KEDUDUKAN
RIWAYAT AHLI BID’AH
* Pengertian Bid’ah
Bid'ah menurut bahasa, diambil dari
bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Allah berfirman.
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
"Allah
pencipta langit dan bumi" [Q.s. Al-Baqarah : 117]
Artinya
Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga
firman Allah.
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنْ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ
"Katakanlah
: 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul". [Q.s. Al-Ahqaf
: 9].
Maksudnya:
Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah
Ta'ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul
yang telah mendahuluiku.
Dan
dikatakan juga : "Fulan mengada-adakan bid'ah", maksudnya : memulai
satu cara yang belum ada sebelumnya.
Kata Bada’a secara bahasa mempunyai
dua makna;
Pertama,
bermakna sesuatu yang diciptakan (diadakan) tanpa ada contoh sebelumnya. Makna
ini sebagaimana dalam firman Allah dalam surat
Al-Ahqaf ayat 9 di atas.
Ibnu
Rajab berkata, “Adapun yang terdapat dalam perkataan ulama salaf yang
menganggap baik sebagian bid’ah adalah bid’ah dalam pengertian bahasa. Bukan
bid’ah dalam pengertian syari’at. Di antaranya perkataan Umar tatkala
memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat tarawih pada bulan
Ramadhan di satu tempat dengan dipimpin seorang imam, maka beliau berkata,
“Inilah sebaik-baiknya bid’ah” [1]
Kedua,
bermakna lelah dan bosan, dikatakan “Abda’at Al-ibilu” artinya unta bersimpuh
di tengah jalan, karena kurus atau (terkena) penyakit atau lelah.
Di
antara penggunaan kata bid’ah dalam makna ini adalah perkataan seorang laki-laki
yang datang menemui Rasulullah,
إِنِّي أُبْدِعَ بِي
فَاحْمِلْنِي فَقَالَ مَا عِنْدِي فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا
أَدُلُّهُ عَلَى مَنْ يَحْمِلُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Sesungguhnya
saya kelelahan, tolong berilah saya bekal, maka Rasulullah berkata, ‘Saya tidak
punya”. Maka seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, saya akan tunjukan
dia kepada orang yang bisa membantunya”. Maka Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa
menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang
yang mengerjakannya’.” H.r. Muslim
Sedangkan
secara istilah, sebagaimana diterangkan oleh as-Syatibi
قَالَ اْلاِمَامُ
الشَّاِطِبُّي : أَلْبِدْعَةُ هِيَ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِى الدِّيْنِ
مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِى الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا
الْمُبَالَغَةُ فِى التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Imam Asy Syatibi mengatakan, ”Bid’ah
itu adalah keterangan tentang satu cara
dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syari’at, dengan mengikuti cara
itu dimaksudkan agar lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah
swt”.[2]
Dalam perkataan lain bid’ah adalah
اْلأَمْرُ
اْلمُحْدَثُ فِى الدِّيْنِ عَقِيْدَةً أَوْعِبَادَةً أَوْ صِفَةً لِلْعِبَادَةِ
لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
urusan yang diada-adakan dalam
agama, baik berupa aqidah, ibadah, maupun cara ibadah yang tidak terdapat pada
zaman Rasulullah saw.
* Macam-macam Bid’ah
Bid'ah
dalam Ad-Dien (Islam) ada dua macam :
[1]
Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan,
seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua
firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan
mereka.
[2]
Bid'ah fil ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan
apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada
beberapa bagian yaitu :
[A].
Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu
ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan
shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau
mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran
dan lain sebagainya.
[B].
Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan,
seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
[C].
Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah
yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang
disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti
membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas
sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
[D].
Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak
dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu
Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada
dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya
dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.
* Kelompok Ahli Bid’ah
Para ulama membagi ahli
bid’ah ke dalam dua kelompok. Pertama, ahli bid’ah yang mukaffirah (menjadi
kafir akibat bid'ahnya). Kedua, ahli bid’ah yang mufassiqah (menjadi fasik
karena bid'ahnya).
