Joko Sumaryono, Lc.
A. PENGANTAR
Konsentrasi kajian ulama hadits, baik ulama mutaqaddimîn
maupun mutaakhirîn seputar sunnah selalu mengarah pada satu titik
utama, yaitu otentifikasi hadits. Untuk mewujudkan hal tersebut, para
ulama menerapkan dua pilar utama ilmu hadits; ar-riwâyah dan ad-dirâyah.
Sejarah mencatat, kodifikasi (at-tadwîn) sunnah
sampai masa keemasannya pada abad ke-3 Hijriyah, yang ditandai dengan lahirnya
dua masterpiece kitab hadits; Bukhari dan Muslim juga diikuti dengan
perkembangan metodologi ilmu hadits yang ditandai dengan munculnya kitab al
Muhaddits al-fâsil baina ar-râwi wal wâ’i yang ditulis al-Hasan
ibn abd-Rahman ibn Khalad atau lebih dikenal dengan al-Qâdhî Abu Muhammad
ar-Ramharmuzî (w.360 H) diikuti oleh beberapa ulama sampai ada masa Qadhi
‘Iyadh (w.544 H) dengan kitabnya al ilmâ. Fase ini adalah fase awal
perkembangan ilmu hadits.
Dan sekitar
abad ke-6, Abu ‘Amr ibn as-Shalâh mengarang kitabnya Muqaddimah. Kitab
ini adalah referensi utama para ulama hadits dalam pengembangan musthâlah
sampai abad ke-10 hingga muncul buku-buku seperti al-Bâ’itsul al-Hatsis karangan
Ahmad Syâkir, Tadrîbur Râwy karangan Imam as-Suyûthi dan Fathul
Mughîts karangan as-Sakhâwy dan al-‘Irâqy.
Takhrîj secara sederhana sebenarnya adalah salah satu disiplin
ilmu yang dikembangkan oleh para muhaddîts sejak zaman Rasulullah
S.a.w, sahabat, thabi’in sampai setelah kodifikasi sunnah secara sempurna pada
abad ke-4 Hijriyah. Takhrîj ibarat sebuah alat yang dipergunakan untuk
mengetahui, melacak dan menyeleksi sebuah riwayat.
Setiap fase
yang dilaluinya memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan perkembangan
kitab-kitab hadits yang disusun dan diriwayatkan oleh para ulama. Perbedaan ini
akan terlihat jelas dari sejarah petumbuhan dan perkembangannya, baik takhrîj
yang dipahami dan dikembangkan oleh ulama mutaqaddimîn atau apa yang
didefinisikan oleh ulama mutaakhirîn.
B. DEFINISI ILMU TAKHRIJ
Secara etimologi, takhrîj
berasal dari akar kata (خ ر ج
(
, yang memiliki arti secara sederhana adalah: keluar, muncul, lahir
disamping bisa juga diartikan dengan al-istinbâth atau menggali dan
mengeluarkan serta sekian makna yang berbeda sesuai dengan susunan kata yang
dimasuki oleh akar kata ini.
Secara terminologi, sebagaimana yang disimpulkan oleh Dr.
Abd Muhdî abd Qâdir abd Hâdî dalam bukunya Thuruq Takhrîj dapat dibagi
kedalam tiga definisi berbeda sesuai dengan masa dan perkembangannya
masing-masing. Maka takhrîj menurut beliau adalah :
1. Seorang
rawi menyebutkan hadits yang ia riwayatkan dengan silsilah sanadnya sendiri
didalam kitab yang ia susun. Maka almukharrij disini sering diistilahkan
dengan zâkirul riwâyah yang menyusun kitab hadits berdasarkan apa yang
telah ia dengar dari syekh dan seluruh hadits yang ia riwayatkan dan yang ia
tulis memiliki sanad yang ia riwayatkan langsung seperti Bukhari, Muslim dll.
Terkadang penulis melakukan studi kritik terhadap sanad ataupun matan seperti
yang dilakukan oleh Imam at-Tirmîzi dalam as-sunan-nya dan Abu Daud.
