Abbas bin Abdul
Muththalib radhiallahu 'anhu
"Hai
Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu, jika Allah
mengetahui ada kebaikan dalam hatimu niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang
lebih baik dari apa yang telah diambil darimu dan dia akan mengampuni kamu.
Dan, Allah Maha Pemgampun lagi Maha Penyayang". (Q.,s. al-Anfaal :
7)
Menurut
beberapa orang ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abbas bin
Abdul Muththalib, Aqil bin Abdul Muththalib dan Naufal ibnu al-Harits.
Abbas bin Abdul Muththalib radhiallahu 'anhu
Ia adalah
paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan salah seorang yang paling
akrab dihatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa
berkata menegaskan, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa
yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku."
Di zaman
Jahiliah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para
jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat
sekali di hatinya. Ia pemah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam
bai'at al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Menurut sejarah, ia dilahirkan
tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah
di Mekkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab
pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram.
Pada waktu
Abbas masih anak-anak, ia pemah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau puteranya
itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama
antaranya, Abbas ditemukan, maka iapun menepati nazamya itu
Istrinya
terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal (ibu Si Fadhal) karena anak sulungnya
bemama al-Fadhal. Wajahnya tampan. Ia duduk dibelakang Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam ketika beliau menunaikan haji wada'-nya. Ia meninggal
dunia di Syam karena bencana penyakit amuas. Anak-anaknya yang lain
sebagai berikut ; yaitu anak kedua, Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat
doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, meninggal di Thaif. Ketiga,
Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Ia
pergi berjihad ke negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Keempat,
Ma'bad, mati syahid di Afrika. Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya
baik, kaya,dan murah hati meninggal dunia di Madinah. Kelima, Puterinya,
Ummu Habibah, tidak banyak dibicarakan oleh sejarah.
Para ahli
sejarah berbeda keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah
penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Katamya,
ia memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi di Madinah, dan kaum
muslimin yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan dari beliau. Kabamya, ia
pemah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah menyatakan,
"Kau lebih baik tinggal di Mekah ".
Keterangan
kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi', pembantu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, "Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku
rnenjadi pembantu di rumah Abbas bin Abdul Muththalib. Ternyata, pada waktu
itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya. baik Abbas maupun Ummul
Fadhal, keduanya sudah masuk Islam. Akan tetapi, Abbas takut
kaumnya mengetahui dan terpecah-belah, lalu ia menyembunyikan
keislamannya."
Ia selalu
menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Ka'bah. Ka'ab bin Malik
mengutarakan, "Kami (saya dan al-Barra' bin Ma'rur) mencari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami tidak tahu dan tidak mengenal Rasulullah
sebelumnya. Kami bertemu dengan seorang penduduk kota Mekkah. Kami tanyakan di
mana kami bisa menemui Rasulullah. Ia balik bertanya, 'Apakah kalian berdua
mengenalnya?' Kami menjawab, 'Tidak!'. Ia lalu bertanya, 'Kalian mengenal Abbas
bin Abdul Muththalib, pamannya?'
Kami
menjawab, 'Ya!' Memang kami sudah mengenalnya karena ia sering datang ke negeri
kami membawa dagangan.
Orang tadi
lalu berkata, 'Kalau kalian masuk ke Masjidil Haram, orang yang duduk di
sebelah Abbas itulah orang yang kalian cari!".
Kemudian,
kami masuk ke Masjidil Haram. Ternyata, kami menemukan Abbas duduk di
sana dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di sebelahnya".
Abbas
radhiallahu 'anhu mempunyai peran penting yang tidak bisa diabaikan dalam
baiat al-Aqabah. Ia orang pertama yang berpidato dalam majelis itu. Ia
berkata
"Wahai
kaum Khazraj, (pada masa itu, suku al-Aus dan al-Khazraj dipanggil dengan
al-Khazraj saja) kalian seperti yang saya ketahui telah mengundang
datang Muhammad. Ketahuilah bahwa Muhammad itu orang yang paling mulia di
tengah-tengah familinya. Ia dibela oleh orang orang yang sepaham dan
orang-orang yang tidak sepaham dengan pikirannya demi memelihara nama baik
keluarga. Muhammad sudah menolak tawaran orang lain selain kalian. Kalau kalian
memiliki kekuatan, ketabahan, dan pengertian tentang ilmu peperangan, mempunyai
kekuatan menghadapi persekutuan dan permusuhan seluruh bangsa Arab, karena
mereka akan menyerang kalian dengan satu busur dan satu anak panah, maka
camkanlah baik-baik terlebih dahulu, rembukkanlah antara kalian dengan
mufakat dan sepakat bulat dalam majelis ini karena sebaik-baik bicara itu
ialah yang jujur."
