia atau binatang zakatnya 5%.
Maka bila zakat profesi diqiyaskan kepada pertanian berarti nishabnya seharga 5 wasaq (650 Kg), dikeluarkan pada setiap menerima upah atau gajih, ada yang bulanan, mingguan atau harian (seperti halnya musim dalam pertanian). Kemudian apakah bila pakai ongkos lagi ke kantornya zakatnya 5% sedang berjalan kaki zakatnya 10%?

b. jika diqiyaskan kepada tijarah berarti tidak ada nisab dan haul, dengan demikian maka akan wajib zakat dalam gajih, upah atau hasil profesi, baik yang berpenghasilan besar ataupun kecil, demikian juga bagi yang berpenghasilan bulanan, mingguan atau harian. Kemudian zakat tijarah itu dikeluarkan dari modal bukan dari keuntungan, maka dalam profesi mana yang dianggap modal dan mana yang dianggap keuntungan?

c. jika diqiyaskan kepada emas dan perak, apakah mau dianggap perhiasan atau bukan perhiasan karena dalam perhiasan tidak ada nisab dan haul dan hanya satu kali sedang dalam zakat emas yang bukan perhiasan ada nisab dan haul dan dikeluarkan setiap tahun.

d. jika kepada ternak apakah mau diqiyaskan kepada unta, sapi atau kambing, karena nisab masing-masingnya berbeda. Maka mengingat sulitnya menerapkan hukum qiyas dalam profesi maka ini berarti zakat itu ta’abudi ialah mengeluarkan harta tertentu dengan ukuran tertentu dan dibagikan kepada mustahiqnya yang juga telah ditentukan oleh agama.

3. Alasan golongan yang tidak menerima qiyas

Telah diterangkan bahwa ada golongan yang tidak menerima qiyas sebagai dasar hujjah. Alasan-alasan yang mereka kemukakan, ialah:

a. Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan keras), dan 'illatnyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang dhan, berdasar firman Allah SWT:

Artinya: "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu…" (al-Isrâ': 36)

b. Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar bin Khattab:

Artinya: "Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak sanggup menghapal hadis-hadis, lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang."

Jika diperhatikan alasan-alasan golongan yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah akan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Ayat 36 surat al-Isrâ', tidak berhubungan dengan qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin memperoleh keuntungan walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan hal-hal yang berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan sukatan, perintah Allah memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh Allah melakukan tipuan dalam hal ini untuk mengambil harta orang lain. Sedang penegasan Umar bin Khattab berawanan dengan isi suratnya kepada Mu'adz bin Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya. Pernyataan Umar di atas memperingatkan orang-orang yang terlalu berani menetapkan hukum, lebih mengutamakan pikirannya dari nash-nash yang ada dan tidak menjadikan aI-Qur'an dan Hadis sebagai pedoman rasionya di dalam proses mencari dan menetapkan hukum atas masalah-masalah hukum yang baru.

Golongan ra'yu yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang menomorsatukan rasio, terlepas dari dari al-Qur'an dan al-Hadis, sehingga kedudukan al-Qur'an bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampinhkannya sama sekali. Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir golongan ra'yu (rasional) yang dikecam Umar bin Khattab tersebut tidak berfikir secara Islami. Apalagi kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subyektivitas kepentingan individu dan golongannya, sedang surat Umar kepada Mu'adz membolehkan untuk melakukan giyas, jika tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.

Ijtihad Rasul

Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.

Kesimpulan tersebut, sesuai dengan sabda beliau sendiri :
Artinya : 

"Sungguh saya memberi keputusan diantara kamu tidak lain dengan pendapatku dalam hal tidak diturunkan (wahyu) kepadaku." (HR. Abu Daud dan Ummi Salamah).
Rasulullah SAW adalah seorang manusia juga sebagaimana manusia yang lain pada umumnya maka hasil ijtihadnya bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda :
Artinya :

"Saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar; dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah bisa benar." (Ijtihad Rasul, hal: 52-53).

Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah, Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar.
Sebagai contoh hasil ijtihad beliau tentang tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur'an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni :
Artinya :
"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (Al-Anfaal: 67).
Jika terhadap hasil ijtihad Rasulullah SAW tersebut, tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan sudah barang tentu termasuk ke dalam kandungan pengertian As-Sunnah (Al-Hadis).

Kegiatan ijtihad pada masa ini, bukan saja dilakukan oleh beliau sendiri, melainkan beliau juga memberi ijin kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau dalam menghadapi suatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terjadi ketika beliau mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, yang diterangkan dalam hadis sebagai berikut :
Artinya :
"(Rasulullah SAW bertanya) : Bagaimana cara kamu memutusi jika datang kepadamu suatu perkara? Ia menjawab : Saya putusi dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab Allah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati (hukum itu) dalam kitah Allah? Ia menjawab : Maka dengan Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati dalam Sunnah Rasulullah juga dalam kitab Allah? Ia menjawab : Saya akan berijtihad dengan pikiran dan saya tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda : Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah SAW yang diridlai oleh Rasulullah." (HR. Abu Daud).
Bahkan beliau pernah memerintahkan 'Amr bin 'Ash untuk memberi keputusan terhadap suatu perkara, padahal beliau di hadapannya. Atas perintah itu, lalu 'Amr bertanya kepada beliau :
Sebagai contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat, yakni ijtihad yang dilakukan oleh 'Amar bin Yasir, sebagai berikut :

Artinya: 
"Saya telah berjunub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling pada debu kemudian saya mengerjakan shalat. Lalu hal itu, saya sampaikan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda : Sesungguhnya cukup kamu melakukan begini : Nabi menepuk tanah dengan dua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu menyapukannya ke wajahnya dan dua telapak tanganya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada hadis di atas, 'Ammar bin Yasir mengqiyaskan debu dan air untuk mandi dalam menghilangkan junubnya, sehingga ia dalam menghilangkan junub karena tidak mendapatkan air itu, dilakukan dengan berguling-guling di atas debu. Namun hasil ijtihadnya ini tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW.

Hasil ijtihad para sahabat tidak dapat dijadikan sumber hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipedomani oleh kaum muslimin, kecuali jika hasil ijtihadnya telah mendapat pengesahan atau pengakuan dari Rasulullah SAW dan tidak diturunkan wahyu yang membatalkannya, maka itu disebut hadis taqrir.

Dari uraian di atas dapat dipetik arti bahwa ijtihad baik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun oleh para sahabatnya pada masa ini tidak merupakan sumber hukum, karena keberadaan atau berlakunya hasil ijtihad kembali kepada wahyu.
Akan tetapi dengan adanya kegiatan ijtihad yang terjadi pada masa ini, mempunyai hikmah yang besar, karena hal itu merupakan petunjuk bagi para sahabat dan para ulama dari generasi selanjutnya untuk berijtihad pada masa-masanya dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW atau yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak mut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :

Artinya : 
"Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah : 236).

Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqhkarena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya.

Pengunjung