2. Takhrîj
disinonimkan dengan makna Mustakhrâj, yaitu ketika seorang rawi
meriwayatkan hadits-hadits yang persis terdapat dalam salah satu kitab hadits
yang disusun oleh pengarang lain dengan sanad yang ia miliki sendiri. Silsilah
sanad antara dua rawi yang berbeda ini bertemu dengan salah seorang syekh pada
thabaqat sanad sebelumnya. Sebagai contoh, mustakhraj Abi ‘Iwânah
terhadap kitab Shahîh Muslim.
3. Pasca
kodifikasi sunnah, ketika seluruh hadits telah tersusun dalam berbagai kitab,
maka takhrîj saat ini didefinisikan dengan menyebutkan sumber asli hadits yang
terdapat dalam berbagai kitab yang dikarang dan disusun oleh Ulama hadits dalam
kitab mereka seperti al-jawâmi’, as-sunan, dan al-masânîd. Bahkan
imam al-Munâwîy berpendapat, bahwa takhrîj pada fase ini harus bisa
berperan sebagai standar untuk menilai kekuatan sebuah hadits dari sisi shâhih,
hasan ataupun dha’îf.
Takhrîj selalu
mengalami perkembangan makna disetiap fase yang dilaluinya. Maka standar yang
dipahami oleh para ulama berbeda setiap zamannya. Ulama mutaqaddimin memahami
makna takhrîj berbeda dengan apa yang dipahami dan diterapkan oleh ulama
mutaakhirin, bahkan ulama hadits kontemporer saat ini.
Ulama mutaqaddimin
mamahami takhrîj sebagaimana definisi pertama. Walaupun sebenarnya tidak
mutlak demikian. Hal ini terbukti menurut Muhammad abd ‘Aziz al-Khouly dalam
bukunya Târikh funûnul hadits bahwa pada masa Imam Mâlik
mengarang kitabnya yang spektakuler al-Muwâtha’, sebenarnya banyak
sekali ulama yang semasa dengan Mâlik yang mentakhrij hadits-hadits yang
tedapat dalam al-Muwâtha’ terutama mereka yang mengambil hadits dari
syekh yang samam dengan Imam Mâlik.
Sedangkan ulama
mutaakhirin, sesuai dengan perkembangan kitab-kitab hadits yang muncul
pada abad ke-3 H dan setelahnya, metodologi takhrîj yang mereka
kembangkanpersisi seperti definisi kedua dan ketiga dari definisi takhrîj
yang disebutkan diatas.
C. URGENSI TAKHRIJ
Secara garis besar, tujuan takhrîj dalam kajian
dan studi kritis seputar sunnah dititik beratkan pada dua dimensi
pokok, yaitu :
1.
Mengetahui sumber hadits yang tersebar dalam berbagai
kitab mu’tabarah ulama hadits. Jika kita menemukan sebuah hadits dalam
berbagai karangan ulama yang notabene mereka bukan ulama yang spesialis dalam
kajian sunnah, maka dengan takhrîj kita bisa melacak dimana letak dan
posisi hadits ini sebenarnya.
2.
Disamping itu, tujuan takhrîj yang sangat primer
juga adalah, melacak kedudukan dan kekuatan hukum sebuah hadits, apakah
termasuk kategori hadits maqbûl atau mardûd.
Disamping dua
tujuan utama diatas, dengan menggunakan metodologi takhrîj seorang yang
intens dengan kajian ini, akan dapat menyelami samudra yang maha luas sehingga
akan menemukan sekian banyak mutiara berharga yang berkaitan dengan hadits.
Secara garis besar, maka keuntungan yang diperoleh dari metodologi ini adalah :
1. Mengumpulkan
sanad-sanad yang sama-sama meriwayatkan sebuah hadits. Sebab dengan takhrîj,
dapat dibuktikan bahwa sebuah hadits ternyata diriwayatkan oleh sekian banyak sanad
dan thuruq yang berbeda. Perbedaan sanad ini dapat membantu meneliti
kedudukan sebuah hadits sehingga kita tidak terjebak dengan mengklaim
berdasarkan sebuah hadits saja tanpa meneliti apakah haits ini diriwayatkan
melalui sanad yang lain atau tidak.