Kata-kata
itu menunjukkan pengetahuannya yang luas dan pemikiran yang cerdas tentang
berbagai persoalan. Ia ingin mengenali hakikat kaum Anshar dan membangkitkan
kesiapsiagaan mereka. Ia lalu berkata lagi, "Cobalah kalian
ceritakan kepadaku bagaimana kalian berperang menghadapi musuh?".
Abdullah
bin Amru bin Haram bangkit memberikan jawaban, "Percayalah bahwa
kami adalah ahli perang. Kami memperoleh keahlian itu berkat kebiasaan dan
latihan kami dan berkat warisan nenek moyang kami. Kami lepaskan
anak panah kami sampai habis, lalu kami mainkan tombak kami sampai patah,
kemudian kami menyerang dengan pedang, berperang tanding hingga tewas atau
menewaskan musuh kami".
Cerahlah
wajah Abbas mendengarkan keterangan mereka itu dan amanlah rasanya untuk
menyerahkan keponakannya itu, seorang yang paling dekat di hatinya. Seperti ada
yang ia lupakan, ia berkata lagi, "Kalian mengatakan ahli peperangan.
Apakah kalian mempunyai baju besi?".
"Ya,
lengkap," jawab mereka.Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian membaiat mereka dan Abbas
mengambil tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengukuhkan
baiat itu.
Abbas menerima baik harapan Umar untuk memperbaiki kesalahannya itu.
Abbas tidak marah, tidak mendendam di dalam hati, tetapi ia mengingatkan Umar bahwa yang meletakkan pancuran itu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Hati Umar yang terkenal keras dan kuat-kuat tiba-tiba bergetar ketakutan, bagaimana ia memerintahkan mencabut apa yang dipasang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ia rela menebus kesalahannya itu dengan menyuruh Abbas menaiki pundaknya untuk mengembalikan pancuran air itu ketempatnya semula. Setelah itu, ia memberikan ciuman cinta dan pengharagaan kepada paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam itu.
Abbas berkeras, "Aku tidak mau terima semaunya."
Umar berharap, "Angkatlah seorang penengah antara kami berdua kalau engkau mau.'
Abbas menjawab, "Aku setuju mengangkat Ubai bin Ka'ab."
"Allah memuliakan dan menenangkannya," jawabnya.
"Segala sesuatu selain Allah rusak. Kini, apa maumu?" tanya Abbas
"Rasulullah melarang kami membunuhmu," jawabnya.
"Itu bukan kebaikannya yang pertama."
"Aku longgarkan ikatannya, ya Rasulullah," jawab shahabat
"Lakukanlah juga terhadap semua tawanan lainnya," perintah Nabi.
"Allah Subhânahu wata'âla Yang memberitahukan rahasiamu itu," jawab Nabi.
"Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan engkau benar-benar rasul Allah, bahwa kau seorang yang jujur."
Abbas menerima baik harapan Umar untuk memperbaiki kesalahannya itu.
Abbas tidak marah, tidak mendendam di dalam hati, tetapi ia mengingatkan Umar bahwa yang meletakkan pancuran itu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Hati Umar yang terkenal keras dan kuat-kuat tiba-tiba bergetar ketakutan, bagaimana ia memerintahkan mencabut apa yang dipasang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ia rela menebus kesalahannya itu dengan menyuruh Abbas menaiki pundaknya untuk mengembalikan pancuran air itu ketempatnya semula. Setelah itu, ia memberikan ciuman cinta dan pengharagaan kepada paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam itu.
Abbas berkeras, "Aku tidak mau terima semaunya."
Umar berharap, "Angkatlah seorang penengah antara kami berdua kalau engkau mau.'
Abbas menjawab, "Aku setuju mengangkat Ubai bin Ka'ab."
"Allah memuliakan dan menenangkannya," jawabnya.
"Segala sesuatu selain Allah rusak. Kini, apa maumu?" tanya Abbas
"Rasulullah melarang kami membunuhmu," jawabnya.
"Itu bukan kebaikannya yang pertama."