(1)
Bid’ah Mukaffirah
Bid'ah Mukaffirah terjadi karena
(a) mengingkari suatu perkara yang telah disepakati, telah mutawatir
(khabarnya), serta secara pasti bisa diketahui dari agama. Seperti mengingkari
sesuatu yang sudah difardhukan, atau menfardhukan sesuatu yang tidak
difardhukan, atau menghalalkan sesuatu yang haram, atau mengharamkan sesuatu
yang halal, menafikan asma' wa Shifat Allah (karena ini merupakan pendustaan terhadap
nash-nash yang mutawatir dan secara pasti bisa diketahui dari agama, dan ini
sama halnya menyamakan Allah dengan sesuatu yang tidak berwujud). Dan termasuk
juga ucapan seseorang : "Akal pikiran, perasaan dan politik merupakan
hujjah yang qath'i, dan syari'at bertentangan dengannya", dan ucapan :
"Saya tidak membutuhkan Muhammad - dalam perkara-perkara agama - ",
atau : "saya dengannya seperti halnya Nabi Khidir 'alaihis salam dengan
Musa 'alaihis salam, yakni syari'atnya tidak wajib atas saya". Dan lain
sebagainya dari ucapan-ucapan yang kufur
(b) meyakini sifat ketuhanan pada sebagian manusia sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang Nashara terhadap Isa alaihis salam,
(c) sikap melampaui batas yang dilakukan orang-orang Syi'ah terhadap
Ali radhiyallahu 'anhu, atau sikap orang-orang Syufi terhadap sebagian Masyaikh
mereka.
Kesimpulan:
Bid'ah Mukaffirah adalah bid’ah yang menodai ushuluddin
(pokok-pokok keimanan)
Ahli
bid’ah mukaffirah terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu, (1) ahli bid’ah
yang memperbolehkan dusta untuk menguatkan pendapatnya. (2) ahli bid’ah yang
tak membolehkan dusta. (3) ahli bid’ah yang da’iyyah (mempropagandakan)
bid'ahnya, (4) ahli bid’ah yang tidak da’iyyah bid'ahnya.
Tanda-tanda Ahli Bid’ah Mukaffirah
Ahli Sunah membedakan antara suatu pendapat dengan
pelakunya. Suatu pendapat adakalanya berupa kekufuran dan kefasikan, tetapi
pelakunya tidak Kafir dan tidak pula Fasik. seperti halnya suatu pendapat
adakalanya berupa ketauhidan dan keimanan, akan tetapi pelakunya tidak beriman
dan tidak pula bertauhid.
Suatu pendapat kekufuran dapat dikategorikan sesuai dengan
pelakunya, apabila memenuhi beberapa syarat dan harus hilang
penghalang-penghalangnya.
Ahli
bid’ah mukaffirah memiliki tanda-tanda yang lengkap dan nampak sehingga mereka
mudah dikenal, antara lain
Adapun
Syarat-syaratnya, antara lain 1 :
1. Hendaknya pendapatnya itu secara jelas menunjukkan
kekufuran yang dilakukan berdasarkan pilihannya dan bukan karena terpaksa.
2. Hendaknya dia terus berpegangan dengan pendapatnya yang
kufur tersebut, dan ketika ditunjukkan kepadanya (al-haq) dia tetap
memeganginya. Adapun jika dia tidak memegangi pendapatnya tersebut, bahkan dia
menolak dan mengingkarinya, maka dia tidak kafir.
3. Hendaknya telah ditegakkan hujjah kepadanya dan dia
telah jelas terhadap perkara tersebut. Hal ini berdasar firman Allah ta'ala :
"Dan
kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang Rasul ".
(Al-Israa' : 15)
Allah
ta'ala berfirman :
"Dan
barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya .....".
(An- Nisaa' : 115)
Adapun
Penghalang-penghalangnya, antara lain 2 :
1.
Dia baru masuk Islam
2. Dia hidup di Gurun yang jauh. Termasuk dalam kelompok
ini adalah orang yang tidak mempunyai Ulama selain Ulama' bid'ah yang mereka
mintai fatwa dan mereka ikuti.
3.
Dia kehilangan akalnya karena gila atau karena yang lain.
4. Belum sampai kepadanya nash-nash dari Al-Kitab dan
As-Sunah , atau telah sampai (nash-nash tersebut) tetapi belum jelas baginya -
kalau itu dari Sunah -, atau dia belum tuntas dalam memahaminya.
5. (Nash-nash tersebut) telah sampai kepadanya, dia telah
jelas dalam memahaminya, akan tetapi disodorkan kepadanya sesuatu yang
bertentangan dengan nash-nash tersebut - baik yang berasal dari akal pikiran
maupun perasaan - yang mengharuskan penta'wilan, walaupun dia akan berbuat
kesalahan. Termasuk (kelompok) ini adalah Mujtahid 'Ahli Ijtihad' yang salah
dalam ijtihadnya. Karena Allah akan mengampuni kesalahannya dan memberinya
pahala atas ijtihadnya itu apabila niatnya baik.