2. Dengan takhrîj,
kita juga mampu mengumpulkan lafazh matan hadits yang berbeda sembari melakukan
kajian perbandingan, terutama dalam memahami hadits-hadits yang berkaitan
dengan satu permasalahan yang sama. Sebab sering kali kita hanya memahami satu
lafazh matan hadits saja, tanpa pernah meneliti apakah masih ada tambahan
lafazh lain atau tidak didalam riwayat yang lain.
D. BEBERAPA HAL PENTING SEPUTAR TAKHRIJ
Seringkali bagi pemula dalam memahami takhrîj,
mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada sebuah hadits. Hal apa yang pertama
kali harus dilakukan dan urutan seperti apa yang ideal dalam mentakhrij.
Sebenarnya tidak ada yang terlalu sulit dalam memulai
mentakhrîj sebuah hadits jika kita bisa memahami kaidah umum yang harus
diperhatikan dalam mentakhrij. Diantara beberapa kaidah yang perlu diperhatikan
adalah:
1. Urutan
takhrîj yang ideal adalah menyebutkan perawi hadits, kitab, bab, urutan kitab (juz)
jika ada, halaman, nomor urutan hadits jika ada, kemudian penerbit kitab jika
kita mentakhrij satu hadits saja atau tidak dalam jumlah banyak. Namun jika
mentakhrij hadits dalam jumlah besar maka lebih baik menyebutkannya diakhir
pembahsan.
2. Dalam
mentakhrij, kita dituntut memberikan informasi sebanyak-banyaknya seputar
hadits yang sedang dibahas. Terutama yang berkaitan dengan hukum hadits dari
segi qabûl atau radd ataupun yang berkaitan dengan kedudukan
sanad atau keterangan lengkap untuk menggabungkan (al-jam’u) jika teradi
ta’ârud antara dua hadits.
3. Jika
sebuah hadits yang akan kita takhrîj tanpa dibatasi oleh perawi (sahabat), maka
kita harus mentakhrij hadits tersebut dari seluruh sahabat yang
meriwayatkannya. Adapun jika sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut sudah
dibatasi, misalnya hadits Ibn ‘Umar, maka kita cukup mentakhrij hadits yang
diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar saja. Jika ketika mentakhrij kita menemukan hadits
yang sama, maka itu dinamakan syâhid. Namun jika kita cantumkan, itupun
lebih baik.
4. Standar
pokok dalam mentakhrij adalah hadits dengan kandungan yang sama (ashlul hadits),
walaupun terdapat perbedaan lafazh yang tidak membedakan makna hadits tersebut.
Ini sering disalah pahami oleh pentakhrij pemula, sehingga menemukan keraguan
jika menemukan sebuah hadits yang ternyata sedikit berbeda dengan hadits yang
sedang ia takhrîj. Padahal hal itu tidak berpengaruh besar.
5. Dalam
mentakhrij kita membutuhkan wawasan luas seputar kitab-kitab hadits dan
metodologi ulama didalamnya sehingga dengan itu kita mampu lebih leluasa dalam
menggunakan beberapa metodologi yang akan digunakan dalam mentakhrij.
E. METODOLOGI TAKHRIJ
Dalam mentakhrij hadits, kita bisa menggunkan sedikitnya
lima metode takhrîj sesuai dengan kebutuhan ataun kemampuan serta metode
termuda yang dapat kita tempuh. Jadi urutan metodologi yang dituliskan disini
tidak bersifat hirarkis. Artinya, kita leluasa menggunakan salah satu metode
tersebut.
Metode atau pendekatan yang dapat kita gunakan untuk
memulai takhrîj adalah :
1. Dengan
menggunakan metode al-istiqra’ atau tatabbu’. Metode ini bisa
kita terapkan langsung dengan mencari hadits dalam kitab-kitab sunnah secara
manual. Metode ini tidak membutuhkan informasi banyak seputar hadits baik ar-râwi
al-a’la atau tema hadits yang sedang dibahas. Metode ini memiliki kelebihan
dan kekurangannya sendiri. Namun, metode ini secara khusus dapat melatih
malakah atau dzauq seorang pentakhrij dalam mengenal lebih jauh
kitab-kitab sunnah.