"Aku longgarkan ikatannya, ya Rasulullah," jawab shahabat
"Lakukanlah juga terhadap semua tawanan lainnya," perintah Nabi.
"Allah Subhânahu wata'âla Yang memberitahukan rahasiamu itu," jawab Nabi.
"Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan engkau benar-benar rasul Allah, bahwa kau seorang yang jujur."
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berhijrah ke Yatsrib sedangkan Abbas
tinggal di Mekah, mendengarkan berita Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan
mengirimkan berita-berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam, tahu bahwa Abbas dan keluarganya dipaksa
keluar berperang oleh Quraisy sedangkan mereka tidak berdaya mengelak.
Rasulullah bersabda, "Aku tahu ada orang-orang dari Bani Hasyim dan
lain-lain yang terpaksa keluar. Mereka tidak mempunyai kepentingan untuk
memerangi kami. Siapa di antara kalian yang menjumpai mereka, orang-orang dari
Bani Hasyim, janganlah dibunuh; siapa yang menjumpai Abbas bin AbduI
Muththalib, paman Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam., janganlah di bunuh karena
ia keluar berperang karena terpaksa".
Keterangan
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. itu tersebar luas di kalangan orang
yang pergi ke Badar. Kaum mukminin menerima baik perintahnya itu. Kecuali Abu
Hudzaifah bin Utbah bin Rabi'ah, yang berucap dengan lantang, "Kami
membunuh bapak kami, anak-anak kami, saudara-saudara dan keluarga kami, lalu
kami akan membiarkan Abbas? Demi Allah, kalau aku menjumpainya, aku akan
memancungnya dengan pedangku ini!"
Kata-katanya
itu terdengar oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam., lalu beliau
berkata kepada Umar ibnul Khaththab, "Ya Aba Hafsah,ada juga orang yang
mau menghantam wajah paman Rasullullah dengan pedangnya!"
"Biarkanlah,
ya Rasulullah, aku penggal leher Abu Hudzaifah itu dengan pedangku ini. Demi
Allah, dia itu seorang munafik," ucap Umar.
Akan
tetapi, Rasulullah tidak membiarkan Umar bertindak membunuh kawan-kawanya yang
bersalah. Beliau membiarkan mereka bertobat dan menebus dosanya masing-amsing.
Ternayta, Abu hudzaifah sangat menyesali kata-katanya itu dan senantiasa
mengulang-ulang perkataanya, "Demi Allah, rasanya hatiku tidak aman atas
kata-kata yang pernah kaku yucapkan dahulu dan aku senantiasa dikejar-kejar
rasa takut olehnya, sebelum Allah memberikan tebusan kepadaku dengan
syahadah!" Ternyata, harapannya itu Allah penuhi, ia tewas sebagai syahid
dalam Perang Yamamah.
Pada suatu
hari, Abbas pergi berhijarah ke Medinah bersama Naufal ibnul Harits. Ahli
sejarah berbeda pendapat tentang tarikh hijrahnya, namun mereka sependapat
bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.telah membemberikan sebidang
tanah kepadanya berdekatan dengan tempat kediamannya.
Di Madinah
terjadi pertengkaran antara seseorang dengan Abbas, yang berakar sejak zaman
Jahiliah, di mana orang itu memaki-maki ayah Abbas. Gangguan orang itu terhadap
Abbas terjadi berualng-ulang sehingga menyakitkan hatinya, lalu ia ditamparnya.
Kabilah orang itu tidak senang hati, mereka siap-siap akan menuntut balas.
Mereka berkata, "Demi Allah, kami akan menamparnya seperti ia
menampar saudara kami!"
Ancaman
mereka itu terdengar oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam , lalu beliau
mengumpulkan kaum muslimin dan naik ke atas mimbar, seraya memanjatkan puja dan
puji kepada Allah Subhânahu wata'âla dan bersabda, "Wahai para hadirin,
tahukah kalian, siapa orang yang paling mulia di sisi Allah Subhânahu
wata'âla?"
"Engkau,
ya Rasulullah!" jawab hadirin.
"Tahukah
kalian bahwa Abbas itu dariku dan aku darinya? Janganlah kalian mengumpat
orang-orang yang sudah mati, jangan sampai menyakiti kita yang masih
hidup."
Kabilah
orang itu datang mengahadap Rasulullah seraya berkata, "Ya Rasulullah,
kami mohon perlindungan Allah dari kegusaranmu, maafkanlah dosa kami, ya
Rasulullah."
