HUKUM MENTALQINI MAYIT SETELAH DIKUBUR

 MENTALQINI MAYIT SETELAH DIKUBUR

Dalam upacara penguburan jenazah, apabila telah selesai dari penguburanya Rasulullah saw. berdiri dan meminta kepada orang-orang yang hadir untuk memintakan ampunan dan ketetapan bagi jenazah itu. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadis:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ.

Dari Usman bin Afan, ia berkata,’Nabi saw. apabila telah selesai dari menguburkan janazah beliau berdiri di situ, kemudian bersabda,’Mintakanlah ampunan bagi saudara kamu dan mintakanlah ketetapan baginya karena sekarang ini dia akan ditanya”. H.r. Abu Daud, II : 70, Al Hakim, I : 137, Al Baihaqi, IV : 56.
Al Hakim menyatakan,’Hadis ini sanadnya sahih dan kesahihannya disepakati oleh Ad Dzahabi.
Maka dengan hadis ini dianggap baik (disunatkan) apabila telah selesai dari penguburan jenazah, hendaklah salah seorang berdiri dan meminta kepada yang mengahadirinya agar memintakan ampunan dan ketetapan bagi janazah itu. Adapun caranya tidak dijaharkan dan diamini dalam mendoakannya.

Berkaiatan dengan masalah ini, terdapat sebuah riwayat yang menerangkan bahwa apabila telah selesai dari penguburan hendaklah salah seorang dari yang menghadirinya untuk mentaqini jenazah itu. Adapun hadisnya sebagaimana berikut:

حدثنا أبو عقيل أنس بن سلم الخولاني ثنا محمد بن إبراهيم بن العلاء الحمصي ثنا إسماعيل بن عياش ثنا عبد الله بن محمد القرشي عن يحيى بن أبي كثير عن سعيد بن عبد الله الأودي قال شهدت أبا أمامة وهو في النزع فقال إذا أنا مت فاصنعوا بي كما أمرنا رسول الله  صلى الله عليه وسلم  أن نصنع بموتانا أمرنا رسول الله  صلى الله عليه وسلم فقال إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحدكم  على رأس قبره ثم ليقل يا فلان بن فلانة فإنه يسمعه ولا يجيب ثم يقول يا فلان بن فلانة فإنه يستوي قاعدا ثم يقول يا فلان بن فلانة فإنه يقول أرشدنا رحمك الله ولكن لا تشعرون فليقل أذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله وأنك رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا وبالقرآن إماما…فقال رجل يا رسول الله فإن لم يعرف أمه قال فينسبه إلى حواء يا فلان بن حواء. الطبراني ، المعجم الكبير 8: 298.

Abu ‘Aqil Anas bin Salam al Khaulani menceritakan kepada kami, Muhamad bin Ibrahim bin al Ala’I al Himshi menceritakan kepada kami, Ismail bin Ayasy menceritakan kepada kami, Abdullah bin Muhamad al Qurasyi menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Abu Katsir dari Sa’id bin Abdullah al Audi, ia berkata,’Aku menghadiri Abu Umamah pada waktu menjelang kewafatannya. Ia mengatakan,’Apabila aku mati hendaklah kamu melakukan untuk aku sebagaimana Rasulullah saw. memerintah kami agar kami berbuat kepada orang-orang yang mati di antara kami. Rasulullah memerintah kami dan beliau bersabda,’Apabila salah seorang di antara saudara kamu mati lalu kamu telah meratakan tanah kuburanya hedaklah salah seorang berdiri disebelah kepala kuburanya kemudian katakanlah,’Hai Folan bin Folanah”, sesungguhnya ia mendengar tetapi tidak bisa menjawab. Kemudian ia mengatakan,’Hai Folan bin Folanah”, sesungguhnya ia tegak dalam keadaan duduk. Lalu ia mengatakan,’Hai Folan bin Folanah”, sesungguhnya ia berkata,’Berilah kami petunjuk pastilah Allah akan merahmatimu akan tetapi kamu tidak menyadarinya. Maka katakanlah,’Ingatlah apa yang dapat mengeluarkan engkau dari dunia yakni Syahadata an laa ilaha illah…(bersaksilah tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhamad itu hamaba-Nya dan utusan-Nya, dan sesungguhnya engkau rida Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhamad sebagai Nabi, dan Al Quran sebagai Imam… kemudian seseorang bertanya,’Hai Rasulullah, bagaimana apabila tidak diketahui ibunya? Beliau menjawab,’Hendaklah menisbatkannya kepada Hawa, Hai Folan bin Hawa!.
Hadis ini diriwayatkan oleh At Thabrani dalam kitabnya al Mu’jamul Kabir, VIII : 298. Dan al Qadi al Khala’I, dalam kitabnya al Fawaid, 55 / 2 dari Abu Darda Hasyim bin Muhamad al Anshari, menceritakan kepada kami ‘Utbah bin as Sakan, dari Abu Zakaria, dari Jabir bin Sa’id al Azdi dengan redaksi:
إذا مات الرجل منكم فدنتموه فليقم أحدكم عند رأسه، فليقل : يا فلان بن فلانة ! فإنه سيسمع، فليقل : يا فلان بن فلانة ! فإنه سيستوي قاعدا، فليقل: يا فلان بن فلانة ! فإنه سيقول: أرشدني أرشدني رحمك الله، فليقل أدكر ما خرجت عليه من دار الدنيا: شهادة أن لااله الا الله وحده لاشريك له، وأن محمدأ عبده ورسوله، وأن الساعة آتية لا ريب فيها وأن الله يبعث من في القبور، …
Apabila seorang di antara kamu meninggal hendaklah kamu menguburkannya lalu berdirilah salah seorang di sebelah kepalanya, dan katakanlahm,’Hai Folan bin Folanah! Sesungguhnya ia mendengar. Maka katakanlah,’Hai Folan bin Folanah! Sesungguhnya ia tegak dalam keadaan duduk. Lalu katakanlah,’Hai Folan bin Folanah! Sesungguhnya ia akan berkata,’Berilah aku petunjuk, berilah aku petunjuk Allah akan merahmatimu. Katakanlah,’Ingatlah apa yang dapat mengeluarkanmu dari kehidupan dunia: Bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan sesungguhnya Muhamad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Dan bahwasannya hari kiamat itu akan datang yang tidak ada keraguan, sesungguhnya Allah akan membangkitkan orang yang ada di kubur…Lihat Silsilah al Ahaditsud Daifah wal Maudu’ah, II : 64.
Al AlBani menerangkan, al Hafid Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya at Talkhis setelah menisbatkan terhadap periwayatan At Thabrani bahwa hadis yang diriwayatkan oleh At Thabrani sanadnya shalih dan dikuatkan oleh Ad Dhayai’ dalam kitabnya al Ahkam. Dan dengan berlandaskan hadis ini pula, para ahli Ilmu, as Syafii, dan para pengikut imam Ahmad menetapkan bahwa dianggap baik apabila janazah telah dikuburkan hendaklah salah seorang berdiri disebalah kepalanya untuk mentalqininya. Dan hal inipun telah diamalkan oleh orang-orang Syam. Lihat Fiqhus Sunah, I : 461, Kasyful Khafa wa Mazilul Ilbas, I : 376.