Dengan demikian, tidak boleh menghukumi orang tertentu
dengan kekufuran kecuali setelah terpenuhi syarat-syaratnya dan telah hilang
penghalang-penghalangnya. Adapun yang dinukil dari Salaf tentang pemutlakan
kufur dan laknat , maka hal itu tetap berada pada kemutlakan dan
keumumannya.Tidaklah ditetapkan kekufuran pada orang tertentu kecuali harus
dengan dalil. Berkata Ibnu Taimiah rahimahullah : "Sesungguhnya para Imam
- seperti Imam Ahmad rahimahullah telah berhubungan langsung dengan Jahmiah,
golongan yang mengajaknya kepada pendapat (yang mengatakan bahwa) Al-Qur'an
adalah makhluk, dan kepada penafian Sifat-sifat Allah. Dan yang telah
mengujinya beserta para Ulama' semasanya, mereka telah memfitnah orang-orang
Mukmin dan Mukminah yang tidak sefaham dengan mereka , baik dengan pukulan,
penjara, pembunuhan, pengusiran dari daerah, embargo ekonomi, menolak
persaksian mereka , dan tidak membebaskan mereka dari cengkraman musuh. (Hal
itu bisa terjadi) karena kebanyakan dari Ulil Amri-nya berasal dari mereka, baik
para Wali , Hakim, maupun yang lainnya. Mereka mengkafirkan setiap orang yang
tidak menganut faham Jahmiah dan yang tidak setuju dengan pendapat mereka dalam
menafikan Sifat-sifat Allah dan pendapat (yang mengatakan) bahwa Al-Qur'an
adalah makhluk. Mereka menghukumi (selain mereka) seperti halnya mereka
menghukumi orang-orang Kafir.
Kemudian
(ternyata) Imam Ahmad rahimahullah mendo'akan Khalifah dan selainnya dari
orang-orang yang memukul dan memenjarakannya. Dia memintakan ampun buat mereka
dan menganggap selesai perbuatan yang telah mereka lakukan kepadanya, baik yang
berupa kedzaliman dan seruan kepada pendapat yang kufur. Kalau seandainya
mereka telah Murtad dari Islam, maka tidak boleh memintakan ampun buat mereka.
Karena memintakan ampun buat orang-orang Kafir tidak diperbolehkan Al-Kitab ,
As-Sunah dan Ijma'.
Beberapa
pendapat dan perbuatan yang berasal dari beliau ini dan juga yang berasal dari
para Imam lainnya secara jelas (menunjukkan ) bahwa mereka tidak mengkafirkan
orang tertentu dari Jahmiah yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk, dan Allah
tidak bisa dilihat di Akhirat...." 1 .
Jadi
orang yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunah , adakalanya seorang Mujtahid yang
salah, atau orang Jahil yang diampuni, atau seorang pelanggar yang dzalim seperti
pelaku dosa besar, atau seorang Munafik Zindik seperti orang yang
menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman, atau orang Musyrik yang
sesat yaitu orang yang melakukan kekufuran dengan teranng-terangan. Dan
masing-masing mereka mendapat muamalah sesuai kedudukannya.
Walaupun demikian, seyogyanya tidak difahami bahwa orang
yang mendapat tameng yang bisa menghalangi dirinya dari ancaman, kemudian dia
menganggap bahwa amalnya ini - perselisihannya terhadap Sunah - merupakan
perbuatan yang mubah atau disyari'atkan, apalagi kalau sampai menganggapnya
sesuatu yang wajib atau sunah.
Udzur
dengan Kebodohan 2.
Di sini harus ada pembeda antara orang bodoh yang kokoh
ilmunya dan mengenal al-haq kemudian dia berpaling darinya, dengan orang bodoh
yang tidak kokoh ilmunya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa segi :
Orang
yang kokoh ilmunya, tetapi dia berpaling dan lalai, dia meninggalkan hal-hal
yang wajib, maka tidak ada udzur baginya di sisi Allah. Adapun orang yang tidak
mampu bertanya dan lemah ilmunya sehingga ilmunya tidak kokoh dalam beberapa
hal, maka orang semacam ini ada dua jenis :
1.
Orang yang menginginkan hidayah, dia terpengaruh dengannya, dan dia
mencintainya, akan tetapi dia tidak mampu untuk mendapatkan dan mencarinya,
karena tidak adanya orang yang membimbingnya. Maka orang semacam ini hukumanya
sama dengan orang yang mengalami masa fatrah ' masa terputusnya pengiriman
Rasul' dan sama dengan orang yang tidak sampai dakwah kepadanya .