Pernyataan
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tersebut menguatkan keterangan Abu
Majas radhiallâhu 'anhu. tentang sabdanya, "Abbas adalah saudara
kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakitinya sama dengan menyakitiku."
Pada suatu
hari, Abbas datang menghadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dan
bermohon dengan penuh harap, "Ya Rasulullah, apakah engkau tidak suka
mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?"
Berdasarkan
pengalaman, ia seorang yang berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan
mengetahui liku-liku jiwa orang, namun Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan; ia tidak ingin
pamannya dibebani tugas pemerintahan. Ia menjawab harapan pamannya itu dengan
manis dan penuh pengertian, "Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa
lebih baik daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."
Ternyata
Abbas menerima dengan senang hati pendapat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam., tetapi malah Ali bin Abi Thalib radhiallâhu 'anhu yang kurang puas.
Ia lalu berkata kepada Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat
pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"
Sekali lagi
Abbas menghadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk meminta seperti
yang dianjurkan Ali bin Abi Thalib itu, lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam bersabda kepadanya ,"Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu
mengurusi cucian (kotoran) dosa orang."
Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam.seorang yang paling akrab dan paling kasih
kepadanya, tidak mau mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus
sedekah, bahkan ia tidak diberi kesemopatan dan harapan mengurusi soal-soal
yang bersifat duniawi, tetapi menekannya supaya lebih menekuni soal-soal
ukhrawi.
Untuk yang
ketiga kalinya, pamannya itu datang menghadapnya dan berharap dengan penuh
kerendahan hati, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut, dan ajalku sudah
hampir. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"
Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Menjawab, "Ya Abbas, engkau pamanku dan
aku tidak berdaya sedikitpun dalam masalah yang berkenaan dengan Allah, tetapi
mohonlah selalu kepada Tuhanmu ampunan dan kesehatan!"
Sesudah
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.menuiakan risalah Alalh Subhânahu
wata'âla dengan baik, manyampaikan agamaNya yang lengkap kepada para
pewarisnya, maka ia kembali ke rahmatullah dengan tenang. Ternyata Abbas orang
yang paling merasa kesepian atas kepergiannya itu.
Abbas hidup
terhormat di bawah pemerintrahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian
menyusul pemerintahan Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu..
Tiap kali
Khalifah hendak ke masjid ia selalu harus melewati rumah Abbas. Di atas
rumahnya itu terdapat sebuah pancuran air. Pada suatu hari, ketika Khalifah
Umar pergi ke masjid dengan pakaian rapi hendak menghadiri shalat jamaah,
tiba-tiba pancuran air itu menumpahkan airnya dan mengenai pakaian Umat. Ia
kembali pulang untuk mengganti pakaian dan memerintahkan supaya pancuran itu
dibuka. Sesudah beliau selesai shalat, datanglah Abbas seraya berkata,
"Demi Allah, pancuran itu diletakkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam.."
Khalifah
Umar menjawab, "Aku mohon kepadamu supaya engkau memasang kembali pancuran
itu di tempat yang diletakkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
dengan menaiki pundakku."
Masjid
Nabawi di Madinah kian hari kian menjadi kecil karena bilangan kaum muslimin
dari hari ke hari makin bertambah dengan pesatnya. Khalifah Umar berpikir akan
memperluasnya dengna membeli rumah-rumah yang ada di sekitar masjid itu. Semua
bangunan yang ada disekitarnya sudah dibeli kecuali rumah Abbas bin Abdullah
Muththalib. Apa mungkin ia menyumbangkan harganya kelak di Baitulmal ataukah ia
akan menerima harga ganti ruginya?
Khalifah
Umar datang menemuinya seraya berkata, "Ya Abal Fadhal, engkau lihat,
masjid sudah sempit sekali karena banyaknya orang shalat di dalamnya. Aku sudah
memerintahkan untuk membeli tanah dan bangunan yang ada disekitarnya untuk
memperbesar bangunan masjid, kecuali rumahmu dan kamar-kamar Ummahatul
Mu'minin yang belum. Kalau kamar-akmar Ummuhatul Mu'minin rasanya
tidak mungkin kami membeli dan membongkarnya, tapi rumahmu jual-lah kepada kami
berapa pun yang engkau kehendaki dari Baitulmal supaya bisa meluaskan bangunan
masjid."
Abbas
menjawab, "Aku tidak mau."