Karena hal ini merupakan urusan ubudiyah alangkah baiknya bila kita mengkaji kedudukan hadisnya sebelum kita menetapkan apakah mentalqini mayit setelah dikubur itu merupakan sunnah Nabi atau bukan?
Hadis yang diriwayatkan oleh al Qadi al Khala’I, dalam kitabnya al Fawaid, 55 / 2 Al Albani mengatakan, Hadisnya Munkar”, dan sanadnya sangat daif sekali. Aku tidak mengenalnya seorang pun rawi-rawi yang meriwayatkan hadis itu selain rawi bernama ‘Utbah bin as Sakan.
Imam Ad Daraqutni mengatakan,’Munkarul Hadis”. Menurut Ibnu Hiban dalam kitabnya as Tsiqat,’Ia rawi yang banyak salah dan diperselisihkan”. Al Baihaqi menyatakan,’’Utbah bin as Sakan, rawi yang sangat lemah. Lisanul Mizan, IV : 128.
Sedangkan hadis riwayat At Thabrani yang dinyatakan sanadnya Shalih oleh Ibnu Hajar dan dikuatkan oleh periwayatan Ad Dhayai’, Al Albani mengatakan,’Aku tidak mengenalnya seorang pun rawi-rawi yang ada pada sanad hadis itu. Disamping itu telah diperselisihkan mengenai nama rawi yang menerima dari Abu Umamah. Dalam periwayatan al Khala’i bahwa yang meriwayatkan dari Abu Umamah itu adalah Jabir bin Sa’id al Azdi sedangkan dalam  periwayatan At Thabrani adalah Sa’id bin Abdullah al Audi. Oleh sebab itulah Al Albani mengatakan dalam kitabnya Irwaul Ghalil,III : 204, mengenai pernyataan shalihul isnad atau sanadnya shalih Ibnu Hajar terhadap periwayatan At Thabrani mesti diteliti dan dikaji kembali. Beliau berpendapat:
Pertama. Bagaimana bisa dinyatakan sanadnya shalih padahal disitu terdapat (rawi yang diperselisihkan namanya) apakah al Azdi atau al Audi, dan seorang pun tidak ada yang mentsiqatkanya. Bahkan Abu Hatim pun tidak memberi komentar apa-apa sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafidh itu sendiri. Dengan demikian bahwa rawi tersebut termasuk rawi yang dikategorikan majhul menurutnya dan tidak bisa dipastikan bagaimana kedudukannya.

Kedua. Dianggap samar kalau dalam sanad itu tidak ada yang meriwayatkan selain al Azdi. Sedangkan keterangan gurunya (Al Hafidh) yaitu Al Haitsami sangat jelas bahwa semua rawi yang ada pada sanad itu tidak dikenal.

Ketiga. Pernyataan Al Hafidh bahwa hadis itu diperkuat oleh periwayatan lain atau terdapat Syahid, disitu terdapat ketasahulan (terlalu menganggap mudah) dalam menentukan periwayatan. Setiap hadis yang beliau sebutkan berkaitan dengan masalah ini semua periwayatanya tidak bisa dijadikan sebagai penguat atau syahid, sebab semua hadis-hadisnya tidak ada sedikitpun yang berkaitan dengan masalah talqin. Semuanya hanya menerangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan mendoakan untuk mayit saja. Lebih jelasnya lihat Irwaul Ghalil,III : 204 atau Silsilah al Ahaditsud Daifah wal Maudu’ah, II : 64.

Dengan memperhatikan keterangan-keterangan di atas kami berkesimpulan  bahwa hadis-hadis yang menyatakan adanya talqin setelah mayit dikubur semuanya daif dan mengamalkanya termasuk kepada perbidahan. Bahkan Al Albani mengatakan, ‘Janganlah terpengaruh dengan banyaknya orang-orang yang mengamalkannya.’  

Pengunjung