2.
Orang yang berpaling dan tidak menginginkan hidayah, dan dia sendiri tidak
pernah berkomunikasi dengan sesuatu diluar keyakinannya.
Orang
pertama mengatakan : " Ya Rabbi, seandainya saya tahu bahwa Engkau
memiliki agama yang lebih baik dari agama yang saya anut ini, maka saya pasti
memeluknya dan saya akan meninggalkan agama yang telah saya anut. Tetapi saya
tidak tahu selain yang saya anut ini, saya tidak mampu untuk mencarinya,
kesungguhan saya dalam mencarinya sudah finish, dan ini adalah batas
pengetahuan saya.
Orang
kedua hanya menerima sesuatu yang dianutnya saja, orang lain tidak bisa
mempengaruhinya, dan dia tidak berusaha mencarinya. Tidak ada beda baginya
antara waktu mampunya dan waktu lemahnya. Orang semacam ini tidak bisa
disamakan dengan orang pertama, karena keduanya terdapat perbedaan.
Orang
pertama seperti orang yang mencari agama pada masa fatrah, tetapi dia tidak
sabar dalam mencarinya, sehingga dia berpaling - setelah menghabiskan tenaga
dalam mencarinya - karena ketidakmampuan dan ketidaktahuannya.
Orang
kedua seperti orang yang tidak ada usaha dalam mencarinya, bahkan dia mati
dalam kesyirikannya, dan walaupun dia mencarinya maka dia tidak akan mampu.
Maka bedakanlah orang lemah yang berusaha mencarinya dengan orang lemah yang
berpaling ( dari mencarinya).
Rincian
pembahasan diatas adalah untuk menjelaskan bahwa orang yang menyelisihi Manhaj
Ahli Sunah dalam masalah-masalah I'tiqad adakalanya seorang yang jelas
kekufurannya dan adakalanya tidak demikian.
Orang
yang menyelisihi (Manhaj Ahli Sunah ) kadang-kadang orang Kafir yang
menunjukkan kekufurannya, atau orang Munafik yang menyembunyikan kekufurannya,
atau orang yang dzalim, atau orang Jahil yang diampuni, atau Mujtahid yang
salah (dalam berijtihad). Ibnu Taimiah rahimahullah mengatakan : "Tidak
semua orang yang menyelisihi sesuatu dari permasalahan i'tiqad ini pasti
binasa. Karena orang yang menyelisihi itu adakalanya orang salah yang diampuni
kesalahannya oleh Allah, adakalanya belum sampai ilmu dan hujjah kepadanya,
adakalanya dia memiliki banyak kebaikan sehingga Allah menghapus kesalahannya
dengan (kebaikannya tersebut)....Kesimpulan dari pembahasan ini adalah
barangsiapa yang meyakini Manhaj ini , maka selamatlah keyakinannya itu, dan
barangsiapa yang meyakini selainnya, adakalanya dia selamat dan adakalanya dia
tidak selamat ".1 r
(2)
Bid’ah Mufassiqah
Bid'ah Mufassiqah atau Ghairu Mukaffirah
(bid'ah yang tidak menyebabkan kekafiran) ialah bid'ah yang tidak menodai ushuluddin,
serta tidak membatalkan sesuatu yang mutawatir dari syar'i dan secara otomatis
bisa diketahui dari agama. Akan tetapi bid'ah ini sesat dan menyimpang dari
al-haq dan dari As-Sunah. Bid'ah ini ada beberapa tingkatan. Ibnu Taimiah
rahimahullah berkata, "Dan seyogyanya diketahui - juga - bahwa
kelompok-kelompok yang menisbatkan (diri) mereka kepada pengikut Ushulud Din
'Pokok-pokok agama' dan kepada Ilmu Kalam, mereka berada pada beberapa
tingkatan : Di antara mereka ada yang menyalahi pokok-pokok Sunah yang prinsip,
dan di antara mereka ada yang menyalahinya dalam perkara-perkara yang lebih
rinci".[3]
Kesimpulan:
Bid'ah Mufassiqah adalah bid’ah yang menodai hal-hal yang
wajib atau sunah. Bid'ah semacam ini berada pada tingkatan dosa besar atau dosa
kecil
Ahli
bid’ah mufassiqah terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu, (1) ahli bid’ah yang da’iyyah
(mempropagandakan) bid'ahnya, (2) ahli bid’ah yang tidak da’iyyah
bid'ahnya.