Umar
berkata; "Pilihlah satu diantara tiga: engkau menjual berapa pun yang
engkau kehendaki dari Baitulmal, atau aku akan menggantinya dengan
bangunan lain yang akan aku bangunkan untukmu dari Baitulmal di daerah manapun
di Madinah yang engkau kehendaki, atau engkau berikan sebagai sedekah kepada
muslimin untuk meluaskan masjid mereka."
Keduanya
pergi menemui Ubai bin Ka'ab, lalu kepadanya diceritakan segala sesuatunya dan
dimintai pendapatnya.
Ubai
berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda,
"Allah Subhânahu wata'âla pernah mewahyukan kepada Nabi Daud, 'Bangunlah
untuk-Ku sebuah rumah tempat orang-orang menyebut nama-Ku di sana.' Nabi Daud
lalu merencanakan pembangunannya di Baitul Maqdis. Dalam perencanaan itu
mengenai rumah seorang Bani Israel. Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk
menjual rumahnya, tapi ia menolak. Tiba-tiba terpikir dalam benak Nabi Daud
untuk mengambilnya dengan paksa. Allah Subhânahu wata'âla lalu mewahyukan
kepadanya, 'Hai Daud, aku menyuruhmu membangun untuk-Ku sebuah rumah tempat
orang menyebut nama-Ku pemaksaan itu bukan watak-Ku. Karena itu, sebagai
sanksinya, kau tidak usah membangunnya!' Nabi Daud menjawab, 'Ya Allah, aku
lakukan pada anakku!' Allah berfirman lagi, 'Siapa anakmu?""
Khafilah
Umar tidak bisa lagi menahan marahnya, lalu ia menyambar baju Ubai bin
Ka'ab dan menggiringnya ke masjid seraya berkata, "Aku mengharapkan
dukunganmu, malah kau menyudutkan aku. Kau harus membuktikan keteranganmu di
hadapan kaum muslimin!"
Ia
membawanya ke tengah-tengah halaqah yang diselenggarakan shahabat Rasulullah di
masjid Nabawi, dimana antara lain terdapat Abu Dzar radhiallâhu 'anhu.Umar lalu
berkata kepada para hadirin, "Saya mengharap dengan nama Allah, adakah
diantara kalian yang mendengarkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.berbicara
tentang Baitul Maqdis, ketika Alalh memerintahkan Nabi Daud untuk mendirikan
rumah-Nya tempat orang menyebut-nyebut namaNya?"
Abu Dzar
radhiallâhu 'anhu menjawab' "Ya, saya mendengar!" Disambut oleh yang
lain, "Ya, saya juga mendengar!" Dari sudut sana ada pula yang
menyambung, "Saya juga mendengar!"
Khalifah
Umar radhiallâhu 'anhu lalu berkata kepada Abbas radhiallâhu 'anhu,
"pergilah! Aku tidak akan menuntutmu membongkar rumahmu."
Abbas
radhiallâhu 'anhu berkata, "Kalau demikian sikapmu maka aku menyatakan
bahwa rumahku kusedekahkan untuk kepentingan kaum muslimin. Silahkan perluas
masjid mereka. Akan tetapi, kalau kau akan mengambilnya dengan tekanan dan
pemaksaan, aku tidak akan mengalah."
Memang
Khalifah Umar radhiallâhu 'anhu bertindak setengah memaksa karena proyek itu
menyangkut kepentingan kaum muslimin dan dianggap tidak bertentangan dengan
hukum Allah. Akan tetapi, apabila ada nash jelas maka tidak berlaku ijtihadnya.
Ia harus tunduk dan menerima baik syariat Allah dan RasulNya. Sesudah Abbas
melihat ketundukan Khalifah Umar kepada hukum dan perundang-undangan, ia tidak
lagi mengandalkan kekuasaannya selaku kepala pemerintahan atau akan merampas
haknya yang dijamin oleh undang-undang dan dilindungi oleh Islam, tetapi
ia benar-benar berjuang demi kesehjahteraan kaum muslimin, maka ia pun
memutuskan untuk menyerahkan rumahnya itu sebagai hibah dan sedekah untuk
meluaskan masjid kaum muslimin.
Demikian
tokoh-tokoh model "sekolah Rasulullah" dan "sekolah
Al-Qur'anul Karim" radhiallahu 'anhum ajma'in. Mereka
angkatan kaum muslimin yang pertama, yang telah membawa panji Islam ke
seluruh jagat raya ini, yang telah membangkitkan peradaban umat manusia, yang
mengajar dan mendidik manusia maju dan mengenali peradaban antara agama kebenaran
dan kebatilan.
