Artikel
Hadits :
Yang
Perlu Anda Ketahui Dari Hadits-1
Rabu, 23
Februari 05
Mukaddimah
Dalam kajian ini kami ketengahkan beberapa hal yang berkenaan dengan ilmu
hadits, yang kirannya perlu kita ketahui untuk menambah wawasan dan kami kemas
dalam bentuk tanya jawab sehingga lebih mudah untuk dipahami.
(1)-
TANYA:
Kenapa kita harus menuntut ilmu Hadits?
JAWAB:
1. Karena ia merupakan ilmu yang paling mulia
2. Karena para penuntutnya adalah orang-orang yang menjadi lentera kegelapan.
Kalau kita melihat keempat imam madzhab, tiga orang dari mereka (selain Abu
Hanifah) dikenal sebagai ahli hadits.
Imam Malik memiliki kitab al-Muwaththa` yang berisi banyak hadits. Imam
asy-Syafi’i memiliki kitab al-Umm yang banyak berisi hadits-hadits yang
beliau ketengahkan sendiri dengan sanadnya, demikian juga dengan bukunya yang
terkenal ar-Risalah. Bahkan salah seorang muridnya mengarang Musnad Imam
asy-Syafi’i yang diringkasnya dari hadits-hadits yang diriwayatkan beliau
di dalam kitab-kitabnya sehingga kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Musnad
asy-Syafi’i, begitu pula kitab as-Sunnan.
Sedangkan Imam Ahmad memang dikenal sebagai tokoh utama Ahli hadits dan justeru
tidak diketahui kalau beliau ada mengarang buku dalam masalah fiqih. Hanya saja
perlu diketahui, bahwa beliau juga terhitung sebagai Ahli fiqih. Beliau
melarang para muridnya menulis sesuatu dengan hanya berpedoman pada akal semata
dan menganjurkan mereka menulis hadits.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin ‘Abdullah
al-Humaid, hal.5)
(2)-
TANYA:
Apa perbedaan antara ungkapan “Haddatsana” ([Fulan] telah menceritakan
kepada kami) dan “Akhbarana” ([Fulan] telah memberitahukan kepada kami)?
JAWAB:
Di dalam tata cara Talaqqi (mentransfer, menerima) hadits, para ulama
hadits membedakan antara lafazh yang ditransfer langsung dari Syaikh (Guru) dan
yang dibacakan kepada syaikh. Bila Syaikh menceritakan tentang hadits, baik
dari hafalannya atau pun dari kitab (tulisan)-nya dan membacakan kepada para
murid sementara mereka menyalin hadits-hadits yang dibicarakan Syaikh tersebut;
maka ini dinamakan dengan as-Samaa’ yang sering diungkapkan dengan
kalimat “Yuhadditsuni” atau “Haddatsani.” Bila seorang penuntut
ilmu mentransfer hadits tersebut di majlis seperti ini, maka ia harus
menggunakan bentuk plural (jamak), yaitu “Haddatsanaa” karena berarti ia
mentrasfer hadits itu bersama peserta yang lainnya. Dan jika ia mentransfernya
secara pribadi (sendirian) dari Syaikh langsung, maka ia mengungkapkannya
dengan “Hadtsani” yakni secara sendirian.
Adapun bila hadits tersebut dibacakan kepada Syaikh (dengan metode Qiraa`ah),
seperti misalnya, Imam Malik menyerahkan kitabnya “al-Muwaththa`” kepada
salah seorang muridnya, lalu ia (si murid) membaca dan beliau mendengar; jika
si murid ini salah, maka ia menjawab dan meluruskan kesalahannya, bila tidak
ada yang salah, ia terus mendengar. Metode ini dinamai oleh para ulama hadits
dengan metode “al-‘Ardh” (pemaparan) dan “Qiraa`ah ‘Ala asy-Syaikh” (membaca
kepada Syaikh). Mereka (para ulama hadits) mengungkap dengan lafazh seperti ini
secara lebih detail manakala seseorang ingin menceritakan (meriwayatkan)
hadits, maka ia harus mengungkapkan dengan “Akhbarani” bukan dengan “Haddatsani”
. Maksudnya bahwa ia menerima (Mentransfer) hadits tersebut bukan dari
lafazh Syaikh secara langsung tetapi melalui murid yang membacakannya kepada
Syaikh tersebut.
Inilah sebabnya kenapa mereka membedakan antara penggunaan lafazh “Haddatsana”
dan lafazh “Akhbarana.” Sebagian Ahli Hadits mengatakan bahwa
keduanya sama saja, baik dibacakan kepada Syaikh atau Syaikh sendiri yang
membacakannya, semua itu sama saja. Akan tetapi Imam Muslim Rahimahullah
tidak menilai hal itu sama saja. Beliau membedakan antara keduanya. Karena itu,
dalam banyak haditsnya, kita menemukan beliau memuat hal tersebut. Beliau
selalu mengatakan, “Haddatsana….Wa Qaala Fulan, ‘Akhbarana” ([Si fulan
menceritakan begini….Dan si Fulan [periwayat lain] mengatakan, ‘telah memberitahu
kami’ [Akhbarana] , demikian seterusnya.