2. Takhrîj
dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode; mengetahui awal lafazh hadits,
dan setelah itu kita dapat mencarinya dengan menggunakan buku-buku yang ditulis
oleh ulama hadits yang mengumpulkan hadits mereka dengan menulis awal lafazh
hadits. Para ulama menulis buku mereka dengan urutan huruf al-hija’iy.
Buku-buku yang bisa digunakan untuk mencari hadits dengan menggunakan metode
ini cukup banyak, diantaranya: al-jâmi’ al-saghîr karangan Imam
al-Suyûthi, al-jâmi’ al-Azhar karangan Imam al-Munâwy, dll.
3. Dengan
mengetahui lafazh hadits, kita juga mampu untuk mentakhrij hadits yang akan
kita cari. Bedanya dengan metode sebelumnya adalah kita tidak terikat dengan
lafazh awal hadits, namun dengan lafazh apapun yang terdapat didalam hadits.
Diantara buku yang dapat dijadikan dalam menggunakan metode ini adalah kitab
kitab al-Mu’jam al-Mufahras karangan orientalis W. Singh.
4. Ar-Râwiy
al-a’la sebuah hadits juga dapat digunakan sebagai kata kunci
untuk mentakhrij sebuah hadits. Metode ini hanya dapat kita gunakan ketika kita
mengetahui ar-Râwiy al-a’la sebuah hadits dan selanjutnya kita cari
dalam kitab-kitab sunnah yang disusun oleh para ulama berdasarkan metode al-Athrâf
dan al-Masânid.
5. Dengan
mengetahui tema sentral yang dikandung oleh sebuah hadits, kita juga bisa
melacak keberadaannya dalam berbagai kitab sunnah. Namun metode ini sedikit
membutuhkan feeling yang kuat seputar fiqf hadits. Cukup banyak
buku-buku takhrîj yang disusun para ulama yang mengkhususkan
hadits-hadits yang ditulis dan dikumpulkan berdasarkan tema-tema sentral
tertentu. Jika kita bisa menebak dengan tepat tema sentral hadits yang sedang
kita bahas, maka dengan mudah kita akan mengklasifikasikannya. Namun itu belum
menjamin kita akan menemukan hadits kita secara langsung. Sebab bisa saja
terjadi perbedaan antara perkiraan kita dengan tema yang disusun oleh para
ulama hadits.
6.
Jika hadits yang akan kita takhrîj memiliki karakter atau
sifat yang sedikit atau banyak berbeda dengan hadits lain, maka dapat juga kita
gunakan sebagai sarana takhrîj. Misalkan hadits yang akan kita takhrîj
adalah hadits qudsy maka kita bisa melacaknya didalam kitab-kitab
haits yang khusus ditulis oleh para ulama seputar hadits qudsy. Metode
ini kita kenal dengan takhrîj hadits berdasarkan sifat sebuah hadits.
Demikianlah
beberapa metode takhrîj yang dapat kita gunakan untuk mentakhrij sebuah
hadits. Kita bebas menggunakan metode yang paling cepat dan tepat yang dapat
kita gunakan tanpa terikat dengan salah satu metode.
Dan satu hal
yang perlu diingat adalah ketelitian kita dalam mentakhrij, sebab seringkali
terjadi kesalahpahaman dalam menggunakan buku-buku kunci takhrîj
disebabkan kekurang tahuan kita dengan buku-buku tersebut.
F. PENUTUP
Demikian
makalah singkat yang mudah-mudahan dapat dijadikan bahan dan pengantar diskusi
seputar takhrîj. Penulis menyadari banyak kekurangan yang ditemukan
dalam tulisan singkat ini. Maka, masukan ide para diskusan adalah penyempurna
dari makalah sederhana ini.
Daftar Bacaan :
- Thuruq Takhrîj, karangan Dr, Abd. Muhdiy abd. Qâdir abd. Hâdiy.
- Kasyful litsâm, karangan Dr. Abd. Maujûd M. Abd Lathîf.
- Ilmu Musthalah Hadits al-Tathbîqi, karangan Ali ibn Ibrâhim Hasyîsy
- Manâhijul Muhadditsîn, karangan Dr. Muhammad S.a.w Mubarak As-Sayyyid.