Pada suatu
hari dalam pemerintahan Khalifah Umar, terjadilah paceklik hebat dan kemarau
ganas. Orang-orang berdatangan kepada Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan
kelaparan yang melanda daerahnya masing-masing. Umar menganjurkan kepada
muslimin yang berkemampuan supaya mengulurkan tangan membantu
saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan itu. Kepada para
penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan kelebihan daerahnya ke
pusat. Ka'ab masuk menemui Khalifah Umar seraya mengutrarakan, "Ya Amirul
Mukminin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi bencana semacam ini, mereka
meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka."
Umar
berakta, "Ini dia paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.dan
saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan bani Hasyim."
Khalifah
Umar pergi kepada Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat
akibat kemarau panjang dan paceklik itu, kemudian ia naik mimbar bersama Abbas
seraya berdoa, "Ya Allah, kami menghadapkan diri kepadaMu bersama dengan
paman Nabi kami dan saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan
janganlah kami sampai putus asa!"
Abbas lalu
meneruskan, memulai doanya dengan puja dan puji kepada Allah Subhânahu
wata'âla, "Ya Allah, Engkau yang mempunyai awan dan Engkau pula yang
mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami.
Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan suburkanlah semua air susu".
Ya Allah,
Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa dan Engkau tidak
akan mengangkat bencana kecuali karena tobat. Kini, umat ini sudah menghadapkan
dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, kami memohon
belas kasih-Mu atas nama diri kami dan keluarga kami. Ya Allah, kami memohon
belas kasih-Mu atas nama makhluk-Mu yang tidak bicara, atas nama hewan ternak
kami. Ya Allah, hujanilah kami dengan hujan keselamatan yang berdaya guna. Ya
Allah, kami mengadukan semua bencana orang yang menderita kelaparan, telanjang,
ketakutan, dan semua orang yang menderita kelemahan. Ya Allah selamatkan mereka
dengan hujan-Mu sebelum mereka berputus asa dan celaka. Sesungguhnya, tidak
akan berputus asa dengan rahmat karunia-Mu kecuali orang-orang yang
kafir."
Ternyata
doanya itu langsung diterima dan disambut Allah Subhânahu wata'âla. Hujan lebat
turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada
Allah Subhânahu wata'âla dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat
kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman orang di Mekah dan
Madinah."
Abbas hidup
terhormat, baik oleh kaum muslimin maupun oleh para Khulafaur Rasyidin. Kalau
ia berjalan dan berpapasan dengan Umar atau Utsman yang sedang berkendaraan,
keduanya turun dari kendaraannya, seraya berkata, "Paman Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam.!"
Sudah
menjadi sunnatullah, setiap permulaan ada penghabisannya, setiap perjalanan ada
perhentiannya, demikian pula dengan Abbas radhiallâhu 'anhu, perjalanan
hidupnya terhenti dan kembali ke rahmatullah menyusul keponakkannya Shallallâhu
'alaihi wasallam dan rekan-rekannya yang lain, pada hari Jumat tanggal 12 Rajab
32 Hijrah, dalam usia 82 tahun, dan dikebumikan di al-Baqi' di Madinah, rahimullah
wa radhiallahu'anhu.
Sebab Turunya Ayat
Dalam
Perang Badar yang berkecamuk antara kaum muslimin dan kaum musyrikin, Abbas
berhasil ditawan oleh Abul Yusr, Ka'ab bin Amru, yang menurut Ahli sejarah
kedua tangannya kurus dan perawakannya juga lemah, sedangkan Abbas seorang yang
tinggi besar. Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bertanya keheranan, "Ya
Abal Yusr, bagaimana kau bisa menawan Abbas?"
"Ya
Rasulullah, aku dibantu oleh seorang yang belum pernah kulihat sebelum dan
sesudah itu (lalu ia mengutarakan ciri-ciri dan perawakan orang itu),"
jawab Abul Yusr.
"Kau
dibantu oleh seorang malaikat yang pemurah," sabda Rasulullah.
Ketika
Abbas jatuh sebagai tawanan, pertanyaan pertama yang terlontar adalah tentang
keadaan Muhammad kepada yang menawannya, "Bagaimana keadaan Muhammad dalam
peperangan ini?"
Abbas
diborgol dan dikumpulkan bersama tawanan perang lainya. Kiranya, ikatannya
terlalu keras sehingga ia merintih kesakitan. Ternyata rintihan itu terdengar
oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau gelisah dan tidak bisa
memejamkan matanya. Berapa orang shahabat yang melihatnya belum tidur,
menegurnya, "Wahai Nabi Allah, sudah jauh malam, engkau belum tidur?"
"Aku
mendengar riuntihan Abbas," jawab Nabi.
Orang itu
lalu pergi melonggarkan ikatannya, kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam.bertanya lagi, "Mengapa sekarang aku tidak mendengarkan
rintihannya?"
Pagi
harinya, semua tawanan dihadapkan kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam. Akhirnya, sampai giliran Abbas.
Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, "Ya Abbas, tebuslah dirimu dan
keponakanmu aqil bin Abi Thalib, Naufal bin al-Harits, dan teman karibmu Utbah
bin Amru bin Jahdam karena engkau seorang kaya."
"Ya
Rasulullah, saya ini seorang Muslim, tetapi saya dipaksa ikut berperang oleh
mereka," ucap Abbas.
"Allah
saja yang Maha Tahu dengan keislamanmu itu: kalau pengakuanmu itu benar, Allah
akan mengganjarmu, namun aku melihatmu dari segi lahirmu maka bayarlah
tebusanmu itu."
'Aku tidak
mempunyai uang, ya Rasulullah."
"Mana
uang yang kau simpan pada Ummul Fadhal, isterimu, ketika kau hendak
keluar ikut berperang, lalu pesanmu kepadanya, 'Kalau aku tewas dalam
peperangan, uang itu dibagi-bagikan antara kau, Fadhal, Abdullah, Ubaidullah,
dan Qatsam.'?"
tanya Rasulullah.
"Dari
mana kau tahu ini padahal aku tidak pernah memberitahukan hal itu kepada siapa
pun?" tanya Abbas keheranan.
Pada saat
itu, turunlah firman Allah Subhânahu wata'âla.
"Hai
Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu:"Jika Allah
mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang
lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni
kamu". Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.,S. al-Anfal: 70)
Abbas
berkomentar, "Allah berkenan menepati janji-Nya kepadaku, memberikan
kebaikan lebih dari apa yang diambil: 20 uqiyah diganti dengan 20 orang
budak. Kini, aku sedang menantikan pengampun-Nya. Aku diberi kuasa mengurus air
zamzam dan aku bisa merasa bangga lebih dari itu, meskipun aku memiliki semua
harta penduduk kota Mekkah. Kini, aku sedang menantikan pengampunan-Nya."
Akan tetapi,
darimana ia memiliki harta bila membeli dua puluh orang budak dan tiap
budak memiliki modal edar yang diperdagangkan?
Ibnu Sa'ad
dalam bukunya, ath-Thabaqat al-kubra, menyebutkan bahwa al-Ala' bin
al-Hadhrami mengirimkan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Harta benda
sebanyak 80.000. Belum pernah Nabi menerima lebih dari itu. Kemudian Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam mengundang kaum muslimin. Begitu mereka melihat
timbunan harta itu, penuh sesaklah masjid dengan orang-orang. Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam membagi-bagikan hartra itu seolah-olah tanpa perhitungan dan
pertimbangan, masing-masing diberikan segenggam.
Abbas
datang, lalu berkata kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam., "Ya
Rasulullah, aku telah memberikan tebusanku dan tebusan Aqil bin Abi Thalib
dalam perang Badar. Aqil tidak punya uang penggantinya. Berikan aku dari uang
ini!"
Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam tertawa lebar sehingga terlihat gigi taringnya,
lalu bersabda, "Harta itu diambil seperlunya; yang lain dikembalikan!"
Ia lalu
pergi dengan mengambil seperlunya, seraya berucap, "Janji Allah kepadaku,
yang satu sudah ditepati dan yang lain aku belum tahu!"
Renungan
Abas bin
Abdul Muththalib radhiallâhu 'anhu, paman Rasululah Shallallâhu 'alaihi
wasallam dan saudara kandung ayahnya, termasuk salah seorang tokoh shahabat
yang ikut mengibarkan panji Islam dan menyebarkan dakwahnya.
Sepak
terjangnya dicatat sejarah dengan tinta emas dalam baiat al-Aqabah al-Kubra, ia
bertindak sebagai seorang penasihat dan perunding ahli, menyertai keponakannya
dalam majelis itu, membentangkan sikapnya dengan tepat, dan mengamati sikap
kaum Anshar yang hendak menerima kedatangannya ke Madinah dengan cermat.
Ia
memberikan gambaran kepada mereka akan bahaya dan resiko yang akan mereka
hadapi sepanjang hidup mereka jika menerima Muhammad Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Bangsa Arab tidak akan membiarkan Muhammad dan
dakwahnya berkembang dengan mulus kecuali kalau mereka terpaksa.
Pada akhir
perundingan, sesudah ia yakin bahwa kaum Anshar dari Yastrib itu terdiri atas
para pahlawan yang berbudi luhur yang bisa dipercaya dan menerima keponakannya,
barulah ia bangkit mempertemukan tangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
dengan tangan wakil kaum Anshar itu sebagai tanda baiat disetujui dan janji
setia dimulai, disertai doa harap kepada Allah Subhanahu wata'ala mudah-mudahan
persekutuannya yang luhur akan melindungi agama-Nya dan Dia memberi taufiq dan
hidayah-Nya.
Ketika Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Hijrah ke Yastrib, Abbas menyatakan hasratnya
akan menyusul ke sana. Akan tetapi, beliau mencegahnya dan menganjurkan supaya
tinggal di Makkah saja dulu supaya bisa mendukung semangat kaum mustadh'afin di
Mekah yang belum bisa hijrah meninggalkan Mekah.
Abbas patuh
kepada perintah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Itu. ia tinggal di
Mekkah bersama kelompok kaum muslimin yang belum sanggup pergi berhijrah,
menyiapkan kesempatan dan bekal mereka, menutup utang-utang mereka, mengamati
gerak-gerik kaum Quraisy supaya selalu diketahui Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam.dan tidak bisa mengadakan serangan mendadak kepada mereka.
Pada
permulaan Islam, Abbas banyak melunasi utan kaum muslimin yang fakir misjkin.
Pada zaman kita sekarang ini, alangkah perlunya kita kepada seorang Abbas
modern yang sudi menyelamatkan umat agar tidak menjadi mangsa pengikut komunis
dan kapitalis Barat, dan berdiri tegak membendung invasi ideologi dan
kristenisasi di kalangan kaum muslimin.
Ia menjadi
tawanan dalam Perang Badar, ia diborgol dan diringkus bersama tawanan yang
lain. Ketika borgolnya dilonggarkan, para tawanan yang lain pun harus
dilonggarkan.
Tawanan
lain harus, membayar uang tebusan, Abbas pun harus membayar uang tebusan diri
dan keluarganya. Itulah Islam, tidak ada sistem famili atau keluarga, tidak
mengutamakan kawan atau kenalan. Tolak ukur keutamaan seseorang hanyalah karena
ketakwaan dan amal salehnya.
Pada suatu
hari, Khalifah Umar ibnul Khaththab yang terkenal sebagai penakluk kekaisaran
Romawi dan Persia itu, mencabut pancuran air dari rumah Abbas. Sesudah
diberitahukan bahwa pancuran itu dahulu dipasang oleh kedua tangan Rasulullah
sendiri. Umar menggigil ketakutan; apakah ia akan menyingkirkan apa yang
diletakkan Rasulullah? Beranikah ia membongkar apa yang dibangun Rasulullah?
Umar resah dan gelisah atas perbuatannya. Ia mengumpat dan mengutuk
kelancangannya itu. Barulah ia puas sesudah Abbas menerima baik sarannya untuk
mengembalikan pemasangan pancuran.
Tiba
giliran Umar untuk memperluas masjid Nabawi. Sebagai khalifah kaum muslimin,
sebagai panglima Angkatan Perang Islam, ia mempunyai kekuatan penuh untuk
merampas dan mengganti rugi dari Baitul mal, demi kepentingan kaum muslimin,
selama tidak bertentangan dengan hukum agama.
Sikap Umar
untuk menggusur rumah Abbas itu rupanya kurang berkenan di hatinya, meskipun ia
akan diganti rugi. Ia tidak mau menjual apa yang diberikan Rasulullah itu dan
tidak sudi menerima ganti ruginya. Ia berikan sebagai sedekah karena Allah,
demi kepentingan kaum muslimin, sesudah Umar bersikap lemah-lembut tidak
disertai paksaan dan kekuasaannya. (Senin, 16/7/2001=24/4/1422)